PELAKSANAAN Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ternoda oleh
ketidak-siapan penyediaan soal dan distribusinya. Akibatnya, 11 provinsi
mengalami penundaan UN dan masih terjadinya kecurangan. Sejujurnya kita
khawatir UN telah disulap menjadi proyek. Anggaran UN 2013 yang awalnya Rp543,4
miliar membengkak menjadi Rp644,2 miliar. Padahal, peserta ujian berkurang dari
14 juta siswa menjadi 12 juta.
Kita pun menyoal kembali pelaksanaan UN. Apakah pelaksanaan
UN bukti penerapan standar yang baku atau hanya ingin mencapai target di atas
kertas? Kalau ingin standar yang sama dan meningkatkan mutu pendidikan secara
merata, harus ada pemberlakuan sistem pendidikan yang sama pula untuk seluruh
sekolah di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta.
Yang menjadi soal dan mendapat sorotan tajam adalah tujuan
UN itu sendiri. Selama beberapa pelaksanaan UN, tidak pernah terdengar ada
hasil evaluasi secara jelas yang diberikan kepada pihak sekolah. Maka, tujuan
UN sebagai dasar pemetaan tetap menjadi tanda tanya besar.
Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menghentikan dahulu pelaksanaan UN. Hal ini terkait adanya putusan
Mahkamah Agung (MA) agar pemerintah menghentikan dahulu pelaksanaan UN jika
syarat-syarat pemerataan kualitas dan layanan pendidikan di semua sekolah belum
terpenuhi (Kompas, 20/3/2012).
Selama ini putusan MA yang melarang pelaksanaan UN
diabaikan oleh pemerintah. Padahal, penundaan tersebut sebenarnya sangat
sederhana, yakni stakeholder pendidikan menginginkan agar pemerintah
tidak memiliki paradigma kerdil tentang pendidikan.
Tapi, pemerintah tetap saja menyelenggarakan UN, meski
sampai saat ini perlawanan terhadap pelaksanaannya belum berhenti. Sebagian
guru dan siswa masih terus berjuang agar UN ditiadakan. Mereka menginginkan
penentuan kelulusan siswa pada setiap jenjang pendidikan tetap dilakukan oleh
sekolah, bukan Depdiknas lewat UN.
Kebijakan pendidikan yang dijalankan pemerintah selama ini
tidak dikaji secara radikal, holistik, dan filosofis. Tak heran jika
pelaksanaan UN masih terjadi kekurangan, bahkan melenceng dari tujuan yang
sebenarnya. Maka itu, pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. UN boleh
dilaksanakan kalau ada standardisasi nasional. Jika tetap dilaksanakan, tidak
adil bagi sekian ratus ribu siswa yang fasilitasnya tidak dipenuhi pemerintah.
Selain itu, UN mengandung beberapa kelemahan. Pertama,
evaluasi yang dilakukan sebatas mengukur capaian kognitif peserta didik,
mengabaikan aspek afektif, dan psikomotorik. Dengan begitu, UN tidak
mencerminkan evaluasi pendidikan. Sebab, pendidikan bukan hanya sarana untuk
membuat peserta didik menjadi manusia berpengetahuan, tetapi juga memiliki
keterampilan dan mental yang baik. UN tidak menjangkau evaluasi dua aspek
tersebut.
Kedua, formula UN dengan pembobotan 40
persen untuk nilai sekolah dan 60 persen untuk nilai UN belum berkeadilan.
Mengapa hanya beberapa bidang studi, seperti: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika yang diuji UN? Padahal, banyak siswa yang pandai dan sukses di
luar bidang studi yang di-UN-kan.
Diabaikannya aspek kognitif dan afektif sendiri sudah
menurunkan validitas UN. Apalagi aspek kognitif yang diukur hanya menyangkut
beberapa bidang studi. Maka, hasil UN tidak mencerminkan sama sekali
perkembangan para peserta didik selama bertahun-tahun belajar.
Ketiga, pelaksanaan UN tidak cukup valid.
Terbukti adanya soal/kunci yang bocor dan contek massal. Hal ini menampar dunia
pendidikan kita, karena ternyata di lembaga pendidikan ada jaringan
"tukang nyontek", bukannya menjadi sarana menanam dan memelihara
nilai-nilai luhur.
Maka jangan kaget kalau hasilnya manusia pintar, tetapi
bermental manipulator. Adalah nista bila UN hanya membuat sistem pendidikan
kita berorientasi kepada hasil kelulusan, tetapi mengabaikan kecerdasan,
kejujuran, dan kerja keras. Kalau itu yang terjadi, sempurnalah sudah
kebobrokan negeri ini.
Keempat, UN mengabaikan peran pendidik dan
kewenangan sekolah. Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No 20/3003 tentang Sisdiknas
dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi
hasil pendidikan adalah pendidik (guru). Pendidik secara keseluruhan dan
berkesinambungan mengetahui proses belajar-mengajar.
UN 2013 ini mestinya menjadi titik pijak untuk mengkaji
ulang secara komprehensif pelaksanaan UN yang sentralistik itu. Evaluasi sudah
diisyaratkan Wapres Boediono saat melakukan kunjungan silaturahmi ke SMA 1
Palangkaraya, Kalimantan Tengah (detik.com, 20/4/2013). Dalam
pendidikan, guru menjadi titik sentral karena guru setiap hari mengetahui dan
mengikuti perkembangan peserta didik. Dengan begitu, nilai seorang anak didik,
lulus atau tidaknya seorang anak didik, sepenuhnya berada di tangan guru, bukan
diambil alih oleh negara.
Menarik pula gagasan pelaksanaan desentralisasi UN alias
ujian lokal. Desentralisasi UN merupakan manifestasi dari prinsip Bhinneka
Tunggal Ika, yang menghargai kemajemukan daerah dengan kualitas SDM, karakter,
dan budaya yang berbeda. Desentralisasi UN juga menjadi wahana memetakan segala
masalah dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi UN layak
diterapkan tanpa harus meninggalkan kualitas.
Dari segi yuridis, penggandaan naskah UN di tingkat
provinsi sudah sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 19/2010 dan Peraturan
Pemerintah No 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta
Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Jika
dari payung hukum sudah aman, maka yang perlu dikaji lebih detail adalah
mekanisme teknis dan prosedur-prosedur di lapangan supaya desentraliasi UN
berjalan sempurna dengan hasil maksimal.
Kita juga menyambut baik gagasan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Mohammad Nuh, untuk mengakhiri pro-kontra tentang UN dengan
menggelar Konvensi Nasional Pendidikan, September 2013 datang. Salah satunya,
membahas kebijakan UN. Dialog melalui Konvensi Nasional Pendidikan akan
bermakna selama tidak dijadikan sebagai forum seremonial untuk melegitimasi
atau menjustifikasi kebijakan yang telah diambil pemerintah.
*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 11
May 2013
*) Oleh Sutrisno
Guru dan Mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS)