Tanggal 25
November diperingati sebagai Hari Guru. Ini menjadi momentum merefleksikan diri
para pendidik tersebut. Dalam Indonesia Mengajar karya Anies Baswedan (2013),
dikatakan menjadi guru itu mulia. Ditekankan pula, mendidik adalah tugas
konstitusional negara. Tetapi sesungguhnya, mendidik merupakan tugas moral
setiap orang terdidik. Guru bertugas menanamkan nilai-nilai kebaikan dan
membentuk insan cerdas agar berilmu pengetahuan.
Guru diyakini
sebagai salah satu penjamin keberlangsungan peradaban. Sebagai fasilitator ilmu
dan keteladanan, guru-guru harus berkualifikasi serta berkompetensi. Good
education requires good teachers (pendidikan yang baik memerlukan guru-guru
yang baik pula). Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Di situ disebutkan, pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih, serta
meneliti dan mengabdi masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Guru juga
dituntut memiliki kompetensi. Pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, kompetensi guru ada empat, yakni pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, serta menjadi
teladan. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran
secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan
berkomunikasi-berinteraksi secara efektif-efisien dengan peserta didik sesama
guru, orang tua siswa, dan masyarakat.
Selanjutnya,
para guru yang telah disertifikasi mendapat tunjangan kesejahteraan. Dengan
kata lain, pemerintah menambah tunjangan kepada para guru yang sukses
sertifikasi. Pertanyaannya, apakah guru yang sudah sertifikasi lebih
berkualitas dibanding sebelumnya?
Membuktikan
Guru harus
membuktikan benar-benar profesional. Masyarakat mulai mempertanyakannya karena
beberapa indikasi. Di antaranya ujian nasional yang curang, tawuran pelajar,
kekerasan pada siswa, dan kualitas mengajar yang masih rendah. Itu semua
membuat masyarakat meragukan profesionalitas guru dan hasil pembelajarannya.
Profesionalitas
guru juga belum cukup hanya dengan dibuktikan lewat sertifikat karena hanya
simbol. Profesionalitas hanya dapat diraih dengan perjuangan panjang dan berat.
Usaha menciptakan profesi guru profesional sudah dilakukan pemerintah. Antara
lain mensyaratkan seorang guru mengikuti akta IV dan pendidikan khusus lain
agar bisa menjadi guru negeri di lingkungan pendidikan nasional. Berbagai
aturan pun telah dikeluarkan guna mendorong guru-guru lebih profesional. Tidak
banyak guru tergerak mau belajar menjadi profesional. Pemerintah kebingungan
akan keadaan ini.
Kemdiknas era
SBY akhirnya mengadakan Ujian Kompetensi Guru (UKG) guna mengetahui peningkatan
profesionalisme setelah diberi tunjangan sertifikasi. Hasilnya masih jauh dari
harapan pemerintah. Nilai guru-guru sertifikasi sebagian besar di bawah 70
(standar kelulusan). Guru-guru seperti itu seharusnya malu menghadapi murid
karena tidak lulus UKG.
Geist (2002) mengatakan
professionals are specialists and experts inside their fields. Their expertise
is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently
they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties. Guru yang
tidak berkualitas dari sisi pendidikan akademik maupun lainnya berdampak pada
hasil. Karena itu, perlu meningkatkan kualitas pendidikan dan kemampuan guru.
Prinsip-prinsip
profesionalitas guru tertera pada Pasal 7 UU Guru dan Dosen, di antaranya
memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Berkomitmen meningkatkan
mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak. Berkualifikasi akademik dan
latar belakang pendidikan sesuai dengan tugas. Berkompetensi sesuai dengan
bidang tugas.
Menjadi guru
profesional tidak cukup sekadar berkualifikasi pendidikan. Dia juga memiliki
soft skill dan kompetensi kepribadian utuh. Dengan begitu, dia dapat bekerja
melaksanakan tugas. Dia harus menghayati mendidik sebagai panggilan hati
nurani. Hanya dengan begitu, pengajar akan senang dan berbahagia sebagai
seorang guru.
Jerome S
Arcaro, dalam bukunya, Quality in Education (1995): “The quality teacher is
able to respond to new challenges, adapt to changing demands, and be true to
his or her values and principles.” Mengajar bukan hanya menyampaikan yang telah
didapat saat kuliah karena memerlukan kreativitas dan inisiatif untuk menemukan
kebaruan di lingkungan sekitar. Jadi, mengajar bukan hanya proses transfer
pengetahuan.
Dalam buku
Karakter Guru Profesional karya Dr Hamka Abdul Aziz MSi (2012), dijelaskan
bahwa guru profesional memiliki ciri-ciri enterpreneurship, self motivation,
self growth, dan capability. Entrepreneurship artinya mempunyai kemandirian.
Dia dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian harus
memancarkan kepribadian, kewibawaan, kejujuran, dan intelektual.
Guru profesional
mampu memotivasi diri sendiri untuk berbuat dan berkarya yang terbaik. Self
growth berarti berkembang mengikuti gerak zaman agar tidak ketinggalan.
Capability sebagai kemampuan, kecakapan, atau keterampilan. Dia mampu mengelola
waktu, menjiwai siswa, dan memotivasi murid.
Oleh sebab itu,
saat memilih profesi ini, di dalam hati harus bercita-cita memberi yang terbaik
bagi anak didik dalam proses belajar mengajar demi mencerdaskan bangsa. Harus
ada semangat belajar tinggi dari para guru guna menunjang pengajaran, jangan
sekadar mengejar sertifikasi.
Oleh Sutrisno
Penulis adalah seorang pendidik,
mahasiswa pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Dimuat di Koran Jakarta | Gagasan | Rabu, 26 November 2014
Dimuat di Koran Jakarta | Gagasan | Rabu, 26 November 2014
1 komentar:
amazing 😉😉😉
Posting Komentar