Mendamba UN yang Jujur
OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011
Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?
Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008
Wajah Bopeng Pendidikan Kita
Refleksi Hardiknas
Kaji Ulang Ujian Nasional
Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013
Setelah RSBI dibubarkan
OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
Selasa, 17 Januari 2023
MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR
MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR
Ironi benar negeri kita ini, siswa yang seharusnya
belajar malahan tawuran hingga jatuh korban nyawa. Dalam sebulan terakhir,
seorang siswa Sekolah Menegah Kejuran Negeri (SMKN) di Kota Tangerang
berinisial RAS (17) tewas usai terlibat tawuran. Nyawa RAS tak terselamatkan
karena mengalami luka parah di perutnya setelah disabet celurit. sebelumnya,F,
pelajar SMK Negeri 9 Medan, Sumatera Utara juga tewas setelah terlibat tawuran
dengan pelajar dan alumni sekolah lain di Deli Serdang. Sama seperti yang menimpa
RAS, F juga terkena bacokan celurit saat tawuran. Balas dendam menjadi alasan
penyerangan siswa SMKN 10 Semarang disertai membacok siswa SMKN 3 Semarang di
sekolahnya (Solopos.com, 14/12/2022).
Tawuran antar pelajar yang banyak kita lihat bisa saja
merupakan fenomena laten, yang suatu saat bisa muncul kapan, dimana dan
tiba-tiba dan kita tidak bisa mengetahui hal tersebut. Nyaris saban akhir
pekan, polisi di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki satu
atau dua kasus tawuran. Mirisnya, para pelaku tawuran ini adalah anak-anak yang
masih remaja atau sekolah. Hemat saya, para siswa yang melakukan tawuran itu
mengalami gangguan emosional. Kalau emosional stabil, mereka akan berpikir dua
kali untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, sekolah tidak mempunyai sistem
akademis yang kuat untuk bisa memberikan pemahaman akan pentingnya budi
pekerti. Terlebih lagi, remaja usia 15-18 tahun sedang mencari jati diri. Namun
karena sistem akademis di sekolah tidak kuat, mereka mencarinya di luar dengan
cara tawuran. Selain itu, pelajar pun memiliki beban belajar yang cukup besar.
Tetapi bisa juga perilaku anak-anak itu hanya akibat
meniru tayangan kekerasan di televisi. Hal ini didukung faktor keluarga dan
lingkungan yang penuh dengan kekerasan sehingga memacu reaksi emosional remaja
untuk terlibat tawuran. Karena tidak mendapat perhatian (kasih sayang) dari
orangtua dan lemahnya pengawasan orang terdekat, para pelajar berpotensi masuk
ke lingkungan sosial yang tidak sehat dan terjangkit penyakit sosial (berkelahi,
judi, merokok, alkohol, dll). Hal itu diperparah dengan dangkalnya pemahaman
agama pelajar sehingga mudah terpengaruh provokasi, hasutan, dan ajakan untuk
melakukan tindakan kekerasan.
Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang
remaja akan memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia
yang didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil
kini tidak memadai. Pertanyaan who am I
semakin menguat. Selanjutnya, Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini,
akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul
akibat kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas
negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan akan
kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah
tawuran.
Tawuran pelajar yang dilakukan siswa tingkat SMP dan
SMA/SMK merupakan cermin kegagalan sebuah sistem pendidikan. Ada yang salah
dalam sistem pendidikan di negeri ini, hilangnya etika, perilaku baik,
disiplin, merasa benar sendiri, serta tidak menghargai orang lain. Hakikat
pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya untuk menjadi pribadi-pribadi
unggul, dewasa, dan bertanggung jawab. Namun idealisme pendidikan itu terasa
masih jauh panggang dari api. Hal itu disebabkan oleh adanya inkonsistensi
dalam input, proses, dan tujuan
pendidikan,
Harus diingat, bahwa pelajar sebagai generasi pelanjut
kepemimpinan bangsa, eksistensinya sangat menentukan nasib bangsa ini di masa
depan. Sehingga sangat disayangkan jika sikap dan tindakan pelajar tidak
mencerminkan sebagai generasi bangsa yang berkualitas. Lalu, bagaimana memutus
aksi tawuran pelajar?
Dari pihak sekolah, perlu pembenahan sistem pendidikan.
Pengembangan model pembelajaran problem
solving based bisa menjadi solusi. Inti pembelajaran di sekolah, menurut
Gagne's (1980), adalah mendorong siswa mampu berpikir logis, sistematis, dan
menjadi pemecah masalah yang baik (better
problem solvers). Selanjutnya, penguatan kultur akademik sekolah yang
demokratis dan egaliter. Ini membebaskan sumbat-sumbat impuls pemicu awal
tindak kekerasan. Selain itu, penyediaan lingkungan alam dan sosial pendidikan
yang memadai, nyaman, aman, dan menyenangkan akan mengabsorb impuls penyebab
tindak kekerasan di luar sekolah.
Institusi sekolah juga jangan menekan siswa dengan
berbagai tuntutan yang berlebihan. Begitu pula dengan orang tua. Bahkan,
Philomena Aqudo mengungkapkan bahwa remaja jangan diberikan tantangan yang
terlalu berat karena hal itu justru dapat merusak disiplin diri. Sebaliknya,
perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi. Dengan begitu, ia akan dapat
mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif sehingga ia tidak sempat ikut
tawuran. Di sekolah sebaiknya dihilangkan kastanisasi siswa karena hedonisme
pendidikan yang merusak sistem pembelajaran. Kastanisasi siswa harus diganti
dengan semangat kebersamaan, tanpa diskriminasi, dan pelajar yang cinta
kerukunan.
Dari sisi pelajar, perilaku kekerasan atau anarkis yang
sama sekali jauh dari identitas dirinya sebagai pelajar harus dihindari.
Mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri sebagai seorang
intelektual. Anita Lie dalam Cooperative
Learning (2005), menegaskan bahwa siswa harus menjadi manusia yang mandiri
sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya.
Lebih ideal lagi, jika pelajar mengambil peran penting dalam memberikan solusi
alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa
ini.
Peran orang tua dan keluarga. Para orang tua harus
menyadari bahwa sekolah hanya mempunyai kompetensi mencerdaskan dan mendorong
minat dan bakat sang anak. Tapi membangun kepribadian, karakter, dan akhlak
tetaplah tugas mereka sendiri. Guru dan sekolah hanya mempunyai otoritas
pengawasan pada jam belajar. Para orang tua dan keluarga, harus lebih intensif
memberikan pendidikan moral dan humanitas serta melakukan pengawasan ketat atas
aktivitas dan kegiatan anaknya. Ingat, pendidikan bukan hanya mengutamakan segi
kognitif dan psikomotorik saja, tapi juga afektif. Justru dengan memperhatikan
afeksi, kaum muda akan mencapai identitas yang sehat.
Sejalan dengan itu, maka pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus
pada pembinaan hati nurani yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral,
sosial, dan budaya. Hal ini ditanbah dengan pendidikan yang bernuansa
perdamaian. Saya yakin, jika pendidikan karakter diterapkan secara benar dan
maksimal, aksi tawuran pelajar dapat dihilangkan. Apapun ceritanya tawuran
pelajar harus dihentikan, sebab pendidikan dimana kekerasan masih terdapat di
dalamnya, telah kehilangan filosopi dan tujuannya. Dan kehilangan kedua pilar
ini, sangat berbahaya bagi perjalanan bangsa ini ke depan.
Pencegahan tawuran pelajar seharusnya dapat dilakukan
semaksimal mungkin, dengan cara korrdinasi, relasi, dan menciptakan suasana
kondusif sekolah dengan melibatkan guru, orang tua, aparat keamanan, maupun
masyarakat sekitar. Selanjutnya, menyusun program aksi penanggulangan tawuran
pelajar berdasarkan analisis secara menyeluruh, melakukan evaluasi, serta
pemantauan secara periodik dan berkelanjutan.
*Penulis
adalah Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
** Artikel ini dimuat di Harian Solopos Edisi Rabu Pahing tanggal 11 Januari 2023
Jumat, 18 November 2022
Jumat, 30 September 2022
SEJARAH PERJUANGAN MENUMPAS PKI DI INDONESIA
SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA
Tgl 31 Oktober 1948 :
Muso dieksekusi di Desa Niten Kecamatan Sumoroto Kabupaten Ponorogo. Sedang MH. Lukman dan Nyoto pergi ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).
Akhir November 1948 :
Seluruh Pimpinan PKI Muso berhasil dibunuh atau ditangkap, dan Seluruh Daerah yang semula dikuasai PKI berhasil direbut, antara lain :
1. Ponorogo,
2. Magetan,
3. Pacitan,
4. Purwodadi,
5. Cepu,
6. Blora,
7. Pati,
8. Kudus, dan lainnya.
Tgl 19 Desember 1948
Agresi Militer Belanda kedua ke Yogyakarta.
Tahun 1949 :
PKI tetap Tidak Dilarang, sehingga tahun 1949 dilakukan Rekontruksi PKI dan tetap tumbuh berkembang hingga tahun 1965.
Awal Januari 1950 :
Pemerintah RI dengan disaksikan puluhan ribu masyarakat yang datang dari berbagai daerah seperti Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan Pembongkaran 7 (Tujuh) Sumur Neraka PKI dan mengidentifikasi Para Korban. Di Sumur Neraka Soco I ditemukan 108 Kerangka Mayat yg 68 dikenali dan 40 tidak dikenali, sedang di Sumur Neraka Soco II ditemukan 21 Kerangka Mayat yang semuanya berhasil diidentifikasi. Para Korban berasal dari berbagai Kalangan Ulama dan Umara serta Tokoh Masyarakat.
Tahun 1950 :
PKI memulai kembali kegiatan penerbitan Harian Rakyat dan Bintang Merah.
Tgl 6 Agustus 1951 :
Gerombolan Eteh dari PKI menyerbu Asrama Brimob di Tanjung Priok dan merampas semua Senjata Api yang ada.
Tahun 1951 :
Dipa Nusantara Aidit memimpin PKI sebagai Partai Nasionalis yang sepenuhnya mendukung Presiden Soekarno sehingga disukai Soekarno, lalu Lukman dan Nyoto pun kembali dari pengasingan untuk membantu DN Aidit membangun kembali PKI.
Tahun 1955 :
PKI ikut Pemilu Pertama di Indonesia dan berhasil masuk empat Besar setelah MASYUMI, PNI dan NU.
Tgl 8-11 September 1957 :
Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang–Sumatera Selatan Mengharamkan Ideologi Komunis dan mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Pelarangan PKI dan semua Mantel organisasinya, tapi ditolak oleh Soekarno.
Tahun 1958 :
Kedekatan Soekarno dengan PKI mendorong Kelompok Anti PKI di Sumatera dan Sulawesi melakukan koreksi hingga melakukan Pemberontakan terhadap Soekarno. Saat itu MASYUMI dituduh terlibat, karena Masyumi merupakan MUSUH BESAR PKI.
Tgl 15 Februari 1958 :
Para pemberontak di Sumatera dan Sulawesi Mendeklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun Pemberontakan ini berhasil dikalahkan dan dipadamkan.
Tanggal 11 Juli 1958 :
DN Aidit dan Rewang mewakili PKI ikut Kongres Partai Persatuan Sosialis Jerman di Berlin.
Bulan Agustus 1959 :
TNI berusaha menggagalkan Kongres PKI, namun Kongres tersebut tetap berjalan karena ditangani sendiri oleh Presiden Soekarno.
Tahun 1960 :
Soekarno meluncurkan Slogan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI. Dengan demikian PKI kembali terlembagakan sebagai bagian dari Pemerintahan RI.
Tgl 17 Agustus 1960 :
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang "PEMBUBARAN MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)" dengan dalih tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Pemberotakan PRRI, padahal hanya karena ANTI NASAKOM.
Medio Tahun 1960 : Departemen Luar Negeri AS melaporkan bahwa PKI semakin kuat dengan keanggotaan mencapai 2 Juta orang.
Bulan Maret 1962 :
PKI resmi masuk dalam Pemerintahan Soekarno, DN Aidit dan Nyoto diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Penasehat.
Bulan April 1962 :
Kongres PKI.
Tahun 1963 :
PKI Memprovokasi Presiden Soekarno untuk Konfrontasi dengan Malaysia, dan mengusulkan dibentuknya Angkatan Kelima yang terdiri dari BURUH dan TANI untuk dipersenjatai dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara” melawan Malaysia.
Tgl 10 Juli 1963 :
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.139 th.1963 tertanggal 10 Juli 1963 tentang PEMBUBARAN GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), lagi-lagi hanya karena ANTI NASAKOM.
Tahun 1963 :
Atas desakan dan tekanan PKI terjadi penangkapan Tokoh-Tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama Anti PKI, antara lain :
1. KH. Buya Hamka,
2. KH. Yunan Helmi Nasution,
3. KH. Isa Anshari,
4. KH. Mukhtar Ghazali,
5. KH. EZ. Muttaqien,
6. KH. Soleh Iskandar,
7. KH. Ghazali Sahlan dan
8. KH. Dalari Umar.
Bulan Desember 1964 :
Chaerul Saleh Pimpinan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didirikan oleh mantan Pimpinan PKI, Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan KUDETA.
Tgl 6 Januari 1965 :
Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Surat Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang PEMBEKUAN PARTAI MURBA, dengan dalih telah Memfitnah PKI.
Tgl 13 Januari 1965 :
Dua Sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) Menyerang dan Menyiksa Peserta Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan Kras Kabupaten Kediri, sekaligus melecehkan Pelajar Wanitanya, dan juga merampas sejumlah Mushaf Al-Qur’an dan merobek serta menginjak-injaknya.
Awal Tahun 1965 :
PKI dengan 3 Juta Anggota menjadi Partai Komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. PKI memiliki banyak Ormas, antara lain : SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) BTI (Barisan Tani Indonesia), LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan HSI (Himpunan Sardjana Indonesia).
Tgl 14 Mei 1965 :
Tiga Sayap Organisasi PKI yaitu PR, BTI dan GERWANI merebut Perkebunan Negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, dgn Menangkap dan Menyiksa serta Membunuh Pelda Soedjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX Bandar Betsi.
Bulan Juli 1965 :
PKI menggelar Pelatihan Militer untuk 2000 anggota'y di Pangkalan Udara Halim dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara”.
Tgl 21 September 1965:
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.291 th.1965 tertanggal 21 September 1965 tentang PEMBUBARAN PARTAI MURBA, karena sangat memusuhi PKI.
Tgl 30 September 1965 Pagi :
Ormas PKI Pemuda Rakyat dan Gerwani menggelar Demo Besar di Jakarta.
Tgl 30 September 1965 Malam :
Terjadi Gerakan G30S/PKI atau disebut GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) : PKI Menculik dan Membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan membuang mayatnya ke dalam sumur di LUBANG BUAYA Halim, mereka adalah :
1. Jenderal Ahmad Yani,
2. Letjen R.Suprapto,
3. Letjen MT.Haryono,
4. Letjen S.Parman,
5. Mayjen Panjaitan dan
6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo.
PKI juga menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution. PKI pun membunuh Aiptu Karel Satsuitubun seorang Ajun Inspektur Polisi yang sedang bertugas menjaga Rumah Kediaman Wakil PM Dr. J. Leimena yang bersebelahan dengan Rumah Jenderal AH. Nasution.
PKI juga menembak Putri Bungsu Jenderal AH. Nasution yang baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yang berusaha menjadi Perisai Ayahandanya dari tembakan PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhirnya wafat pada tanggal 6 Oktober 1965.
G30S/PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang membentuk tiga kelompok gugus tugas penculikan, yaitu :
1. Pasukan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief, dan
2. Pasukan Pringgondani dipimpin Mayor Udara Sujono, serta
3. Pasukan Bima Sakti dipimpin Kapten Suradi.
Selain Letkol Untung dan kawan-kawan, PKI didukung oleh sejumlah Perwira ABRI (TNI/Polri) dari berbagai Angkatan, antara lain :
Angkatan Darat :
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro,
2. Brigjen TNI Soepardjo dan
3. Kolonel Infantri A. Latief.
Angkatan Laut :
1. Mayor KKO Pramuko Sudarno,
2. Letkol Laut Ranu Sunardi dan
3. Komodor Laut Soenardi.
Angkatan Udara :
1. Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani,
2. Letkol Udara Heru Atmodjo dan
3. Mayor Udara Sujono.
Kepolisian :
1. Brigjen Pol. Soetarto,
2. Kombes Pol. Imam Supoyo dan
3. AKBP Anwas Tanuamidjaja.
Tgl 1 Oktober 1965 :
PKI di Yogyakarta juga Membunuh :
1. Brigjen Katamso Darmokusumo dan
2. Kolonel Sugiono.
Lalu di Jakarta PKI mengumumkan terbentuknya DEWAN REVOLUSI baru yang telah mengambil Alih Kekuasaan.
Tgl 2 Oktober 1965 :
Letjen TNI Soeharto mengambil alih Kepemimpinan TNI dan menyatakan Kudeta PKI gagal dan mengirim TNI AD menyerbu dan merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dari PKI.
Tgl 6 Oktober 1965 :
Soekarno menggelar Pertemuan Kabinet dan Menteri PKI ikut hadir serta berusaha Melegalkan G30S, tapi ditolak, bahkan Terbit Resolusi Kecaman terhadap G30S, lalu usai rapat Nyoto pun langsung ditangkap.
Tgl 13 Oktober 1965 :
Ormas Anshor NU gelar Aksi unjuk rasa Anti PKI di Seluruh Jawa.
Tgl 18 Oktober 1965 :
PKI menyamar sebagai Anshor Desa Karangasem (kini Desa Yosomulyo) Kecamatan Gambiran, lalu mengundang Anshor Kecamatan Muncar untuk Pengajian. Saat Pemuda Anshor Muncar datang, mereka disambut oleh Gerwani yang menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni, setelah Keracunan mereka di Bantai oleh PKI dan Jenazahnya dibuang ke Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa/Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Sebanyak 62 (enam puluh dua) orang Pemuda Anshor yang dibantai, dan ada beberapa pemuda yang selamat dan melarikan diri, sehingga menjadi Saksi Mata peristiwa. Peristiwa Tragis itu disebut Tragedi Cemetuk, dan kini oleh masyarakat secara swadaya dibangun Monumen Pancasila Jaya.
Tgl 19 Oktober 1965 : Anshor NU dan PKI mulai bentrok di berbagai daerah di Jawa.
Tgl 11 November 1965 :
PNI dan PKI bentrok di Bali.
Tgl 22 November 1965 : DN Aidit ditangkap dan diadili serta di Hukum Mati.
Bulan Desember 1965 :
Aceh dinyatakan telah bersih dari PKI.
Tgl 11 Maret 1966 :
Terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberi wewenang penuh kepada Letjen TNI Soeharto untuk mengambil langkah Pengamanan Negara RI.
Tgl 12 Maret 1966 :
Soeharto melarang secara resmi PKI.
Bulan April 1966 :
Soeharto melarang Serikat Buruh Pro PKI yaitu SOBSI.
Tgl 13 Februari 1966 :
Bung Karno masih tetap membela PKI, bahkan secara terbuka di dalam pidatonya di muka Front Nasional di Senayan mengatakan :
”Di Indonesia ini tidak ada partai yang Pengorbanannya terhadap Nusa dan Bangsa sebesar Partai Komunis Indonesia…”
Tgl 5 Juli 1966 :
Terbit TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ditanda-tangani Ketua MPRS–RI Jenderal TNI AH. Nasution tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
Bulan Desember 1966 :
Sudisman mencoba menggantikan Aidit dan Nyoto untuk membangun kembali PKI, tapi ditangkap dan dijatuhi Hukuman Mati pada tahun 1967.
Tahun 1967 :
Sejumlah Kader PKI seperti Rewang, Oloan Hutapea dan Ruslan Widjajasastra, bersembunyi di wilayah terpencil di Blitar Selatan bersama Kaum Tani PKI.
Bulan Maret 1968 :
Kaum Tani PKI di Blitar Selatan menyerang para Pemimpin dan Kader NU, sehingga 60 (enam puluh) Orang NU tewas dibunuh.
Pertengahan 1968 :
TNI menyerang Blitar Selatan dan menghancurkan persembunyian terakhir PKI.
Dari tahun 1968 s/d 1998
Sepanjang Orde Baru secara resmi PKI dan seluruh mantel organisasiya dilarang di Seluruh Indonesia dgn dasar TAP MPRS No.XXV Tahun 1966. Dari tahun 1998 s/d 2015
Pasca Reformasi 1998
Pimpinan dan Anggota PKI yang dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yang masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yang sangat panjang, dan jangan biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamanya di negeri tercinta ini.
Semoga Tuhan YME senantiasa melindungi kita semua.....
JADIKAN SEJARAH INI PELAJARAN YANG BERHARGA
BUAT GENERASI YANG AKAN DATANG
Sabtu, 20 Agustus 2022
KISI-KISI BAHASA INGGRIS PTS GASAL 2022/2023
KISI-KISI BAHASA INGGRIS PTS GASAL 2022/2023
SMP Negeri 1 Wonogiri menyelenggarakan PTS genap tahun pelajaran 2022/2023 dimulai tanggal 5 September 2022 sampai dengan tanggal 10 September 2022.
Kisi-kisi atau garis besar materi yang akan diujikan untuk Mata pelajaran Bahasa Inggris Kelas VII, VIII, dan IX bisa di download pada link di bawah ini:
KISI-KISI KELAS VII DOWNLOAD DISINI
KISI-KISI KELAS VIII DOWNLOAD DISINI
KISI-KISI KELAS IX DOWNLOAD DISINI
Semoga bermanfaat. Good luck!
by trisnosolo
https://www.youtube.com/channel/UCXrpUBUWm9eEKlI1-9r8YFw/featured
Sabtu, 13 Agustus 2022
PENGENALAN LINGKUNGAN SEKOLAH
Pengenalan Lingkungan Sekolah
Terkadang siswa senior
memandang rendah siswa baru, merasa sok kuasa, gila hormat, dan memiliki misi
balas dendam.
Kolom | Solopos | 02 August
2022 06:07:53 WIB
Penulis : Sutrisno | Editor: Adib Muttaqin Asfar
Awal tahun pelajaran baru 2022/2023 semestinya
menjadi yang menyenangkan bagi setiap pelajar, apalagi bagi siswa baru. Menurut
Kalender Pendidikan Nasional, pelaksanaan pembelajaran dimulai pada 13 Juli
2022.
Siswa baru tentu membutuhkan pengenalan lingkungan
sekolah (PLS) awal supaya mereka bisa beradaptasi dan mengenal lingkungan
sekolah (akademis). Masa-masa inilah yang populer dengan sebutan masa orientasi
siswa (MOS) atau biasa disebut dengan ospek di perguruan tinggi. Sekarang,
namanya menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Namun, seringkali PLS menjadi momok yang
menakutkan bagi siswa baru dan orang tua mereka. Sebab, dalam ajang tersebut
biasanya mereka diminta untuk membawa barang-barang aneh dan sulit.
Barang-barang aneh tersebut kemudian wajib dikenakan sebagai aksesoris
tampilan. Mereka juga disuruh melaksanakan tugas tertentu yang bahkan tak ada
hubungannya dengan urusan akademis.
Bahkan, beberapa kali sempat terjadi kekerasan
hingga berujung maut di ajang tahunan tersebut. Bukti perpeloncoan membawa
korban jiwa sudah dialami beberapa sekolah.
Pandemi
Covid-19 bukanlah penghalang untuk mewujudkan tujuan PLS. Karena bagaimana pun
pendidikan tidak hanya bagaimana menghadirkan siswa ke sekolah. Lebih dari itu,
pendidikan adalah soal sejauh mana sekolah mampu menghadirkan pengalaman dan
pengetahuan dalam rangka memperluas cakrawala interaksi siswa-sekolah, wawasan
siswa, dan menumbuhkan budaya akademis.
PLS diselenggarakan sebagai pengganti MOS. Adapun
dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) No. 18/2016
tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) Bagi Siswa Baru yang menggantikan
Permendikbud No. 55/2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru. Dalam pelaksanaannya,
PLS sekolah perlu menggelar kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk
mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. PLS adalah kegiatan
pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana, dan prasarana sekolah,
cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur
sekolah.
Berpedoman pada Pasal 2 ayat (2) Permendikbud No.
18/2016, pelaksanaan kegiatan PLS bagi siswa baru adalah terdiri atas beberapa
hal. Di antaranya mengenali potensi diri siswa baru; membantu siswa baru
beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya (antara lain terhadap
aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah); dan menumbuhkan
motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru.
Selain itu, mengembangkan interaksi positif
antarsiswa dan warga sekolah lainnya; serta menumbuhkan perilaku positif antara
lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati
keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk
mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat
gotong royong.
Kebijakan tersebut membawa angin segar pelaksanaan
PLS. Sebab, tidak ada celah bagi para kakak kelas atau senior melakukan aksi
balas dendam, perpeloncoan, dan perundungan dalam PLS. Selain itu, permendikbud
tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah untuk merancang program PLS melalui
kegiatan pilihan yang disesuaikan dengan visi-misi sekolah, kebutuhan,
kebiasaan, manajemen, dan prosedur masing-masing sekolah. Bila dilanggar, sekolah
bisa dikenai sanksi berupa penurunan level akreditasi dan dihentikannya
bantuan. Bentuk sanksi lainnya adalah sekolah tersebut bisa digabung,
direlokasi, atau bahkan ditutup.
Siswa baru memang perlu menjalani orientasi agar
mengenal cara belajar dan kultur akademis di sekolah. Mereka perlu mengetahui
cara berinteraksi dengan kakak kelas, guru, karyawan, mencari literatur di
perpustakaan, atau mengenal organisasi yang ada di sekolah. Hanya, pengenalan
itu mestinya dilakukan dengan cara cerdas dan lewat arahan jelas dari sekolah.
Siswa baru, misalnya, bisa diminta ke lapangan
mengenal lingkungan dan komunitas sekolah, infrastruktur sekolah, berdiskusi,
berdialog, dan mencari strategi belajar. Sungguh berbahaya jika kegiatan PLS
diserahkan sepenuhnya kepada siswa senior. Terkadang siswa senior memandang
rendah siswa baru, merasa sok kuasa, gila hormat, dan memiliki misi balas
dendam. Jika ini masih jadi budaya di kalangan siswa, PLS berpotensi diwarnai
kekerasan fisik dan berujung maut.
Humanis
Saatnya menerapkan PLS dengan edukatif dan
humanis. Driyarkara (1980) menguraikan pendidikan merupakan homonisasi dan
humanisasi. Dengan kata lain, pendidikan berarti menjadi proses menjadi manusia
yang manusiawi. Drost (1998:2) menegaskan visi yang sama dengan Driyarkara,
yaitu memanusiakan manusia sebagai inti pendidikan. Proses memanusiakan manusia
terjadi demi kemandirian si individu bersangkutan, tetapi juga “demi masyarakat
karena manusia itu adalah manusia demi manusia-manusia lain”.
Oleh karena itu, pihak sekolah (kepala sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan) harus punya kecerdasan dan program dalam
kegiatan PLS supaya peserta didik baru dapat mencapai kesuksesan dalam belajar.
Pertama, PLS harus didesain sebaik mungkin guna melahirkan siswa yang berkualitas.
Seluruh kegiatan PLS harus diorientasikan untuk memperkenalkan siswa baru akan
hakikat, fungsi, dan tanggungjawabnya pelajar yang seluruh sikap dan
perbuatannya berpijak pada moral-etika dan hukum yang benar. Selain itu,
sekolah perlu mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri
sebagai seorang pelajar.
PLS jangan menjadi ajang balas dendam,
penggencetan, perpeloncoan, dan transfer budaya kekerasan. PLS harus humanis,
konstruktif, berkarakter, dan bervisi pendidikan. PLS semestinya mampu
mengawali penyemaian pendidikan karakter seperti menjunjung tinggi kejujuran,
moralitas, etika, tata krama, sopan santun, kerja sama, gotong-royong, dan
tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebutlah yang ke depannya menjadi
modal pembentukan generasi penerus bangsa yang beriman dan berilmu. Kondisi
yang lebih ideal adalah saat siswa baru mengambil peran penting dalam
memberikan solusi alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi
masyarakat dan bangsa.
Kedua, kegiatan PLS harus benar-benar diawasi
secara ketat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dengan
demikian, seluruh kegiatan bisa terarah dengan baik serta bebas dari kekerasan
fisik, mental, dan seksual. Pasal 5 ayat (1) huruf a permendikbud tersebut
menyatakan bahwa hanya guru yang berhak merencanakan dan menyelenggarakan PLS.
Di sinilah peran penting guru dalam memformulasikan kegiatan PLS, terutama
memberikan motivasi, pijakan, dan strategi belajar kepada siswa baru agar
tujuan pendidikan dapat tercapai. Semoga kegiatan PLS ini menjadi wahana
membentuk generasi emas Indonesia.
Esai ini ditulis oleh Sutrisno, Guru SMP Negeri 1
Wonogiri.
Artikel ini dimuat di Harian Solopos tanggal 2
Agustus 2022