NO WASTING TIME!

Jumat, 09 Oktober 2009

Hidup Bersama Gempa

Harian Sore WAWASAN / Thursday, 08 October 2009

Hidup Bersama Gempa

Oleh Sutrisno

BENCANA gempa kembali datang. Kali ini menerpa Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore, berkekuatan 7,6 Skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (1/10) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.
Sejatinya, Indonesia tidak akan pernah lepas dari ancaman bencana gempa. Sepanjang wilayah Indonesia, mulai dari pantai barat di Sumatra, memanjang ke pantai selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, kemudian meliuk ke atas menuju Halmahera, Sulawesi, dan Papua, semua rawan gempa. Relatif hanya Kalimantan yang steril terhadap gempa. Kondisi kegempaan atau seismisitas dari kepulauan Indonesia mencapai 10 persen dari total seismisitas yang ada di dunia (Ritsema, 1954). Sebagian besar episenter terdapat pada sabuk struktural yang berumur muda di antara continental shelves Asia Tenggara dan Australia. Sabuk tersebut mengelilingi busur Sumatera-Jawa-Banda dan memanjang sampai ke utara melewati Sulawesi menuju Filipina.
Dengan begitu, kita hidup bersama gempa. Gempa juga datang tanpa pemberitahuan, bisa ketika kita tertidur lelap, bisa ketika kita menjalankan aktivitas sehari-hari. Sejauh ini belum ada alat yang mampu meramalkan terjadinya gempa. Hanya insting binatang yang bisa merasakan, tetapi itu pun hanya beberapa saat sebelum terjadi gempa.
Penelitian tentang prediksi gempa bumi telah lama menjadi kajian ahli yang menggeluti bidang geologi dan geofisika. Tapi belum ada hasil atau metode yang dapat dijadikan acuan dalam memprediksi kapan, besar dan tempat terjadinya gempa bumi. Beberapa ahli dari Yunani pernah memperkenalkan satu metode untuk memprediksi terjadinya gempa bumi, tetapi metode ini masih sangat jauh dari kenyataan yang terjadi.
Bahkan, di Jepang dengan semua instrumen sangat cangkih yang dimiliki, hingga sekarang belum tepat dalam memprediksi datangnya gempa bumi. Jepang pernah mengalami gempa bumi cukup dahsyat pada 1923 yang meluluhlantakkan Kota Tokyo. Setelah peristiwa itu, para ahli berpendapat gempa yang sama akan terjadi lagi 50-60 tahun kemudian. Memang gempa yang ’’dinanti” tapi tidak diharapkan itu akhirnya datang juga. Tetapi tidak di Tokyo, melainkan meluluhlantakkan Kota Kobe pada 1995. Atau, 72 tahun setelah gempa yang terjadi di Kota Tokyo.
Setiap terjadi bancana alam, perhatian banyak tertuju pada upaya tanggap darurat, misalnya upaya evakuasi korban, distribusi bantuan, penanganan pengungsi, dan lain sebagainya. Setelah itu, persoalan rehabilitasi, rekonstruksi dan mitigasi, dan membangunan kesiagaan kadang sering luput dari perhatian, bahkan menjadi terlupakan jika fase tanggap darurat terlewati. Hal ini terjadi karena perhatian sudah tertuju kepada persoalan bancana alam lainnya. Oleh karena itu, setiap kita berhadapan dengan bencana alam yang bersifat rutin, seoalah-olah kita berhadapan dengan hal yang baru dan ada kecenderungan kita tidak siap menghadapinya dengan tindakan dan upaya yang tepat dan cepat.
Menyadari akan hal ini, seharusnya penanggulangan dan pananganan bencana alam dapat dijadikan pekerjaan rutin (bukan dadakan), terlebih-lebih untuk bencana alam yang dapat diprediksi seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan. Agenda rutin tersebut harus didukung dengan dana cadangan yang memadai, kebanggaan yang mapan dengan sistem jaringan kerja yang kompak serta dengan mekansime peran serta masyarakat yang terbina.
Sebagai wilayah yang rawan bencana alam kebumian, tentunya, Indonesia perlu memiliki manajemen mitigasi bencana gempa yang andal dan terpadu. Hal ini sangat urgen dan sangat berpengaruh dalam upaya memperkecil dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Mitigasi bencana gempa bumi secara struktural dapat dilakukan antara lain penataan ruang dengan memerhatikan kawasan rawan bencana gempa bumi. Membangun bangunan tahan goncangan gempa bumi utamanya bangunan vital dan strategis atau bangunan yang mengundang konsentrasi banyak manusia serta evaluasi konstruksi bangunan vital dan strategis di kawasan rawan bencana gempa bumi.
Melihat Jepang yang juga rawan gempa seperti kita, mungkin bisa dilakukan dalam niat berkaca. Pencakar langit di kota megapolitan Tokyo, semua dirancang tahan goyangan dalam tingkat tertentu. Deretan bangunan selalu diberi jeda antara satu dan yang lain. Hal ini untuk memberi ruang gerak bila bumi bergoyang setiap saat, dan bangunan-bangunan itu tetap tidak kehilangan elastisitasnya.
Tak kalah pentingnya, seperti juga Jepang, Indonesia perlu memiliki sebuah sistem peringatan dini (early warning system) yang canggih dan andal, agar tidak terjadi lagi kasus gempa yang memakan korban jiwa. Di Jepang, ada Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA).
Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi.
Pemerintah lokal, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang. Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Sedangkan mitigasi secara nonstruktural antara lain penentuan SOP, sosialisasi, pendidikan, tim penyelamat, relawan, dan pelatihan penanggulangan bencana gempa bumi melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Saya sangat sependapat dengan Fadli Syamsudin, seorang peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam tulisannya di Majalan Inovasi (edisi maret 2005) telah jauh hari mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk badan khusus yang mengurusi mitigasi bencana (ia menyebutnya ’’Badan Mitigasi Bencana Nasional”). Ia menegaskan bahwa solusi sektoral dalam program mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah selama ini tidak pernah menuntaskan akar permasalahan yang ada setiap kali terjadi bencana. Oleh Karena itu, kebutuhan sebuah Badan Mitigasi Bencana Nasional (BMBN) dalam tataran operasional Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) untuk melaksanakan berbagai agenda penyelamatan dan keamanan masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak saat ini.
Kita hidup di daerah yang sangat rawan bencana alam, khususnya gempa. Tetapi, itu tidak menjadikan kita harus merasa bahwa kita telah ditimpakan azab oleh sang Maha Pencipta, melainkan dinamika untuk mencari keseimbangan. Dan yang terpenting, mari kita jadikan kondisi ini sebagai titik awal bagi kita untuk selalu mengingat-Nya di manapun kita berada.

Sutrisno
Pendidik dan pemerhati
masalah lingkungan,

0 komentar: