NO WASTING TIME!

Sabtu, 22 Juni 2013

Memutus Spiral Kekerasan



KEKERASAN, konflik, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda paling nyata bahwa masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Lihat saja, mulai dari kasus kekerasan penyerangan sekelompok anggota TNI ke Polres Ogan Komering Ulu (OKU), kasus penyerbuan LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh gerombolan bersenjata, Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan, Simalungun, Sumatera Utara, Ajun Komisaris Andar Siahaan tewas dianiaya massa di tempat kejadian perkara (TKP) ketika berniat menangkap pelaku perjudian hingga kerusuhan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan. Massa yang kecewa terhadap hasil pilkada membakar kantor pemerintah, kantor partai politik, kantor perbankan, dan fasilitas umum. 

Lewis Mumford, pengarang buku The Condition of Man menulis, "Sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, tidak ada lagi tempat di muka bumi ini untuk berlindung bagi manusia yang tidak berdosa... Sesuatu yang lain telah ditunjukkan di muka mata kita yang nyalang: kebusukan peradaban kita sendiri. Apabila peradaban kita hancur, ini disebabkan peradaban itu sendiri tidak cukup baik untuk mampu bertahan."

Lewis Mumford secara cermat mengamati situasi tersebut dalam konteks budaya kekerasan (culture of violence) dalam kehidupan masyarakat Barat. Namun, apa yang diobservasi secara akurat oleh Mumford itu tidak jauh berbeda dengan keadaan di Tanah Air kita belakangan ini. Budaya kekerasan, konflik, bentrokan, gegeran, tawuran, anarkisme, brutalisme, keberingasan, dan amuk massa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Budaya kekerasan hampir setiap hari menggejala dalam kehidupan masyarakat kita. 

Banyak orang di Indonesia, seperti dikatakan Lewis Mumford: "menjalani hidup mereka sepanjang naluri dan nafsu kekerasan". Rasa aman dalam masyarakat terancam, sampai-sampai orang yang tidak berdosa sekalipun telah menjadi korban akibat tindakan-tindakan kekerasan tadi. 

Pandangan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang ramah, suka senyum, dan penuh tenggang rasa harus dipertanyakan. Pandangan ini sudah tidak sepenuhnya berlaku bagi masyarakat kita, paling tidak saat sekarang ini di mana kekerasan, keberingasan, dan brutalitas sering terjadi. Kekerasan terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial-kemasyarakatan. Lingkaran kekerasan telah merebak secara sistemik-struktural, secara politis, ekonomis, kultural, bahkan religius. 

Bagaimana kita menjelaskan merebaknya berbagai konflik dan kekerasan? Meminjam teori konflik Johan Galtung (1975), konflik dan kekerasan adalah deprivasi kepentingan dan penistaan terhadap kebutuhan dasar atau kehidupan manusia dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan kekerasan langsung. Kekerasan kultural adalah unsur-unsur budaya yang menjadi wilayah simbolis eksistensi manusia yang menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan struktural merupakan kekerasan berstruktur atau terkait dengan struktur tertentu. Kekerasan langsung adalah kekerasan secara langsung terhadap fisik manusia dan sejenisnya. 

Dalam tiga kekerasan itu, nalar kekerasan menjadi dasar yang menjadikan kekerasan dianggap sebagai hal yang biasa atau dapat ditoleransi dan sah dilakukan. Dampaknya, terjadilah spiral kekerasan. Spiral kekerasan awalnya berujung dari ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan di sini, dalam pengertian luas, dari kebijakan sosial, politik, ekonomi yang timpang hingga hukum yang tebang pilih. 

Kekerasan kultural dan struktural mengakibatkan paham kekerasan menjadi hegemoni di masyarakat sehingga selalu saja muncul letupan-letupan konflik hanya karena satu pemicu kecil. Kecenderungan ke arah kekerasan adalah yang paling menggelisahkan dari daftar panjang tentang sikap-sikap kultural yang berkemungkinan akan menghadang demokrasi untuk jangka panjang. Juga, egoisme yang ekstrem, intoleransi, kenaifan, hubris, paranoia, dan emosionalisme yang semuanya merupakan fakta heterogenitas etnis dan religius yang diklaim sebagai biang keladi destabilisasi. 

Kita sadar, ancaman kekerasan di Indonesia bisa datang setiap saat dengan pola dan modus yang bermacam-macam. Spiral kekerasan itu, apabila tidak segera diputus, akan menyeret kualitas kebangsaan pada situasi jalan buntu. Tentu, pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan yang terjadi di negeri ini. Paling utama, pemerintah segera menuntaskan ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan lainnya di negeri ini dan minimalkan kesenjangan kehidupan yang semakin menggawat. Pemerintah dengan segenap aparat keamanan dan penegak hukum (BIN, TNI, dan Polri) harus memberikan rasa aman dan nyaman terhadap warganya. 

Pendekatan hukum jelas perlu ditegakan untuk mereka yang terbukti melakukan kekerasan atau bahkan menghilangkan nyawa. Tapi kearifan lokal sebenarnya juga merupakan sarana yang baik untuk mencegah kekerasan. Kebiasaan untuk saling bertamu, bertegur sapa, gotong royong dan berdialog antarkampung atau antarkelompok masyarakat sudah lazim dilakukan sejak dahulu. 

Melvin Urofsky (2001:5) mengingatkan, dalam menegakkan demokrasi dan menjaga kemajemukan, melindungi hak mereka yang terpinggirkan dan minoritas, harus tumbuh dari empati atau kehendak mayoritas dalam masyarakat. Media massa juga harus ikut bertanggung jawab mengatasi masalah kekerasan. Media harus bijak dan arif memberitakan konflik serta kekerasan. Media massa harus bisa memilah informasi yang kira-kira merusak atau membangun keakraban. 

Hemat saya, semua pihak memang harus ikut terlibat dalam pencegahan konflik dan kekerasan. Maka, pemimpin dan tokoh masyarakat, baik pemimpin formal maupun informal, harus lebih berperan dalam menampung dan menyelesaikan persoalan kemasyarakatan yang terjadi di daerahnya. Masalah-masalah mendasar yang melatari kekerasan perlu mendapat perhatian yang semestinya. Jangan jadikan kekerasan sebagai budaya masyarakat. 

Kita ingin mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia adalah multietnis dan multibudaya atau dengan kata lain masyarakay yang pancasilais. Keragaman inilah yang sesungguhnya menjadi kekuatan luar biasa bangsa Indonesia. Kebinekaan itu harus kita syukuri dan selanjutnya kita pupuk agar keharmonisan terus berkembang, mengalahkan sikap-sikap keras dan brutal yang makin tumbuh di berbagai daerah. 



*    Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 6 Apr 2013
**) Oleh Sutrisno
      Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah, Surakarta

0 komentar: