NO WASTING TIME!

Kamis, 26 Januari 2012

Fasilitas Mewah, Kinerja Lemah

Oleh Sutrisno

Guru dan Pemerhati Masalah Bangsa

KALANGAN DPR kembali membuat kontroversi yang menunjukkan lembaga tersebut tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat dan kritik yang dialamatkan kepada mereka. Terbaru, lembaga wakil rakyat itu diketahui telah mengerjakan proyek pembangunan ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR. Pembangunan ruang baru Banggar tidak terdeteksi media massa sebelumnya karena dilaksanakan pada masa reses DPR, periode Desember 2011.

Proyek yang mengambil tempat di Gedung Nusantara II DPR itu memakan anggaran yang terhitung sangat besar, yakni mencapai Rp20 miliar. Sebagian besar dana dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kapasitas ruang yang ada dan memperbarui sistem, penerangan, air conditioner (AC), sound system, akustik, lantai, dan plafon. Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menjelaskan, dana sebesar itu juga digunakan untuk membiayai tender konsultan perencana, tender konsultan pengawas, dan tender pelaksana pekerjaan (Jurnas, 12/1/2012).

Pengerjaan proyek yang terkesan diam-diam itu semakin melengkapi kritik atas lembaga tersebut karena mereka juga diketahui sedang dalam proses penyelesaian proyek renovasi 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR dengan anggaran Rp2 miliar, pembangunan gedung parkir motor Rp3 miliar, serta pengadaan finger print atau absen elektronik sebesar Rp3,7 miliar.

Meski proyek itu dilaksanakan sesuai prosedur, toh tetap saja pembangunan ruang rapat mewah untuk banggar sangat menyakiti hati rakyat. Kita melihat, pembangunan ini tidak lebih hanya pemborosan. Ruang rapat yang ada di Gedung Nusantara I masih sangat layak digunakan oleh tim banggar, yang belakangan banyak anggotanya justru bermasalah dengan hukum.

Seharusnya mereka yang dipercaya masuk dalam tim banggar dan mewakili rakyat lebih mengutamakan kesederhanaan, bukan mengedepankan selera kemewahan. Banggar seharusnya tidak mengutamakan pembangunan ruang rapat, tetapi lebih memperjuangkan kebijakan anggaran prorakyat. Ironisnya, selama ini anggaran yang prorakyat nyaris tidak sebanding dengan anggaran untuk para legislator.

Aneh kalau Ketua DPR Marzuki Alie mengaku sama sekali tidak mengetahui pembangunan ruang rapat mewah tersebut. Seperti soal renovasi toilet, halaman parkir, dan juga rencana pembangunan gedung DPR. Marzuki berdalih itu masuk ranah Sekretariat Jenderal DPR. Terlepas diketahui atau tidak oleh pemimpin DPR, namun pembangunan ruang rapat mewah itu telah menyakiti hati rakyat.

Pengkhianatan terhadap nurani publik bisa bertumbuh subur karena mentalitas korupsi yang mengakar dalam. DPR hanya berteriak tentang reformasi di lembaga lain, tetapi tidak mau mereformasi diri sendiri. Terlihat dengan sangat jelas ketika otoritas anggaran DPR ditentukan sendiri, kerakusan tidak terbendung.

Dan, mudah ditebak, kerakusan yang tidak mengenal malu itu dipicu kepentingan pundi-pundi individu di lembaga itu. Kalau sebuah proyek atau rencana yang tidak masuk akal tetap saja dijalankan, bisa ditebak muncul jaring-jaring konspirasi kerakusan. Salah satunya keterkaitan antara pemenang proyek dan pemegang otoritas.

Kelihatannya DPR sudah terjebak ke dalam kemewahan sesaat. Mereka yang sudah menerima gaji puluhan juta itu tidak peduli lagi pada kepentingan masyarakat. Mereka merasa harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan pemerintah yang menurut mereka sudah sangat “wah" fasilitas dan posisinya. Mereka pun tak mau kalah menuntut pemerintah memuluskan niatnya.

Renovasi 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR, pembangunan gedung parkir motor, pengadaan finger print, dan pembangunan ruang baru Banggar benar-benar sebuah pekerjaan yang hanya memuaskan keinginan dan hasrat anggota DPR semata. Tidak heran kalau banyak pihak menyatakan bahwa DPR sedang mengajarkan perilaku mewah (hedonis) kepada seluruh elemen masyarakat.

DPR sudah diberi fasilitas mewah, tapi kinerja lemah. Di bidang legislasi, dari target penyelesaian sebanyak 50 UU, hanya terealisasi 18 UU. Bahkan, sejumlah UU produksi DPR mengalami tumpang tindih dengan UU lainnya. Di bidang anggaran, hak dan kewenangan DPR untuk mengontrol penggunaan anggaran yang dilakukan pemerintah tidak dijalankan dengan baik.

Dalam mengawasi anggaran, kenyataannya banyak yang malah dimanfaatkan untuk transaksi. Sementara untuk fungsi pengawasan, tidak jauh beda. DPR dinilai gagal mengawasi jalannya pemerintahan dengan baik. Selain itu, publik menilai DPR terkesan alpa mengawasi pelaksanaan undang-undang. DPR terkesan sebagai agennya pemerintah. Terbukti banyak kebijakan pemerintah yang tidak mendapat penolakan berarti.

Rencana pembangunan ruang baru Banggar bertentangan dengan asas kepatutan dan kepantasan. Saat ini masih banyak persoalan yang memerlukan perhatian dan tindakan sungguh-sungguh dari para legislator. Warga korban lumpur Lapindo masih menjerit dan hidup dalam ketidakpastian, harga bahan kebutuhan pokok dari hari ke hari semakin melambung, tarif dasar listrik dan harga BBM yang terus naik, seiring dicabutnya berbagai subsidi, korupsi tetap merajalela, perampokan kekayaan alam negeri ini tetap leluasa terjadi, dan penegakan hukum masih tebang pilih.

Jika DPR bersikukuh melaksanakan pembangunan gedung baru, maka--pinjam istilah Jurgen Habermas (1975)--DPR telah mengalami legitimation crisis. Krisis parlemen sering diciptakan dan pembentukannya oleh agen-agen yang berada di depan dan di belakang parlemen itu sendiri. Agen-agen itu adalah mereka yang memberi fasilitas, sarana dan kekuatan lain untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.

Akan lebih baik jika DPR membuktikan terlebih dahulu kualitas kewibawaan di mata publik dengan kinerja yang profesional dan benar-benar prorakyat, barulah setelah itu rakyatlah yang akan mengantar dan mendorong mereka untuk melengkapi kebanggaan-kebanggaan yang bersifat fisik.

*) Dimuat di Harian Jurnas Nasional, Jakatra / 25 Januari 2012

0 komentar: