NO WASTING TIME!

Sabtu, 01 Agustus 2009

Memberantas tuntas preman(isme)

Published in WAWASAN / Saturday, 22 November 2008

By Sutrisno

AKSI dan gebrakan dari seorang pemimpin baru memang selalu ditunggu dan diharapkan. Itulah yang kini diperlihatkan dari sosok Kapolri baru Jenderal (Polisi) Bambang Hendarso Danuri yang baru saja menerima tongkat estafet kepemimpinan dari seniornya, Jenderal (Polisi) Sutanto.

Polisi di berbagai daerah kembali melakukan gebrakan untuk membatasi ruang gerak dan bahkan memberantas aksi premanisme yang makin meresahkan masyarakat. Operasi pemberantasan preman sudah dilakukan di Polda Metro Jaya, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara yang kemudian dilanjutkan ke seluruh Polda di Indonesia, sesuai instruksi Kapolri. Di mata Kapolri, premanisme di zamannya harus dituntaskan dan dibersihkan sehingga tidak ada lagi.

Aksi premanisme memang sangat meresahkan masyarakat. Mereka, para pelaku aksi premanisme itu, terdapat di banyak tempat. Seperti tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mereka disebut preman karena melakukan tindak kejahatan; menodong, merampok, memeras, dan sebagainya.

Suburnya premanisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan penguasa juga. Di masa lalu, para preman terkesan diorganisasi oleh kekuatan tertentu untuk kemudian memberikan kontribusi bagi aman dan langgengnya kekuasaan. Sebagai kompensasi para preman diberikan kebebasan untuk menjalankan aksinya tanpa takut diperlakukan keras oleh negara.

Terkadang memang ada aksi tegas terhadap mereka, tetapi itu hanya sebuah aksi yang mengesankan bahwa negara tetap ada. Sesungguhnya, jauh di atas, negara memerlukan mereka, terlebih memerlukan dana-dana ekstra yang didapatkan melalui pekerjaan haram tersebut.

Tetapi ketika penguasa Orde Baru jatuh, yang namanya preman sudah tidak lagi dibutuhkan untuk menopang kekuasaan. Kini kekuasaan datang dari sistem dan mekanisme politik yang kuat. Dengan dukungan masyarakat, maka kekuasaan akan datang pada seseorang atau kekuatan tertentu, tanpa harus mengandalkan cara-cara kekerasan ala premanisme.

Kinerja premanisme lebih memilih tidak berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Ia lebih suka tumbuh jadi parasit di masyarakat yang sakit. Ia butuh situasi aparat keamanan yang ’’lengah”. Lengah di sini bukan berarti tidak peduli atau propremanisme, tetapi mencuri kondisi ketika aparat keamanan tidak menyerang lebih dahulu terhadap premanisme dan kejahatan. Pemberantasan terjadi karena premanisme sudah nyata dan ada korban. Pemberantasan mesti menjadi kinerja aparat keamanan yang proaktif dan mencari bibit premanisme untuk diberantas sebelum ia nyata dan melakukan aksinya.

Tahun 1980-an, pemerintah dengan dukungan personel ABRI sukses ’’membasmi” premanisme di seluruh Indonesia. Ribuan preman berhasil ditangkap. Bahkan sebagian ditembak mati oleh pasukan penembak misterius (Petrus). Petrus betul-betul menjadi momok menakutkan bagi preman sehingga jumlah preman dapat ditekan seminimal mungkin.

Tentu saja bukan strategi Petrus yang dijalankan Kapolri baru saat ini dalam memberantas aksi premanisme. Hanya preman-preman yang meresahkan masyarakatlah yang menjadi sasaran polisi. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diharapkan. Polri akan sangat mengalami kesulitan bila masyarakat tidak merespon kerja berat jajaran polisi dalam membasmi aksi-aksi premanisme.

Kita pun berharap aksi ini tidak sekadar angin-anginan belaka, tetapi bisa berjalan konsisten mengingat aksi premanisme sudah berjalan sangat lama dan hampir-hampir sudah membudaya di masyarakat kita. Dan tidak hanya aksi premanisme kelas teri saja yang ditangkap, tetapi juga sindikat premanisme terorganisasi, kelas kakap, atau penjahat berdasi.Menangkap preman kecil relatif mudah karena sudah terlihat di setiap harinya di berbagai tempat. Tetapi menangkap preman kelas kakap membutuhkan tenaga dan waktu yang ekstra, dan meski begitu tidak terlalu mudah juga. Tentu saja memberantas preman berdasi jauh lebih sulit ketimbang premanisme pasaran yang mencari uang untuk bisa makan sehari-hari. Mengapa?

Karena umumnya mereka sudah mapan di masyarakat dan punya kekuatan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan organisasi sosial dan pemuda dalam menjalankan aksi premanismenya. Modusnya pun tidak lagi untuk bisa hidup, tetapi memperkaya diri. Tidak tertutup kemungkinan di antara preman berdasi itu menyusup ke dalam parpol dan menjadi anggota legislatif, bahkan mereka pun lolos pula menjadi calon bupati dan walikota di daerahnya. Polisi bisa mengalami kesulitan membasminya karena mereka sudah punya pengikut (anggota), punya uang, dan strategi memperlemah petugas.

Untuk operasi pemberantasan kejahatan preman di Indonesia, peran serta masyarakat sangat penting. Sangat menggembirakan, karena Kabareskrim Irjen Susno Duadji sudah memberikan nomor telepon khusus kepada masyarakat yang disebarkan lewat media massa, yakni nomor 0217218021 dan 081511118778 untuk saluran mengadukan Kapolres atau Kapolda yang tidak mau menindaklanjuti laporan dari masyarakat adanya tindak kejahatan jalanan dan premanisme. Susno berjanji akan menindak anggotanya yang tidak menindaklanjuti laporan masyarakat.

Sebenarnya, tidak sulit mengatasi penyakit masyarakat premanisme ini. Itu kalau polisi serius, punya konsep yang jelas, dan masyarakat mendukungnya. Hemat saya, akan jauh lebih baik jika merebaknya aksi premanisme tidak semata ditangani sebagai kasus pelanggaran hukum. Sementara di sisi yang lain, kita lupa bahwa akar masalah premanisme sebetulnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang seringkali tidak adil. Di sinilah pemerintah kota/daerah/pusat berkewajiban untuk menahan laju marginalisasi (kemiskinan ekonomi, keterasingan dari masyarakatnya, kemiskinan mental, dan norma-norma sosial) dengan proses sebaliknya yakni mempercepat kesejahteraan. Jika ini terealisasi, premanisme yang berakar dari marginalisasi bisa diberantas tuntas sampai ke akarakarnya.

0 komentar: