NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Rabu, 30 September 2009

MY ARTICLES published on NEWSPAPERS

NO HARI / TANGGAL TERBIT SURAT KABAR / SKUP JUDUL ARTIKEL
1 Kamis 24 September 2009 Joglosemar - Soloraya Revolusi Hijau dan Nasib Petani ; Refleksi Hari Petani, 24 September
2 Rabu 23 September 2009 Wawasan - Jateng Episode Cicak VS Buaya
3 Sabtu, 12 September 2009 Solopos - Soloraya Membudayakan Kirim Parcel untuk Si Papa
4 Jumat, 4 September 2009 Wawasan - Jateng Agenda Buat SBY - Budiono
5 Kamis, 3 September 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Skandal Bank Century
6 Sabtu, 15 Agustus 2009 Solopos - Soloraya Kemerdekaan Bukan Akhir Perjuangan
7 10 Agustus 2009 Suara Merdeka - Jateng Banalitas Label Internasional
8 8 Agustus 2009 Wawasan - Jateng Elnino dan Kekeringan
9 Kamis, 23 Juli 2009 Wawasan - Jateng Menghapus Kekerasan Pada Anak
10 Rabu, 10 Juni 2009 Wawasan - Jateng Putret Buram Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
11 Sabtu, 30 Mei 2009 Wawasan - Jateng Hidup Sehat Tanpa Rokok; Refleksi Hari Bebas Tembakau
12 Jumat, 15 Mei 2009 Wawasan - Jateng Antasari, KPK, dan pemberantasan korupsi
13 Kamis, 22 April 2009 Merdeka - Jkt Antisipasi Kecurangan Dalam Ujian Nasional
14 Wawasan - Jateng Cindera Mata DPR Yang Mencederai
15 18 April 2009 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
16 17 April 2009 Wawasan - Jateng Koalisi dan Harapan Perubahan
17 Kamis, 12 Maret 2009 Joglosemar - Soloraya Pemilu dan Defisit Demokrasi
18 Kamis, 5 Pebruari 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Pungli PLN Jateng-DIY
19 Kamis, 22 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Menyoal Standar Keamanan Depo Pertamina
20 Kamis, 8 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Pertamina, SPBU dan Kelangkaan Premium
21 Rabu, 31 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Fenomena Pesta Tahun Baru
22 Selasa, 9 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Korupsi dan Teori Ikan Busuk
23 Sabtu, 29 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya Saatnya Merevitalisasi Fungsi Korpri
24 Sabtu, 22 Nopember 2008 Wawasan - Jateng Memberantas Tuntas Preman(isme)
25 Senin, 10 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya (Re)konstruksi Makna Kepahlawanan
26 Selasa, 4 Nopember 2008 Solopos - Soloraya Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional ?
27 Selasa, 14 Oktober 2008 Joglosemar - Soloraya Mengapa Sepakbola Rentan Kekerasan ?
28 Kamis, 25 September 2008 Joglosemar - Soloraya Aspek 4K Arus Mudik Lebaran
29 Kamis, 4 September 2008 Joglosemar - Soloraya Nasib Guru GTT, Siapa Peduli ?
30 Sabtu, 23 Agustus 2008 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
31 Selasa, 19 Agustus 2008 Joglosemar - Soloraya Anggaran Naik, Pendidikan Laik ?
32 Kamis, 31 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Mutilasi, Cermin Sebuah Masyarakat
33 Jum'at, 25 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Pepesan Kosong Tokoh Politik
34 Senin, 21 Juli 2008 Suara Merdeka - Jateng Teknologi dan Moral
35 Kamis, 17 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya SKB, Solusi atau Kebingungan
36 Kamis, 26 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Melawan Kejahatan Narkoba
37 Selasa, 10 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Gaji ke-13 dan Celaka 13
38 Selasa, 13 Mei 2008 Joglosemar - Soloraya Thomas, Uber, dan Kebanggaan Bangsa
39 Kamis, 24 April 2008 Joglosemar - Soloraya Kecurangan Ujian Nasional dan Air Mata Guru Jilid II ?
40 Kamis, 3 April 2008 Joglosemar - Soloraya PKB dan Ideologi Konflik
41 Kamis, 13 Maret 2008 Joglosemar - Soloraya Gizi Buruk dan Bayang-bayang Loss Generation
42 Sabtu, 23 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Guru yang Tidak Memihak Nasib Guru
43 Kamis, 14 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Kartu Pintar BBM, Solusi atau Proyek

Revolusi Hijau dan Nasib Petani

Refleksi Hari Petani, 24 September

Revolusi Hijau dan Nasib Petani

Dimuat Harian Joglosemar, Kamis 24 September 2009

Sekitar tahun 1970-an banyak orang tak berdaya, tidak cukup memiliki keberanian dan argumentasi untuk menolak Revolusi Hijau, yakni “modernisasi” di bidang pertanian. Saat itu memang sedang terjadi krisis pangan luar biasa, konon di Gunung Kidul sampai terjadi tikus-tikus menggigit jari kaki petani ketika tidur karena langkanya pangan.

Revolusi Hijau menjadi satu-satunya alternatif, bahkan telah menjadi keyakinan pemerintah juga kebanyakan akademisi pertanian sebagai satu-satunya pemecahan masalah krisis pangan. Hampir 30 tahun Revolusi Hijau dilaksanakan oleh pemerintah dan petani dengan slogan swasembada pangan dan kesejahteraan petani (arti dari swasembada pangan adalah mampu memenuhi kebutuhan akan pangan produksi sendiri, tanpa impor atau tingkat impornya nol).

Apa yang terjadi, apa hasilnya? Indonesia tetap impor beras, nasibnya petani tak berubah dan kerusakan lingkungan luar biasa akibat penggunaan pelbagai bahan kimia. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau ternyata tidaklah sekadar program pertanian belaka, melainkan suatu strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme. Kita menyaksikan selama empat puluh abad pengetahuan masyarakat dalam bertani untuk pertama kalinya menghadapi peminggiran.

Untuk pertama kalinya pula dalam sejarah pertanian, suatu model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinational mencoba melakukan homogenisasi berbagai ragam pengetahuan pertanian direduksi menjadi satu bentuk pertanian. Revolusi Hijau jangan hanya dilihat dari sisi teknologi belaka, Revolusi Hijau merupakan kombinasi pengetahuan, teknologi serta kebijakan politik pertanian yang dikembangkan tanpa mempersoalkan struktur kelas masyarakat dalam suatu mode of production yang kapitalistik di pedesaan di negara-negara

Oleh sebab itu, Bank Dunia bersedia selain mengeluarkan bantuan (baca: utang) dan mendidik tenaga ahli nasional di bidang pertanian, juga mengirim tenaga ahli ke Dunia Ketiga untuk membantu pelaksanaan program tersebut. Kenyataannya Revolusi Hijau gagal karena tidak mempersoalkan siapa yang diuntungkan dari hasil pertumbuhannya dan tanpa disadari justru melanggengkan ketidakadilan dalam masyarakat pedesaan serta melahirkan ketergantungan ekonomi pedesaan pada luar pedesaan.

Jumlah petani yang tidak memiliki lahan semakin meningkat. Sebagian dari mereka karena menjual tanahnya pada petani kaya. Proses ini telah mengakibatkan naiknya tingkat landlessness di Jawa. Sensus Penduduk pada periode 1961, 1971, dan 1980 menunjukkan, sekitar 73% keluarga di pedesaan memiliki tanah lebih dari 0,1 ha.

Pada tahun 1963 hanya sekitar 57% keluarga memiliki sawah, dan di tahun 1983 tercatat 16% petani tidak memiliki tanah selama 20 tahun. Petani kemudian menjual tenaga kerja mereka ke petani berlahan atau pindah ke kota untuk menjadi buruh migran pada sektor industri. Lebih lanjut hal tersebut menciptakan masalah urbanisasi di perkotaan.

Walaupun menurut para penganutnya, Revolusi Hijau dan segala implikasinya tidak dianggap sebagai kegagalan. Para penganut dan pelaksana Revolusi Hijau di lapangan selalu meyakinkan keberhasilannya dengan menunjukkan bukti-bukti positif versi mereka. Keyakinan itulah yang kini menjadi alasan untuk tetap meneruskan Revolusi Hijau dalam bentuk lain (Revolusi Hijau Jilid dua), dalam rangka menjamin swasembada/ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

Masalah krisis pangan sekarang ini datang dan hadir lagi, mulailah teriak “ketahanan pangan”, kembali seperti jaman modernisasi pertanian masuk Indonesia, tidak ada refleksi tentang kegagalan revolusi hijau yang tak memenuhi janji itu, bahkan nampaknya tidak menjadi pelajaran apa-apa.

Kegagalan dipahami adanya ketidakmampuan pemerintah dan petani dalam mengelola programnya. Jadi, bukan salahnya konsep dan sistem revolusi hijau, kini dunia pertanian harus memasuki globalisasi (baca: perdagangan/pasar bebas). Artinya, pertanian harus diserahkan pada pasar tidak lagi dikelola oleh pemerintah dan petani, biarkan swasta yang mengelolanya. Maka muncul program-program corporate farming, pengembangan benih rekayasa genetika sebagai lanjutan revolusi hijau yang terkait dengan kepentingan globalisasi.

Wujud penyerahan nasib petani, yakni dengan diserahkannya kebijakan pertanian sepenuhnya ke dalam pertimbangan mekanisme pasar. Kebijakan ini sejalan dengan hasil perundingan sektor pertanian dalam GATT/WTO yang secara ringkas mencakup lima hal, antara lain: pengaturan soal tarif, penurunan tarif rata-rata, penghapusan subsidi domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan sanitary and phitosanitary regulation.

Sistem pertanian yang akan dan sedang dilakukan ini bisa jadi merupakan bentuk kolonialisme baru yang berkedok pasar bebas, itulah yang membawa akibat terhadap kehidupan petani. Salah satu yang paling menonjol adalah menyumbat pertanian dunia ketiga berhadapan dengan perdagangan bebas dengan bentuk-bentuk membanjiri serapan kimia dan karya-karya biologi maupun bioteknologi ke lahan petani.

Pertanian menjadi rentan terhadap penyakit dan miskin keanekaragaman hayati. Ideologi pasar bebas telah mengancam kehidupan petani yang akan terhimpit dalam pemasaran produksinya dan sekaligus tidak memiliki kebebasan dalam memanfaatkan benih tanamannya. Ancaman globalisasi itulah yang memaksa kita dan para petani untuk lebih mempertimbangkan kemampuan serta menentukan tujuan yang akan menjamin rasa keadilan, kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak petani.

Maka, hati-hatilah ketika Anda mengucapkan kata “ketahanan pangan”, karena di dalam kata tersebut terkandung maksud, “seolah-olah Indonesia akan dilanda kelaparan”. Seolah-olah kebutuhan manusia hanya sekadar pangan, tak penting harga diri, tak penting kemerdekaan, tak penting kemandirian, dan lain-lain, maka Corporate Farming, benih-benih rekayasa genetika (transgenik) yang katanya benih mahaunggul walaupun sekarang inipun belum bisa dipertanggungjawabkan keamanannya, tapi itulah jawaban dari pemikiran “ketahanan pangan”. Seperti jawaban Revolusi Hijau pada saat itu, yang ada adalah iming-iming keuntungan dan harapan besar, tak ada pertanyaan apa kerugian dan risikonya, juga siapa yang diuntungkan. Siapa yang harus menanggung risikonya?

Maka saat ini jangan Anda tanyakan apa akibatnya apabila petani menerima sistem Corporate Farming (CF) dan menanam benih-benih rekayasa genetika (transgenik), tapi “mari kita tunggu 5, 10 atau 15 tahun yang akan datang” mungkin kita baru paham lalu sadar, menyesal dan meratapinya.

Setiap tanggal 24 September, kaum petani memperingati hari agraria, hari sebuah produk hukum bernama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dibuat oleh pengurus rakyat (baca: pemerintah). Sekarang hari itu lebih dikenal Hari Tani. Seperti kita yang setiap tahun mengingat hari kelahiran dengan istilah ulang tahun, bukan untuk pesta-pesta apalagi hura-hura tetapi mengingat kembali apa saja peristiwa yang sudah kita alami dan apa maknanya untuk kita. Pada tanggal ulang tahun 24 september inilah kaum tani mengambil makna kelahiran UUPA untuk mereka.

Sejak lahirnya, mereka belum memiliki makna apa-apa untuk mereka para tani Indonesia, padahal UUPA adalah sandaran bagi mereka. Tentu saja cara mereka memperingati bukanlah diwujudkan dengan suka ria, hari-hari yang mereka peringati adalah hari-hari yang penuh catatan keterpurukan, memilukan dari kehidupan mereka yang semakin tak menentu.

Adakah perubahan di masa mendatang? Semoga para petani bisa belajar dari pengalaman bahwa tidak bisa selamanya menyandarkan nasibnya kepada pihak lain. Perubahan itu akan terjadi bila ditentukan sendiri oleh petani dan didukung serta dilindungi oleh negara.

Episode Cicak Vs Buaya

Episode Cicak Vs Buaya

Dimuat Koran Wawasan, Rabu 23 September 2009

Penetapan status tersangka terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menuai kecaman. Para aktivis, pegiat antikorupsi, dan sebagian besar masyarakat mengkritisi cara yang digunakan polisi untuk menjerat para pimpinan KPK. Di berbagai milis dan media massa, muncul tudingan adanya tindakan kriminalisasi KPK oleh aparat kepolisian.

Sikap reaktif yang secara nyata diperlihatkan sebagai dukungan kepada para pimpinan KPK bisa dimaklumi. Selama ini, para pimpinan KPK telah membuktikan komitmen mereka untuk tetap memberantas korupsi di bumi Indonesia. Belum 10 tahun lembaga ini berdiri, KPK sudah memenjarakan puluhan pelaku korupsi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi seperti bankir, polisi, jaksa, pengacara, menteri, gubernur,wali kota,bupati,anggota DPR, pengusaha, sampai besan Presiden SBY.

Makin garang KPK, makin kuat pula upaya untuk mengerdilkannya. Itulah yang terjadi saat ini. Selain dua wakil ketua, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan polisi sebagai tersangka, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengamputasi kewenangan KPK menuntut para koruptor. Para wakil rakyat itu menyerahkan kembali tindakan penuntutan kepada Kejaksaan Agung. Padahal, rakyat pun mafhum, justru di tubuh badan itu pula terjadi praktik koruptif dan kolutif, sebagaimana pernah diungkap KPK.

Tragisnya, di saat serangan datang bertubi-tubi, Ketua KPK Antasari Azhar diduga terlibat pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Kasus ini diduga adanya konspirasi besar yang tampaknya hanya bermotifkan asmara tersebut. Tak hanya itu, dia juga menemui buron sekaligus tersangka kasus korupsi, Direktur Utama PT Masaro Anggoro Widjojo. Kemudian ia juga membuat testimoni yang menyebutkan beberapa pimpinan KPK diduga telah menerima suap Anggoro Widjojo.

Ada yang beranggapan bahwa apa yang sedang terjadi sat ini adalah episode “cicak “ (KPK) melawan “buaya” (Polri). Sekilas terlihat benar. Di sana ada perebutan kewenangan penyidikan. Di sana juga ada pertarungan saling menjatuhkan. KPK menangkap percakapan telepon antara Komjen Susno Duadji dan pihak lain yang berindikasi transaksional untuk pencairan dana di Bank Century. Di sisi lain, polisi menemukan sejumlah hal yang mencurigakan di tubuh KPK.

Dua pimpinan KPK itu “Cuma” dituduh penyalahgunaan wewenang, yakni karena mencekal Anggoro (tersangka korupsi oleh KPK) dan mencabut cekal Joko Tjandra (dalam kasus Artalyta Suryani, bukan dalam kasus cessie Bank Bali). Masalahnya, pemanggilan dan pemeriksaan para pimpinan KPK ini terjadi setelah sebelumnya sempat muncul kontroversi. Mencuatnya pertarungan “cicak vs buaya”yang dilontarkan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duaji menjadi pangkal kontroversi. Dalam sebuah wawancara di media massa, Susno tidak menyebut siapa cicak yang dia maksud dan siapa buayanya. Namun, banyak pihak yang mengartikan cicak sebagai KPK dan buaya sebagai polisi.

Gugatan yang diajukan sejumlah pihak tentang kewenangan KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), sikap reaktif anggota DPR merespons penahanan rekan-rekannya hingga munculnya fenomena “cicak vs buaya” merupakan contoh-contoh konkret pelemahan KPK. Karenanya, saat masih menjabat sebagai Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki sudah mengingatkan tentang munculnya fenomena corruptor fight back, yakni fakta di mana tokoh-tokoh yang popularitasnya hancur melakukan berbagai cara untuk melumpuhkan dan mematahkan upaya pemberantasan korupsi KPK.

Sebagai institusi penegak hukum kejaksaan, kepolisian, dan KPK termasuk pula kehakiman seharusnya seiring sejalan sesuai “porsi” dan kewenangannya masing-masing. Memang, hukum juga berlaku untuk penegak hukum itu sendiri. Tidak ada yang kebal. Hanya saja, tontonan yang diperlihatkan kepolisian dan KPK sekali lagi sangatlah menyesakkan dada warga negeri ini yang menginginkan mereka bersatu memberantas segala praktik korupsi. Jika mereka terus “perang” secara terbuka, tentu kredibilitasnya akan turun. Kepercayaan masyarakat pun bakal melemah.

Secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. Sebab, KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi.

Begitu juga, secara teknis penyidik di KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. KPK bisa maju dan gesit karena SDM-nya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, mereka sebenarnya harus saling bersatu dan mendukung sehingga keberhasilan pemberantasan korupsi segera menunjukkan hasil. Dari sisi ini, sebenarnya tidak perlu terjadi kecemburuan, apalagi conflict of interes, antarlembaga. Kepolisian dan kejaksaan tidak perlu merasa dikecilkan dan disisihkan. Kegesitan KPK untuk menangani korupsi sebaiknya menjadi kebanggaan kita bersama sebagai bangsa dan kebanggaan antarlembaga penegak hukum (Jabir Alfaruqi, 2009).

Dalam kasus ini sesungguhnya ada dua masalah yang harus ditangani, yakni dugaan suap Masaro terhadap pejabat KPK dan suap Bank Century terhadap pejabat Polri. Kita mendukung kasus itu sama-sama diungkap. Tidak peduli apabila melibatkan pejabat KPK maupun Polri. Silakan usut saja kasus itu secara transparan agar publik mengetahui siapa sesungguhnya pejabat yang terlibat dalam dua kasus itu.

Kita tidak ingin kasus Masaro tertutup kasus Century, karena ada pejabat KPK yang diperiksa atau dijadikan tersangka oleh Polri. Begitu juga sebaliknya, kita tidak ingin kasus Century tertutup kasus Masaro, karena ada pejabat Polri yang diperiksa atau ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dalam konteks lain, kita juga mendukung langkah KPK yang akan menyelidiki dugaan keterlibatan oknum “SD” dalam dugaan penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bank Century. Apa yang sedang terjadi saat ini,sejatinya,dapat dilihat sebagai sebuah proses penegakan hukum ke arah profesionalisme.

Kita mendukung aspirasi yang diperjuangkan untuk menolak cara-cara kriminalisasi yang bermaksud melemahkan institusi KPK. Sudah saatnya, kita semua peduli dan menolak upaya pelemahan KPK. Sampai kapan pun lembaga ini harus eksis untuk memberantas praktik korupsi seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Kita juga menagih janji dan sikap kenegarawanan Presiden SBY dalam hal pemberantasan korupsi sebagai agenda utama semasa kampanye Pemilu 2009. SBY harus punya komitmen kuat untuk memberantas tindak kejahatan atas uang negara tersebut. Negara jangan kalah dengan koruptor.

Rabu, 23 September 2009

Few and Little

1 - I have a ____ friends.
few
little
2 - He has very ____ patience with me.
few
little
3 - There's only a ____ sugar left.
few
little
4 - I've done it a ____ times.
few
little
5 - I saw a ____ films at the weekend.
few
little
6 - I've got very ____ spare time.
few
little
7 - I've only read a _____ of the book so far- just the first couple of chapters.
few
little
8 - I'd only like a ____ milk in my tea please.
few
little
9 - Only a _____ tickets were sold for the concert.
few
little
10 - I'd like a ____ more chicken, please.
few
little

adapted from usingenglish

Rabu, 16 September 2009

Stuff to discuss (3) >> What is your opinion?

Katsuko Matsubara

Classroom Group Dynamics; Significant Influence on Learner Motivation


Learning environment and motivation Motivation is a complex psychological process that is subject to both internal and external influences. The quest to sort out this complexity and eventually understand motivation is worthwhile because it can help to predict and influence people’s behavior. While motivation is psychologically determined, influence on motivation from the immediate learning environment should not be neglected. For example, the effects of interaction among learners, the teacher, and other aspects of classroom instruction such as course evaluation, materials, and peer group pressure will also have an effect on learner attitude and their motivation. Therefore, it is necessary to consider what influences learner motivation from two perspectives: social motivation (external influences) and personal motivation (internal influences).

What are internal and external influences? Social motivation is seen as human motives that are directly related to an individual’s social environment. In contrast to social motivation, personal motivation may be seen as motives developed internally without support from peers or significant others. Of course, it is difficult to distinguish these two aspects of motivation since they mutually influence each other. Examples of external influences are peer pressures and practical incentives such as getting a good grade in class. Examples of internal influences are having set personal goals and experiencing a feeling of enjoyment. If students have set concrete personal goals for themselves, their motivation tends to be high.

Motivating factors In order to investigate learner motivation in more depth, a series of interview studies were conducted among Japanese university students (Matsubara, 2006). Examples of high motivating factors are peer pressures and practical incentives such as getting a good grade in class. Students felt that if their peers work hard, they feel obligated to perform well in class. For internal influences, positive learning history and having set personal goals are high motivating factors. If they had a good rapport with the teacher or had a good experience in terms of their performance, their motivation seems to go up. The interview revealed that the most significant influence on learner motivation comes from classroom experiences.

Demotivating factors Most teachers seem to look at motivation factors and what influences learner motivation. On the other hand, demotivating factors also tell us about what is going through learners’ minds. A series of interviews with the students revealed as many demotivating factors as motivating factors. The most frequently cited demotivating factors was a negative learning history. One example occurs when a student’s personal goal and the course goal do not match or a student doesn’t like their instructor’s teaching style. For internal cause, a feeling of frustration and having no personal goal were mentioned as demotivating factors.

What teachers can do to increase motivation? Learner motivation seems to be largely influenced by the learning environment. Therefore, classroom-related factors such as the interaction among students and the teacher, teaching methods employed by the teacher, and both personal and class learning goals are important factors affecting learner motivation. Though it was found that some motivational change occurs when students encounter English speakers and other cultures outside of the classroom, major motivational changes primarily rise from particular classroom experiences.

Teachers can’t force students to like English, but they can lead students to meaningful learning experiences. Because so many students are influenced by external causes that are based in classroom practices, teachers can help by guiding their students to set concrete goals and objectives and to provide positive learning experiences that increase their motivation. In order to create a positive and motivating learning environment, we need to look at classroom dynamics where students are involved in interactions that lead to positive learning experiences.


Katsuko Matsubara is an associate professor at Chubu University. Her research interest is learner motivation, L2 writing and intercultural communication. Her recent article, "Creating Cohesiveness Among Learners Through a Focus on Classroom Group Dynamics in a Japanese Classroom" was published in TESOL's 2008 book, Classroom Management , the first volume of TESOL’s Classroom Practice Series.

Versi Bahasa Indonesia (by google translate)

Kelas Group Dynamics; Pengaruh Signifikan Pada Motivasi Siswa

Lingkungan belajar dan motivasi Motivasi adalah proses psikologis yang kompleks yang dikenakan baik internal dan pengaruh eksternal. Upaya untuk memilah-milah kompleksitas ini dan akhirnya memahami motivasi berharga karena dapat membantu untuk meramalkan dan mempengaruhi perilaku orang. Sementara motivasi secara psikologis ditentukan, pengaruh pada motivasi dari lingkungan belajar langsung tidak boleh diabaikan. Sebagai contoh, efek dari interaksi di antara pelajar, guru, dan aspek lain dari kelas instruksi seperti evaluasi kursus, materi, dan tekanan kelompok sebaya juga akan berpengaruh pada sikap pelajar dan motivasi mereka. Oleh karena itu, perlu untuk mempertimbangkan apa yang mempengaruhi motivasi pelajar dari dua perspektif: motivasi sosial (pengaruh eksternal) dan motivasi pribadi (pengaruh internal).

Apa pengaruh internal dan eksternal? Motivasi sosial dipandang sebagai motif manusia yang secara langsung berhubungan dengan individu lingkungan sosial. Berbeda dengan motivasi sosial, motivasi pribadi dapat dilihat sebagai motif yang dikembangkan secara internal tanpa dukungan dari teman sebaya atau orang lain yang signifikan. Tentu saja, sulit untuk membedakan kedua aspek motivasi karena mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Contoh pengaruh eksternal adalah tekanan rekan dan insentif praktis seperti mendapatkan nilai yang baik di kelas. Contoh pengaruh internal mengalami menetapkan tujuan-tujuan pribadi dan mengalami rasa kenikmatan. Jika siswa telah menetapkan tujuan pribadi konkret untuk diri mereka sendiri, motivasi mereka cenderung tinggi.

Faktor-faktor motivasi Agar motivasi pelajar untuk menyelidiki secara lebih mendalam, serangkaian studi wawancara dilakukan di kalangan mahasiswa universitas Jepang (Matsubara, 2006). Contoh faktor-faktor motivasi tinggi adalah rekan insentif tekanan dan praktis seperti mendapatkan nilai yang baik di kelas. Mahasiswa merasa bahwa jika sesama mereka bekerja keras, mereka merasa wajib untuk tampil baik di kelas. Pengaruh internal, belajar sejarah positif dan memiliki tujuan pribadi menetapkan faktor-faktor motivasi tinggi. Jika mereka memiliki hubungan yang baik dengan guru atau memiliki pengalaman baik dalam hal kinerja mereka, tampaknya motivasi mereka naik. Wawancara mengungkapkan bahwa pengaruh yang paling signifikan pada motivasi belajar berasal dari pengalaman kelas.

Faktor-faktor motivasi Kebanyakan guru tampaknya melihat faktor-faktor motivasi dan apa yang mempengaruhi motivasi pelajar. Di sisi lain, faktor-faktor motivasi juga memberitahu kita tentang apa yang sedang terjadi melalui pembelajar 'pikiran. Serangkaian wawancara dengan siswa terungkap karena banyak faktor-faktor motivasi sebagai faktor-faktor motivasi. Yang paling sering dikutip adalah faktor-faktor motivasi belajar sejarah yang negatif. Satu contoh terjadi ketika seorang mahasiswa tujuan pribadi dan tujuan kursus tidak cocok atau mahasiswa mereka tidak menyukai gaya pengajaran instruktur. Penyebab internal, rasa frustrasi dan tidak memiliki tujuan pribadi disebutkan sebagai faktor motivasi.

Apa yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi? Motivasi pelajar tampaknya sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Karenanya, kelas-faktor yang terkait, seperti interaksi antara siswa dan guru, metode pengajaran yang digunakan oleh guru, dan keduanya pribadi dan tujuan pembelajaran kelas adalah faktor penting yang mempengaruhi motivasi pelajar. Walaupun ditemukan bahwa beberapa perubahan motivasi perjumpaan terjadi ketika siswa berbahasa Inggris dan budaya lain di luar kelas, terutama perubahan motivasi utama bangkit dari pengalaman kelas tertentu.

Guru tidak dapat memaksa siswa untuk seperti bahasa Inggris, tetapi mereka dapat membawa siswa untuk pengalaman belajar yang bermakna. Karena begitu banyak siswa dipengaruhi oleh penyebab eksternal yang didasarkan pada praktek-praktek kelas, guru dapat membantu dengan membimbing siswa mereka untuk menetapkan tujuan dan sasaran konkret dan untuk memberikan pengalaman belajar positif yang meningkatkan motivasi mereka. Dalam rangka menciptakan motivasi yang positif dan lingkungan belajar, kita perlu melihat dinamika kelas di mana siswa terlibat dalam interaksi yang mengarah pada pengalaman belajar yang positif.

Stuff to discuss (2) >> What is your opinion?

What Are Some Ways to Motivate Students?

September 2009

Peter Viney

Motivation

I am only an infrequent visitor to Japan, and my last visit with Karen Viney, my wife and co-writer, was five years ago, so everything I say here must be read with that in mind. In fact I may not be the person you want to go on like I do next, but I’ll have the temerity to say what seems reasonable based on my observations.

The topic that teachers, especially Japanese teachers, discussed with us most often on that visit was fast declining motivation among their students. They said changes were significant over the last few years. Old hands among the native English speakers (NES) reported the same phenomenon. Things had changed. One high school teacher in her twenties (Japanese) said the problem was basic. English was no longer “cool”. It had been when she was a student, not that long ago. That’s probably the most important factor of all. There’s little I can say or do about that, short of hoping for a new Anglophile cultural revolution.

The first observation is that external global factors have intervened, leading to less interest in learning English in general. I’ll take that as read, whether it’s a home filled with the distractions of Nintendo and Wii, or whether it’s a feeling that in the future interaction with China will be more important than with America or Britain. In much of my teaching experience, motivation was a given. Students had paid lots of money for the course, it was intensive and important for their careers.

In much of the world, leaning English has high extrinsic motivation attached. People think English will help them climb the career ladder. In many situations in Europe, Africa, and Latin America, people want to emigrate to an English speaking country, or if not, to a country where English can be used as an initial lingua franca, that really fuels their motivation. That this desire is weaker, or altogether absent, in Japan,makes the situation unusual.

Intrinsic motivation is problematic. It’s clear that for most people success breeds motivation. It’s true in every sphere of life that if you can’t manage to do something reasonably well, interest fades. If you can do something well, but no one recognizes it and the ability gets you nowhere, interest fades.

On our last visit, we did the tourist thing and took a week off in Kyoto. We wandered around the lanes buying various bits and pieces as gifts. What really surprised us was the very low level of English in this tourist situation. Young adults serving in shops couldn’t deal adequately with numbers in English, and that’s in a near-unique situation in a place where you can look down the street and there will virtually always be other non-Japanese people in sight. Usually, when we travel, people in tourist situations say they find Karen and I remarkably easy to understand. That’s after years of teaching beginners. We both naturally control the structures we use, and enunciate clearly. If they can’t understand us saying numbers, they haven’t got much chance with the average Native English speaker.

I could list excuses for them. Years of dull grammar translation in school didn’t help much, but students suffer that in many countries. Japanese is a long way from English, much further than Italian or Greek. True, but it’s no further than Thai or Chinese, and Japan has much more access to Western culture and movies and songs than many countries.

We firmly believe motivation comes from achievement, and what we saw was remarkably low achievement in a situation where there is both opportunity and a real need to speak English.

I’m going to propose an unpopular explanation to the particular problems in Japan: I’m going to blame teaching.

I’m going to propose an unpopular explanation to the particular problems in Japan: I’m going to blame teaching. I’ve been discussing Japan a lot recently in meetings with various people in publishing, and they all remark on the extreme diversification in the teaching situation compared to other countries, especially among Native English Speakers. There’s a wide variety of methodologies ranging from the most old-fashioned to the most avant-garde. The wide diversity of teaching situations in Japan makes it a most interesting place to visit. But there’s a “but”. Individual teachers get brilliant results, but the problem is that too many people are singing off different song sheets. A teacher can achieve success with a quirky style or a novel approach to teaching, but unless that teacher alone takes the students through from zero beginner to the end of their studies, students will be meeting other teachers who are singing in a different key. Lack of a consensus on broad goals among the teachers results in confusion for the students.

In other countries, when you attend teaching conferences, there is a range of ideas and personalities and approaches, but there is a broad consensus on at least some things. They all teach grammar (whether directly, or obliquely, or through translation). They all work on skills development. They structure the input of the lessons and materials to student level.

Whether they’re working on a structural syllabus, or a functional syllabus, or trying to invent a lexical syllabus, there is a consensus on something, even if it’s just the goals of the Common European Framework. I’m not advocating the centralization of teaching lampooned in discussions of the French education system in the 1950s. It was said that the Minister for Education could look at his calendar, and know “April tenth. Every twelve year old in France will be studying adverbs of manner today.”

On the other hand, I’ve never seen teachers in Europe cheerfully boast that they’ve spent a year or two taking students (students who can hardly string a coherent sentence together in front of a native speaker) through an authentic one thousand page novel. Outside Japan I’ve never seen anyone advocate that if students get enough reading input they’ll learn as if by osmosis. Nowhere else do you find advocates of ungraded material for beginners. Elsewhere I’ve also rarely seen people allowed in a classroom simply on the basis of being a native speaker.

In most situations I have experienced, peer observation with constructive criticism is considered a major teacher-training tool, and part of ongoing in-service training. I find it hard to comprehend that experienced teacher trainers are not expected to suggest or even prescribe teaching methods to new arrivals. When I was a tutor on an RSA Cert.TEFL Course (as it then was), one of my trainees told me she intended to use the Silent Way in one of her observed lessons for the exam. I simply said, “No. Don’t do it.

You’ve worked very hard. You’re sure to pass. Don’t throw it away. Go in and teach them something in a conventional way.” I get the impression that few are allowed the authority to say that in Japan.

The best motivation for students is the feeling that you have learned something, that you are now learning something else, and that you feel you will be able to cope with the next stage of learning. Students have to be able to look back, and say ‘In January I couldn’t do that. It’s April now, and I can do it.’ At the lower levels, they should be aware of what progress they’ve made today. Every teacher has to ask, ‘Is this happening? Not just in my lessons, but in their learning experience as a whole?’

Editors and authors have said things to me recently about Japan being too diverse and confused a teaching environment to cope with. They have a point. I could give you ten pages of detailed criticism of the Common European Framework levels or of the detailed syllabus goals listed for the KET and PET Cambridge exams, but they’re still excellent starting points which have taken years of negotiation to assemble. They’re Eurocentric to a degree, because they can assume higher guess rates, but the principle is valid.

Teachers need to agree on common goals, and like it or not, those goals can only be quantified in structural and functional terms. The functional list is vague, but far easier to compose (Students should be able to buy and sell items, discussing prices and giving change). The stuctural list inevitably leads to argument. Should there be overt grammar teaching, or should grammar be embedded? What is the sequence of presentation of the items expected as a final goal? What methodologies will be utilised to impart them?

It is however possible to say that students at a given level should be able to comprehend and use the present perfect to discuss recent events. That’s a concrete ELT goal. At a given level, students should be able to apologize with different degrees of politeness. That’s a concrete ELT goal. At a given level, students should be able to read a graded ELT reader at the 1250 headword level. That’s a concrete ELT goal. Students should be able to listen to a series of announcements and note times and numbers accurately without understanding every word of the announcement. That’s a concrete ELT goal.

Human happiness is not an ELT goal, unfortunately. Nor is knowing more about the environment. Nor is being a more caring person. All these things may happen alongside the acquisition of a language skill, but they’re not the measure of the skill. The greatest motivating factor is measurable success. Are enough students achieving that success?


Peter Viney is the co-author of IN English:, Survival English / Basic Survival, Handshake, Grapevine, and Streamline. He has written thirteen video courses, and has recently finished work on a major video self-study project. He lives in Poole, UK. Peter and Karen Viney’s website is at www.viney.uk.com Peter’s forthcoming book is Fast Track to Reading published by Garnet Education. It is not yet up on their website at the time of writing (September 2009), but it may be by the time you read this.


Versi Bahasa Indonesia (by google translate)

Beberapa Cara untuk Memotivasi Siswa?

September 2009

Peter Viney


Motivasi
Saya hanya seorang pengunjung jarang ke Jepang, dan kunjungan terakhir saya dengan Karen Viney, istri saya dan co-penulis, lima tahun yang lalu, jadi semuanya saya katakan di sini harus dibaca dengan pikiran yang dalam. Bahkan aku mungkin bukan orang yang ingin Anda terus seperti saya lakukan selanjutnya, tapi aku akan punya keberanian untuk mengatakan apa yang tampaknya masuk akal berdasarkan pengamatan saya.

Topik yang guru, terutama guru Jepang, dibahas bersama kami yang paling sering pada kunjungan ini adalah motivasi menurun cepat di antara siswa mereka. Mereka mengatakan perubahan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. Tangan tua di antara penutur asli bahasa Inggris (SPN) melaporkan fenomena yang sama. Hal yang telah berubah. Satu guru SMA di usia dua puluhan (Jepang) mengatakan masalah mendasar. Inggris tidak lagi "keren". Dulu, ketika ia masih mahasiswa, belum lama yang lalu. Itu mungkin faktor yang paling penting dari semua. Ada sedikit saya bisa katakan atau lakukan tentang itu, pendek berharap untuk sebuah revolusi budaya Anglophile baru.

Pengamatan pertama adalah bahwa faktor-faktor global eksternal ikut campur, yang menyebabkan kurang minat dalam belajar bahasa Inggris pada umumnya. Aku akan menganggap itu sebagai membaca, entah itu sebuah rumah penuh dengan gangguan dari Nintendo dan Wii, atau apakah itu perasaan bahwa di masa mendatang interaksi dengan Cina akan lebih penting daripada dengan Amerika atau Britania. Dalam banyak pengalaman mengajar saya, motivasi adalah diberikan. Siswa sudah membayar uang banyak untuk kursus, itu intensif dan penting bagi karier mereka.

Di sebagian besar dunia, bersandar inggris memiliki motivasi ekstrinsik tinggi terlampir. Orang berpikir Inggris akan membantu mereka menaiki tangga karir. Dalam banyak situasi di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin, orang ingin pindah ke suatu negara berbahasa Inggris, atau jika tidak, untuk sebuah negara di mana bahasa Inggris dapat digunakan sebagai lingua franca awal, yang benar-benar bahan bakar motivasi mereka. Itu keinginan ini lebih lemah, atau sama sekali tidak ada, di Jepang, membuat situasi yang tidak biasa.

Motivasi intrinsik bermasalah. Jelas bahwa bagi kebanyakan orang sukses melahirkan motivasi. Memang benar dalam setiap bidang kehidupan bahwa jika Anda tidak bisa mengelola untuk melakukan sesuatu yang cukup baik, bunga memudar. Jika Anda dapat melakukan sesuatu dengan baik, tapi tidak ada yang mengenalinya dan kemampuan membawa Anda ke mana-mana, bunga memudar.

Pada kunjungan terakhir kami, kami melakukan hal turis dan mengambil libur seminggu di Kyoto. Kami berjalan di sekitar jalur membeli berbagai potongan-potongan sebagai hadiah. Yang benar-benar mengejutkan kami adalah tingkat yang sangat rendah di inggris situasi wisata ini. Dewasa muda yang melayani di toko-toko tidak bisa menangani secara memadai dengan angka-angka dalam bahasa Inggris, dan itu di dekat-situasi yang unik di tempat di mana Anda bisa melihat di jalan dan di sana akan hampir selalu menjadi non-Japanese people yang terlihat. Biasanya, ketika kita melakukan perjalanan, orang-orang dalam situasi pariwisata mengatakan mereka menemukan Karen dan aku sangat mudah dipahami. Itu setelah bertahun-tahun mengajar pemula. Kami berdua secara alamiah mengontrol struktur yang kita gunakan, dan mengatakan dgn jelas. Jika mereka tidak bisa memahami kita mengatakan angka-angka, mereka tidak punya banyak kesempatan dengan rata-rata Inggris Penutur asli.

Aku bisa daftar alasan bagi mereka. Tahun membosankan terjemahan tata bahasa di sekolah tidak membantu banyak, tetapi para siswa menderita bahwa di banyak negara. Jepang adalah jauh dari bahasa Inggris, lebih jauh dari Italia atau Yunani. Benar, tapi itu tidak lebih dari Thailand atau Cina, dan Jepang memiliki lebih banyak akses ke budaya Barat dan film-film dan lagu-lagu dari berbagai negara.

Kami yakin motivasi berasal dari prestasi, dan apa yang kita lihat adalah pencapaian luar biasa rendah dalam situasi di mana ada peluang dan kebutuhan nyata untuk berbahasa Inggris.

Aku akan mengusulkan sebuah penjelasan tidak populer untuk masalah-masalah khusus di Jepang: Aku akan menyalahkan mengajar.

Aku akan mengusulkan sebuah penjelasan tidak populer untuk masalah-masalah khusus di Jepang: Aku akan menyalahkan mengajar. Aku sudah banyak membahas Jepang baru-baru ini dalam pertemuan dengan berbagai orang di penerbitan, dan mereka semua berkomentar tentang diversifikasi ekstrim dalam situasi pengajaran dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama di kalangan Native Speakers Inggris. Ada berbagai metodologi mulai dari yang paling kuno sampai yang paling avant-garde. Keragaman luas situasi mengajar di Jepang membuatnya menjadi tempat yang paling menarik untuk dikunjungi. Tapi ada "tapi". Masing-masing guru mendapatkan hasil yang cemerlang, tapi masalahnya adalah bahwa terlalu banyak orang yang menyanyikan lagu yang berbeda dari seprai. Seorang guru dapat mencapai sukses dengan gaya yang unik atau pendekatan baru untuk mengajar, tetapi jika itu saja memerlukan guru siswa melalui dari nol pemula sampai akhir studi mereka, siswa akan bertemu guru-guru lain yang bernyanyi di kunci yang berbeda. Tidak adanya konsensus mengenai tujuan-tujuan yang luas di antara para guru mengakibatkan kebingungan bagi para siswa.

Di negara lain, bila Anda menghadiri konferensi pengajaran, terdapat berbagai gagasan dan kepribadian dan pendekatan, tetapi ada konsensus yang luas mengenai paling tidak beberapa hal. Mereka semua mengajarkan tata bahasa (baik langsung, atau secara tidak langsung, atau melalui terjemahan). Mereka semua bekerja pada pengembangan keterampilan. Mereka struktur input dan bahan-bahan pelajaran untuk tingkat mahasiswa.

Apakah mereka sedang bekerja pada silabus struktural, atau fungsional silabus, atau mencoba untuk menciptakan sebuah leksikal silabus, ada konsensus tentang sesuatu, bahkan jika itu hanya tujuan dari Eropa Common Framework. Saya tidak menganjurkan ajaran sentralisasi lampooned dalam diskusi tentang sistem pendidikan Perancis pada 1950-an. Dikatakan bahwa Menteri Pendidikan bisa melihat di kalender, dan tahu "April kesepuluh. Setiap dua belas tahun di Perancis akan belajar cara adverbia dari hari ini. "

Di sisi lain, saya belum pernah melihat guru-guru di Eropa riang menyombongkan diri bahwa mereka telah menghabiskan waktu satu tahun atau dua siswa mengambil (siswa yang hampir tidak dapat string kalimat yang koheren bersama-sama di depan pembicara asli) melalui otentik novel seribu halaman . Luar Jepang Aku belum pernah melihat orang menganjurkan bahwa jika siswa mendapat cukup membaca masukan mereka akan belajar seolah-olah dengan osmosis. Tempat lain yang Anda temukan ungraded bahan pendukung untuk pemula. Tempat lain saya juga jarang melihat orang-orang diperbolehkan dalam kelas hanya atas dasar menjadi pembicara asli.

Pada kebanyakan situasi saya alami, rekan pengamatan dengan kritik konstruktif dianggap sebagai guru utama-alat pelatihan, dan bagian dari layanan berlangsung di-pelatihan. Aku merasa sulit memahami bahwa pelatih guru berpengalaman tidak diharapkan untuk menyarankan atau bahkan meresepkan metode pengajaran bagi para pendatang baru. Ketika saya adalah seorang guru di sebuah Cert.TEFL RSA Course (seperti saat itu), salah satu peserta pelatihan mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menggunakan Jalan Diam dalam mengamati salah satu pelajaran untuk ujian. Aku hanya berkata, "Tidak Jangan lakukan itu.

Anda telah bekerja sangat keras. Anda yakin untuk lulus. Jangan membuangnya. Masuk dan mengajar mereka sesuatu dengan cara konvensional. "Saya mendapat kesan bahwa hanya sedikit yang diizinkan wewenang untuk mengatakan bahwa di Jepang.

Motivasi yang terbaik bagi siswa adalah perasaan bahwa Anda telah belajar sesuatu, bahwa Anda sekarang belajar sesuatu yang lain, dan bahwa Anda merasa Anda akan mampu mengatasi dengan tahap berikutnya belajar. Siswa harus dapat melihat ke belakang, dan berkata 'Pada bulan Januari saya tidak bisa melakukan itu. It's April sekarang, dan aku bisa melakukannya. "Pada tingkat yang lebih rendah, mereka harus menyadari apa yang mereka telah membuat kemajuan hari ini. Setiap guru harus bertanya, "Apakah ini terjadi? Tidak hanya dalam pelajaran, tetapi dalam pengalaman belajar mereka secara keseluruhan? "

Editor dan penulis telah mengatakan sesuatu kepada saya baru-baru ini tentang Jepang yang terlalu beragam dan bingung lingkungan pengajaran untuk mengatasi. Mereka memiliki titik. Aku bisa memberimu sepuluh halaman kritik rinci dari tingkat common Kerangka Eropa atau tujuan silabus rinci tercantum untuk KET dan PET ujian Cambridge, tapi mereka masih sangat baik titik awal yang telah diambil tahun negosiasi untuk berkumpul. Mereka Eurocentric untuk gelar, karena mereka menganggap dapat menebak angka yang lebih tinggi, tetapi prinsip ini berlaku.

Guru perlu untuk menyepakati tujuan bersama, dan suka atau tidak, tujuan-tujuan tersebut hanya dapat diukur dalam istilah struktural dan fungsional. Daftar fungsional samar-samar, tetapi jauh lebih mudah untuk menulis (Siswa harus dapat membeli dan menjual item, membahas harga dan memberikan perubahan). Daftar yang stuctural pasti akan mengarah pada argumen. Harus ada pengajaran tata bahasa yang terang-terangan, atau tata bahasa harus ditanamkan? Apa urutan presentasi item yang diharapkan sebagai tujuan akhir? Apa metodologi akan digunakan untuk menanamkan mereka?

Hal tersebut adalah mungkin untuk mengatakan bahwa siswa pada tingkat tertentu harus dapat memahami dan menggunakan present perfect untuk membahas kejadian terkini. Itu tujuan ELT beton. Pada tingkat tertentu, siswa harus mampu meminta maaf dengan berbagai derajat kesopanan. Itu tujuan ELT beton. Pada tingkat tertentu, siswa harus mampu membaca ELT bergradasi pembaca pada tingkat kata pokok 1250. Itu tujuan ELT beton. Siswa harus mampu mendengarkan serangkaian pengumuman dan catatan waktu dan nomor akurat tanpa memahami setiap kata dari pengumuman. Itu tujuan ELT beton.

Kebahagiaan manusia bukanlah tujuan ELT, sayangnya. Juga tidak mengetahui lebih banyak tentang lingkungan. Juga tidak menjadi orang yang lebih peduli. Semua hal ini dapat terjadi bersamaan dengan perolehan keterampilan bahasa, tapi mereka tidak ukuran keterampilan. Faktor pendorong terbesar adalah keberhasilan diukur. Apakah cukup mahasiswa mencapai kesuksesan?


Petrus Viney adalah co-penulis DALAM inggris:, Survival Inggris / Dasar Survival, Handshake, Grapevine, dan Streamline. Tiga belas ia telah menulis kursus video, dan baru-baru ini selesai bekerja pada video utama proyek belajar-sendiri. Dia tinggal di Poole, Inggris. Petrus dan Karen Viney website ini di www.viney.uk.com Petrus buku yang akan datang adalah Fast Track untuk Membaca diterbitkan oleh Garnet Pendidikan. Itu belum pada website mereka pada saat penulisan (September 2009), tetapi mungkin pada saat Anda membaca ini.


Stuff to discuss (1) >> What is your opinion?

Dorothy Zemach

Can a Teacher Motivate Every Student?



Like many teachers, I have seen a lot of movies about teachers. Many of the movies, especially those “based on a true story,” have a similar theme: A smart young teacher goes to a poor, inner-city school, faces a class of recalcitrant students, each one displaying a different attitude problem, and through her (or his) unwavering dedication to the students as people and ideals of education as a whole, leads the class to success. I like these kinds of stories. They inspire me as a teacher, and when I show them to my classes, they inspire the students.

A good example is the classic 1988 “Stand and Deliver,” based on the story of Jaime Escalante, a high school teacher from inner-city Los Angeles. In one of the more moving scenes, Escalante talks to his class of poor, racial minority students about the challenges they face:

"When you go for a job, the person giving you that job will not want to hear your problems; ergo, neither do I. You’re going to work harder here than you’ve ever worked anywhere else. And the only thing I ask from you is ganas. Desire. And maybe a haircut. If you don’t have the ganas, I will give it to you because I’m an expert."

And he does give them the desire. He goads them, urges them, threatens them, praises them, rewards them, yells at them,… and he takes them from their failing status in his remedial math class to passing the notoriously difficult AP Calculus exam.

(Any student who has ever taken the TOEFL will cringe in sympathy watching these students take that test.)

It’s every teacher’s dream, isn’t it? To be able to supply motivation. And to some extent, I think we can. Every class is a sort of sales opportunity, and you sell your subject area and even the minute details, such as the importance of distinguishing count and non-count nouns. Our energy level affects the students.

You can’t motivate your students if you yourself are exhausted, burned out, in poor physical health, overworked, in a bad mood, or unsure of the value of what you’re teaching.

How responsible are we, though, for every student’s motivational level? We might see them for 90 minutes a week, or three hours a week, or in some rare intensive class, even 10 hours a week. That’s still a small slice out of a student’s life that encompasses work, family, friends, hobbies, romance, and much else that we cannot affect. Sometimes―just sometimes―what we teach in English class is NOT the most important thing going on in their lives, and we need to accept that. Motivation can also be affected by a student’s character, personality, and state of mental and physical health. That’s a lot for one English teacher to cope with.

To the extent that it’s possible, we should of course motivate students as individuals and the class as a group. I don’t think it’s possible to list techniques that “work” for motivating others because it depends too much on the personality of the individual teacher as well as on the specific class and students in question. However, I do think that the teacher’s overall level of enthusiasm for her subject and class is infectious―and that is something that every teacher can work on.

When you fly, there’s no more chilling moment for a parent than when you hear that announcement that in the event of an unexpected loss of cabin pressure, you are to secure your own oxygen mask before assisting your children. Anyone can understand the wisdom of that, but you know in your heart how tremendously difficult it would be to not help your child (or, really, anybody’s child) first. It’s a similar situation with our classes.

You can’t motivate your students if you yourself are exhausted, burned out, in poor physical health, overworked, in a bad mood, or unsure of the value of what you’re teaching.

I would argue then that one very good way to motivate your students is to ensure that you do not assign homework faster than you can grade it; that you get around eight hours of sleep a night; that you use your weekends as work-free periods; that you eat protein with your breakfast every day; that you exercise regularly. These are areas of someone’s life that you do have control over, because it’s your life. When your life is running smoothly, you’ll be more likely to have the energy and enthusiasm to lead, cajole, or prod your students into finding their desire.

Finally, I’d like to recommend a different sort of movie about teaching, “The Emperor’s Club,” based on the short story “The Palace Thief” (Ethan Canin). Truthfully, I don’t know if this was a popular movie or not―I never heard of it in theaters in the US and have never seen any reviews, but I watched it on three different airplane trips, sometimes more than once, so I came to know it well. Mr. Hundert, the teacher, works in an expensive private preparatory school, teaching a class of motivated, hard-working students. Enter a new student, a poor-little-rich-boy type of much promise and intellect, but no motivation and of course the requisite poor attitude.

Hundert tries everything he can to motivate this student, at the expense, in fact, of a more deserving but less flashy student who does not present himself as “troubled.” I’ll throw in a bit of a spoiler, because what’s important about the movie is not the plot line, but the more subtle dynamics of personality. The troubled rich kid succeeds in life―but not in the right kind of motivation, nor in appreciation for education. Hundert is left for years to question his decision of spending a disproportionate amount of energy on this one student. Could he have been reached in another way? Is it possible to reach every student? What students are pushed aside when you reach out to the most glamorous troublemaker? Those are good questions for both a teacher and a class to discuss.


Dorothy E. Zemach is an ESL materials writer, editor, and teacher trainer from Oregon. She is a frequent plenary presenter at conferences, a columnist for TESOL’s Essential Teacher magazine, and has written over 15 ESL textbooks, including Sentence Writing,Paragraph Writing,Success With College Writing, and Get Ready For Business(Macmillan) and Writers at Work: The Essay (Cambridge University Press). Current interests include the teaching of writing, EAP, business English, testing, and humor in ESL materials and the profession.

Selasa, 15 September 2009

Special Edition >> RAMADHAN 1430 H

Muraqabatullah - Merasa Diawasi Allah

Ada seorang wanita shalihah, bertaqwa, selalu mencintai kebaikan, bibirnya tak sedikitpun pernah lepas dari dzikir kepada Allah dan tidak sekalipun keluar perkataan kotor dari mulutnya. Apabila mengingat neraka, gemetar hatinya dan diliputi ketakutan, serta merta ia menengadahkan tangan memohon perlindungan Allah dari jilatan apinya. Dan apabila mengingat surga, bergejolak keinginannya untuk masuk ke dalamnya. Kemudian memohon kepada Allah agar menjadikannya termasuk penduduk surga-Nya.

Suatu ketika tiba-tiba ia merasakan sakit yang tak terhankan pada pahanya. Ia berinisiatif mengolesi pahanya dengan minyak oles kemudian membalutnya dengan kain untuk mengurangi rasa sakit. Namun rasa sakit itu malah bertambah parah. Beberapa rumah sakit dan dokter dikunjunginya, namun tidak menemukan kesembuhan. Akhirnya suaminya membawanya ke London dan ia harus opname di salah satu rumah sakit kenamaan di London.

Dari diagnosa team dokter yang menanganinya disimpulkan, bahwa telah terjadi pembengkakan yang disebabkan pembekuan darah pada salah satu daerah di tubuhnya. Pusat pembekuan itu, ternyata ada pada tempat sakit yang sedang dideritanya yaitu paha. Team dokter bahkan berkesimpulan bahwa dia terserang kanker dan keputusan akhir mengatakan, dia harus segera diamputasi dari pangkal pahanya agar penyakit tersebut tidak menyebar.

Di ruang operasi yang menegangkan itu, dia hanya pasrah dan menyerahkan dirinya pada qadla dan qadar Allah dan lisannya tidak berhenti dari berdzikir kepada Allah dengan tunduk dan khusyuk. Pisau pemotong telah siap di tempatnya dan dengan ketelitian yang tepat ditentukan daerah amputasi dari kaki tersebut.

Di tengah kehati-hatian yang penuh, kekhawatiran yang sangat dan ketakutan yang dalam, belum saja alat pemotong itu bergerak tiba-tiba pisau pemotong itu patah dengan sendirinya, sontak mengagetkan seluruh penghuni ruangan operasi itu. Kemudian pisau pemotongnya diganti yang baru, tetapi pisau itu patah lagi dan berulang hingga tiga kali.

Peristiwa pertama kali yang terjadi sepanjang sejarah ini menggoreskan bias kebingungan yang sangat di wajah team dokter tersebut. Setelah melakukan pertemuan singkat, team dokter memutuskan untuk mengoperasi paha wanita tersebut tanpa mengamputasinya. Tetapi alangkah terkejutnya mereka, belum saja pisau pembedah sampai ke tengah daerah paha, tiba-tiba mereka melihat darah beku berbau busuk yang menggumpal pada kapas yang dijadikan alas untuk membedah. Akhirnya dengan operasi kecil mereka bisa mengeluarkan gumpalan darah tersebut, membersihkan dan membalutnya. Seketika itu juga wanita itu sembuh dari sakit yang dideranya.

Para dokter hanya bisa mengatakan satu kalimat, bahwa hal ini tidak lain adalah pertolongan ilahiyah. Wanita itu menumpahkan seluruh kebahagiaannya melalui buliran kalimat-kalimat pujian kepada Allah sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat-Nya. Dan inilah buah muroqobatullah-nya selama ini. /from many sources/

List of My Articles, Published in Newspapers recently

















NO HARI / TANGGAL TERBIT SURAT KABAR / SKUP JUDUL ARTIKEL






Sabtu, 12 September 2009 Solopos - Soloraya Membudayakan Kirim Parcel untuk Si Papa
1 Jumat, 4 September 2009 Wawasan - Jateng Agenda Buat SBY - Budiono
2 Kamis, 3 September 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Skandal Bank Century
3 Sabtu, 15 Agustus 2009 Solopos - Soloraya Kemerdekaan Bukan Akhir Perjuangan
4 10 Agustus 2009 Suara Merdeka - Jateng Banalitas Label Internasional
5 8 Agustus 2009 Wawasan - Jateng Elnino dan Kekeringan
6 Kamis, 23 Juli 2009 Wawasan - Jateng Menghapus Kekerasan Pada Anak
7 Rabu, 10 Juni 2009 Wawasan - Jateng Putret Buram Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
8 Sabtu, 30 Mei 2009 Wawasan - Jateng Hidup Sehat Tanpa Rokok; Refleksi Hari Bebas Tembakau
9 Jumat, 15 Mei 2009 Wawasan - Jateng Antasari, KPK, dan pemberantasan korupsi
10 Kamis, 22 April 2009 Merdeka - Jkt Antisipasi Kecurangan Dalam Ujian Nasional
11
Wawasan - Jateng Cindera Mata DPR Yang Mencederai
12 18 April 2009 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
13 17 April 2009 Wawasan - Jateng Koalisi dan Harapan Perubahan





14 Kamis, 12 Maret 2009 Joglosemar - Soloraya Pemilu dan Defisit Demokrasi
15 Kamis, 5 Pebruari 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Pungli PLN Jateng-DIY
16 Kamis, 22 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Menyoal Standar Keamanan Depo Pertamina
17 Kamis, 8 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Pertamina, SPBU dan Kelangkaan Premium
18 Rabu, 31 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Fenomena Pesta Tahun Baru
19 Selasa, 9 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Korupsi dan Teori Ikan Busuk
20 Sabtu, 29 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya Saatnya Merevitalisasi Fungsi Korpri
21 Sabtu, 22 Nopember 2008 Wawasan - Jateng Memberantas Tuntas Preman(isme)
22 Senin, 10 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya (Re)konstruksi Makna Kepahlawanan
23 Selasa, 4 Nopember 2008 Solopos - Soloraya Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional ?
24 Selasa, 14 Oktober 2008 Joglosemar - Soloraya Mengapa Sepakbola Rentan Kekerasan ?
25 Kamis, 25 September 2008 Joglosemar - Soloraya Aspek 4K Arus Mudik Lebaran
26 Kamis, 4 September 2008 Joglosemar - Soloraya Nasib Guru GTT, Siapa Peduli ?
27 Sabtu, 23 Agustus 2008 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
28 Selasa, 19 Agustus 2008 Joglosemar - Soloraya Anggaran Naik, Pendidikan Laik ?
29 Kamis, 31 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Mutilasi, Cermin Sebuah Masyarakat
30 Jum'at, 25 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Pepesan Kosong Tokoh Politik
31 Senin, 21 Juli 2008 Suara Merdeka - Jateng Teknologi dan Moral
32 Kamis, 17 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya SKB, Solusi atau Kebingungan
33 Kamis, 26 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Melawan Kejahatan Narkoba
34 Selasa, 10 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Gaji ke-13 dan Celaka 13
35 Selasa, 13 Mei 2008 Joglosemar - Soloraya Thomas, Uber, dan Kebanggaan Bangsa
36 Kamis, 24 April 2008 Joglosemar - Soloraya Kecurangan Ujian Nasional dan Air Mata Guru Jilid II ?
37 Kamis, 3 April 2008 Joglosemar - Soloraya PKB dan Ideologi Konflik
38 Kamis, 13 Maret 2008 Joglosemar - Soloraya Gizi Buruk dan Bayang-bayang Loss Generation
39 Sabtu, 23 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Guru yang Tidak Memihak Nasib Guru
40 Kamis, 14 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Kartu Pintar BBM, Solusi atau Proyek