Sesuai
jadwal, ujian nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK/MAK dan SMLB digelar 14-16 April
2014, sementara ujian susulan 22-24 April 2014. Sementara program Paket C (IPA,
IPS, Kejuruan) periode I 14-16 April 2014 dan periode II 19-22 Agustus 2014.
Sedangkan untuk jenjang SMP, MTs dan SMPLB digelar 5-8 Mei 2014 dan ujian susulan
12-16 Mei 2014. Untuk kejar paket B/Wustha diadakan periode I 5-7 Mei 2014 dan
susulan 19-21 Agustus 2014.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun telah bertekad menjalankan UN tahun
ini secara baik, tepat waktu, dan terhindar dari kebocoran. Mendikbud Moh. Nuh
Pun telah menandatangai “pakta integritas” dengan kepala daerah dan kepala
dinas di berbagai daerah. Kita mengapresiasi upaya Kemendikbud mewujudkan UN
yang jujur. Sebab, UN yang berlangsung sebelumnya masih terjadi kecurangan dan
bukan tidak mungkin UN 2014 juga bakal diwarnai kecurangan.
Perlu
kita pahami bahwa akar permasalahan yang menjadi penyebab ketidakjujuran pelaksanaan UN antara lain: Pertama, adanya
kekhawatiran oleh pihak sekolah dalam hal ini oknum guru bahwa hasil nilai UN
mata pelajaran yang sang guru pegang akan berada di bawah nilai standar UN
sebagaimana yang ditentukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kedua,
adanya beban moral bagi guru pengasuh mata pelajaran UN untuk mengangkat nilai
UN mencapai nilai standar yang sudah ditetapkan dan ini akan membawa nama
baiknya bukan hanya di sekolah namun juga di mata sekolah lain. Ketiga, adanya
kekhawatiran oknum pimpinan
sekolah/yayasan akan banyak siswanya yang tidak lulus UN dan secara otomatis
akan berdampak pada gengsi sekolah itu sendiri. Keempat, disinyalir ada campur
tangan pihak-pihak lain yang terkait yang mendukung terjadinya ketidakjujuran
dalam pelaksanaan UN.
Kecurangan
ini sudah menjadi masalah nasional yang berakibat pada makin meningkatnya
ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem evaluasi pendidikan nasional.
Buktinya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan untuk melarang evaluasi dengan
UN. UN Boleh dilaksanakan dengan syarat pemerintah harus meningkatkan kualitas
guru, akses informasi, dan peningkatan sarana-prasarana pendidikan di seluruh
Indonesia.
Penulis
menyorot kembali pelaksanaan UN. Sebab, hingga kini, pemikiran dan tujuan yang
melandasi kebijakan UN masih amat rancu. Penjelasan para birokrat pendidikan di
Jakarta maupun daerah tentang UN tidak konsisten atau mencerminkan
kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standardisasi.
Jika UN dimaksudkan untuk mendapatkan pemetaan kondisi pendidikan nasional,
mengapa harus semua siswa mengikutinya? Mengapa tidak menggunakan metode sampling agar lebih hemat? Dan untuk
tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai
menjatuhkan mental siswa (Sutrisno, 2013).
Selama
beberapa tahun terakhir, pemerintah tidak pernah memperbaiki kelemahan
pelaksanaan UN. Kasus-kasus kecurangan UN tetap saja terjadi, meski Kemendikbud
telah melibatkan berbagai pihak, termasuk Kepolisian, untuk mengawasi
penyelenggaraan UN. Pemerintah pun tidak menindaklanjuti hasil UN dengan
program tertentu, sehingga UN justru menjadi momok pendidikan nasional.
Mendikbud
Moh. Nuh telah menegaskan bahwa sejak UN 2012-2014 bukan lagi alat seleksi
utama yang menentukan kelulusan siswa. Berdasarkan Peraturan Menteri
Penedidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 97 Tahun 2014 tentang Ujian
Nasional, nilai kelulusan siswa merupakan akumulasi dari nilai UN dan nilai
olahan sekolah. Persentase nilai UN memiliki bobot 60 persen, sedangkan nilai
olahan sekolah berbobot 40 persen.
Tapi,
rumusan kelulusan tersebut masih belum sempurna. Hemat saya, standar penilaian
yang digunakan saat ini adalah standar mutlak. Padahal, seharusnya yang
digunakan standar norma (standar penilaian yang digunakan atas pertimbangan
kondisi setiap daerah yang berbeda-beda). UN harus memenuhi asas bermutu,
berkeadilan, dan efisiensi. Sekolah-sekolah yang fasilitas kegiatan
belajar-mengajar dan gurunya belum memadai seharusnya dilihat dan
dipertimbangkan untuk menentukan nilai kelulusan. Jika UN digunakan untuk
menentukan kelulusan siswa, prinsip ujian test
what you teach (ujilah apa yang Anda sudah ajarkan) jelas sudah dilanggar.
Yang
lebih miris, evaluasi UN tidak selaras dengan penerapan metode pembelajaran
dalam kurikulum 2013. UN cenderung siswa belajar secara instan (kejar target
lulus) sehingga mengabaikan proses belajar. Sedangkan dalam kurikulum 2013 siswa
diajak untuk mampu menganalisis, observasi, dan presentasi. Dalam kurikulum
2013, penilaian hasil pembelajaran harus
dilakukan secara berbasis kelas, portofolio, dan penilaian otentik. Mereka
tidak “dihakimi” hanya ketika UN. Tetapi, mereka sudah mengumpulkan berbagai
poin dari proses pembelajaran sebelumnya. Sedangkan penilaian UN masih ada
“intervensi” dari pemerintah. UN tidak akan memengaruhi mutu
pendidikan nasional jika dikaitkan dengan penerapan kurikulum 2013.
Oleh
karena itu, evaluasi akhir di jenjang pendidikan harus dikaji ulang. Yang
diperlukan adalah evaluasi komprehensif atas proses pendidikan yang mencakup
aspek kognitif, psikomotor dan afektif. Evaluasi pendidikan juga harus
menyeluruh, tidak bisa ditentukan oleh hasil dari beberapa bidang studi. Sebab,
tiap bidang studi yang diajarkan wajib dievaluasi untuk mengukur capaian siswa.
Kalau tidak dievaluasi, untuk apa diajarkan?
Aspek
yang lain adalah memperbaiki validitas soal ujian. Fakta bahwa banyak siswa
berprestasi di sekolah tidak mencapai nilai di atas standar menunjukkan
validitas soal ujian dipertanyakan. Soal ujian tidak bisa dibuat serampangan,
bahkan harus melalui uji sahih untuk masuk bank soal. Apalagi, hasil UN kali
telah diintegrasikan dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
UN
masih menganut logika sesat! Betapa tidak. UN mengabaiakan dan tidak menghargai
jerih payah para siswa belajar serta guru dalam mendidik. Tiga tahun siswa belajar
beraneka materi pelajaran, tekun dan rajin mengerjakan soal ujian. Namun, pemerintah
hanya menguji mereka dengan beberapa mata ujian, menjawab 50 nomor soal (itu pun
pilihan ganda). Lalu ujian yang hanya tiga hari dengan 50 nomor soal itu
digunakan untuk menentukan kelulusan anak.
Barangkali
hanya di Indonesia sistem pendidikannya masih berkutat pada persoalan-persoalan
UN. Ketika siswa-siswi di negara-negara lain sudah berlomba-lomba memikirkan
bagaimana menciptakan sesuatu yang berguna buat orang banyak, di negeri ini
para peserta didik kita masih saja dijadikan kelinci percobaan dalam suatu
laboratorium besar bernama pendidikan nasional, terutama menyangkut penerapan
sistem ujian nasional. Hal ini harus segera diakhiri!
Dimuat
di Solopos _ Selasa 15 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar