NO WASTING TIME!

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kemerdekaan bukan akhir perjuangan

SOLOPOS / Edisi : Sabtu, 15 Agustus 2009 , Hal.4
Kemerdekaan bukan akhir perjuangan

Tanggal 17 Agustus 2009 besok, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-64. Kemerdekaan adalah bagian integral dari nilai kemanusiaan. Bahkan seorang filsuf dari Prancis, Jean Paul Sartre, secara paradoksal menyatakan bahwa kemerdekaan adalah takdir bagi manusia.

Artinya, kemerdekaan melekat dalam dimensi kemanusiaan sejak lahir.
Dalam filosofi ini, kemerdekaan tidak bersifat eksternal dalam arti merupakan pemberian orang lain, melainkan bersifat internal bahkan eksistensial karena ada dalam diri manusia dan menjadi perwujudan martabat manusia. Karena itulah insan manapun tidak menghendaki hak vital ini dicabut dari dirinya. Demikian halnya tidak satu pun manusia yang berhak mencabut hak ini dari seorang individu.


Pencabutan kemerdekaan merupakan pencabutan dimensi mendasar humanisme itu sendiri. Karena alasan utama ini pula setiap bangsa menolak penjajahan. Dalam sejarah pendirian bangsa ini, tampak secara jelas bahwa filosofi ini pula mendasari para pendiri negeri kita untuk menolak kolonialisme dan penjajahan. Bung Karno adalah salah satu dari sekian the founding fathers bangsa ini yang secara tegas menyatakan hal itu.


Bagi kelangsungan pembangunan sebuah bangsa, Bung Karno bahkan lebih jauh melihat peran kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah jembatan emas. Penempatan kemerdekaan sebagai jembatan emas mengisyaratkan bahwa kemerdekaan bukanlah menjadi akhir sebuah perjuangan, melainkan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan yang luhur.

Dalam bingkai berpikir ini, kemerdekaan bukanlah sebuah kondisi statis, melainkan sebuah kondisi yang bersifat dinamis (sesuatu yang hidup) dan progresif (mengedepankan kemajuan) serta konstruktif (bernilai). Sebagai sebuah kondisi dinamis dan progresif serta konstruktif, kemerdekaan tidak akan bermakna tanpa diisi dengan tindakan-tindakan yang berarti dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan.
Selain tiga sifat di atas, pemikiran Bung Karno tentang makna kemerdekaan Indonesia tidak bersifat partikular dalam arti kemerdekaan itu hanya menjadi milik dari dan dirasakan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Artinya, kemerdekaan sebagai bangsa adalah milik semua orang.

Tekanan universalitas kemerdekaan ini memiliki implikasi etis yang sangat luas, termasuk hasil-hasil pembangunan yang merupakan pengisian terhadap kemerdekaan haruslah menjadi milik semua warga masyarakat. Itu berarti seluruh anggota masyarakat negeri ini memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Karena itu pula, Bung Karno sejak awal sangat tegas menolak ideologi-ideologi ekonomi bersifat partikularistik dan hegemonistik seperti monopoli, kapitalisme, dan egalitarianisme. Semua ideologi ekonomi ini tidak mengindahkan keadilan sosial dan humanitas. Karena itulah, filosofi yang didengungkan Bung Karno adalah ”semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya- tetapi semua buat semua,” (bdk, Bung Karno: Wacana Konstitusi dan Demokrasi, Grasindo, 2001).

Memaknai kemerdekaan
Menyambut HUT ke-64 Kemerdekaan ini, bagaimana kita bisa memaknai kemerdekaan ini? Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memaknai peringatan ini. Bahan refleksi pertama, sejauh mana rasionalitas telah mendapat tempat dalam masyarakat.

Merujuk pada pemikiran Immanuel Kant, seorang filsuf dari Jerman, satu ciri penting dari manusia merdeka adalah memaksimalkan penggunaan akal budi (vernunft) dalam seluruh perilaku hidup baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas. Kant bahkan lebih jauh menjadikan rasionalitas sebagai ukuran kedewasaan.
Dalam konteks hidup bersama, rasionalitas ini juga menjadi ciri penentu kedewasaan sebuah komunitas bangsa. Artinya, masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang seluruh aktivitasnya berpijak pada akal budi.

Dua argumen utama mengapa akal budi menjadi modal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Argumen pertama diletakkan pada sisi utama kemanusiaan itu sendiri. Kant sadar betul bahwa hidup menurut bimbingan akal budi merupakan perwujudan nilai hakiki dari kemanusiaan.
Bahkan elemen humanisme inilah yang memberikan makna bagi kemerdekaan, karena ciri orang merdeka ada pada kemampuan untuk mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari tindakannya bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain, orang merdeka adalah orang yang mampu mengambil keputusan yang bermutu. Dalam relasi sosial justru ini sangat penting.

Argumen kedua bersandar pada dampak positif pemaksimalan penggunaan rasio itu sendiri. Kant mengandaikan bahwa kalau semua orang bisa menggunakan dalil yang sama, yakni menempatkan akal budi sebagai titik pijak kehidupannya dan dijadikan sebagai hukum yang berlaku umum, maka hidup bersama akan semakin bermakna.

Artinya, kalau semua orang menjadikan ini sebagai hukum pribadi dan karena itu menjadi kewajiban, atas dasar kewajiban inilah dia akan mempertimbangkan seluruh tindakannya. Hasilnya, ketenteraman dan ketertiban bersama.

Di samping kebangkitan rasionalitas, dalam memaknai kemerdekaan, bahan refleksi kedua adalah bagaimana rasionalitas itu diwujudkan dalam ruang publik. Akal budi di satu sisi memang bersifat personal. Tetapi pemaknaannya membutuhkan ruang. Itu berarti apa? Kemerdekaan akan bermakna kalau rasionalitas setiap individu mendapat ruang gerak. Dalam hal ini dua hal yang mendapat perhatian.

Hal pertama adalah pengakuan. Agar bisa hidup, rasionalitas membutuhkan pengakuan dari ranah publik. Itu berarti kemerdekaan setiap orang untuk mengeluarkan pendapat, aspirasi, inovasi serta kreativitasnya memerlukan legitimasi. Tanpa ada pengakuan dari publik rasionalitas tidak berarti apa-apa.
Hal kedua adalah ruang publik. Kualitas orang merdeka juga terungkap dalam hal sejauh mana rasionalitas berimplementasi dalam relasi sosial seperti upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hidup bersama, khususnya menanggapi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang muncul.

Ketika ruang publik dikuasai oleh tindakan-tindakan yang bersifat progresif dan konstruktif, di situlah kemerdekaan semakin bermakna. Karena yang dihidupkan adalah tanggung jawab moral dan kepedulian terhadap orang lain. Orang merdeka akan selalu menanamkan dalam dirinya etika kepedulian.

Jadi, kemerdekaan sesungguhnya akan semakin memiliki arti mendasar kalau dalam ranah publik perhatian untuk menghidupkan nilai-nilai humanisme menjadi fokus utama seluruh anggota masyarakat dalam kehidupan bersama. Modal mendasar di sini adalah kesadaran setiap individu akan eksistensinya sebagai makhluk rasional yang membutuhkan pengakuan publik dan memerlukan ruang publik untuk bergerak.
Pada umur 64 tahun bangsa ini, internalisasi akan filosofi ini perlu mendapat perhatian dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara untuk memaknai kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia! - Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri

0 komentar: