PPDB dan Nasib Si Miskin
Oleh Sutrisno
Musim
penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran 2022/2023 telah tiba. Para
orangtua pun kembali disibukkan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar
(SD), sekolah menengah pertama (SMP) sederajat, sekolah menengah atas (SMA) dan
sederajat. Kini, rasio jumlah murid dengan kapasitas daya tampung sekolah sudah
tak lagi seimbang. Bagi yang memiliki kelapangan rezeki, masuk sekolah swasta
yang bermutu tentu tak jadi masalah. Tapi bagi orang kebanyakan, inilah saat
yang cukup menguras kantong. Apalagi jika jumlah anak yang mendaftar ke sekolah
baru lebih dari satu. Memang untuk kualitas ada harga yang harus dibayar.
Lantas,
bagaimana nasib orang miskin dalam PPDB? Sekolah murah (gratis), tanpa pungutan
dan semacamnya ternyata hanya ada dalam berita. Tanggung jawab pemerintah atas
seluruh rakyat tentang pendidikan, baru sebatas tertulis pada UUD 1945.
Nyatanya, untuk mendapat pendidikan seorang warga harus berjuang ekstra. Apa
yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1 dan 2) UUD 1945 bahwa Setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran (ayat 1) dan Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (ayat 2), masih jauh dari
harapan.
Buktinya,
setiap memasuki tahun ajaran baru, para orangtua masih mengeluhkan mahalnya
biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi kontroversi di negeri kita,
sehingga ada seorang anak yang bunuh diri karena tidak dapat membayar sekolah
menjadi cerita biasa. Jatuhnya korban luka, bahkan nyawa karena tertimpa
reruntuhan bangunan sekolah yang reot kerap menjadi sajian menarik di media
massa. Pendidikan memang perlu biaya, bisa diterima dan masuk akal, tapi tidak
masuk akal jika memperhatikan kehidupan masyarakat yang masih terjerat
kemiskinan.
Harus
diakui, saat ini masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam dunia
pendidikan nasional. Misalnya, seorang pengusaha tentu akan memasukkan anak
mereka di sekolah mahal dengan berbagai fasilitas mumpuni. Dan, hal itu juga
merupakan gengsi tersendiri bagi orangtua karena sejajar dengan kesuksesan
materi yang dimiliki. Sekolah pun berlomba-lomba menyerap peluang ini dengan
memunculkan biaya mahal dengan fasilitas dan kualatas yang kompetetif.
Sedangkan seorang buruh tentu akan berpikir untuk menyekolahkan anaknya ke
sekolah favorit atau unggulan meskipun dari prestasi dan kompetensi terpenuhi.
Ukuran kemampuan finansial pun menjadi salah satu faktor untuk mendapatkan
akses pendidikan. Perlakuan yang adil terhadap anak bangsa ini untuk mengenyam
pendidikan yang standar, nampaknya semakin sulit diwujudkan.
Tak heran
jika Solopos edisi Kamis (2/6/2022)
membuat judul di halaman 1, “Yang Mahal Banjir Pendaftar”. Meskipun jadwal
pelaksanaan PPDB belum dimulai, para calon peserta didik baru telah mendahului
mendaftar dan gelombang inden memenuhi daya tampung yang disediakan sekolah.
Biaya pendidikan yang mahal tak lagi dipersoalkan. Salah satu penyakit yang
menjajah dunia pendidikan, adalah gaya atau kebijakan penyelenggaraan
pendidikan yang lebih menengok ke atas atau mengutamakan komunitas upper class, sementara golongan
masyarakat bawah (lower class)
termarjinalisasi dan digiring menjauhi hak edukasinya. Segelintir elite
dimanjakan dengan layanan pendidikan memadai, sementara tidak sedikit wong cilik yang dijauhkan dari zona
edukasi yang memanusiakan dan membebaskannya.
Dalam
konteks PPDB, sebagian anggota masyarakat yang berstatus miskin benar-benar
tidak berkutik atau kehilangan keberdayaannya saat harus berhadapan dengan
politik kapitalisme pendidikan atau penyelenggara penyelenggara pendidikan yang
memperlakukan pendidikan identik dengan jagadnya kaum berduit. Akibatnya,
masyarakat miskin di negeri ini tidak mendapat tempat untuk maju. Tak
terelakkan memang, itulah perkembangan di dunia pendidikan Indonesia.
Masyarakat
miskin memang tidak menyuarakan ketertindasan atau ketidakberdayaannya akibat
menjadi kelompok yang dimarjinalkan atau terbiasa menjadi korban “monster
pendidikan”, akan tetapi sikap ini tak seharusnya didiamkan terus menerus.
Mereka pun membutuhkan perlakuan memanusiakan dan egaliter dari penyelenggara
pendidikan, yang untuk elite penyelenggaraannya.
Kini,
masyarakat miskin sedikit bisa bernafas lega dengan hadirnya Peraturan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Sebab, norma hukum tersebut mengatur
bahwa penerimaan peserta didik baru berdasarkan domisili calon siswa. Sekolah
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik
yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, paling sedikit sebesar
70% dari daya tampung sekolah (SD), 50% (SMP), dan 50% (SMA).
Nasib si
miskin bisa menikmati sekolah negeri yang berkualitas karena jarak rumahnya
sangat dekat. Akses pendidikan bagi si miskin akan lebih terbuka dengan sistem
zonasi. Akan tetapi, sistem zonasi perlu diikuti dengan pemerataan tenaga
pendidik dan infrastruktur pendidikan yang berkualitas pula. Di sisi lain,
apabila terdapat kecurangan dalam sistem zonasi penerimaan siswa, maka perlu
diambil tindakan hukum yang keras. Sebab, kecurangan dalam penerimaan peserta
didik baru akan merusak upaya pemerintah dalam mereformasi akses pendidikan
secara berkualitas.
Momentum
PPDB dan pergantian tahun ajaran saat ini mestinya bisa menjadi bahan
introspeksi semua pihak tentang masa depan pendidikan di negeri kita ini,
sehingga jiwa sosial aparatur pendidikan tergugah untuk menghentikan tindakan
yang memiskinkan masyarakat. Segenap elemen bangsa harus mencurahkan seluruh
energi untuk menata kembali potret buram dunia pendidikan kita. Konstitusi
telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam
mengenyam pendidikan dan mengikuti proses pembelajaran. Pendidikan harus
menjadi hak milik setiap anggota masyarakat tanpa kecuali.
Perlu
dibangun kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk secara bersama-sama
membenahi dunia pendidikan kita yang terpuruk. Menyelenggarakan pendidikan
murah dan terjangkau rakyat merupakan salah satu amanat gerakan reformasi yang
telah mengantar para elite politik duduk di singgasana kekuasaan saat ini.
Jadi, tak ada alasan bagi mereka membuat kebijakan yang asimetris dengan amanat
gerakan reformasi itu.
*Penulis adalah Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri,
Domisili: Laweyan Pajang Solo
**) Artikel ini dimuat di Harian Solopos Hari Rabu tanggal 22 Juni 2022