NO WASTING TIME!

Sabtu, 22 Juni 2013

Membangun Pendidikan Karakter


MASALAH pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat dan ruh pendidikan. Pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar, terutama dalam--pinjam istilah Michel Foaucault--diskursus ilmu pendidikan. Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita menyaksikan terjadi degradasi dan demoralisasi di dunia pendidikan kita. Mau bukti? 
 
Kasus suap Jaksa Urip, kasus Susno Duaji, kasus pembunuhan Antasari Azhar, penggelapan pajak oleh Gayus Lumbun, kasus Wisma Atlet, proyek Hambalang hingga kasus korupsi pengadaan Al Quran, misalnya, jika dirunutkan dan dikaitkan menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum pendidikan kita. Meski, mungkin, secara moral mereka adalah orang yang baik--minimal untuk keluarganya. 

Tak cuma itu. Kondisi bangsa ini juga terus diwarnai perilaku kekerasan, tawuran pelajar-mahasiswa/antarwarga, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan cara-cara curang . Bahkan, kalau perlu, menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik. Tak ayal, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada. 

Kalau mau jujur, memang ada yang keliru bahkan salah dalam sistem pendidikan kita. Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri. Selama ini sistem pendidikan di Indonesia alpa dengan pendidikan budi pekerti/adab (karakter). Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem meritokrasi (proses pencapain-pencapaian prestasi) sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker (orang yang suka hidup dalam dunia keremeh-temehan, hedon, dan instan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, agar cepat kaya, ya korupsi). 

Kita menghargai Kurikulum 2013 sebagai revisi Kurikulum 2006 lebih mengarah pada pembangunan karakter, terutama di level pendidikan dasar. Wajar bila kurikulum sebagai perangkat dan program pendidikan bersifat dinamis sesuai kebutuhan. Pendidikan kita terjebak terlalu dalam ke muatan intelektualisme. 

Bukankah konstitusi mengamanatkan pembentukan insan cerdas secara intelektual, cerdas emosional, berkepribadian, berkarakter nilai-nilai luhur dan agama. Dengan porsi dominan pada pendidikan karakter di sekolah dasar, mata pelajaran lebih sedikit, menekankan konten, tematik dan menempatkan guru sebagai inspirator; diharapkan mendorong lompatan-lompatan pemikiran siswa. Kita mendukung prioritas pendidikan karakter sejak tingkat dasar, mengingat keberhasilan seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, dan hanya 20 persen ditentukan kecerdasan otak (IQ). 

Bagaimana upaya membangun pendidikan berkarakter? Pertama, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter bagi anak. Jika keluarga gagal melaksanakan tugas tersebut, sekolah akan mengalami kesulitan untuk menangani anak didik. 

Institusi keluarga memiliki tiga fungsi penting: fungsi pendidikan, fungsi agama, dan fungsi ekonomi. Keluarga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter. 

Kedua, kepala sekolah, pendidik (guru), dan tenaga kependidikan yang berkarakter. Yaitu, orang-orang yang mampu menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tatakrama, dan sopan santun yang ke depan akan menjadi teladan bagi para siswa. Proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral. Pendidik yang menjunjung tinggi nilai moral akan mengutamakan nilai moral ketika berlangsung proses tranformasi ilmu dan keterampilan kepada peserta didik. 

Pendidik harus dapat dijadikan panutan oleh peserta didik, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat. Melalui keteladanan itulah diharapkan siswa mampu menyerap dan menginternalisasikan apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari perilaku dan tindakan orang-orang di lingkungan sekolah ke dalam dirinya untuk kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya. 

Ketiga, pihak sekolah perlu membuat semacam teknis pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter bisa dimasukkan menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan silabus, yang dikemas di dalam kurikulum pendidikan. Serta membuat peraturan soal pendidikan karakter. Misalnya: cara berpakaian, dilarang merokok, bertato, dan lain-lain. 

Keempat, peran pemerintah. Selain memberikan dana, ada banyak hal yang semestinya dibenahi. Antara lain: pemerintah harus berani memberhentikan kepala sekolah yang bertindak diskriminatif, otoriter, dan menjadi raja-raja kecil yang tertutup, tanpa memandang hubungan keluarga dan utang politik, menindak tegas pelaku sogok saat penerimaan siswa baru, para guru yang terlibat suap, birokrasi sekolah yang menyusahkan rakyat miskin, dan pemberantasan pungli di lingkungan pendidikan, dan lain-lain. 

Kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter tentu juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, budaya, dan jati diri bangsa. Pengambilan kebijakan pemihakan terhadap pembangunan karakter secara konsiten ini mencerminkan karakter pemerintah yang sangat efektif dalam membangun kesadaran dan semangat pelaku pendidikan. Jika hal tersebut berhasil dilaksanakan, maka legitimasi pemerintah akan semakin kuat sebagai garda depan dalam pembentukan karakter. 

Kelima, melibatkan masyarakat secara penuh, mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna karakter yang ingin dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai pemerintah yang eligible, berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam membangun fondasi program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya adalah orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. Mari ciptakan bangsa yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas.


*)   Oleh Sutrisno
      Pendidik, Dosen, Mahasiswa Pascasarjana (S2) UMS
**) Dimuat di Harian
Jurnal Nasional | Sabtu, 24 Nov 2012

0 komentar: