NO WASTING TIME!

Sabtu, 23 Juli 2011

Deskriminasi Difabel



Wedangan
Dimuat di Suara Merdeka / Solo Metro / D/ Kamis, 21 Juli 2011

Deskriminasi Difabel

Oleh Sutrisno

Di tengah malam disertai sembribit, tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi melangkah gontai menuju tempat tongkrongannya, wedangan tradisional. Mereka pun menggelar tikar duduk lesehan.
“Minum apa?” Lik Warto datang menghampiri dan bertanya.
“Kopi, jahe, dan the ginastel, yang hangat-hangat saja. Terus, gorengan yang komplit ya Lik! Ojo lalo jadah bakare!” pesan Ponijo lantas duduk selonjor.
“Kota Solo sekarang ini tambah cantik, megah dan moncer. Infrastruktur kota, telah tumbuh bak jamur musim hujan. Sarana publik pun juga makin diberdayakan. Kota Solo akan tampil sebagai Kota Metropolis bersaing dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia,” kata Ponidi mengawali jagongan lesehan.
“Tak salah kiranya panjenengan berkata begitu, namun dibalik semua itu, apakah semua elemen masyarakat Kota Solo sudah dapat menikmatinya tanpa ada diskriminasi sekecil apapun?” ujar Poniman yang asli Wong Solo.
Rupa-rupanya pernyataan Poniman cukup menggelitik telinga. Ponijo dan Ponidi pun menyilangkan kakinya pertanda ada yang serius dari jagongan itu. Minuman dan makanan yang dipesan pun telah tiba.
“Lho..lho..lho.., apa maksud Kangmas Poniman berkata: “tanpa ada diskriminasi” itu?” buru-buru Ponijo bertanya.
“Oh..itu. Maksudnya, di Kota Solo ini masih terjadi deskriminasi terhadap para penyandang cacat (kaun difabel). Kaum difabel adalah kelompok minoritas di Kota Solo. Wajar jika keberadaan mereka kurang direspon secara positif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Amereka sering mendapat perlakuan deskriminatif di berbagai aspek kehidupan, entah di bidang pendidikan, polotik, sosial, olah raga, budaya dan sebagainya. Lebih-lebih dalam hal aksesbilitas menggunakan fasilitas umum,” tutur Poniman sembari menyeruput kopi manis.
“Benar juga kata Kangmas Poniman. Di Kota Solo, diskriminasi kaum difabel begitu kentara. Buktinya, hak-hak kaum difabel belum terpenuhi dalam kebijakan Pemkot. Contohnya: dalam pembangunan Pasar Tradisional yang tak menyisakan akses jalan bagi kaum difabel, gedung, swalayan/mal, dan kantor yang tak ada akses untuk kursi roda, trotoar yang sudah tak bersahabat bagi tuna netra, shelter Batik Solo Trans (BST) yang tak bisa dinikmati difabel. Apalagi dalam transportasi belum ada kenyamana sama sekali,” Ponijo menimpali seraya mencomot bakwan dan lombok.
Betapa malangnya nasib kaum difabel itu. Sudah fisik dan fungsi anggota badan tak normal, perlakuan sosial oleh pemerintah dan masyarakat juga mengenaskan. Fenomena itu, tenta amat menyakitkan. Bukanah kaum difabel juga manusia yang menjadi cacat karena suratan Tuhan? Sangat tidak adil jika kita semakin menambah panjang daftar deritanya.
Angin malam kian terasa menusuk tulang. Poniman pun mengancingkan jaket untuk menahan dingin. “Itu artinya, Kota Solo tak ramah bagi kaum difabel. Padahal, di era 1970-an, surga kaum difabel. Patung orang buntung kaki di depan Pasar Sidodadi sekaligus menjadi pintu masuk sebelah barat Kota yang mestinya menjadi ikon Solo Kota ramah kaum dfabel seolah hanya menjadi patung tanpa makna,” keluh Poniman begitu sedih.
Hentikan Deskriminasi
Sambil meraih tahu susur di dalam piring, Ponidi bertanya: “Bagaimana menghentikan diskriminasi terhadap kaum difabel di Kota Solo?”
Sejenak Poniman mengerutkan dahinya dan tangannya ditempel menyangga kepala.
“Menurut saya, kaum difabel harus mendapat perlakuan yang sama layaknya dengan masyarakat normal lainnya. Apalagi, Kota Solo telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Warga Difabel, maka semua kepentingan dan hak kaum difabel harus diakomodasi dalam kebijakan Pemkot Solo”.
Tidak hanya kepentingannya, lanjutnya, kriteria kenyamanan dan standar keselamatan ruang publik bagi kaum difabel harus diutamakan. Kepekaan dan solidaritas terhadap kaum difabel harus terus digalang. Perlakuan manusiawi dan humanistis kunci pokok terwujudnya masyarakat yang peduli masa depan difabel. Sudah saatnya diciptakan kondisi yang membuat kaum difabel enjoy dengan kekurangannya. Kita menanti gebrakan Pak Jokowi untuk peduli terhadap kaum difabel.

- Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo.

0 komentar: