Di
rubrik ini, Koran Tempo beberapa kali
memuat artikel berkaitan dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(UU PT), baik yang ditulis oleh Dinda N. Yura (Koran Tempo, 26 April 2013) maupun Ade Armando (Koran Tempo, 4 Mei 2013). Kedua tulisan
tersebut memiliki argumentasi dalam menelaah dan mengkaji soal UU PT. Melalui
tulisan ini, saya juga akan sedikit urun
rembug (ikut bicara) mengkaji eksistensi UU PT.
Sebenarnya,
UU PT cacat secara filosofis, yuridis, dan sosiologis mendasar. Secara
filosofis, keberadaan UU PT saat ini banyak ditolak oleh PTS maupun PTN di
Indonesia. Hal ini mengingat roh dan substansinya yang belum mampu
mengaktualisasikan filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Padahal roh ini
seharusnya menjadi acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang
diharapkan.
Secara
yuridis, substansi UU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan
batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam UU. Para penyusun UU PT juga
terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan UU,
Peraturan Pemerintah, atau cukup dengan Statuta. Seharusnya suatu UU cukup
mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional
warga negara.
Secara
sosiologis, UU PT menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat
Indonesia. Hal ini terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu
dan belum berakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia.
Di
balik UU PT, ternyata menyimpan potensi bahaya terhadap dunia pendidikan. Agenda
neoliberalisasi pendidikan begitu nampak dalam UU PT. Dalam UU PT disebutkan
perguruan tinggi dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di
negara lain. Maksudnya ialah perguruan tinggi asing dapat membuka cabang di
Indonesia. Inilah “semangat dagang” dalam UU PT. Siapa yang menjamin kalau kerjasama
pendidikan tinggi asing dengan kampus lokal berjalan fair? Jangan-jangan kampus lokal nantinya hanya dijadikan boneka.
Di
situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang
pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada
pikiran konseptual, betapa pun “kecil” konsep itu. Adapun mentalitas kolonial
masih melekat pada pejabat kita cenderung “menelan saja” pendapat yang
diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah
(Daoed Joesoef, 2007). Neoliberalisasi mengaburkan misi pendidikan tinggi di
negara berkembang yang saat ini terfokus “secara merata” pada aspek ekonomi,
sosial-budaya dan politik. neoliberalisasi membuat misi pendidikan terfokus
hanya pada aspek ekonomi (Agus Suwignyo, Pendidikan
Tinggi & Goncangan Perubahan, 2008).
Bahaya
lain yaitu aroma privatisasi dalam UU PT dengan semangatnya memaksakan otonomi
perguruan tinggi. Di sini, otonomi perguruan tinggi diartikan sebagai
kewenangan atau kemandirian perguruan tinggi dalam mengelola lembaganya,
termasuk dalam tata-kelola keuangan (Pasal 63). Dengan konsep “otonomi
perguruan tinggi” itu, negara sebetulnya sudah lepas tangan dalam hal
penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain itu, negara juga melepas
tanggung-jawabnya dalam urusan pembiayaan dan pemastian biaya pendidikan.
Dalam
Pasal 88 ayat 3 UU PT disebutkan bahwa Standar satuan biaya operasional
digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara
periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan
Tinggi; b.jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah. Mencermati
ketentuan tersebut, mahasiswa akan menanggung biaya operasional perguruan
tinggi. Artinya, mahasiswa harus membayar biaya yang sangat mahal akibat
pelaksanaan otonomi perguruan tinggi. Singkatnya, perguruan tinggi akan
didorong pada orientasi komersialisme pendidikan, layaknya sebuah badan usaha
yang mencari profit. Dan cara paling gampang adalah dengan menaikkan uang SPP,
pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersil hingga
komersialisasi atas aset-aset kampus. UU PT akan semakin menyingkirkan
masyarakat miskin dan menjadi hantu bagi masa depan mereka. Kesempatan untuk
menikmati pendidikan tinggi, makin sulit digapai seriring dengan melambungnya
biaya kuliah di PTN. Itu sama artinya orang miskin dilarang kuliah.
UU PT
tidak saja menimbulkan aturan yang kaku dan statis tetapi akan melepaskan
tanggung jawab pemerintah yang selama ini berfungsi sebagai fasilitator
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional. Subsidi silang, otonomi
pendidikan dan desentralisasi pendidikan tidak akan efektif dilaksanakan
melalui UU PT. Alasan pemerintah bahwa UU PT memberi kebebasan bagi tiap-tiap
instansi perguruan tinggi untuk mengelola satuan pendidikan secara otonom
adalah jelas bertentangan dengan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang
menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pengendali tunggal
segala kebijakan proses pendidikan.
Bahaya
di balik UU PT tentu saja akan melegalkan agenda neoliberalisme yaitu
liberalisasi dunia pendidikan, yang akan berdampak kepada pendidikan yang hanya
akan menjadi barang dagangan dan hanya bisa dinikmati segelintir orang. Neoliberalisasi
mendesakkan pola dan strategi pengelolaan modal ekonomi ke dalam dunia
pendidikan. Dalam alur pikir neoliberal ada anggapan, kunci keberhasilan
pengelolaan pendidikan ditentukan oleh persaingan yang terdistribusi sampai ke
unit-unit paling kecil dan individu. Persaingan dipandang meningkatkan mutu
karena prinsip survival of the fittest,
yakni unit pendidikan atau individu yang tidak menghasilkan produk/karya sesuai
standar mutu tertentu akan ter(di)singkirkan “secara alami”.
Kapitalisasi
pendidikan jelas sangat merugikan rakyat kecil yang selama ini tidak mendapat
hak pendidikan dari negara secara adil dan merata. Karena pendekatan paradigma
kapitalisasi pendidikan senantiasa mengejar keuntungan individu dengan
mengorbankan hak-hak kolektif bahkan masyarakat secara luas. UU PT yang secara
garis besar memberikan peluang bagi seluruh institusi pendidikan untuk
menyelenggaraan pendidikan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan
pemerintah akan berdampak pada kebijakan pendidikan yang kontra konstitusional.
Dimana kebijakan institusi tidak tersentral namun pada gilirannya akan terjadi
kesenjangan pendidikan antara daerah kaya dan miskin.
Kesenjangan
pendidikan sangat mungkin terjadi dengan UU PT, pemerintah akan lepas tanggung
jawab baik secara material maupun secara kontrol kebijakan. Meskipun masih ada
subsidi silang namun dilihat dari sisi kriteria yang memperoleh subsidi silang
masih terdapat jauh dari harapan institusi pendidikan yang selama ini menjadi
anak kandung pemerintah bernama PTN dan anak tiri bernama PTS.
*) Oleh Sutrisno
Pendidik dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS)
**) Dimuat di Koran Tempo | Jumat, 10 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar