Memantapkan Ketahanan Pangan
Oleh Sutrisno
TANGGAL 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day. Tema HPS Internasional 2018, “Our Actions are Our Future” dan tema HPS Nasional “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak dan Pasang Surut Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2018”. Ketahanan pangan menjadi salah satu kekuatan negara yang mampu menghalau krisis global. Karena itu, kebutuhan pangan harus dijaga ketersediannya. Apalagi untuk negara berkembang, produksi pangan dibutukan hingga 100%. Satu perkiraan mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut, produksi pangan global saat ini harus ditingkatkan sekitar 75% dan khusus untuk negara-negara berkembang ditingkatkan sampai 100%.
Persoalan
pangan memang bukan cuma soal produksi. Produksi pangan yang melimpah pun tak
menjamin tidak ada kelaparan kalau distribusi pangan tidak disokong oleh
perangkat kelembagaan yang kredibel. Sebagai negara kepulauan, keberadaan
kelembagaan yang kredibel di Indonesia menjadi syarat mutlak (conditio sine qua
non).
Bagi
kelompok miskin, amburadulnya kelembagaan distribusi pangan bakal membuat mereka
semakin menderita. Maklum, porsi pengeluaran pangan untuk kelompok miskin tidak
kurang dari 80 persen dari seluruh pengeluaran dan 60 persen di antaranya untuk
beras. Jadi, ketergantungan kelompok miskin pada pangan amat besar. Perhatian
dunia dan perhatian kita akhir-akhir ini tertuju pada perkembangan yang
mengindikasikan adanya ketimpangan yang makin melebar antara konsumsi dan
produksi pangan dunia sehingga memunculkan krisis pangan. Mantan Presiden Bank
Dunia Robert B Zoelick pernah mengatakan, krisis pangan dunia lebih berbahaya
ketimbang krisis yang terjadi di pasar keuangan. Salah satu indikator krisis
pangan adalah kenaikan bertahap harga energi dan komoditas di pasar dunia
karena energi dan pangan saling menggantikan.
Perubahan
iklim paling terasa berpengaruh terhadap produk pangan, baik nasonal maupun
dunia. Peringatan serius telah disampaikan petinggi Dana Moneter Internasional
(IMF) terkait dampak krisis ekonomi global yang akan memicu harga bahan pangan
yang makin mahal. Lembaga multilateral itu menyatakan, kenaikan harga berbagai
komoditas, terutama pangan, dapat menimbulkan konsekuensi mengerikan bagi
dunia, termasuk risiko perang saudara dan antarnegara.
Apabila
tidak ada antisipasi secara komprehensif, persoalan ini bakal mendorong jatuhnya
korban nyawa manusia yang semakin banyak karena kelaparan yang selanjutnya
mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Organisasi Pangan Dunia (FAO)
pernah mengumumkan, Indonesia masuk dalam daftar 36 negara yang mengalami
krisis pangan. Indonesia yang sering kita sombongkan sebagai negeri gemah ripah
loh jinawi, negara jembar,banyak penduduknya, lagi subur makmur ini kini begitu
rapuh ketahanan pangannya. Sampai-sampai FAO menyebut Indonesia krisis pangan
dan butuh bantuan negara luar untuk mengatasinya.
Bagi
Indonesia, ancaman krisis pangan harus diantisipasi sejak dini. Meskipun
produksi pangan utama (padi, jagung, ubi kayu, gula, CPO, daging sapi, telur,
dan susu) meningkat, kebergantungan pada sejumlah pangan impor masih tinggi.
Sampai saat ini, kita belum bisa keluar dari kebergantungan impor pangan: susu
(89 persen), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai
(70 persen), daging sapi (35 persen), induk ayam, dan telur. Maka, momentum HPS
ini harus dimanfaatkan untuk memantapkan ketahanan pangan untuk menghadapi
krisis pangan. Memantapkan ketahanan pangan bukan saja agar kita tidak terlalu
bergantung pada luar negeri, tetapi sekaligus menyejahterakan masyarakat
Indonesia.
Reformasi Agraria
Ada
beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, program reformasi agraria, terutama
reformasi aset atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus didukung
penuh. Dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi (bandingkan
dengan Thailand 5.226 meter persegi), pendistribusian lahan untuk petani
menjadi suatu keniscayaan. Tanpa hal itu, produksi pertanian kita pasti akan
jalan di tempat. Kalaupun dinyatakan ada peningkatan produksi, itu hanya
retorika. Kedua, paradigma pembangunan pertanian harus diubah dengan
memosisikan kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani.
Misalnya,
alokasi anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur pertanian,
menetapkan kebijakan yang dapat membuat harga produk pertanian di dalam negeri
cukup baik, antara lain melalui tarif bea masuk agar diperoleh rangsangan untuk
peningkatan produksi.
Di
sisi lain, fenomena perubahan mutu, kehilangan dan kerusakan hasil pertanian
serta cara pengendaliannya, pendugaan masa simpan dan teknik-teknik penyimpanan
untuk berbagai komoditas menuntut pemahaman secara sederhana di tingkat petani
untuk mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Ketiga, visi-misi Jokowi-JK
untuk berdaulat di bidang pangan harus benarbenar diwujudkan (Nawacita 7).
Komitmen untuk berswasembada beras, kedelai, gula, dan susu perlu diwujudkan
Hal
ini dilakukan melalui peningkatan produksi dengan cara intensifikasi,
ekstensifikasi, peningkatan teknologi antara lain rekayasa genetika, dan
diversifikasi pangan. Keempat, mengembangkan industri pertanian dan pangan yang
berkualitas tinggi, efisien, dan berdaya saing tinggi dari hulu sampai dengan
hilir, membangun agroindustri di desa, dan yang tak kalah penting adalah
mengembangkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Kita mengingatkan,
persoalan pangan merupakan masalah besar dan sangat krusial apabila kita
mengabaikan sejumlah indikasi yang telah dikemukakan para ahli dan pejabat
terkait.
Dalam
konteks ini, kita juga mengingatkan, dalam hal pangan kita belum optimal
memanfaatkan potensi besar yang kita miliki. Kita harus optimistis, dengan
modal geografis, sumber daya alam yang melimpah, dan kebijakan pangan yang
tepat, ketahanan dan kedaulatan pangan bisa tercapai.
-
Sutrisno, alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tinggal
di Solo.
(Dimuat di Harian Suara Merdeka tanggal 16 Oktober 2018)
0 komentar:
Posting Komentar