NO WASTING TIME!

Selasa, 19 April 2011

Mendamba UN yang Jujur

Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 18 Apr 2011

Oleh Sutrisno

AGENDA tahunan bernama ujian nasional (UN) hadir lagi. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April 2011, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei depan. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.

Mendiknas M Nuh telah menegaskan, UN tahun ini bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan: nilai sekolah ditambah nilai UN. Penentuan nilai sekolah siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS.

Kerumitan dan kerawanan terhadap praktik manipulasi nilai bisa muncul pada ranah olahan nilai sekolah tersebut. Ada dua alasan yang menyebabkan kekhawatiran terjadinya praktik demoralisasi pendidikan. Pertama, upaya untuk mendongkrak nilai rapor siswa pada semester sebelumnya mengingat aturan ini baru diketahui belakangan setelah rapor itu jadi. Kerawanan kedua, karena yang membuat instrumen (soal) tes ujian sekolah berasal dari sekolah sendiri, maka pihak sekolah bisa menyiasatinya dengan memunculkan soal-soal standar bawah sehingga siswa dapat mengerjakannya dengan mudah sehingga dapat memperoleh nilai setinggi mungkin.

Meski ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah, karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, maka banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu antara lain dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru.

Lantas berkaitan dengan UN saat ini, apakah pelaksanaannya dapat berjalan bersih dan jujur? Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan, masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan. Seperti: kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan “ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran tadi.
Pada banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang melakukan pelanggaran, namun pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal dari dalam. Dan, ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, sehinggaa ketidakjujuran ini seringkali “diamini" oleh pejabat daerah tersebut.

Mantan Mendiknas Bambang Soedibyo pernah mengungkapkan, ada empat penyebab ketidakjujuran pelaksanaan UN. Antara lain: Pertama, adanya kekhawatiran pihak sekolah--dalam hal ini oknum guru--bahwa hasil nilai UN mata pelajaran yang sang guru pegang akan berada di bawah nilai standar UN sebagaimana ditentukan BSNP. Kedua, adanya beban moral bagi guru pengasuh mata pelajaran UN untuk mengangkat nilai UN mencapai nilai standar yang sudah ditetapkan. Ini tentu akan membawa nama baiknya, bukan hanya di sekolah tapi juga di mata sekolah lain.

Ketiga, adanya kekhawatiran oknum pimpinan sekolah/yayasan akan banyak siswanya yang tidak lulus UN. Otomatis hal itu akan berdampak pada gengsi sekolah itu. Keempat, disinyalir ada campur tangan pihak-pihak lain terkait yang mendukung terjadinya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.

Pelaksanaan UN yang benar dan jujur merupakan dambaan yang jika dapat terlaksana maka kualitas pendidikan nasional dapat ditentukan. Dengan diketahuinya kualitas pendidikan secara benar, maka pendidikan secara nasional dapat dipetakan secara akurat. Ibarat suatu penyakit: kita telah dapat mendiagnosis secara tepat kualitas pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, tinggal dicarikan obat yang cocok untuk mengobati penyakitnya (Firmansyah, 2008).

Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, mulai pejabat di Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Tanpa penegakan moral, maka UN mubazir. Penyelenggara serta peserta UN harus membangun mental kejujuran. Maka, UN perlu dilandasi penegakan moral dan mentalitas, sehingga dapat dilaksanakan secara jujur, obyektif, dan menggunakan kecerdasan afektual, selain kecerdasan kognitif.

Adanya kebijakan pemerintah agar daerah menandatangani pakta kejujuran soal UN untuk menjamin pelaksanaan ujian yang jujur dan kredibel perlu diimbangi dengan aksi nyata. Sehingga, adanya kecurangan di sejumlah daerah di Indonesia bisa ditekan.
Sekali lagi, kita mendamba UN yang jujur, transparan, dan kredibel. Apalagi, rencana, UN dapat diintegrasikan sebagai salah satu syarat masuk PTN. Untuk itu, diperlukan sikap percaya diri dan kejujuran para siswa peserta UN dalam mengerjakan soal. Adalah jauh lebih mulia dan bermartabat bila seorang siswa tidak lulus tetapi mengerjakannya dengan penuh kejujuran, daripada lulus tetapi melakukan kecurangan. Sebab, siswa yang tidak lulus bukan kenistaan, apalagi kejahatan. Mereka hanya perlu persiapan lebih baik dan belajar lebih giat lagi. Sedangkan praktik kecurangan jelas-jelas perbuatan nista.

Pihak sekolah (guru, kepala sekolah) dan stakeholder hendaknya lebih berhati-hati dan tetap menjunjung tinggi moralitas pendidikan dan nilai-nilai kejujuran dalam pelaksanaan UN. Bukan justru beramai-ramai melakukan kecurangan atau membentuk “tim sukses UN" untuk meluluskan siswa.

Dalam pelaksanaan UN, peran para pengawas juga sangat penting. Para pengawas diharapkan bekerja profesional dan tidak sekadar formal menyaksikan pelaksanaan UN. Pengawas harus menjaga idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas, dan tanggungjawab dalam tugasnya. Selain itu, harus ada sanksi tegas terhadap siswa, sekolah, dan siapa pun yang telah terlibat membantu atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau peringatan, tetapi sanksi yang mampu menimbulkan efek jera. Sebab, salah satu persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujdkan ketertiban. Penyebabnya: sanksi yang tidak tegas. n

Guru SMPN 1 Wonogiri

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sebagai pendidik tentunya kita sama2 mendambakan satu hasil dari kejujuran, semuanya demi generasi penerus bangsa yg jujur dan berkualitas... Best Article

Lie mengatakan...

sbg sesama pendidik tentunya kita mendambakan anak2 didik kita jujur dalam melaksanakan UN terutama dr penyelnggara UN itu sendiri, sudahkah kita Jujur dalam mendidik anak2 bangsa in menjadi generasi yg berkualitas...