NO WASTING TIME!

Rabu, 18 Januari 2012

Aceh Setelah Tujuh Tahun Tsunami

Oleh Sutrisno

Guru dan Pemerhati Masalah Bangsa

TUJUH tahun lalu, Aceh dihancurkan oleh gempa dan tsunami. Musibah gempa 8,9 skala Richter disusul gelombang raksasa tsunami menimpa Aceh, Minggu (26 Desember 2004) pagi. Sekitar 250 ribu jiwa meninggal dan hilang, 500 ribu warga menjadi pengungsi, ratusan ribu luka-luka, lebih 100 ribu unit rumah rusak. Banyak jalan/jembatan terputus dan berbagai kerusakan lainnya, termasuk sekolah dan fasilitas kesehatan.

Masyarakat dari berbagai dunia datang ke Aceh dan bahu-membahu menata kembali Aceh di bawah koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah menjalankan tugasnya selama empat tahun dan kondisi Aceh mulai membaik, maka Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang dikepalai oleh Dr Kuntoro Mangkusubroto menutup operasionalnya di Aceh dan Nias, 16 April 2009.

Kini, setelah tujuh tahun berlalu. Provinsi itu tengah berbenah diri membangun kembali. Tentu, untuk itu tak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga kesabaran. Tidak bisa membangun Aceh dan Nias seperti membalikkan telapak tangan. Kabarnya, roda perekonomian di Aceh saat ini relatif berjalan baik. Diharapkan, makin banyak investor masuk dan menanamkan modalnya di provinsi tersebut, meski peraturan tentang investasi belum ada. Diharapkan, kondisi seperti itu terus berlangsung setelah BRR menyerahkan kembali pembangunan Aceh kepada pemerintah daerah setempat.

Kerusakan lingkungan akibat gempa dan tsunami di daerah itu juga harus segera diatasi. Ancaman gelombang pasang akibat perubahan iklim bukan mustahil bisa pula menjadi masalah di Aceh, juga Nias. BRR telah melakukan penanaman hutan bakau di Aceh. Dari 35.137 hektare (ha) luas lahan bakau yang rusak akibat bencana tsunami, 11.938 ha telah ditanami lagi, tetapi hanya sekitar 5.281 ha yang dinilai berhasil. Kawasan bakau mulai hidup kembali. Selain berfungsi sebagai “tanggul alam" atau sabuk hijau (green belt) bagi kawasan daratan, hutan itu penting untuk ekosistem ikan puluhan ribu petani tambak. Selain menanam bakau, BRR juga membangun tembok-tembok di sepanjang pantai (seawalls) untuk mencegah dampak tsunami yang lebih besar.

Membangun harapan bagi rakyat korban tsunami di Aceh adalah pekerjaan besar yang harus menjadi perhatian kita semua. Kemampuan kita “menyulap" wajah Aceh menjadi lebih baik dinantikan semua orang dan menjadi barometer untuk menilai apakah kita mampu mengurus anak bangsa ini. Termasuk juga meyakinkan negara-negara donor dan organisasi internasional agar mereka merealisasikan komitmen bantuan yang pernah diucapkan. Sebab, bencana Aceh merupakan “panggung nasional" yang sangat tinggi dan bisa menghasilkan keuntungan finansial dan politik.

Karenanya, selain menuntut tanggung jawab dan peran yang lebih besar dari negara, upaya mengajak partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi teramat penting. Sebab, tsunami telah membelah orang Aceh: korban dan rekonstruktor. Masing-masing hidup dalam sistem ekologi yang terpisah. Bentuk relasi mereka adalah antara obyek bantuan dan pengelola (subyek) bantuan.

Korban hidup dalam ekologi tenda dan barak. Rekonstruktor hidup di rumah-rumah bagus dan ber-AC. Mereka memperoleh pendapatan tetap, fasilitas berlipat melampaui para korban yang justru dikelolanya. “Dana takziah" untuk ratusan ribu orang Aceh yang hilang dan meninggal akibat tsunami justru lebih banyak dinikmati oleh para rekonstruktor ketimbang korban.

Ironis memang, tapi itulah realitasnya. Kita ingin agar korban menjadi obyek sekaligus subyek dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Karena itu, salah satu elemen mendasar dari proses demokratisasi yang solid adalah partisipasi masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui program pembangunan kembali dan proses pembuatan kebijakan yang partisipatif.

Selanjutnya, perlu dilanggengkan penggalangan kesepakatan dan upaya bersama untuk berdiri sendiri, sehingga ada solidaritas yang luas dan lintas strata di tingkat bawah serta kesadaran bersama yang meluas. Dan, yang terpenting adalah bagaimana suara dari bawah selalu diusahakan mendapat saluran ke atas, dan kebijakan dari atas harus selalu dinilai secara kritis dari bawah. Upaya mendorong keseimbangan ini adalah upaya berat untuk penguatan pranata sosial. Tapi tanpa ada dialog yang dinamis seperti ini, penguatan pranata sosial menjadi isu yang abstrak bagi rakyat korban tsunami dan rakyat Aceh umumnya.

Peringatan tujuh tahun tsunami juga sekaligus momentum untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada segenap pihak, baik rakyat Indonesia maupun dunia internasional yang sejak awal tragedi hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi masih terus membantu rakyat Aceh. Begitu pun, melalui kampanye di media, lembaga-lembaga donor internasional perlu didorong agar memiliki pertanggungjawaban kepada masyarakat Aceh yang dibantunya, tidak hanya pada konstituen mereka yang memberi dana.

Perlu disadari, membangun kembali Aceh yang telah dihancurkan oleh gempa dan tsunami tidak mudah. Kenyataan itu hendaknya tidak perlu membuat mereka yang terlibat putus asa. Sebaliknya, justru memacu mereka, termasuk Pemda, untuk bekerja lebih giat lagi. Kondisi politik dan keamanan di Aceh khususnya, sudah makin baik sejak kesepakatan damai Helsinki ditandatangani. Pilkada langsung pun sudah bisa diselenggarakan dengan aman. Kondisi ini hendaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun Aceh.

Tahun 2012, Aceh (dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota) menerima total alokasi dana senilai Rp19,1 triliun. Dana ini diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Gubernur Aceh, Irwandy Yusuf, dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Harapannya, supaya dana ini digunakan sebaik-baiknya. Tentu, indikator atau parameternya tak lain adalah tata kelola keuangan pemerintahan yang baik. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi itu antara lain keterbukaan, dapat dipertanggungjawabkan, tepat sasaran, berdaya guna, dan berhasil guna.

Dengan alokasi belanja pembangunan yang makin tinggi, akan makin banyak dan luas sektor-sektor pembangunan dan kebutuhan masyarakat yang terpenuhi. Kita sungguh-sungguh mengharapkan, melimpahnya dana atau anggaran di Aceh ini akan sejalan dengan makin membaiknya derajat kehidupan dan kesejahteraan seluruh masyarakat daerah itu.

*)Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Rabu, 18 Januari 2012

0 komentar: