NO WASTING TIME!

Selasa, 17 Januari 2012

Memaknai Hari Ibu

Oleh Sutrisno

Kaum perempuan di tanah air mendapat perlakuan istimewa pada 22 Desember 2011 setiap tahun yang diperingati sebagai Hari Ibu. Hari itu diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih pada ibu, memuji ke-ibu-an para ibu.

Seiring hujan turun, tiga sekawan Ponijo, Poniman, dan Ponidi pun masuk ke warung wedangan. Lik Wiryo pun langsung cekatan menyuguhkan minuman favorit mereka masing-masing.

Peringatan Hari Ibu pun menjadi fokus utama bincang-bincang ala orang pinggiran.
“Eh kangmas-kangmas, coba kita bagaimana memaknai Hari Ibu?” kata Ponidi mengawali dengan seruputan the ginastel.

Poniman menyulut batang rokok lalu berujar, “Ah, bagi saya, ibu itu bertugas mengurus rumah tangga. Jangan sampai melebihi peran kaum laki-laki. Ibu teman kasur, dapur, dan sumur,” dengan jujur dan polos mengutarakan pendapatnya dan asap rokok mengepul dari mulutnya.

“wah… wah…, gawat, pemikiran Kangmas Poniman kok sempit. Memaknai Hari Ibu itu tak sesempit itu dan hanya jadi ritual simbolik yang miskin makna. Hari Ibu jangan sekali-kali disejajarkan dengam makna Mother’s Day di Eropa dan Amerika. Dimana, perayaan itu hanya difungsikan untuk mengekpresikan penghargaan terhadap peran Ibu di wilayah domestik. Namun, lebih dari itu peringatan ini harus diartikan sebagai bentuk kemajuan perempuan, sesuai dengan harkat dan martabatnya yang memang dimuliakan oleh semua agama, “ sergah Ponijo yang sudah habis setengah gelas kopi jahe.

Ponidi hanya tersenyum kecil mendengar pendapat Poniman. “Kalau saya punya pendapat lain tentang ibu. Bagi saya, ibu adalah sumber nilai hidup yang sangat multifungsi. Saya sangat meyakini, ibu adalah sekolah utama, tempat kita beroleh pendidikan dan pengajaran secara integral. Dalam konteks pendidikan, ibu mentranformasi kearifan dan kebajikan.

Memandu kita tanpa henti sampai akhir hayatnya nilai-nilai kebaikan, baik yang sangat personal maupun yang sangat sosial. Dari ibu, kita beroleh hakikat cinta dan kasih sayang untuk pertama kali dan selamanya,” tutur Ponidi yang berprofesi guru.

Ubah Nasib

Sosok perempuan (baca : ibu) sekarang dipandang tidak hanya dalam ruang lingkup kecil yakni rumah tangga. Kini, mereka dipandang sebagai sosok yang mampu mengubah nasib bangsa. Itulah antara lain yang mendasari semangat Hari Ibu pada 22 Desember. Bukan hanya menjadi ibu bagi anak-anaknya, tapi menjadi ibu bagi bangsa ini.

Tiba-tiba wajah Poniman bersemangat setelah pendapatnya diremehkan di forum wedangan. Ia mengeryinkan dahinya berpikir keras menerabas ruang pemikiran kaum perempuan. “Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum theoloh serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural serta ketidakseraan gender sejak millenium keempat sebelum masehi sampai kini,” nada kritik pun keluar dari pemikirannya.

“Ck..ck..ck.. tak dinyana. Kangmas Poniman punya pemikiran kritis begitu. Apa yang Kangmas Poniman katakan benar adanya. Makanya, hanya dengan dekonstruksi ideologi kaum ibu yang akan melawan ketidakadilan gender. Dekontruksi bisa diartikan mempertanyakan kembali tentang apa saja. Dalam tingkatan yang tak terbatas sampai kepada penolakan ideologi yang dipaksakan,” ujar Ponijo sembari mencoba mencicipi cap jay.

“Sekali lagi, ibu merupakan sosok yang multifungsi. Ketika kini kita berada di persimpangan zaman yang sudah kisruh, gaduh dan rusuh (seperti diberitakan media massa) dan nyaris kehilangan cara untuk menyelesaikannya, maka kita butuh inspirasi ibu. Saya membayangkan bila setiap ibu di negeri ini memainkan perannya sebagaimana fungsi ibu yang sesugguhnya, Insya Allah bangsa ini akan bergerak kembali ke jalan damai dan kesejahteraan, “kata Ponidi mangakiri jagongan. (56)

Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

*) Dimuat di Harian Suara Merdeka (Wedangan) / Kamis, 22 Desember 2011

0 komentar: