NO WASTING TIME!

Jumat, 17 Juni 2011

Saatnya Kejujuran Jadi Gerakan Nasional

Ketidakjujuran telah menjadi masalah yang sangat kronis dan sistemis di negeri ini, bahkan ”meracuni” anak-anak. Padahal, anak-anak di jenjang pendidikan dasar sebenarnya menjadi harapan untuk memperbaiki masa depan bangsa Indonesia yang kini sedang diterpa krisis moral dan karakter.
Sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan, tetapi tempat menanamkan nilai kejujuran.

Untuk memperbaiki karakter bangsa ini, sudah saatnya kejujuran menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pihak.

Demikian disampaikan praktisi pendidikan Arief Rachman, Anita Lee, dan Utomo Dananjaya di Jakarta, Rabu (15/6). Mereka menanggapi kasus diusirnya keluarga Ny Siami (32) oleh warga sekitar karena mengungkap ketidakjujuran yang terjadi di sekolah anaknya, Alifah Ahmad Maulana (13). Alifah diminta gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional lalu.

Menurut Arief, sekolah semestinya bukan sekadar tempat transfer ilmu serta mengejar target kelulusan. ”Lebih penting dari itu, justru mendidik moral dan karakter anak-anak, terutama soal kejujuran,” ujar Arief.

Anita Lee, Guru Besar Pendidikan dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, mengatakan, ketidakjujuran yang terungkap di satu sekolah hanyalah kebetulan karena ada yang berani mengungkap. ”Di tempat lain sebenarnya kecurangan sudah biasa terjadi. Sayangnya, tidak ada yang mengungkap,” kata Anita.

Parahnya, sekolah yang diharapkan menjadi benteng terakhir pendidikan moral justru ikut merusak moral anak dan itu dicontohkan langsung oleh guru.

Utomo Dananjaya yang juga Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, mengatakan, merebaknya sikap permisif terhadap kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah sebenarnya sangat mengkhawatirkan bangsa ini.

”Sistem pendidikan perlu dievaluasi secara menyeluruh dan mendalam. Pasti ada yang salah dengan filosofi, sistem, dan arah pendidikan kita,” kata Utomo.

Ia berkeyakinan, sistem pendidikan saat ini hanya bersifat ”pengajaran”, tetapi tidak melakukan pendidikan moral dan karakter, seperti kejujuran, disiplin, menghormati kemanusiaan, dan toleransi.

Gerakan nasional

Arief mengatakan, untuk memperbaiki moral dan karakter masyarakat bangsa ini, kejujuran harus menjadi gerakan nasional yang dilakukan semua pihak secara bersamaan. ”Tidak mungkin dilakukan hanya oleh sekolah karena sekolah tidak berdiri sendiri. Ada sistem yang kait-mengait,” ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pihaknya menghargai upaya keluarga Ny Siami yang mengungkap kecurangan ujian nasional di SDN Gadel II Surabaya. Namun, Kementerian Pendidikan Nasional menyimpulkan bahwa kecurangan massal ujian nasional di sekolah tersebut tidak terbukti sehingga tak perlu ada ujian nasional ulang.

Nuh menjelaskan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur sudah melakukan pemindaian jawaban dari 60 siswa yang mengikuti ujian nasional di sekolah tersebut. Pola jawaban tidak menunjukkan adanya kesamaan identik antara satu siswa dan siswa lain.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Zainuddin Maliki dan dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Daniel M Rosyid, menyatakan, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem pendidikan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap menjatuhkan sanksi terhadap guru yang menganjurkan muridnya mencontek. Risma pun menolak dilakukan ujian ulang. ”Murid tidak bersalah. Tidak pantas dihukum dengan melakukan ujian nasional ulang,” tuturnya.

edukasi.kompas.com

0 komentar: