NO WASTING TIME!

Selasa, 17 Januari 2012

Gerak Politik Parpol

Oleh: Sutrisno

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Jumat (11/11) lalu, mengumumkan, berdasarkan hasil verifikasi atas 14 parpol yang mendaftar sejak 17 Januari hingga 22 Agustus 2011, hanya Partai Nasdem yang lolos verifikasi. Sedangkan parpol baru seperti Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN), dan Partai Karya Republik, diberi kesempatan menyelesaikan persyaratan administrasi sebagai badan hukum.
Adanya parpol dianggap sudah menunjukkan substansi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi dianggap sudah berjalan, ketika kita memiliki lembaga-lembaga (institusi) politik. Tentu pandangan ini tidak salah, tetapi kurang lengkap. Sebab, keberadaan institusi politik tidak serta-merta menaikkan kualitas demokrasi jika institusi tersebut tidak menunjukkan kinerja demokrasi. Jika kinerja institusi tidak baik, kita hanya terjebak kepada demokrasi prosedural, bukan substantif.
Konsep negara demokrasi memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari parpol. Sedangkan untuk menjaga eksistensi parpol di parlemen dan pemerintahan memerlukan partisipasi politik dari rakyat di mana partai itu berada. Parpol merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan mengaitkannya dengan aksi politik dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Jadi, orientasi parpol itu umumnya bertujuan untuk merebut kekuasaan dan mempengaruhi atau membuat suatu kebijakan yang menentukan nasib kebanyakan orang. Tetapi, instrumen parpol tidak akan berjalan tanpa adanya partisipasi politik. Miriam Budiardjo menyatakan, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contracting) dengan pejabat pemerintah dan sebagainya.
Sedangkan Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science, menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Demokrasi memang membebaskan siapa pun mendirikan parpol. Tapi, yang seyogianya dipahami, demokrasi juga membutuhkan syarat adanya penataan. Para teoritisi demokratisasi seperti Samuel Huntington, Larry Diamond, Guillermo Donnel dan Philippe Schmitter, menyebut penataan politik sebagai proses lanjutan dari transisi demokrasi. Tanpa penataan atau dikonsolidasikan, bukan tidak mungkin negeri ini akan terjebak pada dua kemungkinan yang sama-sama buruk: (1) transisi yang permanen (permanent transition) atau bahkan anarki yang berkepanjangan (sustainable anarchy); dan (2) kembalinya sistem lama yang antidemokrasi. Dua kemungkinan buruk ini sekarang tengah mengancam proses demokratisasi di negeri ini. Untuk mencegahnya diperlukan aturan main yang memadai untuk menjamin berlangsungnya penataan demokrasi.
Tidak adanya konsolidasi demokrasi dan politik demokratis baru merupakan problem kritis dalam transisi demokrasi hari ini. Demokratisasi terhadap lima arena utama konsolidasi demokrasi modern (civil society, political society, economic society, rule of law, state apparatus) merupakan keniscayaan, tetapi tidak akan cukup untuk menjamin demokrasi jangka panjang bila hanya berhenti sebagai reorganisasi kelembagaan.
Kenyataannya memang, parpol terlalu sibuk dengan dirinya sehingga melupakan lima agenda utama demokrasi. Akibatnya, kepercayaan terhadap parpol menurun drastis. Jika ditambah dengan berbagai hasil survei yang menyatakan bahwa parpol sebagai salah satu lembaga terkorup, berarti persoalannya tidak sekadar pendirian atau gonta-ganti nama partai. Tetapi, bagaimana seharusnya parpol bisa menjadi alat untuk meraih kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata kesejahteraan wakil rakyat. Ideologi dan platform partai-partai baru harus jelas agar bisa mendapatkan tempat dan menyejahterakan kehidupan rakyat.
Dalam pandangan banyak pengamat, parpol-parpol saat ini sedang bergelut dengan yang namanya krisis, baik itu menyangkut identitas maupun ideologi. Akibatnya, visi, misi, dan arah programnya menjadi kabur atau masih dalam tataran di atas kertas yang menghiasi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART). Meskipun sejumlah parpol mengklaim memiliki ideologi yang jelas, toh kenyataannya hal itu tak lebih sekadar aksesoris. Belum menjadi acuan dalam bertingkah laku para elitenya, atau menjadi rumusan dalam perjuangan politik partai yang bersangkutan.
Dalam kondisi seperti itu, marilah kita cermati, apakah gerak politik para pendiri parpol baru maupun elite parpol yang sudah eksis saat ini memegang kesantunan dan beretika? Apakah mereka sudah punya prinsip untuk menyatu dengan hati nurani rakyat, luwes, serta konsisten untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat? Mari senantiasa kita “persembahkan” pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada mereka.

Sutrisno: Pendidik, Pemerhati masalah bangsa.

*) Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 3 Desember 2011

0 komentar: