NO WASTING TIME!

Selasa, 17 Januari 2012

Balada Negeri Kekerasan

Oleh Sutrisno

Prihatin. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa kekerasan telah menjadi budaya masyarakat kita. Mulai dari tawuran antar pelajar dan antar kampung, kekerasan komunal (di Papua, Ambon, Makasar), kekerasan agama, hingga konflik agraria (Mesuji dan Bima).

Negara yang sempat dikenal sebagai negara yang ramah, santun, toleran dan mencintai kedamaian seolah terkebiri oleh berbagai kekerasan diantara masyarakat Indonesia sendiri. Berbagai perintiwa kekerasan itu pun seolah kian membenarkan kajian Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (Roots of Violence in Indonesia: 2002) yang menyebut Indonesia sebagai negeri kekerasan.

Balada kekerasan tersebut mewartakan disharmoni masa kini dan masa depan bangsa. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003).

Berdasar penyelidikan beberapa kasus kekerasan akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi sebelumnya. Ideologi agama, frustasi sosial, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan.

Kekerasan juga sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability (krisis kepemerintahan). Krisis kepemerintahan yang berkaitan dengan krisis legitimasi ditandai oleh proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara).

Dua proses itu menurut Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis (1975), diliputi “negara” yang semakin terbelenggu oleh dikotomi sektor publik dan privat.

Francis Fukuyama mengatakan, sejak demokrasi liberal menyebar secara agresif dalam satu dekade terakhir, banyak negara mengalami proses pelemahan. Bisa ditambahkan pula, proses pelemahan negara di Indonesia dalam satu dekade terakhir lebih krusial karena terjadi bersamaan dengan ketidakpastian pasca perubahan politik dari era otoriter ke era reformasi. Kondisi uncertainty inilah, yang meberikan ruang bagi aksi-aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Kekerasan merupakan noda demokrasi. Meminjam ungkapan Y.B. Mangunwijaya, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan! Pada dasarnya, manusia dengan demikian juga masyarakat dan bangsa yeng cerdas dengan sendirinya tidak suka dengan kekerasan. Kekerasan merupakan instingtif hewani, utamanya binatang buas, bukan sifat dasar manusia, masyarakat, bangsa yang bermartabat (Aloys Budi Purnomo, 2010)

Bentrokan, tawuran massa, konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) serta konflik agraria mestinya dapat di cegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Tetapi, aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Bahkan, aparat ikut terlibat dalam konflik.

Pemerintah tidak boleh mendiankan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan, kemudian lalai mengantisipasi. Jika negara tidak boleh kalah, para pemimpinya harus tegas dan berani.

Kita sadar, ancaman di Indonesia bisa datang setiap saat dengan pola dan modus yang bermacam-macam. Pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan di negeri ini.

Paling utama, pemerintah segera menuntaskan ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan pilitik, dan ketidakadilan lain di negeri ini.

Pemerintah dengan segenap aparat keamanan dan penegak hukum (BIN, TNI, Polri) harus memberikan rasa aman dan nyaman terhadap warganya.

Selanjutnya, saluran komunikasi atau aspirasi harus dibuka di semua level pemerintahan, dari tingkat rendah hingga pusat. Pemerintah dan masyarakat juga mesti menghapus budaya kekerasan, yang dimulai dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusnya sangatlah sederhana, yaitu menempatkan manusia Indonesia darimanupun latar belakangnya untuk dapat berperan dalam kehidupannya, dihargai dan dihormati segala kelebihan dan kekurangannya secara adil dan beradap dalam semua dimensi kehidupan.

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*) Dimuat di Jawa Pos / Minggu, 15 Januari 2012

0 komentar: