NO WASTING TIME!

Senin, 30 April 2012

Komitmen UN Jujur-Bersih

Oleh: Sutrisno

Agenda tahunan bernama Ujian nasional (UN) kembali digelar. Untuk tingkat SMA/MA/SMK digelar tanggal 16-19 April, SMP/MTs/SMPLB dilaksanakan 23-26 April, dan SD/MI/SDLB 7-9 Mei 2012. UN tahun 2011 berbeda dari tahun sebelumnya, karena pemerintah telah membuat formula baru UN. Formula baru UN tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Penedidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 59 Tahun 2011 tentang Ujian Nasional.
Berdasarkan Permendikbud tersebut, kelulusan siswa ditentukan oleh tiga komponen, yakni hasil UN, nilai rapor, dan Ujian Akhir Sekolah (UAS), serta kepribadian. Meskipun UN tidak menjadi satu-satunya faktor penentu kelulusan, tapi toh pemerintah tetap membuat standar nilai minimal UN, untuk tahun depan menjadi 5,5. Dengan aturan maksimum dua mata pelajaran dengan nilai minimal 4 dan maksimum 4 mata pelajaran di atas 4,25.
Kelulusan siswa dari sekolah dengan melihat nilai gabungan dipatok minimal 5,5. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN. Rumus yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan = (0,6 x nilai Unas) + (0,4 x nilai sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN. Persentase nilai UN memiliki bobot 60 persen, sedangkan nilai olahan sekolah berbobot 40 persen.
Udara segar yang dihembuskan pemerintah adalah sekolah diberi peran serta sebesar 40% penilaian dan 60% masih mengacu pada nilai mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Siswa tidak hanya dicekoki warning yang menyesatkan dengan menakut-nakuti nilai UN harus tinggi atau di atas rata-rata kelulusan, tetapi sejak dini siswa sudah diinjeksi vitamin “keseriusan belajar” dengan mendalami semua mata pelajaran, tanpa hanya berfokus pada pelajaran yang di-UN-kan.
Keseriusan mereka akan terekam dalam nilai rapor semester yang pada gilirannya memengaruhi muara bobot 40% kelulusan. Namun, pada kenyataannya dapat dipastikan tidak sedikit pihak penyelenggara sekolah seperti kepala sekolah dan guru semata-mata lebih berorientasi meng-goal-kan ketercapaian 40% bobot tersebut dengan penilaian yang kurang objektif. Dalam pemberian nilai, akhirnya guru cenderung menjadi “dewa penolong”. Kewenangan sekolah akhirnya tercederai dengan ketakutan ketidaktercapaian bobot maksimal. Dengan kalimat lain, akan muncul mark up dalam pemberian nilai sekolah.
Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN. Ketika protes terbuka bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai drill sekeras-kerasnya berakhir dengan frustrasi dan desperasi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.
Pelaksanaan UN sampai saat ini masih masih dikotori dengan praktik kecurangan baik secara individu atau kelompok. Kecurangan UN terjadi karena belum tumbuhnya kesadaran berbuat jujur. Pada sisi lain, selama kegiatan belajar-mengajar belum diiringi upaya membangkitkan motivasi dan integritas siswa menghadapi UN. Jikapun dilakukan masih dalam persiapan latihan ujian saja. Situasi pembelajaran yang mengintegrasikan budi pekerti luhur, bekerja keras, percaya diri, dan daya juang siswa belum tampak secara operasional menyertai dalam proses pembelajaran sebelum UN.
Penulis ingatkan, pelaksanaan ujian yang tidak jujur juga meruntuhkan fungsi UN itu sendiri. UN bukanlah ajang mengadu gengsi, tetapi berfungsi sebagai pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, serta dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan itu, penyelenggaraan UN yang mantap, jujur dan berkualitas adalah salah satu prasyarat utamanya. Lebih baik penyelenggaraannya, lebih baik juga hasilnya. Mutu harus ditingkatkan. Modus penyelenggaraannya juga harus lebih profesional dan bertanggung jawab serta taat azas.
Modal utama dalam membaharuinya adalah dengan mengubah pola pikir. Persfektif kalangan dunia pendidikan juga harus dibaharui. Misalnya, lebih baik melihat kenyataan objektif daripada harus memoles diri dalam kepalsuan. Jika memang siswa tidak lulus, ditunjukkan saja tidak lulus. Ini jauh lebih baik daripada harus bermanis-manis ria, namun dikemudian hari kita menyesal. Jika sekarang kita menghendaki agar siswa kita berkualitas, mengapa tidak sejak lama kita mempersiapkan diri?
Jangan lagi ada mental instan! Jangan pula ada lagi kecurangan! Biarkan tampilan murni wajah pendidikan kita yang terlihat. Tidak boleh ada kepalsuan dan ketidakjujuran. Dengan demikian penyelenggaraan UN harus menjadi perhatian dan tanggungjawab kita bersama. Pelaksanaan UN yang benar, jujur-bersih, dan berkualitas tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, dari mulai pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. UN yang benar, jujur-bersih dan berkualitas setiap tahun memang harus menjadi komitmen bersama.

 *) Dimuat Di Harian Nasional Suara Pembaharuan Jakarta, 14 April 2012

0 komentar: