NO WASTING TIME!

Kamis, 03 April 2014

Banjir dan Penghancuran Hutan

Sudah kerap dikemukakan bahwa banjir datang bersamaan dengan menghilangnya wilayah-wilayah resapan air berupa hutan lindung dan hutan tutupan di hulu-hulu sungai. Menghilangnya hutan di wilayah hulu itu membuat air hujan yang jatuh tidak dapat diserap tanah sehingga volume air yang melaju di permukaan meningkat terlalu besar. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lahan hutan yang rusak tiap tahun mencapai sekitar 2 juta hektare. Kerusakan ini, naik tajam dari 5 tahun lalu, sekitar 1,7 juta hektare per tahun. Kawasan hutan di seluruh Indonesia seluas 120,34 juta hektare. Data ini diperoleh dari hutan konservasi seluas 20,5 juta hektare, hutan lindung 33,52 juta hektare dan hutan produksi 66,33 juta hektare. Perusakan hutan yang masif mengakibatkan air hujan yang turun berkepanjangan tak mampu lagi disimpan akar pohon dan masuk ke dalam tanah. Akhirnya, banjir bandang merenggut korban harta dan nyawa. Indonesia memecahkan rekor dunia dalam penghancuran hutan. Luas hutan Indonesia mencapai 120 juta hektare. Namun, faktanya, kondisi hutan yang masih bertahan diperkirakan tinggal 60 juta hektare. Diprediksi luas hutan alam yang masih bertahan lebih kecil lagi. Hutan Indonesia kini sudah tidak lagi menjadi penyumbang devisa terbesar buat negara. Sumber daya alam itu makin habis. Dalam lima tahun mendatang diperkirakan Indonesia bisa menjadi importir kayu. Di Indonesia saat ini diperkirakan 72% hutan asli telah musnah. Setengah dari luas alam yang tersisa sekarang pun terancam penebangan untuk komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk lahan kebun sawit. Berbagai upaya rehabilitasi dan konservasi hutan telah dilakukan, salah satunya oleh Dephut melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga donor pun tidak sedikit yang telah mengucurkan dana untuk membiayai berbagai program konservasi yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Namun, hasilnya tetap nihil. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, kegagalan reboisasi dan penghijauan yang telah kita lakukan sejak tahun 1960-an. Kegagalan reboisasi dan penghijauan dalam tahun pertama sudah dapat mencapai lebih dari 50 persen. Karena pemeliharaan sangat minim, setelah lima tahun yang hidup tinggal beberapa persen saja. Yang mati lebih dari 90 persen. Lalu diadakan gerakan reboisasi dan penghijauan lagi. Sebab, kegagalan ialah waktu penanaman sering tidak tepat. Anggaran baru cair akhir musim kemarau dan bibit yang ditanam masih kecil sehingga banyak yang mati. Lebih celaka lagi jika anggaran baru cair pada akhir musim hujan dan bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau. Mubazirlah miliaran, bahkan secara nasional triliunan rupiah. Herankah kita kegagalannya tinggi? Pada lain pihak, kegagalan memberi kesempatan kepada instansi dan LSM tertentu untuk mendapatkan proyek reboisasi dan penghijauan lagi. Adakah kesengajaan untuk menjaga agar dana proyek reboisasi dan penghijauan tidak mengering? Wallahualam. Kedua, kemiskinan yang diperparah oleh pembangunan yang tidak prorakyat miskin. Di Jawa tampak jelas, pembangunan jalan tol, industri, dan permukiman telah memarjinalkan rakyat miskin. Pemilik lahan dapat ganti rugi meskipun sering di bawah harga pasar. Namun, buruh tani serta pengusaha pedati dan pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan sumber pendapatannya tidak dapat ganti rugi apa-apa. Mereka tergusur dan hanya mempunyai dua pilihan, naik gunung dan membabat hutan untuk menanam bahan pangan agar tidak mati kelaparan atau bermigrasi ke kota serta memperbesar barisan pengamen, penganggur, pengemis, pedagang kaki lima, serta penghuni rumah reyot di bantaran sungai dan di kolong jembatan. Ekosistem alam rusak berat karena intervensi manusia, padahal mestinya manusia juga melakukan intervensi untuk memperbaikinya dan memelihara kelestariannya. Akan tetapi, intervensi konstruktif pada tataran aksi nyata itulah yang selalu tertinggal di negeri ini karena lebih banyak omong dan wacana. Untuk itu, manusia perlu melakukan intervensi untuk memperbaikinya dan memelihara kelestariannya ekosistem. Saat ini, laju penggundulan hutan lebih cepat daripada laju penghutanan kembali. Selama itulah pula banjir dan tanah longsor merupakan konsekuensi yang logis. Maka, harus ada intervensi negara yang konkret untuk membalikkannya sehingga lebih cepat laju menghutankan kembali daripada menggunduli. Bahkan, di tengah nestapa korban bencana, layak direnungkan, bukan saja laju penggundulan hutan harus direm, tetapi moratorium deforestasi untuk 20 tahun. Inilah intervensi radikal untuk memberi ruang dan waktu mengembalikan alam ke aslinya. Penting pula, upaya pendistribusian pemanfaatan hasil hutan secara adil dan merata untuk kepentingan rakyat. Pemerintah perlu menetapkan secara tegas moratorium eksploitasi sumber daya alam. Tak boleh ada kelonggarakan bagi siapa dan daerah mana pun meneruskan eksploitasi atau perusakan sumber daya alam, termasuk dengan alasan pendapatan asli daerah (PAD) atau atas nama otonomi daerah. Langkah lain, harus ada masyarakat yang kuat dan mampu memainkan peran kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang lingkungan. Kontrol ini bertujuan menjamin kepentingan bersama di bidang lingkungan dan karena itu jauh dari motif-motif politik yang sempit demi kepentingan kelompok tertentu. Bersamaan dengan itu, perlu terus dikembangkan perimbangan dan kontrol yang positif di antara kekuatan utama dalam msayarakat, yaitu antara pemerintah dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moral. Tak kalah pentingnya adalah langkah tegas dan penegakan hukum atas pelaku perusakan hutan dan lingkungan, termasuk kepada pengusaha nakal. Jika tidak, bencana demi bencana (banjir bandang) akan terjadi, dan rakyat tidak berdosa yang akan menanggungnya. Oleh Sutrisno Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) *) Dimuat di Harian Suara Pembaruan Jum’at 24 Januari 2014

1 komentar:

Box mengatakan...

Mari mulai menggunakan Box Makanan yang terbuat dari kertas. Perkenalkan Greenpack, kemasan ramah lingkungan.