NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Jumat, 24 Juni 2022

PPDB dan Nasib Si Miskin

 


PPDB dan Nasib Si Miskin

Oleh Sutrisno


Musim penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran 2022/2023 telah tiba. Para orangtua pun kembali disibukkan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) sederajat, sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat. Kini, rasio jumlah murid dengan kapasitas daya tampung sekolah sudah tak lagi seimbang. Bagi yang memiliki kelapangan rezeki, masuk sekolah swasta yang bermutu tentu tak jadi masalah. Tapi bagi orang kebanyakan, inilah saat yang cukup menguras kantong. Apalagi jika jumlah anak yang mendaftar ke sekolah baru lebih dari satu. Memang untuk kualitas ada harga yang harus dibayar.

Lantas, bagaimana nasib orang miskin dalam PPDB? Sekolah murah (gratis), tanpa pungutan dan semacamnya ternyata hanya ada dalam berita. Tanggung jawab pemerintah atas seluruh rakyat tentang pendidikan, baru sebatas tertulis pada UUD 1945. Nyatanya, untuk mendapat pendidikan seorang warga harus berjuang ekstra. Apa yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1 dan 2) UUD 1945 bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran (ayat 1) dan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (ayat 2), masih jauh dari harapan.

Buktinya, setiap memasuki tahun ajaran baru, para orangtua masih mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi kontroversi di negeri kita, sehingga ada seorang anak yang bunuh diri karena tidak dapat membayar sekolah menjadi cerita biasa. Jatuhnya korban luka, bahkan nyawa karena tertimpa reruntuhan bangunan sekolah yang reot kerap menjadi sajian menarik di media massa. Pendidikan memang perlu biaya, bisa diterima dan masuk akal, tapi tidak masuk akal jika memperhatikan kehidupan masyarakat yang masih terjerat kemiskinan.

Harus diakui, saat ini masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan nasional. Misalnya, seorang pengusaha tentu akan memasukkan anak mereka di sekolah mahal dengan berbagai fasilitas mumpuni. Dan, hal itu juga merupakan gengsi tersendiri bagi orangtua karena sejajar dengan kesuksesan materi yang dimiliki. Sekolah pun berlomba-lomba menyerap peluang ini dengan memunculkan biaya mahal dengan fasilitas dan kualatas yang kompetetif. Sedangkan seorang buruh tentu akan berpikir untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit atau unggulan meskipun dari prestasi dan kompetensi terpenuhi. Ukuran kemampuan finansial pun menjadi salah satu faktor untuk mendapatkan akses pendidikan. Perlakuan yang adil terhadap anak bangsa ini untuk mengenyam pendidikan yang standar, nampaknya semakin sulit diwujudkan.

Tak heran jika Solopos edisi Kamis (2/6/2022) membuat judul di halaman 1, “Yang Mahal Banjir Pendaftar”. Meskipun jadwal pelaksanaan PPDB belum dimulai, para calon peserta didik baru telah mendahului mendaftar dan gelombang inden memenuhi daya tampung yang disediakan sekolah. Biaya pendidikan yang mahal tak lagi dipersoalkan. Salah satu penyakit yang menjajah dunia pendidikan, adalah gaya atau kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang lebih menengok ke atas atau mengutamakan komunitas upper class, sementara golongan masyarakat bawah (lower class) termarjinalisasi dan digiring menjauhi hak edukasinya. Segelintir elite dimanjakan dengan layanan pendidikan memadai, sementara tidak sedikit wong cilik yang dijauhkan dari zona edukasi yang memanusiakan dan membebaskannya.

Dalam konteks PPDB, sebagian anggota masyarakat yang berstatus miskin benar-benar tidak berkutik atau kehilangan keberdayaannya saat harus berhadapan dengan politik kapitalisme pendidikan atau penyelenggara penyelenggara pendidikan yang memperlakukan pendidikan identik dengan jagadnya kaum berduit. Akibatnya, masyarakat miskin di negeri ini tidak mendapat tempat untuk maju. Tak terelakkan memang, itulah perkembangan di dunia pendidikan Indonesia.

Masyarakat miskin memang tidak menyuarakan ketertindasan atau ketidakberdayaannya akibat menjadi kelompok yang dimarjinalkan atau terbiasa menjadi korban “monster pendidikan”, akan tetapi sikap ini tak seharusnya didiamkan terus menerus. Mereka pun membutuhkan perlakuan memanusiakan dan egaliter dari penyelenggara pendidikan, yang untuk elite penyelenggaraannya.

Kini, masyarakat miskin sedikit bisa bernafas lega dengan hadirnya Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Sebab, norma hukum tersebut mengatur bahwa penerimaan peserta didik baru berdasarkan domisili calon siswa. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, paling sedikit sebesar 70% dari daya tampung sekolah (SD), 50% (SMP), dan 50% (SMA).

Nasib si miskin bisa menikmati sekolah negeri yang berkualitas karena jarak rumahnya sangat dekat. Akses pendidikan bagi si miskin akan lebih terbuka dengan sistem zonasi. Akan tetapi, sistem zonasi perlu diikuti dengan pemerataan tenaga pendidik dan infrastruktur pendidikan yang berkualitas pula. Di sisi lain, apabila terdapat kecurangan dalam sistem zonasi penerimaan siswa, maka perlu diambil tindakan hukum yang keras. Sebab, kecurangan dalam penerimaan peserta didik baru akan merusak upaya pemerintah dalam mereformasi akses pendidikan secara berkualitas.

Momentum PPDB dan pergantian tahun ajaran saat ini mestinya bisa menjadi bahan introspeksi semua pihak tentang masa depan pendidikan di negeri kita ini, sehingga jiwa sosial aparatur pendidikan tergugah untuk menghentikan tindakan yang memiskinkan masyarakat. Segenap elemen bangsa harus mencurahkan seluruh energi untuk menata kembali potret buram dunia pendidikan kita. Konstitusi telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan dan mengikuti proses pembelajaran. Pendidikan harus menjadi hak milik setiap anggota masyarakat tanpa kecuali.

Perlu dibangun kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk secara bersama-sama membenahi dunia pendidikan kita yang terpuruk. Menyelenggarakan pendidikan murah dan terjangkau rakyat merupakan salah satu amanat gerakan reformasi yang telah mengantar para elite politik duduk di singgasana kekuasaan saat ini. Jadi, tak ada alasan bagi mereka membuat kebijakan yang asimetris dengan amanat gerakan reformasi itu.

*Penulis adalah Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri, Domisili: Laweyan Pajang Solo

**) Artikel ini dimuat di Harian Solopos Hari Rabu tanggal 22 Juni 2022

Kamis, 09 Juni 2022

PEDOMAN KALENDER AKADEMIK 2022/2023

 



KALENDER AKADEMIK TAHUN 2022/2023

DOWNLOAD DISINI

Senin, 06 Juni 2022

KISI-KISI BAHASA INGGRIS PAT 2021/2022






Penilaian Akhir Tahun 2021/2022

Mata Pelajaran Bahasa Inggris

Silahkan di download di bawah ini:

KELAS 7 DOWNLOAD DISINI

KELAS 8 DOWNLOAD DISINI