NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Minggu, 04 Desember 2011

The Outline of First Semester Test, Grade VII

The Outline of First Semester Test, Grade VIII

The Outline of First Semester Test, Grade IX

Selasa, 25 Oktober 2011

Mendidik Karakter Bangsa

Dimuat di Harian Suara Karya / Selasa, 25 Oktober 2011

Oleh Sutrisno

Aksi kekerasan, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan, tidak jarang, ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu dilakukan dengan menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tidak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.

Dalam kondisi bangsa semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Sehingga, keluaran (hasil akhir) pendidikan benar-benar menjadi sosok yang "utuh" dan "paripurna", yakni pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

Dalam konteks kebangsaan saat ini, pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa sangatlah tepat. Sebuah gagasan yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa.

Pada banyak momen kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tidak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Semua sadar bahwa perubahan dan pergeseran nilai yang dialami bangsa ini tidak lepas dari modernisasi dan globalisasi yang tiap hari terus menyerang dari segala arah. Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sudah sedemikian canggih, pembatasan akses melalui model konvensional tidak akan berjalan efektif. Oleh karena itu, cara terbaik adalah melalui penyadaran diri tentang segala hal yang terkait dengan tatanan sosial melalui internalisasi nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya ke dalam diri setiap anak bangsa, agar kelak mereka menjadi manusia unggul. Yaitu, manusia yang mampu berpikir global tetapi tetap berperilaku dan bertindak sesuai nilai dan norma di mana dia berada.
Menyikapi karakter bangsa ini yang semakin merosot perlu menjadi perhatian kita, upaya membangun dan mengembangkan pendidikan karakter bangsa menjadi sangat urgen dan penting. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus pada pembinaan hati nurani dengan penanaman kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya.

Setiap elite kepemimpinan nasional, termasuk para tokoh organisasi sosial dan organisasi politik, hendaknya peduli terhadap apa yang kita sebut sebagai pendidikan untuk membentuk watak bangsa ini. Pendidikan karakter bangsa dimaksudkan agar semua elemen masyarakat memiliki kesadaran sebagai bangsa plural dan multikultural yang berbasis pada religiositas, nasionalisme, dan kebangsaan. Pendidikan karakter bangsa diarahkan agar masyarakat Indonesia mencintai negara dan bangsanya.

Pendidikan karakter bangsa memiliki prinsip mendasar. Pertama, prinsip religiositas, yaitu prinsip ketauhidan yang dapat diimplementasikan dalam konsep ibadah dan akhlak yang merupakan prinsip dasar dalam setiap agama. Kedua, prinsip kebangsaan, yaitu penegakan dan pelestarian Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan kebinekaan. Pilar kebangsaan ini menjadi sangat penting di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang kian kompetitif. (Nur Syam, 2010)

Lantas, dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa? Hal ini bisa dimulai dari pendidikan informal dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter sedini mungkin. Keluarga harus menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter. Karakter dapat ditumbuhkan dari sikap keteladanan seseorang yang menjadi cerminan bagi orang lain.

Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai pilar kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat urgen, penting, dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan secara kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Mari wujudkan bangsa yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas yang terlanjur terkontanimasi berperilaku tidak jujur, menjadi manusia jujur sesuai cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi. ***

Penulis adalah guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal Laweyan, Solo.

Menggapai Ketahanan Pangan

Dimuat di Harian Joglosemar / Selasa, 18 Oktober 2011

Oleh Sutrisno

Krisis ekonomi dan utang di Eropa dan Amerika Serikat membuat investor serta sektor swasta jantungan dan gemeteran. Beberapa negara yang bergejolak akhir-akhir ini salah satu pemicunya karena kenaikan harga pangan yang tajam. Oleh karena itulah, sangat tepat tema Hari Pangan Sedunia (World Food Day//HPS) tahun 2011 di Indonesia yakni “Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional”.

Di tengah berbagai isu besar yang menyita perhatian, seperti penyelesaian kasus Century, pemberantasan mafia hukum, markus, kasus KPU, dan pemberantasan korupsi, pemerintah seharusnya tidak mengabaikan tren gejolak harga pangan dunia harus terus diwaspadai. Negara-negara maju selalu menempatkan stabilitas harga kebutuhan pokok rakyat sebagai prioritas tertinggi.

Bagi AS, misalnya, kasus harga pangan tidak normal dimasukkan ke dalam daftar 10 besar kekhawatiran keamanan nasional. Bahkan, badan intelijen mereka, CIA, secara hati-hati mengamati harga pangan global. Di negara-negara kunci pangan lainnya, seperti Rusia, Tiongkok, dan India, intelijen dan semua aparat negara terkait mengawasi pangan dengan ketat. Pemerintah-pemerintah itu mulai mengambil langkah-langkah drastis untuk menjaga pasokan makanan, seperti melarang ekspor makanan atau meningkatkan subsidi produksi lebih luas.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki konsep yang mendasar mengenai pengamanan kebutuhan pokok masyarakat. Termasuk peran negara dalam melunakkan mekanisme pasar yang berlebihan, demi kepentingan rakyat. Sudah ada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 yang mengatur penyediaan barang kebutuhan pokok. Anehnya, tidak pernah lepas dari masalah sembako yang pasoknya sering menghilang atau, kalau tidak, harganya melonjak.

Menurut pengamatan saya, setidaknya ada dua faktor yang menjadi sumber masalah, yakni lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi negara alias para pembantu presiden di bidang ekonomi berikut para staf ahlinya; serta keengganan melihat keluar (outward looking) untuk mengalkulasi peluang dan besar-kecilnya risiko. Dua faktor ini bukan hal baru. Pada hakikatnya justru menjadi kelaziman, sehingga pengimplementasiannya tak lagi memerlukan instruksi atau perintah khusus. Setiap pemangku jabatan berakal sehat menyadari hakikat dan urgensi koordinasi, karena pekerjaannya akan mulus jika dia melakoni semangat saling ketergantungan dengan bijak.

Gejolak harga kebutuhan pokok yang tak terkendali mengingatkan kita bahwa ketahanan pangan kita sangat memprihatinkan dan rapuh. Indonesia sebagai negeri agraris, dengan lahan yang subur dan luas, tetapi masih banyak mengandalkan hasil pertanian dari luar negeri. Sehingga begitu harga di pasar internasional naik, maka kita pun kelimpungan mengikutinya.

Laporan bertajuk OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016 menyebutkan, dalam waktu sepuluh tahun ke depan akan terjadi perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. Menurut Direktur Jenderal FAO Dr Jacques Diouf, kondisi tersebut merupakan resultan naiknya permintaan pangan, pesatnya pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging countries (Brazil, India, dan Tiongkok), terjadinya perebutan bahan pangan untuk pengembangan biofuel, serta turunnya pasokan komoditas pangan akibat pengaruh perubahan iklim.

Bagaimana agar ketahanan pangan bisa dicapai? Pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi pada komoditas yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Perlu adanya pemberian bibit unggul, baik untuk padi, kedelai, cabai, atau yang lain. Rangsangan juga bisa dilakukan lewat pemberian kredit berbunga rendah. Bisa juga berupa jaminan pasar, karena selama ini banyak kasus ketika terjadi panen raya harga komoditas anjlok, sehingga petani harus tekor. Langkah lain adalah dengan memberikan subsidi harga pada petani. Subsidi ini jamak terjadi, bahkan di Amerika maupun Jepang.

Menurut perhitungan Bappenas, BPS, dan UNDP, jumlah penduduk Indonesia tahun 2025 diproyeksikan 273,7 juta jiwa. Jumlah tersebut naik 67,9 juta jiwa dari jumlah penduduk tahun 2000 sebanyak 205,8 juta jiwa. Angka harapan hidup penduduk Indonesia diprediksi meningkat dari 69 tahun pada tahun 2000 menjadi 73,7 tahun pada 2025. Artinya, usia manusia Indonesia semakin panjang.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan, penyediaan bahan pangan menjadi berlipat dari jumlah sekarang. Kita tidak mungkin selamanya menggantungkan bahan pangan dari impor. Pada 2025 nanti diperkirakan pola pangan penduduk Indonesia belum banyak bergeser dari beras. Komoditas pangan ini merupakan sumber karbohidrat paling murah, mudah diproduksi dan cocok dengan selera penduduk Indonesia. Permasalahannya, produksi bahan pangan berupa beras sangat erat kaitannya dengan penyediaan lahan basah produktif.

Oleh karena itu, diperlukan upaya terobosan untuk mewujudkan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan basah dan 15 juta hektar lahan kering sebagaimana diprogramkan dalam Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tersebut. Salah satu cara adalah dengan merevitalisasi pekarangan dan memanfaatkan lahan-lahan rawa yang luasnya di seluruh Indonesia mencapai 23 juta hektar. Hal ini perlu ada upaya dan kerja keras dari semua stakeholder untuk merealisasikannya. Peningkatan akses penduduk miskin terhadap pangan tidak harus terhenti pada jargon di atas kertas.

Dalam menghadapi permasalahan ketahanan pangan, pemerintah perlu berkoordinasi dengan daerah, terutama dalam mencegah adanya konversi lahan pertanian. Masyarakat pun perlu lebih meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut, dan lain-lain), tanaman pohon (sukun dan sagu), serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dan lain-lain), yang juga dapat diproses menjadi tepung, yang bisa tahan lebih lama, dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin, serta lebih fleksibel pengolahannya.

Selanjutnya, melalui percepatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk bioteknologi dan rekayasa genetika di bidang pangan diharapkan dapat dihasilkan produk pangan yang meningkat dan berdaya saing tinggi. Dengan melihat besarnya peningkatan produksi pangan yang kita butuhkan, maka upaya peningkatan produksi itu perlu ditempuh melalui semua cara yang tersedia, baik intensifikasi, ekstensifikasi, rekayasa genetika, maupun diversifikasi pangan. Keempatya perlu dilakukan secara arif.

Persaingan hidup antarbangsa, antaranggota masyarakat, dan antarindividu yang semakin tinggi tidak dapat dielakkan. Dalam suasana yang seperti itu, yang harus kita lakukan sebagai suatu bangsa adalah terus-menerus melakukan peningkatan produktivitas dan kualitas produk-produk kita, membangun daya saing yang semakin tinggi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selasa, 18 Oktober 2011

Menggapai Ketahanan Pangan

Published by JOGLOSEMAR on October 18th, 2011

Anda Pemarah???

Beberapa sarannya untuk mengurangi marah adalah

1. Buatlah peta kebencian

Untuk
lebih mengerti diri sendiri dan kemarahannya, catatlah dengan teliti
tiap hari pikiran dan perasaan marah yang muncul. Dari dongkol
kecil-kecilan sampai kemarahan yang hebat. Catatlah kapan, mengapa,
bagaimana pikiran dan perasaannya serta apa saja yang menimbulkan
amarah itu. Catatan ini perlu sebagai pola, agar tampak soal apa saja
yang menjadi biang kerok kemarahannya, kapan terjadinya, dan di mana.
Dan apa akibat kemarahannya. Tiap malam catatan ini dinilai kembali dan
dipikirkan cara apa yang lebih baik dilakukan, dan adakah kemajuan jika
diperbaiki.

2 Uji kembali pikiran yang menimbulkan marah

Kalau
Anda memaki-maki di sepanjang jalan yang macet, hasilnya jalanan tetap
macet. Yang bertambah adalah “racun arsenik” dalam tubuh Anda. Tambah
besar dan lama marahnya tambah berat dampak negatif buat diri Anda,
juga buat orang yang duduk di samping Anda.

Ujilah
pikiran dan perasaan Anda, buat apa marah-marah di jalan macet,
bukankah lebih baik memutar kaset dan ikut bernyanyi? Buat apa anak
dimarahi sebab bajunya kena saus tomat. Itu kan lumrah, namanya juga
anak kecil. Untung sendoknya tidak tertelan.

3. Stop

Ini
adalah model Ornstein. Kalau merasa darah sudah naik ke kepala,
sebutlah: Stop. Perlahan-lahan saja kalau di restoran, boleh keras
kalau lagi sendiri. Ini akan mengingatkan si pemarah untuk banting
setir, jangan teruskan jalan penuh ranjau itu. Lalu alihkan pikiran ke
yang lebih produktif. Daripada memarahi anak yang akan ujian, lebih
baik doakan agar ia berhasil. Daripada melotot dan teriak karena rumah
harum karena kue, lebih baik mencoba kue itu dan peluklah sang istri
yang rajin itu.

4. Alihkan perhatian Anda

Thomas
Jefferson bilang, bila Anda marah berhitunglah dari satu sampai sepuluh
sebelum bercakap. Kalau sedang marah sekali, hitung sampai seratus.
Kalau benci pada tokoh politik yang sedang kampanye di layar televisi
dan kuping terasa panas karena marah, alihkan saja televisi ke saluran
lain. Atau berdirilah, makan jeruk dulu di meja makan.

5 Relaksasi

Cari
posisi beristirahat yang enak, tarik napas panjang yang dalam. Tambah
banyak tambah baik dan pikirkan hal-hal yang menyenangkan.

Atau
sebut kata: “tenang-tenang- tenang” berulang kali dengan tarikan napas
panjang. Bagi yang religius lebih mudah, sebab dapat berdoa atau
shalat, ini sangat menenangkan.

6. Belajar mendengarkan

Kekurangan
dari orang pemarah adalah sangat sukar untuk mendengarkan pendapat
orang lain sebab ia merasa pikiran dan pendapatnya adalah yang paling
baik. Sikapnya yang sinis dan siap menyerang tiap pendapat orang lain
yang dicurigai sebagai buruk, membuat dia “tuli” pada kebenaran lawan
bicaranya.

Marah (angry) boleh, tetapi jangan menjadi orang yang mempunyai sifat pemarah (anger).


from many sources

THE SPECIFICATION OF 1ST MIDTERM TEST, GRADE VIII

Rabu, 05 Oktober 2011

Penguatan Jati Diri TNI

Pada 5 Oktober 2011, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan hari jadinya yang ke-66. Momentum ini sejatinya diparadigma sebagai kesempatan akselerasi reformasi internal baik dalam struktur, kultur maupun doktrin. Salah satu wacana klasik nan kritis seputar reformasi TNI adalah penguatan jati diri sebagai Tentara Profesional sesuai amanat Pasal 2 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Profesionalisme TNI dalam defenisi yuridis normatif telah menunjukan perkembangannya khususnya dalam aspek depolitisasi militer dan supremasi sipil atas militer. Depolitisasi TNI nyata dalam fakta empiris mundurnya TNI aktif dari panggung politik legislatif sejak Pemilu 2004 serta pemisahan TNI dan kepolisian (Polri) dan pembagian tugas yang jelas. Sementara supremasi sipil atas militer terbukti dari dipangkasnya kekuasaan independen militer yang harus tunduk kepada kebijakan politik sipil serta diserahkannya Departemen Pertahanan di bawah kendali seorang pejabat menteri sipil.

TNI yang profesional berarti prajurit TNI dituntut untuk memiliki kemampuan yang andal dalam melaksanakan fungsi pertahanan. Pewujudan profesionalisme itu tentu harus didukung anggaran kesejahteraan yang memadai. Postur kekuatan TNI (khususnya jumlah personel dan alat utama sistem persenjataan) dirancang agar kondusif menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Kemampuan prajurit TNI yang profesional dibentuk melalui program pembinaan doktrin, pendidikan dan latihan serta didukung modernisasi alat utama sistem persenjataan. Demikianlah kondisi ideal yang harus dipenuhi, bila TNI benar-benar ingin profesional dalam melaksanakan tugas.

Membentuk TNI yang profesional dan dedikatif yang menjadi tekad TNI tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pengaruh dari sistem dan dinamika perpolitikan nasional. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan TNI dengan jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional untuk selalu dapat dicerminkan dalam pola pikir dan pola tindaknya.

Ahli filsafat Clausewitz menyatakan bahwa perang diselenggarakan oleh tritunggal antara pemerintah, militer, dan rakyat. Pemerintah menetapkan tujuan politik, militer menyiapkan diri sebagai sarana mencapai tujuan politik, sedangkan rakyat sebagai pendukung perang. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan berpengaruh pada perang itu sendiri. Oleh karenanya, pemberian otoritas kepada militer untuk melaksanakan keputusan politik haruslah merupakan jalan terakhir yang sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan secara matang.

Sejalan dengan pandangan tersebut, TNI memiliki garis pembatas yang sangat tegas dalam ranah politik. Selaku alat negara, maka politik TNI adalah politik negara, bukan politik kelompok atau politik partai. Hal ini jelas menuntut agar TNI senantiasa mengedepankan profesionalisme dalam mengimplementasikan perannya sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Dinamika politik yang sarat dengan kepentingan dan kecenderungan tarik-menarik antarelite politik harus dapat disikapi secara arif untuk menghindari keterjerumusan TNI pada situasi pelik.

Oleh karena itu, TNI harus selalu berpegang teguh pada prinsip untuk menempatkan kepentingan negara di atas segala kepentingan demi menjaga tetap kokohnya persatuan dan kesatuan. Mengambil posisi netral di antara seluruh partai politik. Di sisi lain reformasi TNI harus segera dituntaskan.

Sejak pemisahan TNI dan Polri serta keluarnya UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang TNI, secara legal dan politik, kebijakan reformasi TNI telah menunjukkan kemajuan signifikan. TNI harus menjadi profesional, tidak berpolitik, tidak memegang jabatan publik, dan tidak boleh berbisnis. UU TNI juga menyatakan, dalam hal pelanggaran tindak pidana TNI tunduk pada peradilan umum. Bisnis-bisnis TNI juga akan diambil alih pemerintah dalam waktu lima tahun sejak berlakunya UU TNI tahun 2004.

Namun demikian, akhir-akhir ini beberapa kalangan menyoroti reformasi TNI yang dinilai kian melemah. Masalah keruwetan reformasi TNI sebenarnya terletak pada aspek implementasi yang melibatkan tiga pihak (stakeholders) yang saling terkait, yaitu Pemerintah, TNI, dan Masyarakat. Jika reformasi TNI melemah, kita tidak bisa langsung menyalahkan TNI. Konsolidasi otoritas politik di legislatif, eksekutif, dukungan partai politik, dan masyarakat sipil untuk melaksanakan reformasi harus terus dilakukan. Jalan panjang reformasi TNI harus ditempuh untuk profesionalisme TNI dan kehidupan politik yang demokratis (Edy Prasetyono, 2007).

Dalam kerangka reformasi TNI, TNI memerlukan pemahaman kembali jati dirinya sebagai prajurit Sapta Marga. Untuk itu, berbagai jalan agar ditempuh. Misalnya, meningkatkan harga diri profesionalnya dengan mengembangkan mutu dan kecakapan keprajuritan secara profesional, termasuk latihan-latihan dan penguasaan atas persenjataan modern. Hal-hal itu sekaligus untuk menunjang harga diri dan makna profesionalnya. Pemahaman perihal ilmu pertahanan dan kemiliteran diperlukan oleh profesinya dan sekaligus akan memperkuat harga dirinya. Semua itu akan bermuara pada kebanggaan profesinya sebagai prajurit dan kesadarannya untuk melindungi dan membela Tanah Air.

UU No 34/2004 tentang TNI masih butuh penyempurnaan. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Implementasi prinsip-prinsip good governance ini dapat dijadikan titik awal menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Namun yang lebih penting adalah keterlibatan semua pihak untuk menjaga TNI commited terhadap agenda reformasinya melalui kritik-kritik konstruktif.

Sekarang ini, yang diperlukan TNI justru membangun diri menjadi kekuatan pertahanan yang solid, profesional, modern dan komitmen pada politik negara. Agenda yang paling mendesak adalah memperbaiki teknologi, alutsista, dan kualitas personel, dan kesejahteraan anggota TNI. Kiranya, misi besar ini menjadi agenda utama TNI. Maka, sangat dibutuhkan dorongan semua pihak agar agenda besar itu bisa dituntaskan dengan baik. Dirgahayu TNI.

*) Sutrisno
Penulis adalah, Pemerhati masalah bangsa

Dimuat di Koran Jakarta | Selasa, 04 Oktober 2011

Selasa, 27 September 2011

Sertifikasi dan Profesionalisme Guru



Adakah korelasi antara sertifikasi guru dan mobil baru? Secara konsep tentu tidak ada. Sertifikasi merupakan program untuk meningkatkan kualitas guru. Namun faktanya berbeda. Di Kota Semarang, guru-guru yang lolos sertifikasi punya mobil, motor, dan rumah baru. Muncul kesan orientasi materi, sekadar kemasan, bukan isi.
Sejak bergulir empat tahun lalu, program ini menuai krirtik dari banyak pihak. Selain kecurangan dalam penyiapan portofolio, juga menjadi lahan baru praktik pungutan. Kasusnya hampir merata di semua daerah, tidak hanya yang sekarang ramai di Wonogiri (Suara Merdeka, 12/9/2011).

Sertifikasi guru merupakan tindak lanjut dari usaha mewujudkan amanat dari UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Tujuan utama dari sertifikasi guru itu adalah meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional, dan meningkatkan kesejahteraan guru.

Berkaitan dengan sertifikasi guru, ini yang dilakukan, banyak tuntutan perubahan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Hal ini mulai dari beban mengajar guru, yang selama ini rata-rata beban mengajar guru berkisar antara 10 sampaidengan 20 jam tatap muka perminggu, setelah sertifikasi guru wajib mengajar minimal 24 jam tatap buka perminggu; perencanan pelaksanaan pembeiajaran yang selama kurang lebih sebagai kelengkapan administrasi, harus diubah menjadi pedoman pelaksanaan proses pembeiajaran; pelaksanaan proses pembeiajaran selama ini kurang terukur dengan baik, sekarang betul-betul harus profesional, terukur, dan mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan demikian, baru tujuan yang menjadi tumpuan harapan yang dinginkan lambat laun, tetapi pasti, dapat diwujudkan.

Muncul pertanyaan, apakah dengan pemberian tunjangan sertifikasi, profesionalisme guru juga menyertainya atau dapat terwujud? sertifikasi guru yang telah berjalan sejak 2007 silam dan mengundang banyak kritik karena dinilai tidak mencapai sasaran yakni menghasilkan guru yang kompeten dan profesional.

Apalagi sertifikasi guru masih menggunakan asesmen portofolio, di mana para guru diminta mengumpulkan berbagai ijazah maupun sertifikat pelatihan untuk kemudian diperhitungkan untuk diganjar dengan sertifikasi profesi guru. Sementara asesor yang bertugas menilai portofolio tersebut, menghadapi ratusan, bahkan ribuan portofolio yang harus dinilai. Akibatnya verifikasi ulang mengenai keabsahan dokumen yang dikumpulkan oleh guru menjadi amat minim.

Ditengarai sistem yang menggunakan penilaian portofolio malah membuat sebagian guru mengada-adakan berbagai sertifikat yang diperlukan guna memenuhi kredit dalam penilaian. Tak jelas apakah sertifikat yang dikumpulkan itu benar-benar ia yang memperoleh. Atau jika benar ia mengikuti kegiatan tersebut, apakah lantas kompetensi guru langsung meningkat.

Ketika sertifikasi adalah kepentingan pribadi guru yang bersangkutan, maka mereka sibuk menyiapkan persyaratan yang justru mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai agen pembelajaran, yang semestinya tidak hanya mentransformasikan ilmu dalam bobot mata pelajaran yang diasuhnya kepada peserta didik semata. Akan tetapi, lebih dari itu, membina, membimbing serta memonitoring peserta didik untuk kesempurnaan pencapaian target afektif, kognitif dan psikomotorik. Ironis memang, cara yang demikian dikatakan meningkatkan kompetensi dan profesional guru.

Program sertifikasi ternyata tidak semulus yang diharapkan. Guru malahan mengedepankan "mental menerabas" untuk meraih sertifikasi. Ujung-ujungnya hanya mengejar materi dan mengesampingkan tugas mulia sebagai guru. Guru lebih memikirkan tunjangan sertifikasi untuk memenuhi kebutuhan hidup ketimbang mewujudkan profesionalisme guru.

Tunjangan profesi guru kecenderungannya baru dibelanjakan untuk peningkatan status sosial, seperti membeli mobil dan motor baru, merenovasi rumah, dan membiayai sekolah anak-anak. Ada juga yang dibelanjakan buat memenuhi hasrat akan konsumerisme, membeli barang-barang pencetus keinginan, seperti pakaian, sepatu, parfum, dan aksesori, di mal.

Belum ada gelagat signifikan tunjangan profesi dibelanjakan buat membeli komputer jinjing, modem, buku-buku, dan berlangganan surat kabar atau jurnal ilmiah. Langkah membelanjakan uang tunjangan buat studi lanjut atau pengembangan diri juga belum kelihatan. Kesejahteraan guru belum berbanding lurus dengan kegairahan mereka memenuhi perpustakaan atau toko-toko buku. Gereget mereka untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) guna peningkatan profesi belum signifikan. PTK baru dilaksanakan secara artifisial bila ada tuntutan syarat kenaikan pangkat (J. Sumardianta, "Signifikansi Tunjangan Profesi Guru", Koran Tempo, 11/9/2011).

Setelah tersertifikasi seharusnya guru benar-benar memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan profesionalitas. Indra Djati Sidi (2002: 38-39) menguraikan bahwa seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, yakni memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus-menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya.

Menjadi guru adalah sebuah panggilan. Belum pernah terdengar kabar di belahan bumi manapun bahwa profesi guru menjanjikan limpahan harta. Walaupun demikian profesi guru menduduki posisi yang terhormat, karena bagaimana tidak keberhasilan seseorang mencapai sukses dalam bidang apapun adalah berkat keberadaan guru. Oleh sebab itu saat memilih profesi guru niatkan dalam hati untuk terus belajar memperdalam ilmu pengetahuan dan ikhlas memberikan yang terbaik untuk anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran.

Di lain pihak, pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah perlu meninjau ulang kebijakannya di dalam mensejahterakan para guru, agar para guru dapat bekerja dengan tenang dan fokus pada tugas intinya mengantarkan anak didik menjadi pribadi unggul. Agar kualitas sumber daya manusia yang menjadi tiang pancang pertumbuhan sebuah bangsa yang terhormat, dapat segera terwujud.


Sutrisno
Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

Dimuat di Koran Jakarta / Senin, 26 September 2011

Senin, 29 Agustus 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H



Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Taqaballahu Minna Wa Minkum...Taqobbal Ya Karim. Minal Aidzin Walfaizin. Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT dan kita dipertemukan dengan Bulan Ramadhan tahun depan dengan lebih baik lagi. Amin.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Parsel, Suap Terselubung?



Setiap menjelang Lebaran, selalu muncul kontroversi soal parsel, yakni bolehkah para pejabat negara menerima atau mengirim parsel? Parsel biasanya berupa bingkisan yang dibungkus dengan sangat indah. Isinya bisa macam-macam. Dari makanan kaleng, pakaian, perabot rumah tangga, kristal, vaucer belanja di mal-mal tertentu, cek, hingga kunci mobil. Tidak lupa disertakan pula kartu nama si pengirim selain ucapan selamat Idul Fitri. Pemberian parsel sesungguhnya sah-sah saja.

Persoalannya, siapa yang bisa menjamin adanya ketulusan yang lahir dalam hati nuraninya pemberi. Siapa yang bisa menjamin niatnya tulus tanpa ada harapan di baliknya. Apalagi pemberian parsel itu dilakukan oleh orang tertentu yang ingin mendapatkan imbalan tertentu. Katakanlah, seseorang bawahan yang hendak menduduki jabatan tertentu, maka ia akan datang mengunjungi pejabat yang berwewenang di dalamnya sambil membawa parsel, atau dari si pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat departemen yang membawahi.

Demikian juga dengan seseorang yang perkaranya sedang dalam proses pengadilan, biasanya ia akan mengunjungi hakim atau jaksa dengan membawa parsel dalam berbagai bentuk sambil menitipkan sejumlah pesan. Praktik-praktik seperti inilah yang banyak terjadi di negara kita.

Parsel dalam jumlah tertentu dapat dikategorikan dalam pengertian suap. Terlebih belakangan ini bingkisan parsel sudah berubah wujud. Parsel tak hanya berwujud paket makanan dan minuman ringan, tetapi sudah berubah bentuk, mulai dari perlengkapan memasak, perlengkapan tidur, kristal, telepon seluler, yang nilainya bisa mencapai 10 juta - 20 juta rupiah.

Setiap pemberian parsel pasti dilandasi motif-motif (bisa positif maupun negatif) tertentu. Pemberian parsel yang dilakukan dengan motif agar si penerima parsel akan merasa berutang budi dan kemudian memberi semacam proyek setidaknya dapat dikategorikan bentuk uang sogok atau uang suap. Terlebih apabila jumlahnya cukup besar, bisa dipastikan merupakan bentuk suap terselubung, suap halus, suap tertutup.

Pemberian suap berarti praktik korupsi sudah terjadi. Maka, hal ini melanggar Pasal 12B UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diubah menjadi UU No 20/2001. Pasal itu menyebutkan yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan lain sebagainya, diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronika.

Ancaman pidana dalam ketentuan tersebut ditujukan kepada pemberi maupun kepada penerima. Apabila dalam kurun waktu 30 hari segera melaporkan kepada KPK tentang adanya upaya gratifikasi kepada dirinya oleh pihak tertentu, maka si penerima tidak dikenai pidana.

Apabila merujuk pada kultur pejabat di negeri ini, rasanya sangat sulit dipercaya jika dana yang digunakan untuk membeli parsel merupakan hasil usaha pribadi. Bukan pula tabungan yang disisihkan dari gaji bulanan yang diterimanya. Logikanya, pemberian parsel akan mempergunakan anggaran dan bukan tidak mungkin dengan praktik ilegal. Nah, dari sinilah kekhawatiran bahwa budaya parsel mengarah pada gratifikasi dan praktik korupsi itu menemukan konteksnya.

Yang menjadi perhatian bersama sebenarnya bukan pada benda yang namanya parsel. Parsel itu hanya satu bagian dari sejumlah bentuk budaya pemberian yang harus kita tolak. Intinya adalah menolak budaya gratifikasi dalam arti luas. Parsel dapat menjadi laknat apabila menjadi selubung yang halus untuk memperlancar kepentingan dan bisnis tertentu. Itulah parsel yang mencerminkan politik gratifikasi yang menyuburkan agenda korupsi.

Budaya parsel sebenarnya memiliki dampak negatif bagi pejabat negara. Budaya parsel potensial melahirkan kebijakan yang subjektif dan jauh dari nilai keadilan. Mereka yang berkirim parsel kepada pejabat publik akan selalu berharap agar kebijakan yang nanti dikeluarkan menguntungkan mereka. Tanpa kemampuan dan prestasi cukup, mereka berhasil memenangi "pertandingan" sebagai dampak dari hadiah yang dikirimkan. Kalau perlu tercipta hubungan yang istimewa melebihi "kompetitor-kompetitor" lainnya. Bagi pejabat publik datangnya parsel demi parsel telah menyulitkan mereka dalam mengambil kebijakan (Muhammad Haris, 2004).

Ada motivasi individu yang kuat bagi seseorang pengirim parsel. Dalam kerangka berpikir rational choice yang menerapkan metode behaviour, bahwa harus ditelaah motif di balik perilaku individu, baik pengusaha maupun aktor birokrasi dalam membuat keputusan dan impelementasinya. Asumsi utama pendekatan rational choice bahwa individu membuat pilihan tidak dapat melepaskan diri dari tujuan untuk mengejar kepentingan pribadi.

Diperkuat dengan Tulisan Grindle (1989:19) sebagaimana yang dikutip oleh Syarif Hidayat bahwa dalam upaya mewujudkan pencapaian berbagai tujuan individu, maka seseorang akan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan sumber daya yang dikontrol oleh pihak lain.

Selain itu, parsel bukan tidak mungkin dapat memberi kontribusi atas post power syndrom. Semangat hidup menguap, kreativitas macet dan menjadi sakit-sakitan gara-gara terbentuk pemahaman, parsel salah satu aksesori kekuasaan. Akibatnya, pasca tidak menjabat menjadi makin menderita karena tidak ada lagi parsel yang beranjangsana walau sudah open house.

Sebenarnya, budaya parsel bisa diarahkan sebagai bentuk kepedulian atasan kepada bawahan maupun kepedulian pengusaha kepada kaum tak berpunya. Parsel idealnya diberikan kepada kaum tak berpunya, tanpa mengenal identitasnya. Lebih baik lagi dalam bentuk santunan beasiswa bagi anak-anak mereka yang mengalami putus sekolah. Parsel juga bisa diarahkan sebagai bentuk kepedulian terhadap korban bencana. Bukankah ini lebih bermanfaat?


Penulis: Sutrisno SPd, pemerhati masalah bangsa

Jumat, 19 Agustus 2011

Kontroversi Parcel


Kontroversi Parcel

Oleh Sutrisno

Published in Suara Merdeka / Wedangan / Solo Metro / Kamis, 18 Agustus 2011

Setiap menjelang lebaran selalu muncul kontroversi soal parcel. Bolehkan PNS dan pejabat negara menerima atau mengirim parcel?

Tahun ini, sejumlah daerah di Solo Raya menerapkan kebijakan berbeda soal pemberian parcel. Solo, Klaten dan Boyolali melarang, sedangkan Sragen, Wonogiri dan Karanganyar mengikuti kebijakan Gubernur Bibit Waluyo yang tak melarang soal parcel.

Angin sepoi-sepoi menembus lewat lubang tenda wedangan Lik Warto. Tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi asyik jagongan. Kontroversi soal Parcel menjadi tema pembicaraan mereka.

‘”Kangmas, opo salah to kalau saya dapat parcel dari para kolega dan bawahan? Kan pemberian parcel sudah tradisi, apalagi para kepala daerah juga sering mendapat parcel?” tanya Ponijo, salah satu pejabat teras di Pemkab Wonogiri.

Sambil menepuk pundak Ponijo, Poniman berusaha menjawab.
“Soal parcel memang menjadi kontroversi. Simpulan akhir sulit diperoleh. Sebagian kalangan menilai, asal masih dalam batas-batas kewajaran, pemberian parcel adalah hal yang lumrah. Akan tetapi tidak sedikit yang menilai, dalam ukuran apapun bagi pejabat penyelenggara negara adalah tindakan yang tidak wajar.”

Ponijo manggut-manggut mendengar jawaban tersebut. Tapi masih ada ganjalan dalam pikirannya, “Benarkah pemberian Parcel Lebaran itu merupakan bagian dari korupsi?”
Ponidi terusik dengan pertanyaan Ponijo. Ia pun urun rembug.

“Memberi parcel adalah budaya yang baik. Namun hal yang baik itu (dalam bentuk kasus) tidak selalu berdampak baik. Ada celah yang bisa diselewengkan dan disalahgunakan,” kata dia.

Dalam perkembangannya, kata dia, pemberian parcel mengarah kepada praktik yang kurang baik (negatif). Sejumlah instansi mendesain anggaran, baik terbuka maupun terselubung, untuk biaya parcel.
Selain itu, pengiriman parcel berubah menjadi sebuah keharusan. Akibatnya, mereka yang nekat tidak melakukan justru akan mendapatkan sanksi sosial, atau bahkan (mungkin) ada yang mendapat sanksi struktural.

Bertransformasi

Jagongan wedangan malam tiga sekawan terus mengalir. Tangan poniman mencomot bakwan dan dua lombok lantas menimpali komentar Ponidi.

“Benar sampeyan kangmas Ponidi. Parcel yang pada awalnya bermakna sebagai bingkisan kekeluargaan telah bertransdormasi sebagai mesin yang melicinkan prilaku koruptif. Silaturahmi dan relasi-relasi sosial yang mampu diakrapkan melalui parcel ternyata telah disalahgunakan. Pada titik akhirnya, parcel justru berubah fungsi sebagai perangkat untuk menjalankan praktek gratifikasi.

“Oleh karena itu, larangan agar penyelenggara negara tidak menerima dan memberi parcel patut didukung. Apalagi, jika kita melihat realitas bahwa “tikus-tikus berdasi”, baik yang ada di pusat maupun di daerah, seperti tak pernah kekurangan akal untuk melakukan gratifikasi dan menggerogoti uang rakyat dengan berbagai macam modus, “imbau Ponidi.

Ponijo mengacungkan jempolnya pada Ponidi seraya berkata, “Top..Top, setuju..setuju, masyarakat luas diharapkan tidak ikut-ikutan memelihara tradisi buruk, dimana para penyelenggara negara seolah-olah wajib harus dihargai dengan cara memberi parcel”.

Sambil dehen-dehem Poniman nyeletuk, “Sebaiknya, kita membudayakan memberi parcel pada kaum miskin”. (26)

- Penulis guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo

Sabtu, 23 Juli 2011

Membebaskan Anak dari Pengaruh Televisi



Dimuat di Koran Sinar Harapan / Jum’at, 22-07-2011

Membebaskan Anak dari Pengaruh Televisi

Penulis : Sutrisno*

Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). HAN harapannya dapat dijadikan hari ketika anak-anak Indonesia bergembira merayakan terpenuhinya hak-hak mereka untuk tumbuh kembang dengan sehat dan bebas dari pengaruh buruk lingkungan.
Namun betulkah anak-anak kita terbebas dari pengaruh lingkungan seperti media massa dan terutama tayangan televisi? Penelitian Koalisi Nasional Hari Tanpa Televisi Tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia menonton televisi selama 3-5 jam sehari atau 30-35 jam seminggu.
Alokasi waktu untuk menonton televisi secara umum lebih banyak daripada kegiatan lain. Bagi sebagian anak, televisi adalah hiburan gratis. Bisa terjadi hampir sepanjang hari waktu mereka diisi dengan menonton tayangan televisi. Padahal, televisi dengan fungsi luhurnya sebagai media infotainment dan edutainment tergeser oleh dominasi tontonan hiburan yang kadang tidak edukatif.
Ketika televisi sekadar menyodorkan fakta dan tidak menaruhnya dalam sebuah frame seperti umumnya terjadi sekarang, televisi sebenarnya punya andil dalam proses pelapukan generasi penerus. Media Watch, sebuah lembaga riset media yang terbit di Jawa Timur (Mei 2005), melaporkan jumlah total tayangan anak selama 9-15 Mei 2005 mencapai 151,5 jam seminggu. Pada 2003, lembaga riset lain melaporkan jumlah tayangan anak mencapai 125 jam seminggu.
Peningkatan itu merupakan bukti anak sebagai konsumen potensial secara bisnis. Bagi penyelenggara stasiun televisi, niscaya tayangan acara untuk anak lebih mempertimbangkan kepentingan bisnis.
Kita lupakan dulu faktor isi. Kita berikan fokus pada hilangnya waktu belajar. Secara tidak langsung tontonan yang ditayangkan tanpa frame itu mereka santap. Bunyi dan gambar memengaruhi perkembangan kejiwaan anak. Anak yang disodori tayangan kekerasan, lagi-lagi tanpa frame, mengalami pembentukan opini kekerasan sebagai sesuatu yang biasa.
Terlebih lagi tayangan acara anak pun tidak ramah anak (kids friendly), tayangan televisi berdampak negatif bagi pembentukan kejiwaan mereka. Televisi mengkhianati misi luhurnya sebagai lembaga pendidikan. Bukan maksud kita memvonis televisi itu salah. Sebagai industri padat modal, sah-sah saja mereka mengejar segi finansial: agar segera balik modal, agar keuntungan finansial terus membesar.
Namun, dalam konteks fungsi media untuk ikut serta mencerdaskan bangsa, selayaknya kita ingatkan peran luhur itu. Yang bisa mereka sumbangkan adalah ikut serta dalam proses pembentukan generasi penerus, anak-anak kita, anak-anak mereka.
Mochamad Riyanto Rasyid (2011), salah seorang komisioner KPI Pusat menegaskan bahwa secara umum TV memiliki dampak, antara lain: Pertama, dapat merusak mental sekaligus pola pikir anak-anak. Anak balita yang sering menonton literasi media cenderung memiliki keterlambatan perkembangan kognitif dan bahasa dalam 14 bulan, terutama jika mereka sedang menonton program televisi yang diajukan untuk orang dewasa dan remaja.
Kedua, mengajarkan dan menanamkan budaya komersial atau konsumerisme dalam diri anak-anak. Ketiga, TV dapat berdampak negatif pada kesehatan badan. Keempat, TV tak jarang dapat melalaikan waktu bekerja, beribadah, dan melupakan kewajiban lainnya yang lebih penting. Kelima, mengganggu jam belajar anak, dan televisi juga menghadirkan dunia yang merupakan rekayasa hasil bentukan media berdasarkan konstruksi media itu sendiri.
Dalam sebuah artikel karya George Gerbner dan Kathleen Connolly berjudul Television as New Religion (1980) jelas disebutkan televisi sebagai surrogate parent maupun substitute teacher, sehingga para orangtua, guru, dan pemuka agama telah kehilangan peran mereka di hadapan anak-anak. Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton televisi lebih banyak dibandingkan saat berbagi peran dengan orang tua.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan anak-anak (usia 2 sampai 11 tahun) dalam seminggu bisa menonton televisi rata-rata 25 jam 10 menit, tetapi kajian seorang peneliti media yang belum dipublikasikan mempunyai data anak-anak di Jakarta bisa menghabiskan 36 jam.
”Rating”
Praktisi televisi komersial menempatkan rating sebagai sosok setengah dewa. Rating tinggi berarti iklan bakal mengalir. Inilah fakta di balik layar. Strategi program lebih mengutamakan pertimbangan ekonomi, baru menyusul alasan lain, seperti kecerdasan masyarakat dan perkembangan budaya.
Jadi kalau sudah bicara rating, jangan berharap banyak atas moral penonton. Pengelola televisi tak bertanggung jawab atas dampak dari tontonan. Celakanya sejumlah program televisi yang semestinya tidak ditonton anak-anak justru menjadi pilihan.
Mengutip pendapat Dedy N Hidayat, PhD, Ketua Program Pascasarjana Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia, “Sesungguhnya potret Indonesia di masa datang sebagian bisa diprediksi dari apa yg dikonsumsi oleh anak-anak kita melalui media, khususnya televisi”. Anak-anak harus kita bebaskan dari pengaruh tayangan televisi yang tidak mendidik dan berdampak negatif.
Untuk itu, para orang tua harus sungguh-sungguh memperhatikan kebiasaan anak di depan televisi. Rasionalitas orang tua sangat membantu anak-anak untuk memberikan daya tolak terhadap program televisi. Masalah tayangan televisi dan anak merupakan persoalan mendesak untuk ditangani. Ketidakpedulian pengasuh televisi, yang pada dasarnya cermin ketidakpedulian kita, perlu jadi kapstok.
Di tengah tali-temalinya persoalan, di tengah gencarnya tayangan televisi yang tidak diberi kerangka, kita sodorkan persoalan tentang jati diri lembaga pendidikan yang utama, yakni peranan orang tua dan keluarga. Benarlah pepatah, anak ibarat anak panah. Seberapa jauh dan ke mana arah anak panah melesat tergantung juga dari kekuatan kedua tangan orang tua melesatkannya.

*Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal di Solo.

Deskriminasi Difabel



Wedangan
Dimuat di Suara Merdeka / Solo Metro / D/ Kamis, 21 Juli 2011

Deskriminasi Difabel

Oleh Sutrisno

Di tengah malam disertai sembribit, tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi melangkah gontai menuju tempat tongkrongannya, wedangan tradisional. Mereka pun menggelar tikar duduk lesehan.
“Minum apa?” Lik Warto datang menghampiri dan bertanya.
“Kopi, jahe, dan the ginastel, yang hangat-hangat saja. Terus, gorengan yang komplit ya Lik! Ojo lalo jadah bakare!” pesan Ponijo lantas duduk selonjor.
“Kota Solo sekarang ini tambah cantik, megah dan moncer. Infrastruktur kota, telah tumbuh bak jamur musim hujan. Sarana publik pun juga makin diberdayakan. Kota Solo akan tampil sebagai Kota Metropolis bersaing dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia,” kata Ponidi mengawali jagongan lesehan.
“Tak salah kiranya panjenengan berkata begitu, namun dibalik semua itu, apakah semua elemen masyarakat Kota Solo sudah dapat menikmatinya tanpa ada diskriminasi sekecil apapun?” ujar Poniman yang asli Wong Solo.
Rupa-rupanya pernyataan Poniman cukup menggelitik telinga. Ponijo dan Ponidi pun menyilangkan kakinya pertanda ada yang serius dari jagongan itu. Minuman dan makanan yang dipesan pun telah tiba.
“Lho..lho..lho.., apa maksud Kangmas Poniman berkata: “tanpa ada diskriminasi” itu?” buru-buru Ponijo bertanya.
“Oh..itu. Maksudnya, di Kota Solo ini masih terjadi deskriminasi terhadap para penyandang cacat (kaun difabel). Kaum difabel adalah kelompok minoritas di Kota Solo. Wajar jika keberadaan mereka kurang direspon secara positif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Amereka sering mendapat perlakuan deskriminatif di berbagai aspek kehidupan, entah di bidang pendidikan, polotik, sosial, olah raga, budaya dan sebagainya. Lebih-lebih dalam hal aksesbilitas menggunakan fasilitas umum,” tutur Poniman sembari menyeruput kopi manis.
“Benar juga kata Kangmas Poniman. Di Kota Solo, diskriminasi kaum difabel begitu kentara. Buktinya, hak-hak kaum difabel belum terpenuhi dalam kebijakan Pemkot. Contohnya: dalam pembangunan Pasar Tradisional yang tak menyisakan akses jalan bagi kaum difabel, gedung, swalayan/mal, dan kantor yang tak ada akses untuk kursi roda, trotoar yang sudah tak bersahabat bagi tuna netra, shelter Batik Solo Trans (BST) yang tak bisa dinikmati difabel. Apalagi dalam transportasi belum ada kenyamana sama sekali,” Ponijo menimpali seraya mencomot bakwan dan lombok.
Betapa malangnya nasib kaum difabel itu. Sudah fisik dan fungsi anggota badan tak normal, perlakuan sosial oleh pemerintah dan masyarakat juga mengenaskan. Fenomena itu, tenta amat menyakitkan. Bukanah kaum difabel juga manusia yang menjadi cacat karena suratan Tuhan? Sangat tidak adil jika kita semakin menambah panjang daftar deritanya.
Angin malam kian terasa menusuk tulang. Poniman pun mengancingkan jaket untuk menahan dingin. “Itu artinya, Kota Solo tak ramah bagi kaum difabel. Padahal, di era 1970-an, surga kaum difabel. Patung orang buntung kaki di depan Pasar Sidodadi sekaligus menjadi pintu masuk sebelah barat Kota yang mestinya menjadi ikon Solo Kota ramah kaum dfabel seolah hanya menjadi patung tanpa makna,” keluh Poniman begitu sedih.
Hentikan Deskriminasi
Sambil meraih tahu susur di dalam piring, Ponidi bertanya: “Bagaimana menghentikan diskriminasi terhadap kaum difabel di Kota Solo?”
Sejenak Poniman mengerutkan dahinya dan tangannya ditempel menyangga kepala.
“Menurut saya, kaum difabel harus mendapat perlakuan yang sama layaknya dengan masyarakat normal lainnya. Apalagi, Kota Solo telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Warga Difabel, maka semua kepentingan dan hak kaum difabel harus diakomodasi dalam kebijakan Pemkot Solo”.
Tidak hanya kepentingannya, lanjutnya, kriteria kenyamanan dan standar keselamatan ruang publik bagi kaum difabel harus diutamakan. Kepekaan dan solidaritas terhadap kaum difabel harus terus digalang. Perlakuan manusiawi dan humanistis kunci pokok terwujudnya masyarakat yang peduli masa depan difabel. Sudah saatnya diciptakan kondisi yang membuat kaum difabel enjoy dengan kekurangannya. Kita menanti gebrakan Pak Jokowi untuk peduli terhadap kaum difabel.

- Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo.

Jumat, 17 Juni 2011

Robohnya Sebuah Kejujuran



Dimuat di Koran Jakarta / 17-06-2011

- Sutrisno

Sebuah kabar tak sedap datang dari dunia pendidikan, yaitu kasus mencontek massal pada ujian nasional (UN) yang terungkap di SD Negeri II Gadel, Kota Surabaya. Kecurangan itu terungkap karena ada siswa yang mengalami depresi gara-gara disuruh memberikan contekan kepada teman-temannya. Siswa SD Negeri II Gadel yang dikenal pintar di sekolahnya itu, selalu menangis di kamar dan ketakutan setelah diperintah salah seorang gurunya untuk memberikan contekan kepada siswa lain. Padahal, ia merupakan anak yang cukup mandiri dan percaya diri.

Kedua orang tuanya, Widodo dan Siami, pun melaporkan kejadian tersebut ke sekolah dan diteruskan ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Kepala sekolah itu dicopot dan dua guru mendapat sanksi penurunan pangkat. Akan tetapi, persoalan tidak lantas beres. Warga desa bereaksi. Mereka mengintimidasi dan mengusir keluarga Widodo.

Kasus di SD N Gadel itu mendapat perhatian luas. Tampaknya, berita itu benar adanya. Hal yang mirip juga terjadi di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Caranya sedikit lebih "canggih". Siswa yang dianggap pintar diminta membagi jawaban ujian nasional kepada teman melalui telepon seluler.

Dua kasus yang muncul ke permukaan itu, di tengah kemungkinan banyak kasus tetapi tidak diketahui publik, tentu membuat kita sangat prihatin. Sekalipun UN tak lagi menjadi penentu kelulusan siswa, masyarakat dan sekolah tetap mengejar kebanggaan yang semu. Mereka ingin sekolah atau daerahnya dianggap berprestasi, dengan menghalalkan segala cara.

Kasus mencontek massal tersebut menandakan telah robohnya sebuah kejujuran. Lebih parah lagi, kejujuran yang semestinya menjadi roh pendidikan justru dimusuhi dan dilawan. Ruang publik hanya dijejali sikap-sikap amoral yang dipertontonkan pejabat publik pengidap kleptomania yang gemar mencuri uang negara. Nilai-nilai yang mencuat didominasi sikap ketamakan, manipulasi, dan kebohongan.

Kasus mencotek massal merupakan sebuah ironi dari pendidikan kita. Guru yang seharusnya menanamkan sikap dan sifat jujur kepada para anak didik, malah menyuruh siswa berbuat curang secara bersama-sama. Padahal, kejujuran merupakan salah satu pondasi penting pendidikan. Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN. Ketika protes terbuka, bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai tekanan (drill) sekeras-kerasnya, berakhir dengan frustrasi dan desperasi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.

Bentuk-bentuk kecurangan UN tampaknya masih terpelihara dengan baik. Ada dua alasan utama terhadap sinyalemen tersebut. Pertama, selain untuk memberi ruang yang tak hingga atas kekuasaan Sang Pencipta, tetapi lebih pada sulitnya membangun kesadaran dan menunjukkan perilaku jujur. Kedua, belum tampak gerakan yang massif dilakukan selama Tahun Pelajaran 2010/2011 yang membangkitkan motivasi dan integritas siswa menghadapi UN 2011. Jika pun dilakukan, masih dalam persiapan latihan ujian saja, itu pun hanya di beberapa sekolah. Situasi pembelajaran yang mengintegrasikan budi pekerti luhur dan daya juang siswa belum tampak secara operasional mewarnai pembelajaran 2010/2011.

Berkaitan dengan UN, kita harus membangun budaya jujur dan akuntabel. Hal ini memang sering dibicarakan, tapi belum dilaksanakan. UN akan menjadi lebih bermakna jika kita pandang sebagai ujian untuk menunjukkan karakter kita, ujian untuk menunjukkan jati diri. Kita tidak boleh memiliki karakter yang negatif. Kita harus yakin bahwa kita adalah bangsa dengan karakter jujur dan akuntabel.

Mengutip Mochtar Buchori (1995), dunia pendidikan harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri, perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar.

Karena itu, menjadi tanggung jawab konstitusional kita dalam membenahi dunia pendidikan kita agar lebih baik dan berkualitas. Penyelenggaraan UN yang mantap, jujur, dan berkualitas adalah salah satu prasyarat utamanya. Lebih baik penyelenggaraannya, lebih baik juga hasilnya. Mutu harus ditingkatkan. Modus penyelenggaraannya juga harus lebih profesional dan bertanggung jawab serta taat asas.

Modal utama dalam memperbaharuinya adalah dengan mengubah pola pikir. Perspektif kalangan dunia pendidikan juga harus dibaharui. Misalnya, lebih baik melihat kenyataan objektif daripada harus memoles diri dalam kepalsuan. Jika memang siswa tidak lulus, ditunjukkan saja tidak lulus. Ini jauh lebih baik daripada harus bermanis-manis ria, namun di kemudian hari kita menyesal. Jika sekarang kita menghendaki agar siswa kita berkualitas, mengapa tidak sejak lama kita mempersiapkan diri?

Ke depan, jangan lagi ada mental instan! Jangan pula ada lagi kecurangan! Biarkan tampilan murni wajah pendidikan kita yang terlihat. Tidak boleh ada kepalsuan dan ketidakjujuran. Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, dari pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. UN yang jujur dan bersih setiap tahun memang harus menjadi komitmen bersama. Hanya dengan perubahan yang signifikan, kita masih bisa berharap pendidikan bisa mengubah bangsa ini menjadi lebih beradab.


Sutrisno
Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, Jawa Tengah.

Dalam Pendidikan, Kejujuran adalah Segalanya

Dalam sepekan terakhir, publik dikejutkan dengan pengungkapan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) SD di SD Gadel II oleh salah seorang orangtua siswa, Siami. Dugaan yang sama juga disinyalir terjadi dalam ujian nasional di SD 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Pakar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman mengatakan, tidak boleh ada kompromi terhadap kecurangan. Dalam pendidikan, kejujuran adalah segalanya.

"Kejujuran harus menjadi gerakan nasional. Dalam bidang pendidikan tidak ada kompromi. Di semua jenjang, dari TK sampai dengan Professor," kata Arief saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/6/2011).

Ia juga mengatakan, program pendidikan harus bertanggungjawab dalam memberikan proses yang betul-betul mengembangkan potensi peserta didik. "Bukan hanya sekedar transfer ilmu, tetapi memunculkan potensi pada anak-anak peserta didik," katanya.

Oleh karena itu, Arief mengimbau para pemegang kewenangan dalam dunia pendidikan harus melakukan evaluasi harian, evaluasi bulanan, evaluasi per semester dan evaluasi di akhir tahun ajaran.

"Evaluasi itu harusnya tidak hanya kognitif, tetapi juga afektif. Letak kecurangan ada di evaluasi. Dimana sekolah berstrategi untuk meluluskan siswa-siswanya. Inilah yang harus dihantam. Jangan melakukan evaluasi hanya di ujung tahun," tandasnya.

"Ketika anak tidak lulus, tidak akan hancur harkat dan martabatnya. Tapi ketika tidak jujur, maka harkat pun hancur," tambah Arief.

Ia menilai, ketakutan para orang tua jika anaknya tidak lulus merupakan sesuatu yang wajar. Akan tetapi, menjadi tak wajar ketika segala cara ditempuh demi mengharapkan kelulusan itu.

"Selain itu, orangtua juga harus disadarkan. Apa yang terjadi di Gadel adalah masyarakat sakit, karena mengusir orang yang berusaha jujur. Saya pikir ini harus ada satu langkah struktural dan kultural. Langkah struktural adalah memberikan sanksi tegas dan tak kenal kompromi kepada pihak-pihak yang terbukti terlibat. Langkah kultural perlu dipertimbangkan karena pendidikan tidak berdiri sendiri, ketika ekonominya surut maka pendidikan juga akan surut. Ketika hukumnya kendur maka proses pendidikan juga akan mengendur. Karena memang pendidikan tidak berdiri sendiri," pungkasnya.

edukasi.kompas.com

Saatnya Kejujuran Jadi Gerakan Nasional

Ketidakjujuran telah menjadi masalah yang sangat kronis dan sistemis di negeri ini, bahkan ”meracuni” anak-anak. Padahal, anak-anak di jenjang pendidikan dasar sebenarnya menjadi harapan untuk memperbaiki masa depan bangsa Indonesia yang kini sedang diterpa krisis moral dan karakter.
Sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan, tetapi tempat menanamkan nilai kejujuran.

Untuk memperbaiki karakter bangsa ini, sudah saatnya kejujuran menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pihak.

Demikian disampaikan praktisi pendidikan Arief Rachman, Anita Lee, dan Utomo Dananjaya di Jakarta, Rabu (15/6). Mereka menanggapi kasus diusirnya keluarga Ny Siami (32) oleh warga sekitar karena mengungkap ketidakjujuran yang terjadi di sekolah anaknya, Alifah Ahmad Maulana (13). Alifah diminta gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional lalu.

Menurut Arief, sekolah semestinya bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan. ”Lebih penting dari itu, justru mendidik moral dan karakter anak-anak, terutama soal kejujuran,” ujar Arief.

Anita Lee, Guru Besar Pendidikan dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, mengatakan, ketidakjujuran yang terungkap di satu sekolah hanyalah kebetulan karena ada yang berani mengungkap. ”Di tempat lain sebenarnya kecurangan sudah biasa terjadi. Sayangnya, tidak ada yang mengungkap,” kata Anita.

Parahnya, sekolah yang diharapkan menjadi benteng terakhir pendidikan moral justru ikut merusak moral anak dan itu dicontohkan langsung oleh guru.

Utomo Dananjaya yang juga Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, mengatakan, merebaknya sikap permisif terhadap kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah sebenarnya sangat mengkhawatirkan bangsa ini.

”Sistem pendidikan perlu dievaluasi secara menyeluruh dan mendalam. Pasti ada yang salah dengan filosofi, sistem, dan arah pendidikan kita,” kata Utomo.

Ia berkeyakinan, sistem pendidikan saat ini hanya bersifat ”pengajaran”, tetapi tidak melakukan pendidikan moral dan karakter, seperti kejujuran, disiplin, menghormati kemanusiaan, dan toleransi.

Gerakan nasional

Arief mengatakan, untuk memperbaiki moral dan karakter masyarakat bangsa ini, kejujuran harus menjadi gerakan nasional yang dilakukan semua pihak secara bersamaan. ”Tidak mungkin dilakukan hanya oleh sekolah karena sekolah tidak berdiri sendiri. Ada sistem yang kait-mengait,” ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pihaknya menghargai upaya keluarga Ny Siami yang mengungkap kecurangan ujian nasional di SDN Gadel II Surabaya. Namun, Kementerian Pendidikan Nasional menyimpulkan bahwa kecurangan massal ujian nasional di sekolah tersebut tidak terbukti sehingga tak perlu ada ujian nasional ulang.

Nuh menjelaskan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur sudah melakukan pemindaian jawaban dari 60 siswa yang mengikuti ujian nasional di sekolah tersebut. Pola jawaban tidak menunjukkan adanya kesamaan identik antara satu siswa dan siswa lain.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki dan dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Daniel M Rosyid, menyatakan, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem pendidikan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap menjatuhkan sanksi terhadap guru yang menganjurkan muridnya mencontek. Risma pun menolak dilakukan ujian ulang. ”Murid tidak bersalah. Tidak pantas dihukum dengan melakukan ujian nasional ulang,” tuturnya.

edukasi.kompas.com

Minggu, 12 Juni 2011

Guru Harus Efektifkan Pembelajaran di Sekolah

Pakar pendidikan Furqon Hidayatullah mengatakan, guru harus bisa mengefektifkan pembelajarannya di sekolah agar murid terpacu dalam belajarnya. “Buat saya, guru itu harus bisa menanamkan motivasi internal kepada murid, kinerja guru itu harus memberikan kesuksesan pada murid, guru harus mampu memberikan inspirasi agar potensinya diberdayakan. Guru itu kalau berani ngajar, ya harus mau belajar,” tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Surakarta, Rahmat Sutomo saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar di SMA Negeri 4 Surakarta, Kamis (9/6), melarang guru membuka les pribadi. "Guru jangan membuka les-lesan. Tapi mengajarlah dengan baik di sekolah. Oleh sebab itu nanti akan ada evaluasi kinerja guru."

Kepada Timlo.net, Jumat (10/6), Furqon Hidayatullah yang juga Dekan FKIP UNS, menambahkan, kekuatan dari sebuah sekolah itu ada di dalam pembelajarannya. “Untuk masalah les itu, sebaiknya digunakan untuk pengembangan dan bukan untuk pengulangan.”

Ditambahkan, “Kalau di sekolah sudah diberikan pembelajaran secara benar, pasti seorang guru tidak akan memberikan pengulangan lagi. Seperti contohnya, orangtua tidak cukup hanya memberikan anaknya itu untuk belajar disekolahnya saja (belum puas dengan pengajaran guru di sekolahnya), tetapi malah orangtua menyuruh anaknya untuk les dengan guru yang berbeda.”

Menurutnya, murid-murid sekarang ini sangat kompleks. “Guru itu sebagai fasilitator. Kalau dahulu itu guru asal lebih pintar dari muridnya itu berimbang, dan sekarang ini guru berfungsi memfasilitasi. Les-lesan itu boleh sepanjang itu mengembangkan dan pembelajaran itu berkembang baik. Konsekuensi utamanya ya harus mengefektifkan dalam pembelajarannya,” lanjutnya.

“Jadi kalau bisa itu, dalam pembahasannya harus menarik dan menyenangkan, menantang, memberikan pengalaman sukses, serta mengembangkan kecakapan berfikir. Jadi jangan sampai overload kalau pas ada tambahan les,” paparnya.

Proses pembelajaran, lanjut Furqon, harus dapat mendorong anak untuk mengembangkan sendiri. “Sekali lagi, keefektifan mengajar itu harus dapat ditingkatkan,” tutupnya.

pendidikan.timlo.net

Kutipan SBY Jatuh Tempo

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengejutkan publik dan meluruskan sikapnya soal pencalonan presiden RI 2014. Dalam kuliah umum Indonesia Young Leaders Forum 2011 di Jakarta, Kamis (9/6), SBY dalam pembukaan kuliahnya menyatakan dirinya dan keluarga tidak akan maju dalam Pemilu Presiden 2014.
Berikut kutipannya:

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati para Menteri, para Anggota DPR RI, dan para Anggota DPD RI, Saudara Gubernur DKI Jakarta, Saudara Ketua Umum HIPMI, para Sesepuh dan Senior HIPMI, Saudara Ketua dan para Anggota Komite Ekonomi Nasional, Saudara Dekan Fakultas Ekonomi UI beserta para Guru Besar UI, para Pimpinan Dunia Usaha, baik BUMN maupun swasta, para Tokoh dan Pemimpin Muda, Pemimpin Masa Depan, utamanya dari kalangan HIPMI yang saya cintai dan saya banggakan,

Sebelum saya menyampaikan ceramah tentang kepemimpinan sebagaimana yang dimintakan oleh Pimpinan HIPMI, sebagaimana tadi Ketua Panitia Penyelenggara memperkenalkan diri. Barangkali saya juga perlu memperkenalkan diri.

Nama saya, SBY. Jabatan saya, Presiden Republik Indonesia ke-6 hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan menjadi Presiden 2014. Saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014, biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running for RI1. Atas dasar itulah Saudara-saudara, para Pemimpin Muda, saya menerima dengan baik Saudara Erwin Aksa untuk memberikan ceramah tentang kepemimpinan hari ini, on leadership.

Kalau tidak saya jelaskan dan saya perkenalkan siapa saya, dan keluarga saya, utamanya bukan menjadi Capres 2014, saya khawatir Saudara Erwin dan Saudara semua dicurigai oleh pihak-pihak yang kegemaran dan kebahagiannya bercuriga. Bisa-bisa Saudara dituduh jadi tim suksesnya SBY tahun 2014. Tahun 2014, saya tidak perlu tim sukses karena Insya Allah saya akan jatuh tempo.

Meskipun demikian Saudara-saudara, hampir pasti akan ada komentar yang negatif, serta gorengan, plintiran terhadap acara yang tebuka hari ini, tapi jangan khawatir, Allah Maha Mengetahui, rakyat juga punya hati. Jadi acara kita hari ini sah dan halal karena niatnya baik, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT memberikan rahmat, berkah dan ridho-Nya. Semoga pula para pemimpin muda, doa saya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Saudara semua semakin sukses dalam karier dan profesi dan terus tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin tangguh di negeri ini. Itu perkenalan dan pengantar saya.***

www.mediaindonesia.com/read/2011/06/09/232946/270/115/Ini-Kutipan-SBY-Jatuh-Tempo

Kamis, 02 Juni 2011

THE OUTLINE OF EVEN SEMESTER TEST / GRADE 7

THE OUTLINE OF EVEN SEMESTER TEST / GRADE 8

Third Semester Test Outline of Acceleration Class

Selasa, 31 Mei 2011

Mendamba Solo Bebas Rokok

Harian joglosemar / Senin, 30/05/2011

Sutrisno

Pada tanggal 31 Mei 2011 ini, kita kembali memperingati Hari Bebas Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Sayang, peringatan itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan juga elemen masyarakat. Umumnya publik “cuek bebek” dengan bahaya merokok sehingga di mana-mana orang bebas merokok. Bahkan, di daerah yang sudah memberlakukan kawasan bebas rokok pun tetap saja dijumpai orang-orang sedang merokok.

Di dunia diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Di negara berkembang jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Kalau tidak ada penanganan memadai maka di tahun 2020 akan ada 1,6 miliar perokok (15 persen di antaranya tinggal di negara-negara maju) dan sekitar 770 juta anak yang “terpaksa”, atau “dipaksa” menjadi perokok pasif karena orangtua atau orang di sekitarnya merokok.

Dari segi kesehatan, rokok menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh manusia. Rokok memiliki 4.000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua di antaranya adalah nikotin yang bersifat karsinogenik. Rokok memang hanya memiliki 8-20 miligram nikotin yang setelah dibakar 25 persennya akan masuk ke dalam darah. Repotnya, jumlah kecil ini hanya membutuhkan waktu 15 detik untuk sampai ke otak. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), penyakit yang berkaitan dengan tembakau pada tahun 2020 akan menjadi masalah utama terbesar, dan diperkirakan menyebabkan 8,4 juta jiwa penduduk dunia mati setiap tahun.

Kita prihatin dengan semakin meluasnya budaya merokok di tengah-tengah masyarakat. Sedikitnya ada dua poin yang membuat kita menundukkan kepala tanda berduka. Pertama, data yang menyatakan jumlah perokok terbanyak di kalangan orang-orang miskin dan di negara-negara miskin yang konon mencapai 80 persen. Wajar saja kalau WHO mendesak agar semua negara tanpa terkecuali memberlakukan larangan total terhadap segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok, demi kesehatan 1,8 miliar anak di dunia.

Kedua, jumlah perokok terbesar mencapai 80 persen adalah kalangan remaja. Itu artinya, remaja kita ke depan berada dalam kondisi berbahaya, terutama racun yang terdapat dalam rokok. Kalau tidak diantisipasi dengan cermat bisa-bisa dunia ini dipenuhi oleh generasi yang tidak sehat alias berpenyakit paru-paru, kanker dan lain-lain. Indonesia termasuk di dalamnya. Disebutkan, saat ini kebanyakan orang sudah mulai merokok sebelum usia mereka genap 18 tahun, bahkan hampir seperempatnya mulai menjadi perokok sebelum berusia 10 tahun. Setiap harinya sekitar 80.000-100.000 remaja di dunia yang menjadi pencandu dan ketagihan terhadap rokok. Bila pola ini terus menetap, maka sekitar 250 juta anak-anak yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Dalam konteks Kota Solo, peringatan Hari Bebas Tembakau ini, kita juga mendambakan Solo bebas rokok. Saat ini, Pemerintah kota (Pemkot) Solo telah menyiapkan lima titik area merokok, yaitu sisi barat gedung Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Balaikota, gedung Tawang Praja, kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK), Kecamatan Banjarsari, dan gedung DPRD Solo (Solopos, 11/12/2009). Keberadaan lima titik tersebut kita sambut dengan baik sebagai terobosan dalam rangka mengurangi dampak negatif merokok.
Dengan adanya lima titik area merokok, perlu diikuti dengan sanksi bagi orang yang merokok di luar lima area tersebut dan di tempat umum. Maka, peraturan daerah (Perda) pembatasan merokok adalah kebutuhan urgen bagi Kota Solo. Terbitnya Perda pembatasan merokok setidaknya dapat mengurangi tingkat kematian akibat rokok, melindungi generasi muda dari bahaya rokok, dan menciptakan lingkungan bebas asap rokok.

Upaya Preventif

Kita berharap agar Pemkot Solo segera mengeluarkan Perda pembatasan merokok yang di dalamnya mencakup upaya preventif sebagai antisipasi. Saya juga mengusulkan supaya Pemkot Solo perlu merumuskan sebuah program yang mampu menggerakkan seluruh warga Solo pada waktu-waktu tertentu melakukan aksi secara bersama-sama guna memberikan penyadaran kepada seluruh warga Solo supaya sadar akan pentingnya membebaskan Solo dari bahaya rokok.

Selain itu, Pemkot Solo, melalui Dinas Kesehatan Kota menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat, penggiat antirokok, lembaga pendidikan, media dan lain-lain, untuk melakukan program penyuluhan bahaya rokok bagi manusia, terutama bagi golongan pria remaja dan dewasa yang mayoritas memiliki ketergantungan besar pada rokok. Singkatnya, jika rokok tidak lagi menjadi kebutuhan masyarakat Solo, maka satu dari kompleksnya penyebab polusi udara di Solo dan tingkat kematian akibat rokok dapat ditekan.

Yang perlu menjadi titik tekan, masalah kesehatan (baca: bahaya rokok) bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan juga perlu ditanamkan sejak dini. Sehingga, berbagai program dan peraturan yang diberlakukan berkenaan dengan upaya penanggulangan bahaya lingkungan tidak akan menuai kontroversi di tingkat masyarakat. Edukasi dan partisipasi masyarakat juga harus dibina sejak dini agar pada saat Perda pembatasan merokok akhirnya muncul, pelaksanaannya bisa berlangsung secara konsisten. Tingkat kesadaran masyarakat dan ketegasan dari pemerintah memberlakukan peraturan juga menjadi faktor keberhasilan mengimplementasikan Perda pembatasan merokok. Semoga.

Kamis, 19 Mei 2011

Semangat untuk Bangkit

Koran Jakarta / Kamis, 19 Mei 2011

Pada 20 Mei ini, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas hendaknya bisa dijadikan momentum untuk bangkit dan bukan sekadar upacara formalitas dan ritual belaka. Setelah tiga belas tahun reformasi berjalan kita bahkan seperti tidak beranjak ke mana-mana. Situasi serba krisis masih saja yang sama, padahal negaranegara lain, meski dihadapkan kepada persoalan, sudah krisis yang baru. Kita semua merasakan ketertinggalan itu terutama dari negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan, secara perlahan, negara-negara yang dulu jauh tertinggal, seperti Vietnam, sudah mendekati malah ada yang mengatakan sudah menyamai kita.

Berbagai perbandingan dengan negara- negara lain sengaja diangkat oleh media bukan untuk membuat kecil hati, tetapi sebaliknya untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita tidak bisa terus seperti ini. Sekadar ribut sendiri di dalam, tanpa berupaya untuk bertindak. Terutama kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah utama yang harus segera bisa kita selesaikan. Tanpa itu, kondisi sosial bukan hanya menjadi rentan, tetapi terus-menerus membangkitkan rasa curiga dan saling menyalahkan di antara kita. Kita tidak boleh berhenti untuk membangun harapan karena negeri ini tetap memiliki potensi yang besar untuk maju.

Sumber daya manusia yang kita miliki tidak kalah dibandingkan dengan sumber daya manusia bangsa lain. Hanya saja, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Kita sering tidak percaya dengan kemampuan anak-anak bangsa kita sendiri Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Indonesia sering kali mengalami kesulitan untuk bangkit. Jika tidak diselesaikan, kendala ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor yang merusak bangsa dari dalam, sehingga peluang untuk bangkit akan jauh lebih sulit di masa depan.

Pertama, sudah sejak lama bangsa ini memunyai masalah dengan ideologinya. Sampai hari ini kita tidak bisa merumuskan suatu clear ideology. Padahal, dalam clear ideology, berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk sumber daya di dalamnya, bisa diikat untuk mencapai tujuan akhir bersama (Abdurrahman Wahid, Indonesia Kini dan Esok, 1980). Clear ideology berfungsi sebagai daya ikat sekaligus menjadi petunjuk arah perjalanan bangsa menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Kedua, orientasi yang terlalu berat ke politik.

Bahkan, perpolitikannya berorientasi jangka pendek dan fokus hanya pada kekuasaannya. Bukan perpolitikan yang sehat untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas, serta membawa perbaikan bagi perikehidupan rakyat banyak. Kita tidak menutup mata, karena pilihan kita membangun sistem demokrasi, pilarnya adalah partai politik. Lalu, yang membuat partai politik bisa memainkan perannya, hal itu tergantung kepada orangnya, kepada politisi yang ada di dalam parpol tersebut.

Hanya saja akan sangat berbahaya apabila politik hanya sekadar untuk tujuan memperoleh kekuasaan dan bahkan kekuasaan itu hanya dinikmati hak istimewanya, privilegenya, bukan tanggung jawabnya untuk kemajuan bangsa. Ketiga, rendahnya jaminan negara dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Negeri ini seolah bukan lagi miliki rakyat, karena kemakmuran dan kesejahteraan dalam standar minimal pun tak dirasakan rakyat. Sebaliknya para elite politik bergelimang harta dan kekuasaan.

Elite ekonomi berlomba menumpuk pundi-pundi rupiah dan dolar, menjarah hasil hutan, laut, emas, dan logam hingga habis. Kaum intelektual pun terperosok dalam kubangan permainan elite kekuasaan dan uang. Maka, lengkaplah sudah derita rakyat di negeri ini. Keempat, bangsa ini tidak memiliki karakter sebagai bangsa. Masyarakat kita dinilai malas, pesimistis, tidak bisa disiplin, tidak punya mimpi besar, tidak mampu kerja keras, tidak solider, individualis, dan sebagainya. Tidak heran bila budaya korupsi dan kekerasan bisa tumbuh subur di negara ini.

Kelima, belum munculnya kepemimpinan nasional yang kuat. Kepemimpinan demikian bertugas menjaga dan mengembangkan ideologi nasional secara konsisten, dan sekaligus mengawal kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas ini mengharuskan adanya suatu pola kepemimpinan yang meletakkan proses pembangunan bangsa sebagai pekerjaan jangka panjang, sehingga capaian-capaian yang dibuat tidak sekadar memenuhi kepentingan lima tahunan. Dalam bahasa Ignas Kleden (2003), pemimpin yang visioner adalah orang yang memunyai desain masa depan Indonesia.

Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan, nasib, dan bentuk Indonesia ini 10–20 tahun mendatang. Kita pernah punya Bung Karno dan dan Pak Harto yang visioner. Sayangnya, keduanya juga punya kelemahan yang nyaris menegasikan hasil positif yang sempat mereka ukir. Pola kepemimpinan nasional kita tidak melembaga secara kuat karena sebagian pemimpin nasional berpikir sektoral dan untuk kepentingan jangka pendek. Jarang ada pemimpin yang menginvestasikan hidupnya untuk satu generasi ke depan, sementara dia sendiri mungkin tidak akan ikut menikmati hasil investasinya.

Momentum Harkitnas kali ini, harus dapat kita maknai sebagai satu kesadaran kembali bagaimana memulihkan kembali jiwa dan semangat keindonesiaan kita untuk bangkit serta berjuang memperbaiki negara, bangsa, dan Tanah Air. Pakar politik terkemuka Peter Evans menyarankan untuk bringing state back in, membawa kembali negara sesuai fungsinya dalam kapasitas negara yang cukup untuk melakukan proses modernisasi dan kesejahteraan bersama.

Penulis adalah Pemerhati masalah bangsa.
Oleh: Sutrisno

Senin, 16 Mei 2011

Beban Sejarah Tragedi Mei

Dimuat di Suara Merdeka / Wacana / 13 Mei 2011

Oleh Sutrisno

TRAGEDI Mei 1998 yang memicu kerusuhan berskala besar di Jakarta, dan merembet ke Bandung dan Surakarta (13-15 Mei), setelah penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei menjadi lembaran penting bagi perjalanan gerakan reformasi.

Sudah 13 tahun peristiwa itu berlalu tapi hingga saat ini belum banyak yang bisa kita mengerti dan pelajari dari titik penting sejarah republik ini. Seolah-olah memahami sejarah kegelapan, yang sama halnya dengan menorehkan tinta hitam pada buku putih lembaran sejarah nasional yang selama ini ditulis dengan tinta emas peradaban, keagungan, dan kepahlawanan.

Penelitian tentang peristiwa itu pun seperti terlupakan. Tulisan mendalam yang berusaha memahami kompleksitas dimensi kultural dan sosial dalam peristiwa yang acap disebut Tragedi Trisakti itu barangkali tak lebih dari lima buah. Itu pun sebagian besar berupa karya disertasi peneliti asing.

Kekeringan pendekatan kritis untuk memahami kerusuhan tersebut yang tampak dalam rangkaian pengulangan metafora dan trope dalam narasi teks dan tayangan media dapat menjadi tragedi sendiri dalam penulisan sejarah bangsa ini. Haruskah kita menunggu sampai 30 tahun, seperti menunggu pengungkapan sejarah tahun 1965-1966 untuk memunculkan suara-suara mereka yang dibungkam oleh kekerasan politik?

Kita memerlukan sebuah sikap dan ketegaran untuk mengakui bahwa peristiwa besar itu memiliki dampak penting dalam pergolakan politik nasional. Di lain pihak, sikap dan ketegaran yang sama juga diperlukan untuk mengetahui bahwa peristiwa kekerasan sejatinya adalah pembongkaran ruang eksistensi individual.

Peristiwa kekerasan menjadi penting bukan karena menentukan lalu lintas politik nasional melainkan juga membongkar dan merekonstruksi cara manusia memaknai dunia sekelilingnya. Pemahaman rasional dan logis barangkali dapat menghasilkan pola, peta, dan logika kersuhan, kendati tak dapat menawarkan secercah sinar untuk menerangi liku-liku kompleksitas nilai yang manusia pakai memaknai kekerasan yang mereka hadapi.

Barangkali penyikapan kita selama ini terhadap kerusuhan Mei 1998 cenderung memperlakukannya sebagai peristiwa sejarah yang disikapi secara logika. Kita menganggap peristiwa itu penting karena menjadi jendela terhadap sesuatu: the logic of state, yakni cara berfungsi dan bekerjanya sebuah negara dan perangkatnya.

Pemegang kekuasaan tampaknya akan terus mendiamkan Tragedi Mei dan kasus-kasus kekerasan lainnya. Sikap itu sebenarnya mencerminkan pengingkaran kewajiban negara untuk mengingat sekaligus pengingkaran hak-hak korban seperti tercantum dalam Commission on Human Rights: Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violation (1997). Hak-hak korban adalah hak mengetahui peristiwa sebenarnya yang terjadi, hak mendapat kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan.

Skenario Lain

Problem sulitnya mengungkapkan tragedi itu sepenuhnya terletak pada tidak adanya kemauan pemerintah untuk mengungkap secara tuntas. Bahkan memunculkan anggapan tragedi ini sengaja dilupakan seiring perjalanan sejarah.
Ketidakmampuan negara dan sistem demokrasi untuk menguak kejahatan tersebut secara sistematis telah mendorong terjadinya impunitas atau pengampunan seacara diam-diam terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.

Hal inilah dikhawatirkan menciptakan amnesia publik karena masyarakat diarahkan untuk mengingkari konsensus reformasi, yaitu pemenuhan keadilan transisi. Pemerintahan SBY dituntut komitmen dan keseriusannya untuk mengungkapkan secara tuntas. Atas nama kemanusiaan dan kebangsaan, Presiden perlu mengabaikan perasaan takut, seandainya terbukti rumor yang menyebut bahwa kasus itu tak hanya dipicu oleh demontrasi terkait dengan krisis finansial tapi juga melibatkan skenario elite politik tertentu.

Kerusuhan Mei adalah utang masa lalu yang akan jadi beban sejarah, dan menjadi beban pemerintahan siapa pun, juga beban bangsa secara umum. Mengungkap sejarah yang kelam memang tidak mudah, apalagi bila menyangkut orang-orang tertentu yang bisa jadi masih berkuasa. Padahal sepahit apa pun, kebenaran sejarah harus diungkap bila bangsa ini ingin membangun masa depan yang lebih cerah. (10)

— Sutrisno SPd, guru SMP Negeri 1 Wonogiri

Kamis, 28 April 2011

THE SPECIFICATION OF THE THIRD MIDTERM TEST

Selasa, 19 April 2011

Mendamba UN yang Jujur

Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 18 Apr 2011

Oleh Sutrisno

AGENDA tahunan bernama ujian nasional (UN) hadir lagi. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April 2011, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei depan. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.

Mendiknas M Nuh telah menegaskan, UN tahun ini bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan: nilai sekolah ditambah nilai UN. Penentuan nilai sekolah siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS.

Kerumitan dan kerawanan terhadap praktik manipulasi nilai bisa muncul pada ranah olahan nilai sekolah tersebut. Ada dua alasan yang menyebabkan kekhawatiran terjadinya praktik demoralisasi pendidikan. Pertama, upaya untuk mendongkrak nilai rapor siswa pada semester sebelumnya mengingat aturan ini baru diketahui belakangan setelah rapor itu jadi. Kerawanan kedua, karena yang membuat instrumen (soal) tes ujian sekolah berasal dari sekolah sendiri, maka pihak sekolah bisa menyiasatinya dengan memunculkan soal-soal standar bawah sehingga siswa dapat mengerjakannya dengan mudah sehingga dapat memperoleh nilai setinggi mungkin.

Meski ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah, karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, maka banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu antara lain dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru.

Lantas berkaitan dengan UN saat ini, apakah pelaksanaannya dapat berjalan bersih dan jujur? Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan, masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan. Seperti: kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan “ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran tadi.
Pada banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang melakukan pelanggaran, namun pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal dari dalam. Dan, ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, sehinggaa ketidakjujuran ini seringkali “diamini" oleh pejabat daerah tersebut.

Mantan Mendiknas Bambang Soedibyo pernah mengungkapkan, ada empat penyebab ketidakjujuran pelaksanaan UN. Antara lain: Pertama, adanya kekhawatiran pihak sekolah--dalam hal ini oknum guru--bahwa hasil nilai UN mata pelajaran yang sang guru pegang akan berada di bawah nilai standar UN sebagaimana ditentukan BSNP. Kedua, adanya beban moral bagi guru pengasuh mata pelajaran UN untuk mengangkat nilai UN mencapai nilai standar yang sudah ditetapkan. Ini tentu akan membawa nama baiknya, bukan hanya di sekolah tapi juga di mata sekolah lain.

Ketiga, adanya kekhawatiran oknum pimpinan sekolah/yayasan akan banyak siswanya yang tidak lulus UN. Otomatis hal itu akan berdampak pada gengsi sekolah itu. Keempat, disinyalir ada campur tangan pihak-pihak lain terkait yang mendukung terjadinya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.

Pelaksanaan UN yang benar dan jujur merupakan dambaan yang jika dapat terlaksana maka kualitas pendidikan nasional dapat ditentukan. Dengan diketahuinya kualitas pendidikan secara benar, maka pendidikan secara nasional dapat dipetakan secara akurat. Ibarat suatu penyakit: kita telah dapat mendiagnosis secara tepat kualitas pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, tinggal dicarikan obat yang cocok untuk mengobati penyakitnya (Firmansyah, 2008).

Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, mulai pejabat di Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Tanpa penegakan moral, maka UN mubazir. Penyelenggara serta peserta UN harus membangun mental kejujuran. Maka, UN perlu dilandasi penegakan moral dan mentalitas, sehingga dapat dilaksanakan secara jujur, obyektif, dan menggunakan kecerdasan afektual, selain kecerdasan kognitif.

Adanya kebijakan pemerintah agar daerah menandatangani pakta kejujuran soal UN untuk menjamin pelaksanaan ujian yang jujur dan kredibel perlu diimbangi dengan aksi nyata. Sehingga, adanya kecurangan di sejumlah daerah di Indonesia bisa ditekan.
Sekali lagi, kita mendamba UN yang jujur, transparan, dan kredibel. Apalagi, rencana, UN dapat diintegrasikan sebagai salah satu syarat masuk PTN. Untuk itu, diperlukan sikap percaya diri dan kejujuran para siswa peserta UN dalam mengerjakan soal. Adalah jauh lebih mulia dan bermartabat bila seorang siswa tidak lulus tetapi mengerjakannya dengan penuh kejujuran, daripada lulus tetapi melakukan kecurangan. Sebab, siswa yang tidak lulus bukan kenistaan, apalagi kejahatan. Mereka hanya perlu persiapan lebih baik dan belajar lebih giat lagi. Sedangkan praktik kecurangan jelas-jelas perbuatan nista.

Pihak sekolah (guru, kepala sekolah) dan stakeholder hendaknya lebih berhati-hati dan tetap menjunjung tinggi moralitas pendidikan dan nilai-nilai kejujuran dalam pelaksanaan UN. Bukan justru beramai-ramai melakukan kecurangan atau membentuk “tim sukses UN" untuk meluluskan siswa.

Dalam pelaksanaan UN, peran para pengawas juga sangat penting. Para pengawas diharapkan bekerja profesional dan tidak sekadar formal menyaksikan pelaksanaan UN. Pengawas harus menjaga idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas, dan tanggungjawab dalam tugasnya. Selain itu, harus ada sanksi tegas terhadap siswa, sekolah, dan siapa pun yang telah terlibat membantu atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau peringatan, tetapi sanksi yang mampu menimbulkan efek jera. Sebab, salah satu persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujdkan ketertiban. Penyebabnya: sanksi yang tidak tegas. n

Guru SMPN 1 Wonogiri