NO WASTING TIME!

Jumat, 19 Agustus 2011

Kontroversi Parcel


Kontroversi Parcel

Oleh Sutrisno

Published in Suara Merdeka / Wedangan / Solo Metro / Kamis, 18 Agustus 2011

Setiap menjelang lebaran selalu muncul kontroversi soal parcel. Bolehkan PNS dan pejabat negara menerima atau mengirim parcel?

Tahun ini, sejumlah daerah di Solo Raya menerapkan kebijakan berbeda soal pemberian parcel. Solo, Klaten dan Boyolali melarang, sedangkan Sragen, Wonogiri dan Karanganyar mengikuti kebijakan Gubernur Bibit Waluyo yang tak melarang soal parcel.

Angin sepoi-sepoi menembus lewat lubang tenda wedangan Lik Warto. Tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi asyik jagongan. Kontroversi soal Parcel menjadi tema pembicaraan mereka.

‘”Kangmas, opo salah to kalau saya dapat parcel dari para kolega dan bawahan? Kan pemberian parcel sudah tradisi, apalagi para kepala daerah juga sering mendapat parcel?” tanya Ponijo, salah satu pejabat teras di Pemkab Wonogiri.

Sambil menepuk pundak Ponijo, Poniman berusaha menjawab.
“Soal parcel memang menjadi kontroversi. Simpulan akhir sulit diperoleh. Sebagian kalangan menilai, asal masih dalam batas-batas kewajaran, pemberian parcel adalah hal yang lumrah. Akan tetapi tidak sedikit yang menilai, dalam ukuran apapun bagi pejabat penyelenggara negara adalah tindakan yang tidak wajar.”

Ponijo manggut-manggut mendengar jawaban tersebut. Tapi masih ada ganjalan dalam pikirannya, “Benarkah pemberian Parcel Lebaran itu merupakan bagian dari korupsi?”
Ponidi terusik dengan pertanyaan Ponijo. Ia pun urun rembug.

“Memberi parcel adalah budaya yang baik. Namun hal yang baik itu (dalam bentuk kasus) tidak selalu berdampak baik. Ada celah yang bisa diselewengkan dan disalahgunakan,” kata dia.

Dalam perkembangannya, kata dia, pemberian parcel mengarah kepada praktik yang kurang baik (negatif). Sejumlah instansi mendesain anggaran, baik terbuka maupun terselubung, untuk biaya parcel.
Selain itu, pengiriman parcel berubah menjadi sebuah keharusan. Akibatnya, mereka yang nekat tidak melakukan justru akan mendapatkan sanksi sosial, atau bahkan (mungkin) ada yang mendapat sanksi struktural.

Bertransformasi

Jagongan wedangan malam tiga sekawan terus mengalir. Tangan poniman mencomot bakwan dan dua lombok lantas menimpali komentar Ponidi.

“Benar sampeyan kangmas Ponidi. Parcel yang pada awalnya bermakna sebagai bingkisan kekeluargaan telah bertransdormasi sebagai mesin yang melicinkan prilaku koruptif. Silaturahmi dan relasi-relasi sosial yang mampu diakrapkan melalui parcel ternyata telah disalahgunakan. Pada titik akhirnya, parcel justru berubah fungsi sebagai perangkat untuk menjalankan praktek gratifikasi.

“Oleh karena itu, larangan agar penyelenggara negara tidak menerima dan memberi parcel patut didukung. Apalagi, jika kita melihat realitas bahwa “tikus-tikus berdasi”, baik yang ada di pusat maupun di daerah, seperti tak pernah kekurangan akal untuk melakukan gratifikasi dan menggerogoti uang rakyat dengan berbagai macam modus, “imbau Ponidi.

Ponijo mengacungkan jempolnya pada Ponidi seraya berkata, “Top..Top, setuju..setuju, masyarakat luas diharapkan tidak ikut-ikutan memelihara tradisi buruk, dimana para penyelenggara negara seolah-olah wajib harus dihargai dengan cara memberi parcel”.

Sambil dehen-dehem Poniman nyeletuk, “Sebaiknya, kita membudayakan memberi parcel pada kaum miskin”. (26)

- Penulis guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo

0 komentar: