NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Sabtu, 23 Juli 2011

Membebaskan Anak dari Pengaruh Televisi



Dimuat di Koran Sinar Harapan / Jum’at, 22-07-2011

Membebaskan Anak dari Pengaruh Televisi

Penulis : Sutrisno*

Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). HAN harapannya dapat dijadikan hari ketika anak-anak Indonesia bergembira merayakan terpenuhinya hak-hak mereka untuk tumbuh kembang dengan sehat dan bebas dari pengaruh buruk lingkungan.
Namun betulkah anak-anak kita terbebas dari pengaruh lingkungan seperti media massa dan terutama tayangan televisi? Penelitian Koalisi Nasional Hari Tanpa Televisi Tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia menonton televisi selama 3-5 jam sehari atau 30-35 jam seminggu.
Alokasi waktu untuk menonton televisi secara umum lebih banyak daripada kegiatan lain. Bagi sebagian anak, televisi adalah hiburan gratis. Bisa terjadi hampir sepanjang hari waktu mereka diisi dengan menonton tayangan televisi. Padahal, televisi dengan fungsi luhurnya sebagai media infotainment dan edutainment tergeser oleh dominasi tontonan hiburan yang kadang tidak edukatif.
Ketika televisi sekadar menyodorkan fakta dan tidak menaruhnya dalam sebuah frame seperti umumnya terjadi sekarang, televisi sebenarnya punya andil dalam proses pelapukan generasi penerus. Media Watch, sebuah lembaga riset media yang terbit di Jawa Timur (Mei 2005), melaporkan jumlah total tayangan anak selama 9-15 Mei 2005 mencapai 151,5 jam seminggu. Pada 2003, lembaga riset lain melaporkan jumlah tayangan anak mencapai 125 jam seminggu.
Peningkatan itu merupakan bukti anak sebagai konsumen potensial secara bisnis. Bagi penyelenggara stasiun televisi, niscaya tayangan acara untuk anak lebih mempertimbangkan kepentingan bisnis.
Kita lupakan dulu faktor isi. Kita berikan fokus pada hilangnya waktu belajar. Secara tidak langsung tontonan yang ditayangkan tanpa frame itu mereka santap. Bunyi dan gambar memengaruhi perkembangan kejiwaan anak. Anak yang disodori tayangan kekerasan, lagi-lagi tanpa frame, mengalami pembentukan opini kekerasan sebagai sesuatu yang biasa.
Terlebih lagi tayangan acara anak pun tidak ramah anak (kids friendly), tayangan televisi berdampak negatif bagi pembentukan kejiwaan mereka. Televisi mengkhianati misi luhurnya sebagai lembaga pendidikan. Bukan maksud kita memvonis televisi itu salah. Sebagai industri padat modal, sah-sah saja mereka mengejar segi finansial: agar segera balik modal, agar keuntungan finansial terus membesar.
Namun, dalam konteks fungsi media untuk ikut serta mencerdaskan bangsa, selayaknya kita ingatkan peran luhur itu. Yang bisa mereka sumbangkan adalah ikut serta dalam proses pembentukan generasi penerus, anak-anak kita, anak-anak mereka.
Mochamad Riyanto Rasyid (2011), salah seorang komisioner KPI Pusat menegaskan bahwa secara umum TV memiliki dampak, antara lain: Pertama, dapat merusak mental sekaligus pola pikir anak-anak. Anak balita yang sering menonton literasi media cenderung memiliki keterlambatan perkembangan kognitif dan bahasa dalam 14 bulan, terutama jika mereka sedang menonton program televisi yang diajukan untuk orang dewasa dan remaja.
Kedua, mengajarkan dan menanamkan budaya komersial atau konsumerisme dalam diri anak-anak. Ketiga, TV dapat berdampak negatif pada kesehatan badan. Keempat, TV tak jarang dapat melalaikan waktu bekerja, beribadah, dan melupakan kewajiban lainnya yang lebih penting. Kelima, mengganggu jam belajar anak, dan televisi juga menghadirkan dunia yang merupakan rekayasa hasil bentukan media berdasarkan konstruksi media itu sendiri.
Dalam sebuah artikel karya George Gerbner dan Kathleen Connolly berjudul Television as New Religion (1980) jelas disebutkan televisi sebagai surrogate parent maupun substitute teacher, sehingga para orangtua, guru, dan pemuka agama telah kehilangan peran mereka di hadapan anak-anak. Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton televisi lebih banyak dibandingkan saat berbagi peran dengan orang tua.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan anak-anak (usia 2 sampai 11 tahun) dalam seminggu bisa menonton televisi rata-rata 25 jam 10 menit, tetapi kajian seorang peneliti media yang belum dipublikasikan mempunyai data anak-anak di Jakarta bisa menghabiskan 36 jam.
”Rating”
Praktisi televisi komersial menempatkan rating sebagai sosok setengah dewa. Rating tinggi berarti iklan bakal mengalir. Inilah fakta di balik layar. Strategi program lebih mengutamakan pertimbangan ekonomi, baru menyusul alasan lain, seperti kecerdasan masyarakat dan perkembangan budaya.
Jadi kalau sudah bicara rating, jangan berharap banyak atas moral penonton. Pengelola televisi tak bertanggung jawab atas dampak dari tontonan. Celakanya sejumlah program televisi yang semestinya tidak ditonton anak-anak justru menjadi pilihan.
Mengutip pendapat Dedy N Hidayat, PhD, Ketua Program Pascasarjana Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia, “Sesungguhnya potret Indonesia di masa datang sebagian bisa diprediksi dari apa yg dikonsumsi oleh anak-anak kita melalui media, khususnya televisi”. Anak-anak harus kita bebaskan dari pengaruh tayangan televisi yang tidak mendidik dan berdampak negatif.
Untuk itu, para orang tua harus sungguh-sungguh memperhatikan kebiasaan anak di depan televisi. Rasionalitas orang tua sangat membantu anak-anak untuk memberikan daya tolak terhadap program televisi. Masalah tayangan televisi dan anak merupakan persoalan mendesak untuk ditangani. Ketidakpedulian pengasuh televisi, yang pada dasarnya cermin ketidakpedulian kita, perlu jadi kapstok.
Di tengah tali-temalinya persoalan, di tengah gencarnya tayangan televisi yang tidak diberi kerangka, kita sodorkan persoalan tentang jati diri lembaga pendidikan yang utama, yakni peranan orang tua dan keluarga. Benarlah pepatah, anak ibarat anak panah. Seberapa jauh dan ke mana arah anak panah melesat tergantung juga dari kekuatan kedua tangan orang tua melesatkannya.

*Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal di Solo.

Deskriminasi Difabel



Wedangan
Dimuat di Suara Merdeka / Solo Metro / D/ Kamis, 21 Juli 2011

Deskriminasi Difabel

Oleh Sutrisno

Di tengah malam disertai sembribit, tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi melangkah gontai menuju tempat tongkrongannya, wedangan tradisional. Mereka pun menggelar tikar duduk lesehan.
“Minum apa?” Lik Warto datang menghampiri dan bertanya.
“Kopi, jahe, dan the ginastel, yang hangat-hangat saja. Terus, gorengan yang komplit ya Lik! Ojo lalo jadah bakare!” pesan Ponijo lantas duduk selonjor.
“Kota Solo sekarang ini tambah cantik, megah dan moncer. Infrastruktur kota, telah tumbuh bak jamur musim hujan. Sarana publik pun juga makin diberdayakan. Kota Solo akan tampil sebagai Kota Metropolis bersaing dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia,” kata Ponidi mengawali jagongan lesehan.
“Tak salah kiranya panjenengan berkata begitu, namun dibalik semua itu, apakah semua elemen masyarakat Kota Solo sudah dapat menikmatinya tanpa ada diskriminasi sekecil apapun?” ujar Poniman yang asli Wong Solo.
Rupa-rupanya pernyataan Poniman cukup menggelitik telinga. Ponijo dan Ponidi pun menyilangkan kakinya pertanda ada yang serius dari jagongan itu. Minuman dan makanan yang dipesan pun telah tiba.
“Lho..lho..lho.., apa maksud Kangmas Poniman berkata: “tanpa ada diskriminasi” itu?” buru-buru Ponijo bertanya.
“Oh..itu. Maksudnya, di Kota Solo ini masih terjadi deskriminasi terhadap para penyandang cacat (kaun difabel). Kaum difabel adalah kelompok minoritas di Kota Solo. Wajar jika keberadaan mereka kurang direspon secara positif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Amereka sering mendapat perlakuan deskriminatif di berbagai aspek kehidupan, entah di bidang pendidikan, polotik, sosial, olah raga, budaya dan sebagainya. Lebih-lebih dalam hal aksesbilitas menggunakan fasilitas umum,” tutur Poniman sembari menyeruput kopi manis.
“Benar juga kata Kangmas Poniman. Di Kota Solo, diskriminasi kaum difabel begitu kentara. Buktinya, hak-hak kaum difabel belum terpenuhi dalam kebijakan Pemkot. Contohnya: dalam pembangunan Pasar Tradisional yang tak menyisakan akses jalan bagi kaum difabel, gedung, swalayan/mal, dan kantor yang tak ada akses untuk kursi roda, trotoar yang sudah tak bersahabat bagi tuna netra, shelter Batik Solo Trans (BST) yang tak bisa dinikmati difabel. Apalagi dalam transportasi belum ada kenyamana sama sekali,” Ponijo menimpali seraya mencomot bakwan dan lombok.
Betapa malangnya nasib kaum difabel itu. Sudah fisik dan fungsi anggota badan tak normal, perlakuan sosial oleh pemerintah dan masyarakat juga mengenaskan. Fenomena itu, tenta amat menyakitkan. Bukanah kaum difabel juga manusia yang menjadi cacat karena suratan Tuhan? Sangat tidak adil jika kita semakin menambah panjang daftar deritanya.
Angin malam kian terasa menusuk tulang. Poniman pun mengancingkan jaket untuk menahan dingin. “Itu artinya, Kota Solo tak ramah bagi kaum difabel. Padahal, di era 1970-an, surga kaum difabel. Patung orang buntung kaki di depan Pasar Sidodadi sekaligus menjadi pintu masuk sebelah barat Kota yang mestinya menjadi ikon Solo Kota ramah kaum dfabel seolah hanya menjadi patung tanpa makna,” keluh Poniman begitu sedih.
Hentikan Deskriminasi
Sambil meraih tahu susur di dalam piring, Ponidi bertanya: “Bagaimana menghentikan diskriminasi terhadap kaum difabel di Kota Solo?”
Sejenak Poniman mengerutkan dahinya dan tangannya ditempel menyangga kepala.
“Menurut saya, kaum difabel harus mendapat perlakuan yang sama layaknya dengan masyarakat normal lainnya. Apalagi, Kota Solo telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Warga Difabel, maka semua kepentingan dan hak kaum difabel harus diakomodasi dalam kebijakan Pemkot Solo”.
Tidak hanya kepentingannya, lanjutnya, kriteria kenyamanan dan standar keselamatan ruang publik bagi kaum difabel harus diutamakan. Kepekaan dan solidaritas terhadap kaum difabel harus terus digalang. Perlakuan manusiawi dan humanistis kunci pokok terwujudnya masyarakat yang peduli masa depan difabel. Sudah saatnya diciptakan kondisi yang membuat kaum difabel enjoy dengan kekurangannya. Kita menanti gebrakan Pak Jokowi untuk peduli terhadap kaum difabel.

- Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri, berdomisili di Solo.