NO WASTING TIME!

Minggu, 27 Juni 2010

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang by Parman Hanief

Dimuat di Harian Solopos Edisi Jum'at, 25 Juni 2010 , Hal.4

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang

Telah diyakini banyak peneliti bahwa antara Islam di Jawa dengan wayang memiliki hubungan yang demikian erat. Hubungan saling memengaruhi ini kemudian bermuara pada hasil gemilang Islamisasi.

Unik sekaligus mencengangkan. Unik dalam pengertian betapa yang jauh bisa didekatkan, antara wayang yang bersumber dari tradisi Hindu tetapi memberi manfaat dalam penyebaran dakwah (Islam). Mencengangkan dalam pengertian begitu cerdasnya para pendahulu dakwah di tanah Jawa ini dalam mengislamkan wayang.

Hal ini terbukti dalam satu fakta—di antara fakta lain—bahwa kita yang secara geografis jauh dari pusat Islam, tetapi begitu terbuka menerima Islam tanpa melalui penaklukan atau jalan kekerasan. Sehinggga, dari sejarah yang demikian dapat disimpulkan bahwa memang Islam di Indonesia memiliki stereotip tersendiri yaitu agung dengan toleransi!

Dalam hal wayang, begitu tampak ruh Islam yang mengalir tidak saja dalam penciptaan wujudnya tetapi juga karakter tokoh sampai pada penceritaannya. Kearifan cerita wayang dapat mendukung masyarakat kita untuk menerima dakwah dengan nyaman, khususnya kalangan awam. Mengapa demikian? Karena wayang seperti darah yang mengalir di tubuh alam bawah sadar masyarakat awam itu. Ketika dengan cermat pendakwah bisa menunjukkan bahwa hal tersebut sejalan dengan misi Islam, dengan rela hati mereka menerima konsep Islam itu sebagai kebenaran.

Pernyataan ini mungkin masih bisa diperdebatkan, tetapi sepanjang pengalaman penulis maka demikianlah adanya. Salah satu contoh ketika kita membahas hukuman mati. Islam jelas mengakui dan melembagakan ini sebagai media pendidikan umat menuju jalan terbentuknya masyarakat utama, tetapi kultur masyarakat kita memandang sebagai sebuah tindakan kejam yang tidak manusiawi. Bagaimana seorang pezina harus dirajam, pencuri dipotong tangan dan seterusnya, adalah gambaran kengerian yang kadang menimbulkan keraguan, demikiankah agama mengajarkan?

Cobalah kita ikuti cerita wayang ini. Dikisahkan, Maharesi Jamadagni telah menikah dengan Dewi Renuka. Perkawinan ini membuahkan lima orang putra, yaitu Rumawan, Susena, Wasu, Wiswawasu dan Rama Bargawa. Suatu hari, Dewi Renuka berbuat serong dengan Prabu Citrarata dari Kerajaan Martikawata. Meskipun penyelewengan ini dirahasiakan, karena ilmu tinggi yang dimilikinya, Begawan Jamadagni bisa tahu apa yang sudah terjadi.

Segera dipanggilnya kelima anaknya dan di hadapan mereka Dewi Renuka diminta mengakui perbuatannya. Setelah wanita cantik itu memberi pengakuan, Maharesi Jamadagni memerintahkan kepada Rumawan untuk membunuh ibunya sebagai hukuman. Anak sulung itu menolak perintah. Demikian pun adik-adiknya yang kedua, ketiga dan keempat; semuanya menolak. Karena penolakannya itu, mereka dikutuk menjadi gila.

Nurani

Sampailah perintah itu pada anak yang kelima. Bargawa menerima. Dengan senjata kapak, ia penggal kepala ibunya sebagai hukuman. Atas kesediaannya itu, ayahnya menawarkan sejumlah permintaan dan pasti akan dikabulkan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bargawa. Maka, Bargawa minta kepada ayahnya lima hal. Pertama, ia minta agar ibunya dihidupkan kembali. Kedua, agar semua dosanya (termasuk membunuh ibunya) diampuni. Ketiga, agar semua saudaranya yang telah menjadi gila kembali menjadi pulih seperti sedia kala. Keempat, agar mereka sekeluarga lupa atas peristiwa yang baru mereka alami. Kelima, Bargawa minta kesaktian yang tak tertandingi.

Semua permintaan itu dikabulkan. Kecuali permintaan kelima, Bargawa memang sakti dan tak tertandingi, tetapi kelak ia pun akan kalah jika berhadapan dengan manusia titisan Wisnu. Mari kita coba renungkan dan pikirkan sejenak. Bukan materi cerita yang kita renungkan. Tetapi pesan cerita itu yang menjadi hakikat penceritaan tentang perzinahan dan hukum mati.

Dalam Islam, telah jelas hukuman bagi pezina. Untuk kasus seperti cerita Dewi Renuka itu dalam terminologi agama disebut zina muhsan. Sebab, pelaku perzinahan telah bersuami. Hukuman bagi mereka adalah rajam sampai mati. Umar bin Khatab mengingatkan: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan hak, dan menurunkan kepada beliau kitab suci. Salah satu yang diturunkan adalah ayat tentang kewajiban rajam (melempar pezina yang telah kawin hingga meninggal). Kami telah membaca ayat itu dan memahaminya, dan Rasul SAW pun telah pernah merajam, dan kami pun demikian. Saya khawatir, bila masa berkelanjutan ada orang yang berkata, kami tidak menemukan hukum rajam dalam Alquran, sehingga ia sesat akibat mengabaikan kewajiban yang ditetapkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam adalah hak yang dijatuhkan terhadap siapa yang berzina baik lelaki maupun perempuan, apabila ia telah menikah dan jika bukti telah tegak, atau kehamilan yang disertai pengakuan. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir orang berkata Umar menambah sesuatu dalam Aquran, maka pasti aku menulisnya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain).

Menurut keterangan Quraish Shibab, ayat yang dimaksud Sayidina Umar tersebut adalah, “Lelaki yang telah kawin dan perempuan yang telah kawin, apabila mereka berzina, maka rajamlah mereka berdua secara pasti, akibat mereka telah meraih kelezatan (secara tidak syah)” (HR Ibn Hibban melalui Ubayy Ibn Ka’b).

Jika ayat tersebut atau hadis tersebut disampaikan begitu saja-–dan memang begitulah adanya, sesuatu yang hak lebih berhak disampaikan sebagaimana adanya—kelemahan jiwa manusia akan gelisah. Sebab akan membayangkan, seseorang yang dibenam ke dalam tanah sebatas leher, kemudian setiap orang yang lewat harus menderanya dengan melempar batu sampai seseorang tersebut meninggal. Kejam, darah dan betapa mengerikan hukuman itu. Belas kasihan memang anugerah, tetapi kelemahan manusia akan membawa belas kasih kepada apa yang akan dilihat dan sering melupakan sebab apa ia harus dijatuhi hukuman mati itu.

Di sinilah pertarungan nurani itu muncul. Padahal sesungguhnya, sebuah hukuman, sampai halnya hukuman mati, adalah hakikat kehidupan itu sendiri. Alquran menerangkan, “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). Bagaimana menerangkan hakikat ini kepada masyarakat awam?

Saya pikir, kisah Dewi Renuka tersebut adalah sebuah kearifan cerita wayang yang secara konkrit menggambarkan sesuatu yang abstrak bahwa dalam hukuman mati ada kehidupan! Renuka harus dihukum mati karena ia pezina muhsan, dan dengan demikian ia memperoleh kehidupan yang diwadakkan dengan permintaan putranya agar ibunya dihidupkan kembali. Masih banyak kisah kearifan wayang yang dapat kita gunakan untuk mengilustrasikan beberapa ajaran Islam dan dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.

- Oleh : Parman Hanief Pemerhati budaya Direktur SDIT As Salamah Baturetno Wonogiri

0 komentar: