NO WASTING TIME!

Selasa, 12 April 2011

Anggota DPR Miskin Empati

Harian Joglosemar / Selasa, 12/04/2011 09:00 WIB - Sutrisno

Sutrisno
Pemerhati masalah sosial politik, guru

Bangsa Indonesia seharusnya terperangah, kaget, prihatin, dan sakit hati, menyaksikan bagaimana wakil-wakil rakyat di parlemen makin menunjukkan ketamakan dan ketidakpeduliannya terhadap penderitaan rakyat. Meski mendapat kritik keras dari publik, DPR tetap melanjutkan rencana pembangunan gedung baru berlantai 36. Tak ketinggalan, sarana olahraga kolam renang disiapkan. Sementara, anggaran pembangunan gedung baru DPR yang semula Rp 1,8 triliun menjadi Rp 1,16 triliun.

Khalayak masih ingat, para politikus Senayan semula berdalih bahwa pembangunan gedung baru harus dilakukan karena gedung yang lama sudah tidak layak dan miring. Ternyata, alasan ini tidak benar lantaran gedung itu dari segi konstruksi masih kokoh. Dengan kata lain, proyek ini tidaklah mendesak, apalagi biayanya amat besar. Masing-masing ruang anggota DPR memakan biaya Rp 800 juta. Angka ini setara dengan harga enam unit rumah susun bersubsidi yang sampai sekarang pun target pembangunannya belum terpenuhi.

Alasan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa biaya itu pantas untuk jabatan anggota Dewan, lebih tidak masuk akal lagi. Kepantasan tidaklah dilihat dari kemegahan gedung. Ukuran kepantasan adalah prestasi dan integritas moral. Hemat saya, pembangunan gedung yang menelan biaya triliunan rupiah jelas mencederai rasa keadilan dan nurani masyarakat. Hal tersebut juga merupakan potret akan miskinnya empati anggota DPR atas penderitaan rakyat dan hilangnya akal budi.

Proyek pembangunan gedung baru DPR, menjadi sebuah paradoks kehormatan yang disengaja dibuat dan menjadi penanda kebebalan para wakil rakyat. Adalah sebuah pengkhianatan jika DPR terus melaksanakan proyek yang ditentang rakyat. Jika DPR yang melembagakan aspirasi rakyat melawan kehendak dan nurani khalayak, DPR kehilangan legalitas yang paling hakiki dari eksistensinya. Sebab, mereka duduk di parlemen justru untuk memperjuangkan kehendak dan nurani rakyatnya. Kita lantas bertanya, apakah tindakan itu diambil karena mereka selama ini merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyatnya?

Pengkhianatan terhadap nurani publik bisa tumbuh subur karena mentalitas korupsi yang mengakar dalam. DPR hanya berteriak tentang reformasi di lembaga lain, tetapi tidak mau mereformasi diri sendiri. Terlihat dengan sangat jelas ketika otoritas budget DPR ditentukan sendiri, kerakusan tidak terbendung. Dan seperti mudah diduga, kerakusan yang tidak mengenal malu itu dipicu kepentingan pundi-pundi individu di lembaga itu. Kalau sebuah proyek atau rencana yang tidak masuk akal tetap saja dijalankan, bisa ditebak muncul jaring-jaring konspirasi kerakusan.

Proyek pembangunan gedung baru DPR bertentangan dengan asas kepatutan dan kepantasan. Saat ini masih banyak persoalan yang memerlukan perhatian dan tindakan sungguh-sungguh dari para legislator, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, masalah pangan dan energi, ribuan sekolah banyak yang rusak. Banyak daerah belum memiliki rumah sakit atau instalasi air bersih yang memadai. Pembangunan infrastruktur juga masih kedodoran. Hampir setiap hari kita mendengar ada jalan rusak, korupsi tetap merajalela, perampokan kekayaan alam negeri ini tetap leluasa terjadi, serta penegakan hukum masih tebang pilih.

Transparency Internasional Indonesia (TII) menemukan banyak kejanggalan dalam proses pembangunan gedung baru DPR. Penunjukan dua konsultan, yaitu konsultan perencanaan dan konsultan konstruksi, dianggap TII sebagai salah satu kejanggalan. Kejanggalan lain, Ketua DPR Marzuki Alie mengungkapkan dana tahap perencanaan mencapai Rp 18 miliar, padahal uang yang disiapkan Rp 50 miliar. Lalu yang Rp 32 miliar lari ke mana? (Republik, 17/1/2011). Rencana pembangunan gedung baru tersebut terlihat tidak transparan dan mengarah pada tindakan korupsi. Sinyal adanya indikasi korupsi itu disampaikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Campur Tangan Tuhan

Jika DPR bersikukuh melaksanakan pembangunan gedung baru, maka (meminjam Habermas, 1975) DPR telah mengalami legitimation crisis. Krisis parlemen sering diciptakan dan pembentukannya oleh agen-agen yang berada di depan dan di belakang parlemen itu sendiri. Agen-agen itu adalah mereka yang memberi fasilitas, sarana dan kekuatan lainnya untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.

Sejumlah prestasi buruk dan perilaku tak terpuji dari anggota DPR membuat citra dan reputasi DPR yang telah berusia 65 tahun di mata masyarakat menjadi rusak. Misalnya, anggota DPR yang hobi melakukan bolos saat sidang paripurna DPR. Produktivitas melakukan tugas konstitusionalnya seperti legislasi juga layak mendapat poin merah. Karena target 70 UU yang akan disahkan sepanjang periode sidang 2009-2010 tampaknya gagal total. Karena hingga saat ini baru tujuh UU yang disahkan DPR.

Kontroversi lainnya juga muncul dari DPR dengan beragam ide yang berseberangan dengan logika publik secara umum. Seperti gagasan dana aspirasi yang direncanakan Rp 15 miliar per anggota untuk setiap daerah pemilihan (Dapil). Ada lagi Rumah Aspirasi yang menyedot Rp 374 juta untuk setiap rumah aspirasi. Belum mereda kontroversi itu muncul pula soal dana infrastruktur. Dalam persoalan ini, logika DPR bertubrukan dengan logika umum. Kenyataan itu diperparah oleh ulah koruptif para wakil rakyat, dengan menyimpangkan hak dan kewenangan konstitusionalnya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Banyak anggota DPR yang masuk bui, terjerat kasus korupsi miliaran rupiah.

Bahkan, di tengah kontroversi rencana pembangunan gedung baru, justru salah satu anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Arifinto, tertangkap kamera tengah menonton gambar porno saat rapat paripurna (Joglosemar, 9/4/2011). Dalam konteks inilah sesungguhnya Marzuki Alie sedang ditampar video porno yang ditonton anggotanya saat paripurna. Kasus video porno yang ditonton anggota DPR saat sidang paripurna terbuka adalah campur tangan Tuhan yang “mengingatkan” dan membuka mata Ketua DPR Marzuki Alie dan fraksi-fraksi di DPR yang sangat ngotot ingin membangun gedung DPR. Hal itu agar merek mau introspeksi diri dan menghentikan arogansinya karena pembangunan proyek ini tidak ada manfaatnya.

Soal gedung baru DPR, logika sederhana mengatakan, buat apa negara membangunkan gedung baru, mewah, dan mahal jika penghuninya hanyalah sekumpulan orang yang berjuang demi diri mereka sendiri dan kelompoknya. Kita berharap, DPR membatalkan rencana pembangunan gedung baru tersebut. Akan lebih baik, jika DPR membuktikan dulu kualitas kewibawaan di mata publik dengan kinerja yang profesional dan benar-benar pro rakyat, baru setelah itu rakyatlah yang akan mengantar dan mendorong mereka untuk melengkapi kebanggaan-kebanggaan yang bersifat fisik.

1 komentar:

Agus Dwianto mengatakan...

Mantappp mister..lanjutkan....