NO WASTING TIME!

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mewujudkan Kemandirian Pangan

Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 16/10/2010

Oleh Sutrisno
Pemerhati pertanian, guru di SMPN 1 Wonogiri

Tanggal 16 Oktober, diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day/HPS). Peringatan HPS Ke-30 Tahun 2010 diselenggarakan di Kebun Puyung, Kabupaten Tengah, Nusa Tenggara Barat. Adapun tema HPS 2010 adalah “Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan.”

Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan, 840 juta penduduk dunia mengalami kelaparan dan kurang gizi. Dari jumlah ini, sekitar 214 juta atau 26 persen mengalami konsumsi kalori amat rendah sehingga tidak mampu bekerja atau mengurus diri sendiri. Sekurang-kurangnya 50 persen penduduk rawan pangan adalah petani miskin di negara berpendapatan rendah dan mengelola lahan marjinal yang penuh risiko, 22 persen adalah masyarakat desa miskin yang tidak memiliki lahan, 20 persen masyarakat miskin perkotaan, serta 8 persen sisanya adalah peternak, nelayan, dan masyarakat perambah hutan.

Sekitar 50 juta sampai 1 miliar petani terperangkap kemiskinan (poverty trap), sehingga mereka tidak mungkin mengadopsi teknologi untuk memperbaiki produktivitas dan amat terisolasi dari pasar. Karena itu, amat diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi pangan di daerah yang berisiko lingkungan tinggi dan terpencil. Juga diperlukan upaya membuka lapangan kerja di luar perdesaan, termasuk agroindustri. Ini merupakan masalah global yang pelik sebab target Millennium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan 50 persen tahun 2015 sulit tercapai.

Sumber daya lahan merupakan aset yang paling vital dalam rangka pengadaan dan peningkatan produksi pangan. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa lahan yang tersedia dan yang dapat dipergunakan untuk pengadaan pangan sangatlah terbatas. Tanpa lahan yang cukup, produksi pangan akan sulit ditingkatkan sehingga persoalan kekurangan pangan akan tetap menjadi sebuah tragedi yang tak bisa dielakkan dan memilukan.

Tantangan pemerintah dalam pengadaan pangan selama ini, bukan saja terbentur pada faktor ketersediaan lahan subur yang terbatas, bahkan terus berkurang akibat proses alih fungsi dari semula lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, melainkan masih terdapat sederet permasalahan lain yang menjadi penyebabnya.
Upaya yang optimal dalam rangka memberdayakan lahan yang ada teramat sulit diwujudkan. Para pakar di bidang pertanian tidak mudah menemukan dan menerapkan varietas atau kultivar pangan unggul dengan tingkat produksi yang berlipat ganda. Serangan hama dan penyakit yang senantiasa mengancam aneka komoditas pangan setiap saat sangat sulit dikendalikan.

Demikian pula perubahan iklim yang tak menentu dan terjangan bencana alamm, adalah sederet penyebab nyata sulitnya meningkatkan produksi pangan pada posisi yang betul-betul mantap dan berkesinambungan selama ini. Terbatasnya sumber daya lahan bagi kepentingan pengadaan pangan dan bertambahnya jumlah penduduk menjadi tantangan serius bagi pemerintah.

Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri akibat peningkatan penduduk dihadapkan pada berbagai persoalan seperti infrastruktur perdesaan yang sangat minim, dan pemilikan lahan pertanian yang sempit. Produksi pangan yang dihasilkan oleh sekitar 21 juta rumah tangga petani berlahan sempit mempunyai aksesibilitas terbatas pada sumber permodalan, teknologi dan sarana produksi, sangat sulit untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi oleh pemerintah.

Kemandirian pangan masa depan harus dipenuhi terutama melalui perbaikan produktivitas. Saat ini masih terdapat kesenjangan antara produktivitas potensial dengan aktual di berbagai tempat, terutama di luar Jawa. Ke depan, diperlukan revolusi bioteknologi untuk memperbaiki sifat genetika guna meningkatkan produktivitas.

Lumbung Pangan
Namun demikian negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus mampu mandiri dalam bioteknologi tersebut, sesuai dengan kondisi lokal guna melepas ketergantungan terhadap benih yang saat ini dimonopoli oleh para pengusaha multinasional dengan harga mahal. Upaya-upaya tersebut harus disertai dengan investasi dalam perbaikan infrastruktur perdesaan, akses modal, peningkatan produktivitas di lahan-lahan marjinal, perbaikan mutu, gizi, perbaikan kualitas lahan dan irigasi, rekayasa bibit unggul, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, modernisasi pascapanen, budidaya kian hemat lahan, input dan air, serta riset.
Dimasyarakatkannya program diversifikasi (penganekaragaman) produksi pangan secara nyata juga akan ikut mendukung berhasilnya upaya mewujudkan ketahanan pangan. Tidak hanya di tingkat masyarakat namun juga secara nasional. Dalam hal ini, pemerintah semestinya mampu memacu para petani dan peternak guna meningkatkan pengelolaan sumber daya lahan yang ada melalui intensifikasi dan diversifikasi.

Untuk meningkatkan kemandirian pangan di masyarakat, pengembangan lumbung pangan (lumbung desa) merupakan salah satu pilihan terbaik dan patut dijadikan harapan bagi pemerintah. Lumbung desa sebagai lembaga pengelola simpan pinjam gabah di desa misalnya, akan merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat desa untuk sumber mencukupi kebutuhan pangan, terutama saat paceklik atau kebutuhan yang mendesak.
Peran aktif masyarakat perdesaan dalam rangka mengembangkan cadangan pangan melalui lumbung desa bisa diharapkan akan mendukung mantapnya ketersediaan dan ketahanan pangan dalam skala nasional. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa dan rumah tangga yang nyata untuk mewujudkan ketahanan pangan, tentunya pemerintah perlu memperhatikan dan mengembangkan serta menggairahkan kembali kehadirannya dengan penanganan yang lebih profesional.

Memang, demi terwujudnya kemandirian pangan yang mantap dan dinamis, pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri. Pemerintah harus berkoordinasi secara lintas sektor dan lintas departemen serta masyarakat luas, agar mereka benar-benar mampu berpartisipasi mewujudkan kemandirian pangan. (***)

0 komentar: