KEKERASAN, konflik, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda
paling nyata bahwa masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Lihat
saja, mulai dari kasus kekerasan penyerangan sekelompok anggota TNI ke Polres
Ogan Komering Ulu (OKU), kasus penyerbuan LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh
gerombolan bersenjata, Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan, Simalungun,
Sumatera Utara, Ajun Komisaris Andar Siahaan tewas dianiaya massa di tempat
kejadian perkara (TKP) ketika berniat menangkap pelaku perjudian hingga
kerusuhan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan. Massa yang kecewa terhadap
hasil pilkada membakar kantor pemerintah, kantor partai politik, kantor
perbankan, dan fasilitas umum.
Lewis Mumford, pengarang buku The Condition of Man
menulis, "Sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, tidak ada
lagi tempat di muka bumi ini untuk berlindung bagi manusia yang tidak
berdosa... Sesuatu yang lain telah ditunjukkan di muka mata kita yang nyalang:
kebusukan peradaban kita sendiri. Apabila peradaban kita hancur, ini disebabkan
peradaban itu sendiri tidak cukup baik untuk mampu bertahan."
Lewis Mumford secara cermat mengamati situasi tersebut
dalam konteks budaya kekerasan (culture of violence) dalam kehidupan
masyarakat Barat. Namun, apa yang diobservasi secara akurat oleh Mumford itu
tidak jauh berbeda dengan keadaan di Tanah Air kita belakangan ini. Budaya
kekerasan, konflik, bentrokan, gegeran, tawuran, anarkisme, brutalisme,
keberingasan, dan amuk massa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Budaya
kekerasan hampir setiap hari menggejala dalam kehidupan masyarakat kita.
Banyak orang di Indonesia, seperti dikatakan Lewis Mumford:
"menjalani hidup mereka sepanjang naluri dan nafsu kekerasan". Rasa
aman dalam masyarakat terancam, sampai-sampai orang yang tidak berdosa
sekalipun telah menjadi korban akibat tindakan-tindakan kekerasan tadi.
Pandangan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang ramah, suka
senyum, dan penuh tenggang rasa harus dipertanyakan. Pandangan ini sudah tidak
sepenuhnya berlaku bagi masyarakat kita, paling tidak saat sekarang ini di mana
kekerasan, keberingasan, dan brutalitas sering terjadi. Kekerasan
terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial-kemasyarakatan.
Lingkaran kekerasan telah merebak secara sistemik-struktural, secara politis,
ekonomis, kultural, bahkan religius.
Bagaimana kita menjelaskan merebaknya berbagai konflik dan
kekerasan? Meminjam teori konflik Johan Galtung (1975), konflik dan kekerasan
adalah deprivasi kepentingan dan penistaan terhadap kebutuhan dasar atau
kehidupan manusia dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan kekerasan
langsung. Kekerasan kultural adalah unsur-unsur budaya yang menjadi wilayah
simbolis eksistensi manusia yang menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan
struktural dan langsung. Kekerasan struktural merupakan kekerasan berstruktur
atau terkait dengan struktur tertentu. Kekerasan langsung adalah kekerasan
secara langsung terhadap fisik manusia dan sejenisnya.
Dalam tiga kekerasan itu, nalar kekerasan menjadi dasar
yang menjadikan kekerasan dianggap sebagai hal yang biasa atau dapat
ditoleransi dan sah dilakukan. Dampaknya, terjadilah spiral kekerasan. Spiral
kekerasan awalnya berujung dari ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan di
sini, dalam pengertian luas, dari kebijakan sosial, politik, ekonomi yang
timpang hingga hukum yang tebang pilih.
Kekerasan kultural dan struktural mengakibatkan paham
kekerasan menjadi hegemoni di masyarakat sehingga selalu saja muncul
letupan-letupan konflik hanya karena satu pemicu kecil. Kecenderungan ke arah
kekerasan adalah yang paling menggelisahkan dari daftar panjang tentang sikap-sikap
kultural yang berkemungkinan akan menghadang demokrasi untuk jangka panjang.
Juga, egoisme yang ekstrem, intoleransi, kenaifan, hubris, paranoia, dan
emosionalisme yang semuanya merupakan fakta heterogenitas etnis dan religius
yang diklaim sebagai biang keladi destabilisasi.
Kita sadar, ancaman kekerasan di Indonesia bisa datang
setiap saat dengan pola dan modus yang bermacam-macam. Spiral kekerasan itu,
apabila tidak segera diputus, akan menyeret kualitas kebangsaan pada situasi
jalan buntu. Tentu, pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan
yang terjadi di negeri ini. Paling utama, pemerintah segera menuntaskan
ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik dan
ketidakadilan lainnya di negeri ini dan minimalkan kesenjangan kehidupan yang
semakin menggawat. Pemerintah dengan segenap aparat keamanan dan penegak hukum
(BIN, TNI, dan Polri) harus memberikan rasa aman dan nyaman terhadap warganya.
Pendekatan hukum jelas perlu ditegakan untuk mereka yang
terbukti melakukan kekerasan atau bahkan menghilangkan nyawa. Tapi kearifan
lokal sebenarnya juga merupakan sarana yang baik untuk mencegah kekerasan.
Kebiasaan untuk saling bertamu, bertegur sapa, gotong royong dan berdialog
antarkampung atau antarkelompok masyarakat sudah lazim dilakukan sejak dahulu.
Melvin Urofsky (2001:5) mengingatkan, dalam menegakkan
demokrasi dan menjaga kemajemukan, melindungi hak mereka yang terpinggirkan dan
minoritas, harus tumbuh dari empati atau kehendak mayoritas dalam masyarakat.
Media massa juga harus ikut bertanggung jawab mengatasi masalah kekerasan.
Media harus bijak dan arif memberitakan konflik serta kekerasan. Media massa
harus bisa memilah informasi yang kira-kira merusak atau membangun keakraban.
Hemat saya, semua pihak memang harus ikut terlibat dalam
pencegahan konflik dan kekerasan. Maka, pemimpin dan tokoh masyarakat, baik
pemimpin formal maupun informal, harus lebih berperan dalam menampung dan
menyelesaikan persoalan kemasyarakatan yang terjadi di daerahnya.
Masalah-masalah mendasar yang melatari kekerasan perlu mendapat perhatian yang
semestinya. Jangan jadikan kekerasan sebagai budaya masyarakat.
Kita ingin mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia
adalah multietnis dan multibudaya atau dengan kata lain masyarakay yang
pancasilais. Keragaman inilah yang sesungguhnya menjadi kekuatan luar biasa
bangsa Indonesia. Kebinekaan itu harus kita syukuri dan selanjutnya kita pupuk
agar keharmonisan terus berkembang, mengalahkan sikap-sikap keras dan brutal
yang makin tumbuh di berbagai daerah.
* Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 6
Apr 2013
**) Oleh Sutrisno
Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah,
Surakarta
0 komentar:
Posting Komentar