NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Kamis, 03 April 2014

Kriteria Pemimpin Masa Depan

Hampir sepanjang hari rakyat sudah capek dengan dagelan dan sirkus yang dimainkan elite politik yang ujungnya hanya menyengsarakan rakyat. Lihat saja jumlah penduduk miskin bertambah (dalan realita di lapangan), lingkungan hidup bertambah rusak, sejumlah masalah kemanusiaan terabaikan, kekerasan merebak, dan korupsi makin membudaya. Belum lagi persoalan keterlambatan pemerintah untuk turun tangan dalam menangani banyak hal yang terjadi karena musibah dan persoalan kemanusiaan lainnya.

Maka, disini dibutuhkan pemimpin yang kuat. Untuk melahirkan pemimpin yang kuat, janganlah diserahkan begitu saja kepada sistem yang digunakan selama ini, termasuk juga soal mekanisme yang digunakannya. Kita perlu melaksanakan pencerahan publik tentang pentingnya Pemilu bisa dijadikan sebagai ajang mencari pemimpin yang benar-benar mampu memberikan solusi agar bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan.

Harus diakui bahwa masih mengentalnya paradigma kekuasaan sebagai tujuan di kalangan politisi kita itu menjadi sebab terbesar tidak pernah terjadinya perubahan sosial dan politik dalam kehidupan kebangsaan. Penguasa datang silih berganti, pemilu dilakukan setiap kali, serta anggota Dewan dilantik setiap waktu, tapi reformasi politik dan pemberdayaan politik rakyat tidak pernah betul-betul terjadi.

Pergantian kekuasaan hanya identik dengan pergantian orang dan penyingkiran lawan yang dulu berkuasa.Kekuasaan baru juga hanya menjadi pundi-pundi pengeruk dana partai untuk memakmurkan keluarga dan mengisi kas partai. Sementara pemberantasan KKN, penegakan hukum, pembaharuan budaya politik dan birokrasi semakin jauh dari agenda kebijakan pengelola negara. Padahal, kekuasaan pada dasarnya adalah jalan untuk melakukan perubahan masyarakat dan meninggalkan tradisi lama yang dahulu dikritiknya.

Oleh karenanya, menurut Jakob Oetama (2004), dalam kekuasaan mutlak diciptakan keseimbangan yang baik antara government (pemerintah) dan governance (pemerintahan). Untuk menciptakan governance yang baik, maka government-nya harus juga baik. Ibaratnya, good governance tidak akan ada tanpa hadirnya clean government. Pada paradigma kekuasaan sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat itu, pemimpin dan kepemimpinan mestinya mampu melahirkan sebuah motivasi baru dalam berbangsa dan bernegara. Pemimpin yang baik memang bukanlah pemimpin yang hanya bisa memerintah, minta dilayani,serta gemar menggunakan fasilitas negara.

Tulisan ini akan memberikan sejumlah kriteria calon pemimpin masa depan. Mengutip pendapat Saurip Kadi dalam bukunya Mengutamakan Rakyat (2008) ada beberapa kriteria calon pemimpin masa depan. Pertama, tidak takut risiko atau pemberani. Ia harus dominan decisive, yaitu pemimpin yang bisa mengambil keputusan karena intuisi, nurani, dan kata hatinya.

Kedua, memiliki solusi dan visi baru dalam pengelolaan negara. Sebab, tanpa solusi dan visi baru ia sesungguhnya hanya melanjutkan apa-apa yang ada selama ini yang nyata-nyata telah mengantar bangsa dan negara ini terpuruk. Tanpa visi yang baru, niscaya ia menempatkan jabatan hanyalah sebagai tujuan, yang penting pernah dicatat dalam sejarah bahwa dirinya pernah menjadi presiden. Visi dan misi para calon pemimpin haruslah dilihat sebagai gambaran akan masa depan bangsa.

Dalam bahasa Ignas Kleden (2003), pemimpin yang visioner adalah orang yang mempunyai desain masa depan Indonesia. Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan, nasib, dan bentuk Indonesia ini 10–20 tahun mendatang. Sesungguhnya rakyat sekarang ini butuh harapan baru, naungan, pengayoman, solusi dan keteladanan, bukan himbauan dan pembenaran-pembenaran atas keberhasilan dalam mengelola negara, namun realitanya kehidupan bangsa ini makin mengenaskan.

Ketiga, tidak terlibat dendam masa lalu. Bagaimanapun ia yang menjadi bagian dari persoalan masa lalu sesungguhnya ia yang harus ikut diluruskan, ia yang harus dicuci agar ke depan menjadi bersih, lantas bagaimana mungkin mereka menjadi pemimpin yang akan membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan, sementara ia adalah bagian dari masa lalu yang telah mengantar bangsa ini mengalami krisis yang berkepanjangan.

Keempat, mempunyai integritas moral tinggi sehingga mampu membedakan yang hak dan bathil. Begitu dahsyatnya kerusakan moral elite bangsa maka yang dibutuhkan adalah lintasan panjang perjalanan hidup sang pemimpin yang secara faktual telah membuktikan menyatunya kata dan perbuatan. Kelima, pemimpin yang mengutamakan rakyat sesuai dengan tuntutan kekinian. Ke depan tidak bisa lagi pemimpin yang tidak punya sence of crisis atas nasib bangsanya. Ia juga pemimpin yang kepeduliannya tinggi terhadap pengaruh lingkungan strategis.

Keenam, kepemimpinan Indonesia baru harus menghargai kemajemukan (pluralitas), keterbukaan (transparansi), menjunjung tinggi azaz kesetaraan (egaliter), demokratis, kompatibel dengan tuntutan global sehingga mampu berdialog dengan berbagai kekuatan global, namun tidak tercerabut dari kepentingan lokal kerakyatan. Justru kepemimpinan Indonesia baru harus mampun mengartikulasikan dan mendialogkan potensi lokal kerakyatan dengan kecenderungan dan potensi global dalam satu sinergi untuk menuju peradaban manusia yang adil di masa mendatang.

Ke depan segala sesuatu yang ditawarkan pemimpin dan apalagi yang diperjanjikan harus dapat diukur secara nalar oleh rakyat kecil sekalipun dan secara terukur pula kelak bisa ditagihnya saat ia menjalankan kekuasaan. Dan konsep yang ditawarkan pun haruslah yang sistemik, realistik, dan juga pragmatik. Dalam hal pemberantasan korupsi umpanya, ia harus mampu menjelaskan bagaimana secara sistenik korupsi bisa diberantas, sehingga faktor kesempatan bagi siapa pun yang terlibat dalam pengelolaan kekuasaan, termasuk bagi dirinya kelak kalau terpilih jadi presiden, bagi anggota DPR, menteri, seterusnya sampai ke panitia tender, bupati, camat, lurah, tukang pungut pajak dan tukang kebun, serta rakyat sendiri menjadi begitu sangat kecil. Kesempatan yang begitu kecil bila dihadapkan dengan risiko yang bakal ditanggung bila ketahuan, akan membuat korupsi menjadi tereleminasi dengan sendirinya.

Dengan pemaparan sejumlah kriteria pemimpin masa depan di atas, diharapkan publik memiliki alternatif pertimbangan dalam menentukan pilihan pada Pemilu 2014 nanti, lebih dari itu syukur kalau bisa melahirkan kekuatan rakyat yang mampu “menekan” elite bangsa dan pengurus partai agar Pemilu 2014 bisa dijadikan sarana untuk memilih pemimpin yang bisa memberi jaminan bangsa ini bisa keluar dari keterpurukan guna membangun peradaban barunya yang dilandasi oleh sifat-sifat keutamaan yang berintikan keselarasan, cinta, dan ambeg paramaarta (makna terdalamnya adalah pemurah dan pengampun yang berarti pula memaafkan dan menjaga). Semoga.

Oleh Sutrisno, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mahasiswa (UMS)

Dimuat di Harian Wawasan / Kamis, 2 Januari 2014

Potret Hitam Kekerasan Anak

Potret hitam situasi dan ragam kekerasan serta pelanggaran hak anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Di pengujung tahun 2013 ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan laporan kasus pelanggaran yang melibatkan anak.

Menurut data Komnas Anak, ada 1.620 kasus dengan perincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen), psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51 persen). Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi anak seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri.

Peristiwa teraktual adalah di Batam. Rizky, 3 tahun, tewas di tangan orang tuanya sendiri. Di Riau, Adit, 6 tahun, ditemukan penjual sayur di kebun sawit. Bocah itu mengaku dibuang ibu dan pamannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Alat kelaminnya juga ada bekas luka yang menurutnya digunting oleh sang ibu.

Fakta tersebut mengungkap gagalnya negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua melindungi serta menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu sibuk dengan urusan sendiri.

Kendaraan yang mempercepat kita melaju seolah-olah tidak memberikan waktu sedikit pun untuk sekadar merenungi nasib anak-anak ini. Sepulang dari masjid, gereja, atau rumah ibadah lainnya, para pemeluk agama kembali berurusan dengan hal-hal rutin. Padahal jelas agama memerintahkan umatnya untuk melindungi anak-anak.

Negara yang seharusnya melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar, seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bangsa. Negara belum maksimal melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Fakta ini juga bertentangan dengan program Kabupaten/Kota Layak Anak yang sering didengungkan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak merespons secara proporsional kasus-kasus pelanggaran hak anak.

Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.

Perlindungan juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Penyair Lebanon, Kahlil Gibran, mengingatkan kita bahwa "anakmu bukanlah anakmu". Anak memiliki dunianya sendiri. Kita bisa memberikan kasih sayang, tetapi tidak dapat memberikan pikiran kita karena mereka memiliki pikiran sendiri. Kita tidak dapat mengurung jiwa mereka karena jiwa mereka tinggal di "rumah masa depan" yang tidak bisa kita kunjungi. Kita juga dapat menyerupai mereka, tetapi jangan coba-coba memaksa mereka menyerupai kita. Karena, waktu tidak berjalan mundur dan merekalah yang akan menggenggam dunia setelah kita tiada.

Ungkapan Gibran di atas sebenarnya adalah untuk menyadarkan kita betapa penting peranan anak di masa depan. Masa depan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak. Artinya perlindungan anak menjamin anak berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa depan anak menjadi terjamin.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak anak agar hidup dan tumbuh berkembang secara optimal, berpartisipasi, serta mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Saat ini terdapat sekitar 84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir sekitar 4 juta–5 juta anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan merupakan generasi penerus bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak Indonesia mutlak harus dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara.

Potret hitam kasus kekerasan anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung jawab pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak anak sebagai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah membentuk UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen (Kementerian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional harus dilibatkan.

Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.

Terpenting, hak-hak dasar anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada empat jenis hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun, pemberian bekal agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung jawab masyarakat adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif sehingga anak bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya maupun lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya, mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak, seperti bunuh diri, penyiksaan anak berujung maut, tindak kekerasan (child abuse), kekerasan seksual, diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.

Sinergi antara orang tua, masyarakat, LSM, dan pemerintah harus terus dilakukan dalam melindungi anak. Pemerintah bersama masyarakat luas harus kerja ekstra dalam upaya penyediaan dana, kepedulian, masalah keamanan, perbaikan nasib (perekonomian, pendidikan, kesehatan rakyat) merupakan faktor penting mengatasi persoalan potret hitam kekerasan anak di atas.

Dunia semakin liberal, anak-anak yang tidak terlindungi akan semakin terpuruk. Perlakuan negara dan masyarakat dewasa terhadap anak-anaknya adalah cerminan masa depan suatu bangsa. Saatnya kita semua peduli pada nasib anak. Sebab, anak adalah penerus perjuangan bangsa, yang menentukan nasib dan arah bangsa di masa akan datang. Maju dan mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas anak saat ini.

Penulis adalah Sutrisno, Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dimuat di Harian Koran Jakarta Gagasan | Kamis, 26 Desember 2013

Banjir dan Penghancuran Hutan

Sudah kerap dikemukakan bahwa banjir datang bersamaan dengan menghilangnya wilayah-wilayah resapan air berupa hutan lindung dan hutan tutupan di hulu-hulu sungai. Menghilangnya hutan di wilayah hulu itu membuat air hujan yang jatuh tidak dapat diserap tanah sehingga volume air yang melaju di permukaan meningkat terlalu besar. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lahan hutan yang rusak tiap tahun mencapai sekitar 2 juta hektare. Kerusakan ini, naik tajam dari 5 tahun lalu, sekitar 1,7 juta hektare per tahun. Kawasan hutan di seluruh Indonesia seluas 120,34 juta hektare. Data ini diperoleh dari hutan konservasi seluas 20,5 juta hektare, hutan lindung 33,52 juta hektare dan hutan produksi 66,33 juta hektare. Perusakan hutan yang masif mengakibatkan air hujan yang turun berkepanjangan tak mampu lagi disimpan akar pohon dan masuk ke dalam tanah. Akhirnya, banjir bandang merenggut korban harta dan nyawa. Indonesia memecahkan rekor dunia dalam penghancuran hutan. Luas hutan Indonesia mencapai 120 juta hektare. Namun, faktanya, kondisi hutan yang masih bertahan diperkirakan tinggal 60 juta hektare. Diprediksi luas hutan alam yang masih bertahan lebih kecil lagi. Hutan Indonesia kini sudah tidak lagi menjadi penyumbang devisa terbesar buat negara. Sumber daya alam itu makin habis. Dalam lima tahun mendatang diperkirakan Indonesia bisa menjadi importir kayu. Di Indonesia saat ini diperkirakan 72% hutan asli telah musnah. Setengah dari luas alam yang tersisa sekarang pun terancam penebangan untuk komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk lahan kebun sawit. Berbagai upaya rehabilitasi dan konservasi hutan telah dilakukan, salah satunya oleh Dephut melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga donor pun tidak sedikit yang telah mengucurkan dana untuk membiayai berbagai program konservasi yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Namun, hasilnya tetap nihil. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, kegagalan reboisasi dan penghijauan yang telah kita lakukan sejak tahun 1960-an. Kegagalan reboisasi dan penghijauan dalam tahun pertama sudah dapat mencapai lebih dari 50 persen. Karena pemeliharaan sangat minim, setelah lima tahun yang hidup tinggal beberapa persen saja. Yang mati lebih dari 90 persen. Lalu diadakan gerakan reboisasi dan penghijauan lagi. Sebab, kegagalan ialah waktu penanaman sering tidak tepat. Anggaran baru cair akhir musim kemarau dan bibit yang ditanam masih kecil sehingga banyak yang mati. Lebih celaka lagi jika anggaran baru cair pada akhir musim hujan dan bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau. Mubazirlah miliaran, bahkan secara nasional triliunan rupiah. Herankah kita kegagalannya tinggi? Pada lain pihak, kegagalan memberi kesempatan kepada instansi dan LSM tertentu untuk mendapatkan proyek reboisasi dan penghijauan lagi. Adakah kesengajaan untuk menjaga agar dana proyek reboisasi dan penghijauan tidak mengering? Wallahualam. Kedua, kemiskinan yang diperparah oleh pembangunan yang tidak prorakyat miskin. Di Jawa tampak jelas, pembangunan jalan tol, industri, dan permukiman telah memarjinalkan rakyat miskin. Pemilik lahan dapat ganti rugi meskipun sering di bawah harga pasar. Namun, buruh tani serta pengusaha pedati dan pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan sumber pendapatannya tidak dapat ganti rugi apa-apa. Mereka tergusur dan hanya mempunyai dua pilihan, naik gunung dan membabat hutan untuk menanam bahan pangan agar tidak mati kelaparan atau bermigrasi ke kota serta memperbesar barisan pengamen, penganggur, pengemis, pedagang kaki lima, serta penghuni rumah reyot di bantaran sungai dan di kolong jembatan. Ekosistem alam rusak berat karena intervensi manusia, padahal mestinya manusia juga melakukan intervensi untuk memperbaikinya dan memelihara kelestariannya. Akan tetapi, intervensi konstruktif pada tataran aksi nyata itulah yang selalu tertinggal di negeri ini karena lebih banyak omong dan wacana. Untuk itu, manusia perlu melakukan intervensi untuk memperbaikinya dan memelihara kelestariannya ekosistem. Saat ini, laju penggundulan hutan lebih cepat daripada laju penghutanan kembali. Selama itulah pula banjir dan tanah longsor merupakan konsekuensi yang logis. Maka, harus ada intervensi negara yang konkret untuk membalikkannya sehingga lebih cepat laju menghutankan kembali daripada menggunduli. Bahkan, di tengah nestapa korban bencana, layak direnungkan, bukan saja laju penggundulan hutan harus direm, tetapi moratorium deforestasi untuk 20 tahun. Inilah intervensi radikal untuk memberi ruang dan waktu mengembalikan alam ke aslinya. Penting pula, upaya pendistribusian pemanfaatan hasil hutan secara adil dan merata untuk kepentingan rakyat. Pemerintah perlu menetapkan secara tegas moratorium eksploitasi sumber daya alam. Tak boleh ada kelonggarakan bagi siapa dan daerah mana pun meneruskan eksploitasi atau perusakan sumber daya alam, termasuk dengan alasan pendapatan asli daerah (PAD) atau atas nama otonomi daerah. Langkah lain, harus ada masyarakat yang kuat dan mampu memainkan peran kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang lingkungan. Kontrol ini bertujuan menjamin kepentingan bersama di bidang lingkungan dan karena itu jauh dari motif-motif politik yang sempit demi kepentingan kelompok tertentu. Bersamaan dengan itu, perlu terus dikembangkan perimbangan dan kontrol yang positif di antara kekuatan utama dalam msayarakat, yaitu antara pemerintah dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moral. Tak kalah pentingnya adalah langkah tegas dan penegakan hukum atas pelaku perusakan hutan dan lingkungan, termasuk kepada pengusaha nakal. Jika tidak, bencana demi bencana (banjir bandang) akan terjadi, dan rakyat tidak berdosa yang akan menanggungnya. Oleh Sutrisno Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) *) Dimuat di Harian Suara Pembaruan Jum’at 24 Januari 2014

Misi Pembebasan Maulid

Hari ini, 14 Januari 2014, umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dia sendiri tidak pernah menganjurkan perngatan ini, namun juga tidak ada larangan secara sharih (eksplisit). Maka, tak mengejutkan bila pro dan kontra menyangkut hukum untuk memperingatinya terus berlanjut meski tidak sederas pada era 70-an. Tentang kelahiran tersebut, sejarawan tetap berselisih pendapat. Husein Haikal, dalam Sejarah Hidup Muhammad, mengupas tuntas perbedaan itu. erkait tahun kelahirannya, sebagian besar mengatakan Muhammad lahir pada Tahun Gajah, peristiwa agresi Raja Abrahah bersama pasukan gajahnya menghancurkan Kabah. Yang lain berpendapat, beberapa hari atau bulan bahkan tahun sesudah peristiwa tersebut. Sebagian besar mengatakan dia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada pula yang berpendapat bulan Muharam, Safar, Rajab, atau mungkin Ramadhan. Dari sekian banyak pendapat, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (20 April 571 Masehi) tanggal paling umum dan terkenal. Maka, pada hari itu, masyarakat muslim mengenang dan membumikan pesan-pesan profetiknya melalui peringatan Maulid Nabi. Refleksi terpenting maulid adalah menelisik kembali misi-misi profetik di dalamnya. Yang utama pembebasan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dalam pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju idealnya. Inilah yang telah dilakukan Muhammad untuk masyarakat Arab pada awal-awal. Dalam pandangan Engineer (1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan pembebasan sosio-kultural. Sebelumnya, struktur masyarakat Arab amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan: terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan budak yang merupakan orang miskin, tertindas (mustadh afin/the oppressed). Islam turun membawa pesan egalitarian di dalam kehidupan. Maka, tidak ada lagi polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan bukan bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaan. Pembebasan Konsep pembebasan yang dicetuskan 15 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan berawal dari arogansi rasial, etnik, dan budaya. Artinya, dengan beragama, harus dihilangkan kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman, bukan sebaliknya. Pembebasan demi keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, Al Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya. Sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al Quran juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS Al Baqarah: 219). Harus disingkirkan segala bentuk penindasan dan penjajahan. Di negara ini, keadilan masih menjadi barang mewah, terlebih bagi kalangan lemah dan tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal ini amat dirasakan manakala ada kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik. Kemudian, sikap terhadap agama lain. Keterbukaan, toleransi, dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam. Al Quran telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan dalam beragama (QS Al Baqarah: 256), bagimu agamamu, bagiku agamaku (QS Al Kaafiruun: 6), dan Al Quran telah mengajarkan penghormatan kepada semua nabi. Namun pada kenyataannya, kondisi pluralisme keberagamaan bangsa masih memprihatinkan. Kecurigaan dan kebencian sering mewarnai hubungan antaragama di Indonesia yang tak jarang berakhir konflik (Masdar Hilmy, 2002). Terbukti, sebagian besar kerusuhan sosial yang terjadi di Tanah Air melibatkan sentimen keagamaan. Sikap keberagamaan seperti itu sangat tidak sinkron dengan pesan nilai-nilai profetik, mengingat Muhammad, selain sebagai Rasul yang harus menyampaikan wahyu, merupakan pedagang, komandan perang, pemimpin, dan bermasyarakat. Saat ini, peringatan Maulid Nabi berada di tengah kritikan bahwa Indonesia "negeri autopilot. " Sebab, pemerintah (pemimpin) tidak hadir dalam aneka kesulitan rakyat, seperti pelanggaran HAM, kemiskinan, konflik keagamaan, konflik tanah, perseteruan buruh-majikan, derasnya barang impor, buruknya infrastruktur jalan, kacaunya transportasi massal, hingga minimnya keadilan bagi wong cilik. Di negeri seperti ini, rakyat dibiarkan berjuang tanpa ada pengayoman dan perlindungan yang memadai. Karen Amstrong (2004) menempatkan Muhammad sebagai teladan yang mampu merombak peradaban dunia. Bahkan, Michael Hart (2006) menempatkannya di urutan pertama sebagai orang yang paling berpengaruh bagi peradaban dunia. Dengan Maulid Nabi, kita berharap hadirnya sosok manusia-manusia pembebas sebagaimana dicontohkan Muhammad. Dengan sifat jujur, tepercaya, menyampaikan kebenaran, "sang pilot " (pemimpin negeri) harus segera mengambil alih kemudi. Dia harus memimpin bangsa secara bertanggung jawab untuk mengarahkan seluruh sumber daya guna mewujudkan tujuan negara. Maulid Nabi menjadi sebuah momentum untuk kembali menghadirkan sosok seperti Muhammad yang telah berhasil menghadiahkan keadilan dan kemajuan peradaban dunia. Oleh Sutrisno Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMS, Solo http://koran-jakarta.com/?3271-misi%20pembebasan%20maulid