NO WASTING TIME!

Sabtu, 22 Juni 2013

Kaji Ulang Ujian Nasional



PELAKSANAAN Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ternoda oleh ketidak-siapan penyediaan soal dan distribusinya. Akibatnya, 11 provinsi mengalami penundaan UN dan masih terjadinya kecurangan. Sejujurnya kita khawatir UN telah disulap menjadi proyek. Anggaran UN 2013 yang awalnya Rp543,4 miliar membengkak menjadi Rp644,2 miliar. Padahal, peserta ujian berkurang dari 14 juta siswa menjadi 12 juta. 
Kita pun menyoal kembali pelaksanaan UN. Apakah pelaksanaan UN bukti penerapan standar yang baku atau hanya ingin mencapai target di atas kertas? Kalau ingin standar yang sama dan meningkatkan mutu pendidikan secara merata, harus ada pemberlakuan sistem pendidikan yang sama pula untuk seluruh sekolah di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta. 

Yang menjadi soal dan mendapat sorotan tajam adalah tujuan UN itu sendiri. Selama beberapa pelaksanaan UN, tidak pernah terdengar ada hasil evaluasi secara jelas yang diberikan kepada pihak sekolah. Maka, tujuan UN sebagai dasar pemetaan tetap menjadi tanda tanya besar. 

Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghentikan dahulu pelaksanaan UN. Hal ini terkait adanya putusan Mahkamah Agung (MA) agar pemerintah menghentikan dahulu pelaksanaan UN jika syarat-syarat pemerataan kualitas dan layanan pendidikan di semua sekolah belum terpenuhi (Kompas, 20/3/2012). 

Selama ini putusan MA yang melarang pelaksanaan UN diabaikan oleh pemerintah. Padahal, penundaan tersebut sebenarnya sangat sederhana, yakni stakeholder pendidikan menginginkan agar pemerintah tidak memiliki paradigma kerdil tentang pendidikan. 

Tapi, pemerintah tetap saja menyelenggarakan UN, meski sampai saat ini perlawanan terhadap pelaksanaannya belum berhenti. Sebagian guru dan siswa masih terus berjuang agar UN ditiadakan. Mereka menginginkan penentuan kelulusan siswa pada setiap jenjang pendidikan tetap dilakukan oleh sekolah, bukan Depdiknas lewat UN. 

Kebijakan pendidikan yang dijalankan pemerintah selama ini tidak dikaji secara radikal, holistik, dan filosofis. Tak heran jika pelaksanaan UN masih terjadi kekurangan, bahkan melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Maka itu, pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. UN boleh dilaksanakan kalau ada standardisasi nasional. Jika tetap dilaksanakan, tidak adil bagi sekian ratus ribu siswa yang fasilitasnya tidak dipenuhi pemerintah. 

Selain itu, UN mengandung beberapa kelemahan. Pertama, evaluasi yang dilakukan sebatas mengukur capaian kognitif peserta didik, mengabaikan aspek afektif, dan psikomotorik. Dengan begitu, UN tidak mencerminkan evaluasi pendidikan. Sebab, pendidikan bukan hanya sarana untuk membuat peserta didik menjadi manusia berpengetahuan, tetapi juga memiliki keterampilan dan mental yang baik. UN tidak menjangkau evaluasi dua aspek tersebut. 

Kedua, formula UN dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah dan 60 persen untuk nilai UN belum berkeadilan. Mengapa hanya beberapa bidang studi, seperti: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika yang diuji UN? Padahal, banyak siswa yang pandai dan sukses di luar bidang studi yang di-UN-kan. 

Diabaikannya aspek kognitif dan afektif sendiri sudah menurunkan validitas UN. Apalagi aspek kognitif yang diukur hanya menyangkut beberapa bidang studi. Maka, hasil UN tidak mencerminkan sama sekali perkembangan para peserta didik selama bertahun-tahun belajar. 

Ketiga, pelaksanaan UN tidak cukup valid. Terbukti adanya soal/kunci yang bocor dan contek massal. Hal ini menampar dunia pendidikan kita, karena ternyata di lembaga pendidikan ada jaringan "tukang nyontek", bukannya menjadi sarana menanam dan memelihara nilai-nilai luhur. 

Maka jangan kaget kalau hasilnya manusia pintar, tetapi bermental manipulator. Adalah nista bila UN hanya membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil kelulusan, tetapi mengabaikan kecerdasan, kejujuran, dan kerja keras. Kalau itu yang terjadi, sempurnalah sudah kebobrokan negeri ini. 

Keempat, UN mengabaikan peran pendidik dan kewenangan sekolah. Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No 20/3003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik (guru). Pendidik secara keseluruhan dan berkesinambungan mengetahui proses belajar-mengajar. 

UN 2013 ini mestinya menjadi titik pijak untuk mengkaji ulang secara komprehensif pelaksanaan UN yang sentralistik itu. Evaluasi sudah diisyaratkan Wapres Boediono saat melakukan kunjungan silaturahmi ke SMA 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah (detik.com, 20/4/2013). Dalam pendidikan, guru menjadi titik sentral karena guru setiap hari mengetahui dan mengikuti perkembangan peserta didik. Dengan begitu, nilai seorang anak didik, lulus atau tidaknya seorang anak didik, sepenuhnya berada di tangan guru, bukan diambil alih oleh negara. 

Menarik pula gagasan pelaksanaan desentralisasi UN alias ujian lokal. Desentralisasi UN merupakan manifestasi dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai kemajemukan daerah dengan kualitas SDM, karakter, dan budaya yang berbeda. Desentralisasi UN juga menjadi wahana memetakan segala masalah dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi UN layak diterapkan tanpa harus meninggalkan kualitas. 

Dari segi yuridis, penggandaan naskah UN di tingkat provinsi sudah sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 19/2010 dan Peraturan Pemerintah No 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Jika dari payung hukum sudah aman, maka yang perlu dikaji lebih detail adalah mekanisme teknis dan prosedur-prosedur di lapangan supaya desentraliasi UN berjalan sempurna dengan hasil maksimal. 

Kita juga menyambut baik gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, untuk mengakhiri pro-kontra tentang UN dengan menggelar Konvensi Nasional Pendidikan, September 2013 datang. Salah satunya, membahas kebijakan UN. Dialog melalui Konvensi Nasional Pendidikan akan bermakna selama tidak dijadikan sebagai forum seremonial untuk melegitimasi atau menjustifikasi kebijakan yang telah diambil pemerintah.

 *) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 11 May 2013

*) Oleh Sutrisno
    Guru dan Mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

1 komentar:

Susanto mengatakan...

UN diganti Ujian Lokal atau Ujian Wonogiren