NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Kamis, 28 April 2011

THE SPECIFICATION OF THE THIRD MIDTERM TEST

Selasa, 19 April 2011

Mendamba UN yang Jujur

Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 18 Apr 2011

Oleh Sutrisno

AGENDA tahunan bernama ujian nasional (UN) hadir lagi. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April 2011, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei depan. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.

Mendiknas M Nuh telah menegaskan, UN tahun ini bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan: nilai sekolah ditambah nilai UN. Penentuan nilai sekolah siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS.

Kerumitan dan kerawanan terhadap praktik manipulasi nilai bisa muncul pada ranah olahan nilai sekolah tersebut. Ada dua alasan yang menyebabkan kekhawatiran terjadinya praktik demoralisasi pendidikan. Pertama, upaya untuk mendongkrak nilai rapor siswa pada semester sebelumnya mengingat aturan ini baru diketahui belakangan setelah rapor itu jadi. Kerawanan kedua, karena yang membuat instrumen (soal) tes ujian sekolah berasal dari sekolah sendiri, maka pihak sekolah bisa menyiasatinya dengan memunculkan soal-soal standar bawah sehingga siswa dapat mengerjakannya dengan mudah sehingga dapat memperoleh nilai setinggi mungkin.

Meski ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah, karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, maka banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu antara lain dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru.

Lantas berkaitan dengan UN saat ini, apakah pelaksanaannya dapat berjalan bersih dan jujur? Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan, masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan. Seperti: kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan “ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran tadi.
Pada banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang melakukan pelanggaran, namun pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal dari dalam. Dan, ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, sehinggaa ketidakjujuran ini seringkali “diamini" oleh pejabat daerah tersebut.

Mantan Mendiknas Bambang Soedibyo pernah mengungkapkan, ada empat penyebab ketidakjujuran pelaksanaan UN. Antara lain: Pertama, adanya kekhawatiran pihak sekolah--dalam hal ini oknum guru--bahwa hasil nilai UN mata pelajaran yang sang guru pegang akan berada di bawah nilai standar UN sebagaimana ditentukan BSNP. Kedua, adanya beban moral bagi guru pengasuh mata pelajaran UN untuk mengangkat nilai UN mencapai nilai standar yang sudah ditetapkan. Ini tentu akan membawa nama baiknya, bukan hanya di sekolah tapi juga di mata sekolah lain.

Ketiga, adanya kekhawatiran oknum pimpinan sekolah/yayasan akan banyak siswanya yang tidak lulus UN. Otomatis hal itu akan berdampak pada gengsi sekolah itu. Keempat, disinyalir ada campur tangan pihak-pihak lain terkait yang mendukung terjadinya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.

Pelaksanaan UN yang benar dan jujur merupakan dambaan yang jika dapat terlaksana maka kualitas pendidikan nasional dapat ditentukan. Dengan diketahuinya kualitas pendidikan secara benar, maka pendidikan secara nasional dapat dipetakan secara akurat. Ibarat suatu penyakit: kita telah dapat mendiagnosis secara tepat kualitas pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, tinggal dicarikan obat yang cocok untuk mengobati penyakitnya (Firmansyah, 2008).

Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, mulai pejabat di Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Tanpa penegakan moral, maka UN mubazir. Penyelenggara serta peserta UN harus membangun mental kejujuran. Maka, UN perlu dilandasi penegakan moral dan mentalitas, sehingga dapat dilaksanakan secara jujur, obyektif, dan menggunakan kecerdasan afektual, selain kecerdasan kognitif.

Adanya kebijakan pemerintah agar daerah menandatangani pakta kejujuran soal UN untuk menjamin pelaksanaan ujian yang jujur dan kredibel perlu diimbangi dengan aksi nyata. Sehingga, adanya kecurangan di sejumlah daerah di Indonesia bisa ditekan.
Sekali lagi, kita mendamba UN yang jujur, transparan, dan kredibel. Apalagi, rencana, UN dapat diintegrasikan sebagai salah satu syarat masuk PTN. Untuk itu, diperlukan sikap percaya diri dan kejujuran para siswa peserta UN dalam mengerjakan soal. Adalah jauh lebih mulia dan bermartabat bila seorang siswa tidak lulus tetapi mengerjakannya dengan penuh kejujuran, daripada lulus tetapi melakukan kecurangan. Sebab, siswa yang tidak lulus bukan kenistaan, apalagi kejahatan. Mereka hanya perlu persiapan lebih baik dan belajar lebih giat lagi. Sedangkan praktik kecurangan jelas-jelas perbuatan nista.

Pihak sekolah (guru, kepala sekolah) dan stakeholder hendaknya lebih berhati-hati dan tetap menjunjung tinggi moralitas pendidikan dan nilai-nilai kejujuran dalam pelaksanaan UN. Bukan justru beramai-ramai melakukan kecurangan atau membentuk “tim sukses UN" untuk meluluskan siswa.

Dalam pelaksanaan UN, peran para pengawas juga sangat penting. Para pengawas diharapkan bekerja profesional dan tidak sekadar formal menyaksikan pelaksanaan UN. Pengawas harus menjaga idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas, dan tanggungjawab dalam tugasnya. Selain itu, harus ada sanksi tegas terhadap siswa, sekolah, dan siapa pun yang telah terlibat membantu atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau peringatan, tetapi sanksi yang mampu menimbulkan efek jera. Sebab, salah satu persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujdkan ketertiban. Penyebabnya: sanksi yang tidak tegas. n

Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 18 April 2011

Stop! Kecurangan UN

Dimuat di KORAN JAKARTA / Senin, 18 April 2011

Pelaksanaan ujian nasional (UN) kembali digelar. Untuk tingkat SMA/MA/SMK, ujian dilaksanakan pada 18-21 April, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/ MI 10-12 Mei 2011 mendatang. Setiap menjelang UN, kecemasan luar biasa tampak kentara mengumbar ke permukaan. Kecemasan ini bisa dirasakan orang tua, guru, bahkan pihak sekolah. Siswa juga tidak sedikit dag... dig... dug... menjelang UN. Ada kekhawatiran yang amat sangat, kalau-kalau siswa tidak lulus karena tidak mendapatkan nilai sesuai standar. Kenyataan ini memang sangat lumrah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Nah, siapa yang harus disalahkan jika di satu sekolah, mayoritas siswa atau bahkan 100 persen tidak lulus UN? Bagaimana pula jika yang tidak lulus justru siswa yang sudah mengukir banyak prestasi? Walhasil, berbagai upaya dilakukan agar lulus. Mulai dari mengikuti les tambahan sore dengan fokus membahas materi UN, hingga ujian uji coba (try out). Upaya yang tentu sah-sah saja. Hal yang justru menjadi masalah, kalau pihak sekolah melakukan kecurangan untuk mendapatkan hasil memuaskan.

Ya, untuk meningkatkan jumlah kelulusan. Jika mementingkan kuantitas tanpa memikirkan kualitas, ini bukan mustahil dilakukan. Bahkan, ada yang beranggapan, hanya sekolah yang selama ini menerapkan pembelajaran berkualitas yang mampu mengikuti UN 2011 dengan benar-benar mengedepankan prinsip kejujuran. Memang, pada 2011 ini, UN bukan lagi alat seleksi utama yang menentukan kelulusan siswa. Mulai tahun ini, formula kelulusan siswa dari satuan pendidikan harus mengakomodasi nilai rapor, ujian sekolah, dan UN (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan dan Permendiknas Nomor 46 tentang Pelaksanaan UN SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2010/2011).

Formula baru yang akan dilaksanakan adalah menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah. Nilai sekolah merupakan gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1-4. Selain itu, nilai gabungan nilai sekolah dengan UN ditetapkan minimal 5,5. Dengan adanya formula baru ini, UN ulangan kabarnya akan ditiadakan karena syarat atau formula yang ada saat ini dinilai lebih longgar, yakni maksimum dua mata pelajaran dengan nilai 4, dan minimum 4 mata pelajaran dengan nilai minimum 4,25. Logikanya, dengan menjadikan UN bukan lagi alat seleksi utama yang menentukan kelulusan siswa, pelaksanaan UN seharusnya tidak lagi begitu menghantui.

Tapi, benarkah? Harus diakui, UN telah menimbulkan kepanikan di mana-mana. Bukan hanya siswa yang panik, tetapi guru, orang tua, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan walikota/ bupati pun ikut gelisah. Maka, yang terjadi adalah munculnya berbagai kecurangan, baik yang dilakukan individu maupun kolektif. Apabila kecurangan UN dibiasakan dan berkelanjutan tiap tahun, maka tidak mustahil nantinya menjadi suatu budaya dan bisa mewarnai karakter generasi penerus bangsa ini. Keadaan semacam ini akan sangat membahayakan dan dapat menghambat upaya kita dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sudah saatnya kecurangan dalam UN dihentikan.

Pertama, melaksanakan semua ketentuan dan tata tertib UN. Melarang semua peserta UN membawa HP, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun ke dalam ruang UN serta selama UN berlangsung. Mencegah peserta UN untuk bekerja sama, memberi atau menerima bantuan dalarn menjawab soal, memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat pekerjaan peserta lain. Di sinilah dituntut kejelian dari pengawas ujian. Kedua, selain pengawas ujian, siapa pun dilarang termasuk pejabat, tidak diperkenankan masuk ruang ujian. Pengawas ujian tidak diperbolehkan membawa ponsel.

Pengawas ujian harus profesional, independen, dan tegas melaporkan setiap bentuk kecurangan UN. Ketiga, mewaspadai adanya “Tim Sukses UN”. Modus operandinya “Tim Sukses UN” (biasanya guru mapel yang di UN-kan) mengerjakan soal ujian dan memberikan jawaban kepada siswa dengan memakai kertas lintingan, menuliskan jawaban di toilet, dan berbagai cara lainnya. Hal ini dilakukan untuk meraih target lulus UN seratus persen dan menjaga nama baik sekolah. Keempat, menutup peluang mengganti/ manipulasi lembar jawaban komputer (LJK) atau menyiapkan LJK bayangan karena ada banyak cadangan LJK, khususnya bagi siswa yang diragukan kompetensinya oleh sekolah.

Untuk mencegah hal ini, maka lembar jawaban yang telah selesai dikerjakan siswa di setiap ruangan, setelah dicek oleh pengawas perlu segera dimasukkan ke dalam amplop dan ditutup/dilem/disegel di masing-masing ruangan ujian oleh masing-masing pengawas ujian dengan disaksikan oleh peserta ujian. Sehingga di ruang panitian ujian hanya mengumpul amplop lembar jawaban yang telah disegel. Kelima, memberikan hukuman yang setimpal bagi siapa yang terlibat dalam melakukan kecurangan-kecurangan UN, bila perlu hukuman pidana. Karena, UN merupakan salah satu bagian dari agenda nasional.

Bahkan, materi UN sudah dijamin kerahasiaannya dengan memasukannya ke dalam dokumen negara. Karena itu, jika sampai bocor pelaku bisa diancam pidana. Apalagi, UN masih diragukan kredibilitasnya oleh para rektor sebagai salah satu persyaratan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Fakta integritas yang telah digagas oleh pemerintah dengan kepala sekolah dan kepala-kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota, masih belum bisa menjamin UN berjalan jujur. Semua pihak yang terlibat dalam UN, baik siswa, guru, kepala sekolah, panitia penyelenggara, dan pejabat daerah harus menggunakan hati nurani agar hasil UN kali ini benar-benar jujur dan kredibel.

Janganlah kita hanya berorientasi pada hasil dan target tingginya tingkat kelulusan. Pelaksanaan UN jangan dikotori dengan cara-cara yang tidak mendidik dan membunuh kejujuran nurani. UN harus berlangsung jujur dan kredibel karena dari situlah akan diperoleh peta kualitas kualitas pendidikan, mendiagnosis, dan menentukan kebijakan yang tepat untuk perbaikan di masa mendatang. Selamat mengerjakan UN!

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

Oleh: Sutrisno

Selasa, 12 April 2011

Anggota DPR Miskin Empati

Harian Joglosemar / Selasa, 12/04/2011 09:00 WIB - Sutrisno

Sutrisno
Pemerhati masalah sosial politik, guru

Bangsa Indonesia seharusnya terperangah, kaget, prihatin, dan sakit hati, menyaksikan bagaimana wakil-wakil rakyat di parlemen makin menunjukkan ketamakan dan ketidakpeduliannya terhadap penderitaan rakyat. Meski mendapat kritik keras dari publik, DPR tetap melanjutkan rencana pembangunan gedung baru berlantai 36. Tak ketinggalan, sarana olahraga kolam renang disiapkan. Sementara, anggaran pembangunan gedung baru DPR yang semula Rp 1,8 triliun menjadi Rp 1,16 triliun.

Khalayak masih ingat, para politikus Senayan semula berdalih bahwa pembangunan gedung baru harus dilakukan karena gedung yang lama sudah tidak layak dan miring. Ternyata, alasan ini tidak benar lantaran gedung itu dari segi konstruksi masih kokoh. Dengan kata lain, proyek ini tidaklah mendesak, apalagi biayanya amat besar. Masing-masing ruang anggota DPR memakan biaya Rp 800 juta. Angka ini setara dengan harga enam unit rumah susun bersubsidi yang sampai sekarang pun target pembangunannya belum terpenuhi.

Alasan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa biaya itu pantas untuk jabatan anggota Dewan, lebih tidak masuk akal lagi. Kepantasan tidaklah dilihat dari kemegahan gedung. Ukuran kepantasan adalah prestasi dan integritas moral. Hemat saya, pembangunan gedung yang menelan biaya triliunan rupiah jelas mencederai rasa keadilan dan nurani masyarakat. Hal tersebut juga merupakan potret akan miskinnya empati anggota DPR atas penderitaan rakyat dan hilangnya akal budi.

Proyek pembangunan gedung baru DPR, menjadi sebuah paradoks kehormatan yang disengaja dibuat dan menjadi penanda kebebalan para wakil rakyat. Adalah sebuah pengkhianatan jika DPR terus melaksanakan proyek yang ditentang rakyat. Jika DPR yang melembagakan aspirasi rakyat melawan kehendak dan nurani khalayak, DPR kehilangan legalitas yang paling hakiki dari eksistensinya. Sebab, mereka duduk di parlemen justru untuk memperjuangkan kehendak dan nurani rakyatnya. Kita lantas bertanya, apakah tindakan itu diambil karena mereka selama ini merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyatnya?

Pengkhianatan terhadap nurani publik bisa tumbuh subur karena mentalitas korupsi yang mengakar dalam. DPR hanya berteriak tentang reformasi di lembaga lain, tetapi tidak mau mereformasi diri sendiri. Terlihat dengan sangat jelas ketika otoritas budget DPR ditentukan sendiri, kerakusan tidak terbendung. Dan seperti mudah diduga, kerakusan yang tidak mengenal malu itu dipicu kepentingan pundi-pundi individu di lembaga itu. Kalau sebuah proyek atau rencana yang tidak masuk akal tetap saja dijalankan, bisa ditebak muncul jaring-jaring konspirasi kerakusan.

Proyek pembangunan gedung baru DPR bertentangan dengan asas kepatutan dan kepantasan. Saat ini masih banyak persoalan yang memerlukan perhatian dan tindakan sungguh-sungguh dari para legislator, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, masalah pangan dan energi, ribuan sekolah banyak yang rusak. Banyak daerah belum memiliki rumah sakit atau instalasi air bersih yang memadai. Pembangunan infrastruktur juga masih kedodoran. Hampir setiap hari kita mendengar ada jalan rusak, korupsi tetap merajalela, perampokan kekayaan alam negeri ini tetap leluasa terjadi, serta penegakan hukum masih tebang pilih.

Transparency Internasional Indonesia (TII) menemukan banyak kejanggalan dalam proses pembangunan gedung baru DPR. Penunjukan dua konsultan, yaitu konsultan perencanaan dan konsultan konstruksi, dianggap TII sebagai salah satu kejanggalan. Kejanggalan lain, Ketua DPR Marzuki Alie mengungkapkan dana tahap perencanaan mencapai Rp 18 miliar, padahal uang yang disiapkan Rp 50 miliar. Lalu yang Rp 32 miliar lari ke mana? (Republik, 17/1/2011). Rencana pembangunan gedung baru tersebut terlihat tidak transparan dan mengarah pada tindakan korupsi. Sinyal adanya indikasi korupsi itu disampaikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Campur Tangan Tuhan

Jika DPR bersikukuh melaksanakan pembangunan gedung baru, maka (meminjam Habermas, 1975) DPR telah mengalami legitimation crisis. Krisis parlemen sering diciptakan dan pembentukannya oleh agen-agen yang berada di depan dan di belakang parlemen itu sendiri. Agen-agen itu adalah mereka yang memberi fasilitas, sarana dan kekuatan lainnya untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.

Sejumlah prestasi buruk dan perilaku tak terpuji dari anggota DPR membuat citra dan reputasi DPR yang telah berusia 65 tahun di mata masyarakat menjadi rusak. Misalnya, anggota DPR yang hobi melakukan bolos saat sidang paripurna DPR. Produktivitas melakukan tugas konstitusionalnya seperti legislasi juga layak mendapat poin merah. Karena target 70 UU yang akan disahkan sepanjang periode sidang 2009-2010 tampaknya gagal total. Karena hingga saat ini baru tujuh UU yang disahkan DPR.

Kontroversi lainnya juga muncul dari DPR dengan beragam ide yang berseberangan dengan logika publik secara umum. Seperti gagasan dana aspirasi yang direncanakan Rp 15 miliar per anggota untuk setiap daerah pemilihan (Dapil). Ada lagi Rumah Aspirasi yang menyedot Rp 374 juta untuk setiap rumah aspirasi. Belum mereda kontroversi itu muncul pula soal dana infrastruktur. Dalam persoalan ini, logika DPR bertubrukan dengan logika umum. Kenyataan itu diperparah oleh ulah koruptif para wakil rakyat, dengan menyimpangkan hak dan kewenangan konstitusionalnya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Banyak anggota DPR yang masuk bui, terjerat kasus korupsi miliaran rupiah.

Bahkan, di tengah kontroversi rencana pembangunan gedung baru, justru salah satu anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Arifinto, tertangkap kamera tengah menonton gambar porno saat rapat paripurna (Joglosemar, 9/4/2011). Dalam konteks inilah sesungguhnya Marzuki Alie sedang ditampar video porno yang ditonton anggotanya saat paripurna. Kasus video porno yang ditonton anggota DPR saat sidang paripurna terbuka adalah campur tangan Tuhan yang “mengingatkan” dan membuka mata Ketua DPR Marzuki Alie dan fraksi-fraksi di DPR yang sangat ngotot ingin membangun gedung DPR. Hal itu agar merek mau introspeksi diri dan menghentikan arogansinya karena pembangunan proyek ini tidak ada manfaatnya.

Soal gedung baru DPR, logika sederhana mengatakan, buat apa negara membangunkan gedung baru, mewah, dan mahal jika penghuninya hanyalah sekumpulan orang yang berjuang demi diri mereka sendiri dan kelompoknya. Kita berharap, DPR membatalkan rencana pembangunan gedung baru tersebut. Akan lebih baik, jika DPR membuktikan dulu kualitas kewibawaan di mata publik dengan kinerja yang profesional dan benar-benar pro rakyat, baru setelah itu rakyatlah yang akan mengantar dan mendorong mereka untuk melengkapi kebanggaan-kebanggaan yang bersifat fisik.