Lagi-lagi
ujian nasional (UN) menimbulkan masalah. Hari pertama UN tingkat SMA/MA/SMK dan
Paket C tidak bisa diselenggarakan secara serentak. Penyebabnya, 11 provinsi
tidak bisa menggelar UN karena kendala teknis dalam pengepakan naskah soal UN di
percetakan. Dalam situs resmi Kementerian, kemdiknas.go.id, disebutkan bahwa
ke-11 provinsi yang mengalami penundaan/pergeseran jadwal ujian nasional adalah
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kemendikbud memundurkan UN di 11
provinsi di Indonesia tengah yang seharusnya serentak pada hari Senin menjadi
Kamis, 18 April hingga 23 April mendatang.
Respon
publik pun bermunculan. Ada yang menilai peristiwa ini sebagai bukti tidak
profesionalnya percetakan pilihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Ada juga yang menilai sebagai indikasi masih buruknya manajemen pendidikan di
Indonesia. Namun begitu, penundaan jadwal UN 2013 di 11 provinsi itu tentu
membawa dampak.
Pertama,
dampak psikologis atau moral. Siswa-siswa SMA, MA, SMK, dan Paket C yang sudah
siap melaksanakan UN dengan berbagai kondisi dan konsekwensinya namun dengan
pergeseran jadwal UN itu akan sangat mengganggu persiapan siswa peserta UN. Semangat
mereka mengikuti UN bisa turun (down),
membuat para siswa peserta UN makin pesimis bahkan stress. Kedua, bisa
menimbulkan kecurangan atau kebocoran soal UN. Dikhawatirkan, ada kebocoran
informasi dari provinsi yang sudah melaksanakan UN kepada provinsi yang belum
melaksanakan UN. Atau, siswa-siswa di 11 provinsi yang diundur pelaksanaan UN
akan bisa mengetahui materi ujian yang dihadapi. Dalam era teknologi informasi seperti
sekarang, penyebaran materi ujian bukan perkara yang sulit.
Ketiga,
membawa kerugian material yang tidak sedikit. Dengan adanya penundaan jadwal UN,
ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pelaksanaan UN di 11 provinsi
menjadi bertambah. Kondisi itu memungkinkan karena sejumlah guru pengawas yang
sudah berada di lokasi ujian terpaksa menunggu lebih lama karena ujian nasional
ditunda. Belum lagi, pendistribuan berkas soal dan jawaban itu membutuhkan
waktu cepat setelah mengalami penundaan. Keempat, memberikan dampak sosiologis.
Kepercayaan masyarakat akan menurun terhadap pemerintah selaku penyelenggara
UN. Pemerintah dianggap gagal menyelenggarakan UN secara serentak di seluruh
provinsi di Indonesia. Bahkan, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)
menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereshuffle jabatan Mendikbud Mohammad Nuh.
Penundaan
jadwal ujian di 11 Provinsi menjadi potret hitam pelakasaan UN 2013. Keinginan
Kemendikbud untuk menyelenggarakan UN lebih baik tahun ini tak ubahnya bagai
menutup lubang sampan bocor. Ditutup di tengah, bocor di samping begitu
seterusnya. Banyak pihak mengingatkan bahwa UN jangan hanya sekadar menjadi
proyek. Janganlah UN hanya dilihat sebagai kesempatan untuk mendapatkan
“kick-back”, tetapi harus dijadikan sarana untuk bisa melihat kualitas anak
didik kita dibandingkan dengan anak-anak dunia.
Dari
Immanuel Kant (1960) hingga Count Leo Tolstoy (1967) menyiratkan bahwa sebagai
sebuah proses rekayasa sosial, pendidikan haruslah terbebaskan dari praktek kontrol
yang berlebihan seperti UN. UN sama sekali mengabaikan ragam talenta siswa yang
kasatmata sangat banyak itu. Padahal seharusnya proses pendidikan lebih
menghargai ragam pikiran anak-anak.
Kemampuan
dalam setiap diri siswa-siswa memiliki perbedaan dan keunikan-keunikan yang
patut dihargai sekaligus dikembangkan oleh lembaga pendidikan. Artinya, UN
tidak cukup menjadi alat legitimasi apakah siswa bisa lulus atau tidak. Jika
mutu pendidikan hanya ditentukan melalui UN, lalu untuk apa proses pembelajaran
dan pendidikan diselenggrakan? UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi
kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya
mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku
membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif),
dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan
dimensi afeksi dan psikomotorik.
Hingga
kini, pemikiran dan tujuan yang melandasi kebijakan UN masih amat rancu.
Penjelasan para birokrat pendidikan di Jakarta maupun daerah tentang UN tidak
konsisten atau mencerminkan kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian,
evaluasi, dan standardisasi. Jika UN dimaksudkan untuk mendapatkan pemetaan
kondisi pendidikan nasional, mengapa harus semua siswa mengikutinya? Mengapa
tidak menggunakan metode sampling agar
lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu
diumumkan, apalagi sampai menjatuhkan mental siswa.
Jika
UN digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, prinsip ujian test what you teach (ujilah apa yang
Anda sudah ajarkan) jelas sudah dilanggar. Ketika kecemasan semakin menumpuk
sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, pengajar bimbingan belajar,
dan orangtua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Mau tidak mau, upaya
penjejalan ini akan mengambil waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan
untuk proses belajar-mengajar.
Keterkaitan
antara pengajaran dan ujian dalam sistem pendidikan nasional juga tidak pernah
diuji secara transparan di forum publik. Seharusnya soal-soal ujian yang sudah
digunakan dibuka, paling tidak di forum-forum akademik, agar publik bisa
menganalisis kesahihan dan keterandalannya serta analisis poin-poin soal. Ini
penting mengingat disparitas mutu dan kemampuan menyerap antardaerah masih
besar, analisis dan masukan dari berbagai pihak perlu dilakukan. Proses ini
akan membuat birokrat pendidikan semakin tumbuh dalam kompetensi dan
pengetahuan. Yang lebih penting, energi dan dana besar yang dihabiskan untuk
mengukur output pendidikan selayaknya diimbangi peningkatan mutu layanan dan
proses pendidikan. Berbagai variabel termasuk guru, kurikulum, sarana, dan
prasarana harus mendapat perhatian besar sebelum pemerintah menuntut prestasi
siswa.
Tugas
pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikan belum selesai. Tenggelam
dalam persentase kelulusan tanpa mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara
mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN
berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak
bertanggung jawab. Sudah saatnya pemerintah menyusun suatu mekanisme ujian yang
jauh lebih berorientasi ke siswa, bukan ke target-target muluk pemerintah.
Membangun generasi yang cerdas dan berkualitas itu tidak seperti membalikkan
telapak tangan.
*) Oleh Sutrisno
Guru SMPN 1 Wonogiri dan Mahasiswa Pasca Sarjana UMS
**) Dimuat di Koran Tempo | Selasa, 16 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar