MASALAH pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat dan ruh pendidikan. Pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar, terutama dalam--pinjam istilah Michel Foaucault--diskursus ilmu pendidikan. Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita menyaksikan terjadi degradasi dan demoralisasi di dunia pendidikan kita. Mau bukti?
Kasus suap Jaksa Urip, kasus Susno Duaji, kasus pembunuhan
Antasari Azhar, penggelapan pajak oleh Gayus Lumbun, kasus Wisma Atlet, proyek
Hambalang hingga kasus korupsi pengadaan Al Quran, misalnya, jika dirunutkan
dan dikaitkan menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum
pendidikan kita. Meski, mungkin, secara moral mereka adalah orang yang
baik--minimal untuk keluarganya.
Tak cuma itu. Kondisi bangsa ini juga terus diwarnai
perilaku kekerasan, tawuran pelajar-mahasiswa/antarwarga, teror, korupsi, dan
berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi kelatahan kolektif. Untuk
mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan
cara-cara curang . Bahkan, kalau perlu, menggunakan ilmu permalingan dan
berselingkuh dengan dunia klenik. Tak ayal, negeri ini tak lebih dari sebuah
pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.
Kalau mau jujur, memang ada yang keliru bahkan salah dalam
sistem pendidikan kita. Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira
kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya
sendiri. Selama ini sistem pendidikan di Indonesia alpa dengan pendidikan budi
pekerti/adab (karakter). Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem
meritokrasi (proses pencapain-pencapaian prestasi) sehingga hanya menciptakan
manusia-manusia medioker (orang yang suka hidup dalam dunia keremeh-temehan,
hedon, dan instan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, agar cepat kaya, ya
korupsi).
Kita menghargai Kurikulum 2013 sebagai revisi Kurikulum
2006 lebih mengarah pada pembangunan karakter, terutama di level pendidikan
dasar. Wajar bila kurikulum sebagai perangkat dan program pendidikan bersifat
dinamis sesuai kebutuhan. Pendidikan kita terjebak terlalu dalam ke muatan
intelektualisme.
Bukankah konstitusi mengamanatkan pembentukan insan cerdas
secara intelektual, cerdas emosional, berkepribadian, berkarakter nilai-nilai
luhur dan agama. Dengan porsi dominan pada pendidikan karakter di sekolah
dasar, mata pelajaran lebih sedikit, menekankan konten, tematik dan menempatkan
guru sebagai inspirator; diharapkan mendorong lompatan-lompatan pemikiran
siswa. Kita mendukung prioritas pendidikan karakter sejak tingkat dasar,
mengingat keberhasilan seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosional, dan hanya 20 persen ditentukan kecerdasan otak (IQ).
Bagaimana upaya membangun pendidikan berkarakter? Pertama,
pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi institusi
penting dalam membentuk pendidikan berkarakter bagi anak. Jika keluarga gagal
melaksanakan tugas tersebut, sekolah akan mengalami kesulitan untuk menangani
anak didik.
Institusi keluarga memiliki tiga fungsi penting: fungsi
pendidikan, fungsi agama, dan fungsi ekonomi. Keluarga menjadi ujung tombak
keberhasilan pendidikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
bagi anak dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter.
Kedua, kepala sekolah, pendidik (guru),
dan tenaga kependidikan yang berkarakter. Yaitu, orang-orang yang mampu
menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tatakrama, dan sopan santun yang
ke depan akan menjadi teladan bagi para siswa. Proses transformasi ilmu
pengetahuan kepada peserta didik dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral.
Pendidik yang menjunjung tinggi nilai moral akan mengutamakan nilai moral
ketika berlangsung proses tranformasi ilmu dan keterampilan kepada peserta
didik.
Pendidik harus dapat dijadikan panutan oleh peserta didik,
berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat. Melalui
keteladanan itulah diharapkan siswa mampu menyerap dan menginternalisasikan apa
yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari perilaku dan tindakan
orang-orang di lingkungan sekolah ke dalam dirinya untuk kemudian menjadi
bagian dari kepribadiannya.
Ketiga, pihak sekolah perlu membuat
semacam teknis pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter bisa dimasukkan
menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan silabus, yang
dikemas di dalam kurikulum pendidikan. Serta membuat peraturan soal pendidikan
karakter. Misalnya: cara berpakaian, dilarang merokok, bertato, dan lain-lain.
Keempat, peran pemerintah. Selain
memberikan dana, ada banyak hal yang semestinya dibenahi. Antara lain:
pemerintah harus berani memberhentikan kepala sekolah yang bertindak
diskriminatif, otoriter, dan menjadi raja-raja kecil yang tertutup, tanpa
memandang hubungan keluarga dan utang politik, menindak tegas pelaku sogok saat
penerimaan siswa baru, para guru yang terlibat suap, birokrasi sekolah yang
menyusahkan rakyat miskin, dan pemberantasan pungli di lingkungan pendidikan,
dan lain-lain.
Kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis
karakter tentu juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata
politik, sosial, budaya, dan jati diri bangsa. Pengambilan kebijakan pemihakan
terhadap pembangunan karakter secara konsiten ini mencerminkan karakter
pemerintah yang sangat efektif dalam membangun kesadaran dan semangat pelaku
pendidikan. Jika hal tersebut berhasil dilaksanakan, maka legitimasi pemerintah
akan semakin kuat sebagai garda depan dalam pembentukan karakter.
Kelima, melibatkan masyarakat secara
penuh, mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna karakter yang ingin
dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan menjadi tanggung
jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai pemerintah yang eligible,
berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam membangun fondasi
program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya adalah
orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. Mari
ciptakan bangsa yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas.
*) Oleh Sutrisno
Pendidik, Dosen, Mahasiswa Pascasarjana (S2) UMS
**) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 24 Nov 2012
**) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 24 Nov 2012
0 komentar:
Posting Komentar