NO WASTING TIME!

Selasa, 25 Oktober 2011

Mendidik Karakter Bangsa

Dimuat di Harian Suara Karya / Selasa, 25 Oktober 2011

Oleh Sutrisno

Aksi kekerasan, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan, tidak jarang, ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu dilakukan dengan menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tidak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.

Dalam kondisi bangsa semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Sehingga, keluaran (hasil akhir) pendidikan benar-benar menjadi sosok yang "utuh" dan "paripurna", yakni pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

Dalam konteks kebangsaan saat ini, pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa sangatlah tepat. Sebuah gagasan yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa.

Pada banyak momen kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tidak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Semua sadar bahwa perubahan dan pergeseran nilai yang dialami bangsa ini tidak lepas dari modernisasi dan globalisasi yang tiap hari terus menyerang dari segala arah. Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sudah sedemikian canggih, pembatasan akses melalui model konvensional tidak akan berjalan efektif. Oleh karena itu, cara terbaik adalah melalui penyadaran diri tentang segala hal yang terkait dengan tatanan sosial melalui internalisasi nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya ke dalam diri setiap anak bangsa, agar kelak mereka menjadi manusia unggul. Yaitu, manusia yang mampu berpikir global tetapi tetap berperilaku dan bertindak sesuai nilai dan norma di mana dia berada.
Menyikapi karakter bangsa ini yang semakin merosot perlu menjadi perhatian kita, upaya membangun dan mengembangkan pendidikan karakter bangsa menjadi sangat urgen dan penting. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus pada pembinaan hati nurani dengan penanaman kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya.

Setiap elite kepemimpinan nasional, termasuk para tokoh organisasi sosial dan organisasi politik, hendaknya peduli terhadap apa yang kita sebut sebagai pendidikan untuk membentuk watak bangsa ini. Pendidikan karakter bangsa dimaksudkan agar semua elemen masyarakat memiliki kesadaran sebagai bangsa plural dan multikultural yang berbasis pada religiositas, nasionalisme, dan kebangsaan. Pendidikan karakter bangsa diarahkan agar masyarakat Indonesia mencintai negara dan bangsanya.

Pendidikan karakter bangsa memiliki prinsip mendasar. Pertama, prinsip religiositas, yaitu prinsip ketauhidan yang dapat diimplementasikan dalam konsep ibadah dan akhlak yang merupakan prinsip dasar dalam setiap agama. Kedua, prinsip kebangsaan, yaitu penegakan dan pelestarian Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan kebinekaan. Pilar kebangsaan ini menjadi sangat penting di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang kian kompetitif. (Nur Syam, 2010)

Lantas, dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa? Hal ini bisa dimulai dari pendidikan informal dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter sedini mungkin. Keluarga harus menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter. Karakter dapat ditumbuhkan dari sikap keteladanan seseorang yang menjadi cerminan bagi orang lain.

Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai pilar kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat urgen, penting, dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan secara kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Mari wujudkan bangsa yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas yang terlanjur terkontanimasi berperilaku tidak jujur, menjadi manusia jujur sesuai cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi. ***

Penulis adalah guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal Laweyan, Solo.

0 komentar: