NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Minggu, 25 Mei 2014

PPDB PROGRAM AKSELERASI 2014/2015

PPDB PROGRAM AKSELERASI 2014/2015 SMPN 1 WONOGIRI

http://smpn1-wonogiri.sch.id/index.php?id=profil&kode=100&profil=PPDB+AKSELERASI+2014%2F2015

Jumat, 02 Mei 2014

Perempuan Pemikir Bangsa

Setiap tanggal 8 Maret, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Melalui tulisan ini, penulis ingin memaknai Hari Perempuan Internasional. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum masehi sampai kini.

Secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Berbagai perlakuan yang tidak merata masih kerap menimpa kaum perempuan. Potensi-potensi besar yang dimiliki oleh kaum perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, kemajuan sosial, perdamaian dan pemerintahan yang baik masih belum tersentuh. Kekerasan terhadap lain jenis kelamin tidak saja merusak kehidupan para perempuan, remaja-remaja putri, keluarga dan masyarakat, tetapi juga merenggut berbagai bakat yang mereka miliki dan sangat dibutuhkan oleh dunia.

Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Namun mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan. Persoalannya, sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan?

Release Sarekat Hijau Indonesia dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2010 lalu menyatakan bahwa negara gagal memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan bagi hak asasi perempuan, perempuan mengalami lapis-lapis kekerasan mulai dari pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk bagaimana pengetahuan perempuan sebagai penjaga pangan keluarga dan komunitasnya.

Kita juga harus mengelus dada karena peran positif kaum ibu dalam kancah pembangunan juga ternoda dengan perliku negatif, yaitu terlibat dalam kasus korupsi. Sebut saja, Malinda Dee, Miranda Gultom Swaray, NununNurbaeti, Neneng Nazaruddin, Mindo Rossa Manulang, Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, Ratu Atut Chosiyah, tokoh “bunda putri”, dan lain sebagainya. Mereka adalah sosok ibu masa kini yang berperan jadi perantara, “pembelanja” dan aktor utama korupsi serta tindak pidana pencucian uang. Mungkin inilah satu satu “buah” dari gegap gempitanya gerakan emansipasi di negeri ini, dimana para kaum hawa berbondong-bondong hijrah dari zona domestik menuju ranah publik.

Perlu pembelaan negara terhadap nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut A. Bakir Ihsan (2007), setidaknya ada empat agenda terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan atau pakar manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita yang sesungguhnya. Misi sejati memperingati Hari perempuan adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil gender dan feminisme berkembang di negeri ini.

Menjadi perempuan bukan hanya berfikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik, berpikir untuk bangsa, berpikir untuk rakyat, berpikir untuk cita-cita negara, berpikir untuk keberlangsungan masyarakat bangsanya. Kekuatan perempuan bisa menjadi salah satu sayap dari Garuda Bhineka Tunggal Ika, terbang membahana membawa citra cemerlang negara dan bangsanya. Belajar dari sejarah, harus ada reformasi dalam tubuh semua organisasi perempuan, kembali pada semangat juang Hari Perempuan, kembali pada makna perjuangan kebangsaan untuk mendobrak kekuatan-kekuatan di hadapan mata yakni kapitalisme dan imperalisme yang sangat jelas menterpurukkan kehidupan perempuan, mendobrak kemiskinan dan ketidak adilan, mendobrak tindak kekerasan dan perdagangan perempuan (Nuniek Sriyuningsih dan Sukirno, 2004).

Oleh karena itu, Hari Perempuan kali ini harus diarahkan untuk mengembalikan semangat juang kaum ibu dalam memajukan dan mensejahterakan bangsa dengan segenap potensi dan kemampuan yang ada. Kaum perempuan harus lebih optimal berperan serta dan berkontribusi secara signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional serta kemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Di negara mana pun juga peranan kaum ibu sangat signifikan bagi kemajuan bangsanya. Ingat sabda Nabi Muhammad SAW, “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, negara itu akan sejahtera secara penuh. Tetapi, jika perempuan rusak, negara itu akan rusak secara penuh pula.”.

* Penulis adalah Sutrisno, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

** Dimuat di Harian Republika, Sabtu 8 Maret 2014

Menata Dasar Pendidikan [Refleksi Hardiknas]

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ketika Bapak Pendidikan Nasional, pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, dilahirkan. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di hari yang bersejarah ini kita berkontemplasi dan berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Diakui atau tidak, kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan kalau tidak dikatakan berjalan di tempat.

Sejak awal para pendiri bangsa ini sangat memperhatikan masalah pendidikan. Hal itu bahkan secara tegas dituangkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menetapkan bahwa salah satu tujuan kita bernegara adalah menciptakan masyarakat yang cerdas dan berpendidikan. Dalam praktiknya, memang kita melihat bahwa yang dilakukan sejak awal Indonesia merdeka bukan sekadar pembangunan bangsa (nation building), bukan hanya pembangunan negara (state building), tetapi juga pembangunan kapasitas manusianya (capacity building). Di tengah kehidupan ekonomi yang sangat berat pada waktu itu, kita tetap mengirimkan orang-orang yang berpotensi untuk mengecap pendidikan di banyak negara.

Hasil pendidikan itu memang tidak langsung kita rasakan pada masa awal kemerdekaan itu. Namun, ketika negara ini memasuki masa pembangunan, orang-orang yang mendapat kesempatan untuk belajar ke mancanegara itulah yang menjadi andalan, menjadi motor pembangunan kemajuan Indonesia. Sayang memang upaya peningkatan kapasitas manusia Indonesia tidak diprogramkan lagi secara khusus. Keinginan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia membuat kita agak lupa untuk mempersiapkan generasi-generasi penerus.

Akibatnya memang kita rasakan sekarang ini. Kita kekurangan orang-orang yang bukan hanya cerdas, tetapi juga orang-orang yang mempunyai hati. Teringat kita akan ucapan Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang mengatakan bahwa di zaman yang besar, yang muncul justru adalah orang-orang yang berpikiran kerdil. Padahal mustahil kita akan mampu membangun bangsa ini kalau kualitas manusia yang ada adalah kualitas yang medioker, yang pas-pasan. Sebuah bangsa hanya bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang maju, apabila diisi oleh orang-orang yang juga berpikiran besar.

Dalam era globalisasi saat ini, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu faktor penentu kedigdayaan suatu bangsa. Meski kita sadari betul bahwa SDM yang berkualitaslah yang dapat membawa negara ini menjadi maju dan bisa berkompetitif dengan SDM negara-negara lain. Pasalnya, kemajuan dan persaingan di dunia yang semakin terbuka ini tidak mungkin dihadapi dengan kualitas SDM yang serba pas-pasan. Tentunya kita sepakat bahwa pembangunan harus mampu melahirkan manusia-manusia yang unggul dan semua itu hanya bisa dicapai dengan pendidikan yang baik dan berkualitas.

Barangkali sebaiknya kita mulai berpikir seharusnya kebijakan pembangunan pendidikan sudah bergeser dari persoalan input ke pendekatan yang lebih menekankan pada output dengan fokus kepada keberhasilan melahirkan SDM yang berkapasitas unggulan dan berdaya saing tinggi. Pakar pendidikan Paolo Freire menyatakan bahwa pendidikan harus menghasilkan output (lulusan) yang memunyai kemampuan melihat masa depan. Artinya, hasil dari sebuah sistem pendidikan yang baik adalah SDM yang memunyai kemampuan inovasi, kreatif, cerdas, dan peka terhadap perubahan.

Pakar masa depan, Alvin Toffler mengatakan, “Pendidikan harus selalu mengacu pada masa depan.” Maka, pendidikan bertugas mengembangkan pola-pola budaya baru agar dapat membantu masyarakat mengakomodasi perubahan-perubahan yang sedang dan sudah terjadi. Secara empiris, dunia pendidikan kita, meski mampu mengembangkan pola-pola pelatihan dan pendidikan baru untuk menjawab aneka tuntutan perubahan dari zaman ke zaman, masih terasa lamban. Padahal, secara imperatif maupun empiris era globalisasi telah menjadi sebuah realitas yang harus dihadapi. Aneka perubahan yang berlangsung mulai kelihatan dampaknya.

Sebenarnya dampak-dampak globalisasi harus dihadapi dan diselesaikan, baik pada tingkat wacana maupun tingkat kebijakan aksi. Dalam lingkup ini, pranata pendidikan nasional, mau tidak mau, terlibat di dalamnya bersama dengan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, politik, dan ekonomi pada umumnya. Ini penting agar dunia pendidikan tidak kian tumpul dan gamang dalam mengantisipasi era globalisasi yang menjadi isu kita dewasa ini (A Malik Fadjar, 2004).

Presiden terpilih dengan kabinet barunya serta DPR baru harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Bahkan, kini, diprogramkan untuk wajib belajar pendidikan dasar dua belas tahun. Seiring pencanangan program ini, sudah semestinya semua pemangku kepentingan berupaya dan berusaha sekeras mungkin menyelenggarakan dan menyukseskannya.

Program wajib belajar dua belas tahun tersebut bukan semata-mata bertujuan meningkatkan rata-rata lama pendidikan rakyat Indonesia, tapi mendongkrak kualitas SDM negeri ini. Dengan makin tingginya jenjang pendidikan SDM Indonesia, kita meyakini bahwa daya saing kita dalam berkompetisi dengan negara-negara lain juga akan lebih baik dan mungkin akan unggul. Kita teringat pernyataan yang senantiasa disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, saat berdialog dengan jajaran dunia pendidikan maupun peserta didik. Menteri mengatakan pendidikan adalah motor untuk mengangkat kita dari kemiskinan. Tanpa pendidikan, impian untuk mengangkat diri dari belitan kemiskinan serasa mustahil.

Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar. Ini sejalan dengan visi nasional kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas guna mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.

Akhirnya, melalui momentum Hardiknas ini, penataan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian kita tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis sehingga melupakan sesuatu yang lebih fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini. Kita harus bersepakat bangsa seperti apa yang ingin kita bangun di depan itu. Semuanya harus mengarah dan mendukung konsep bangsa yang ingin kita bangun itu. Membangun pendidikan nasional adalah mempersiapkan masa depan.

* Penulis adalah Sutrisno, Pekerjaan: Pendidik, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

** Dimuat di Harian Koran Jakarta, Jumat 2 Mei 2014