Mendamba UN yang Jujur
OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011
Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?
Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008
Wajah Bopeng Pendidikan Kita
Refleksi Hardiknas
Kaji Ulang Ujian Nasional
Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013
Setelah RSBI dibubarkan
OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
Selasa, 17 Januari 2023
MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR
MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR
Ironi benar negeri kita ini, siswa yang seharusnya
belajar malahan tawuran hingga jatuh korban nyawa. Dalam sebulan terakhir,
seorang siswa Sekolah Menegah Kejuran Negeri (SMKN) di Kota Tangerang
berinisial RAS (17) tewas usai terlibat tawuran. Nyawa RAS tak terselamatkan
karena mengalami luka parah di perutnya setelah disabet celurit. sebelumnya,F,
pelajar SMK Negeri 9 Medan, Sumatera Utara juga tewas setelah terlibat tawuran
dengan pelajar dan alumni sekolah lain di Deli Serdang. Sama seperti yang menimpa
RAS, F juga terkena bacokan celurit saat tawuran. Balas dendam menjadi alasan
penyerangan siswa SMKN 10 Semarang disertai membacok siswa SMKN 3 Semarang di
sekolahnya (Solopos.com, 14/12/2022).
Tawuran antar pelajar yang banyak kita lihat bisa saja
merupakan fenomena laten, yang suatu saat bisa muncul kapan, dimana dan
tiba-tiba dan kita tidak bisa mengetahui hal tersebut. Nyaris saban akhir
pekan, polisi di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki satu
atau dua kasus tawuran. Mirisnya, para pelaku tawuran ini adalah anak-anak yang
masih remaja atau sekolah. Hemat saya, para siswa yang melakukan tawuran itu
mengalami gangguan emosional. Kalau emosional stabil, mereka akan berpikir dua
kali untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, sekolah tidak mempunyai sistem
akademis yang kuat untuk bisa memberikan pemahaman akan pentingnya budi
pekerti. Terlebih lagi, remaja usia 15-18 tahun sedang mencari jati diri. Namun
karena sistem akademis di sekolah tidak kuat, mereka mencarinya di luar dengan
cara tawuran. Selain itu, pelajar pun memiliki beban belajar yang cukup besar.
Tetapi bisa juga perilaku anak-anak itu hanya akibat
meniru tayangan kekerasan di televisi. Hal ini didukung faktor keluarga dan
lingkungan yang penuh dengan kekerasan sehingga memacu reaksi emosional remaja
untuk terlibat tawuran. Karena tidak mendapat perhatian (kasih sayang) dari
orangtua dan lemahnya pengawasan orang terdekat, para pelajar berpotensi masuk
ke lingkungan sosial yang tidak sehat dan terjangkit penyakit sosial (berkelahi,
judi, merokok, alkohol, dll). Hal itu diperparah dengan dangkalnya pemahaman
agama pelajar sehingga mudah terpengaruh provokasi, hasutan, dan ajakan untuk
melakukan tindakan kekerasan.
Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang
remaja akan memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia
yang didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil
kini tidak memadai. Pertanyaan who am I
semakin menguat. Selanjutnya, Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini,
akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul
akibat kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas
negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan akan
kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah
tawuran.
Tawuran pelajar yang dilakukan siswa tingkat SMP dan
SMA/SMK merupakan cermin kegagalan sebuah sistem pendidikan. Ada yang salah
dalam sistem pendidikan di negeri ini, hilangnya etika, perilaku baik,
disiplin, merasa benar sendiri, serta tidak menghargai orang lain. Hakikat
pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya untuk menjadi pribadi-pribadi
unggul, dewasa, dan bertanggung jawab. Namun idealisme pendidikan itu terasa
masih jauh panggang dari api. Hal itu disebabkan oleh adanya inkonsistensi
dalam input, proses, dan tujuan
pendidikan,
Harus diingat, bahwa pelajar sebagai generasi pelanjut
kepemimpinan bangsa, eksistensinya sangat menentukan nasib bangsa ini di masa
depan. Sehingga sangat disayangkan jika sikap dan tindakan pelajar tidak
mencerminkan sebagai generasi bangsa yang berkualitas. Lalu, bagaimana memutus
aksi tawuran pelajar?
Dari pihak sekolah, perlu pembenahan sistem pendidikan.
Pengembangan model pembelajaran problem
solving based bisa menjadi solusi. Inti pembelajaran di sekolah, menurut
Gagne's (1980), adalah mendorong siswa mampu berpikir logis, sistematis, dan
menjadi pemecah masalah yang baik (better
problem solvers). Selanjutnya, penguatan kultur akademik sekolah yang
demokratis dan egaliter. Ini membebaskan sumbat-sumbat impuls pemicu awal
tindak kekerasan. Selain itu, penyediaan lingkungan alam dan sosial pendidikan
yang memadai, nyaman, aman, dan menyenangkan akan mengabsorb impuls penyebab
tindak kekerasan di luar sekolah.
Institusi sekolah juga jangan menekan siswa dengan
berbagai tuntutan yang berlebihan. Begitu pula dengan orang tua. Bahkan,
Philomena Aqudo mengungkapkan bahwa remaja jangan diberikan tantangan yang
terlalu berat karena hal itu justru dapat merusak disiplin diri. Sebaliknya,
perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi. Dengan begitu, ia akan dapat
mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif sehingga ia tidak sempat ikut
tawuran. Di sekolah sebaiknya dihilangkan kastanisasi siswa karena hedonisme
pendidikan yang merusak sistem pembelajaran. Kastanisasi siswa harus diganti
dengan semangat kebersamaan, tanpa diskriminasi, dan pelajar yang cinta
kerukunan.
Dari sisi pelajar, perilaku kekerasan atau anarkis yang
sama sekali jauh dari identitas dirinya sebagai pelajar harus dihindari.
Mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri sebagai seorang
intelektual. Anita Lie dalam Cooperative
Learning (2005), menegaskan bahwa siswa harus menjadi manusia yang mandiri
sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya.
Lebih ideal lagi, jika pelajar mengambil peran penting dalam memberikan solusi
alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa
ini.
Peran orang tua dan keluarga. Para orang tua harus
menyadari bahwa sekolah hanya mempunyai kompetensi mencerdaskan dan mendorong
minat dan bakat sang anak. Tapi membangun kepribadian, karakter, dan akhlak
tetaplah tugas mereka sendiri. Guru dan sekolah hanya mempunyai otoritas
pengawasan pada jam belajar. Para orang tua dan keluarga, harus lebih intensif
memberikan pendidikan moral dan humanitas serta melakukan pengawasan ketat atas
aktivitas dan kegiatan anaknya. Ingat, pendidikan bukan hanya mengutamakan segi
kognitif dan psikomotorik saja, tapi juga afektif. Justru dengan memperhatikan
afeksi, kaum muda akan mencapai identitas yang sehat.
Sejalan dengan itu, maka pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus
pada pembinaan hati nurani yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral,
sosial, dan budaya. Hal ini ditanbah dengan pendidikan yang bernuansa
perdamaian. Saya yakin, jika pendidikan karakter diterapkan secara benar dan
maksimal, aksi tawuran pelajar dapat dihilangkan. Apapun ceritanya tawuran
pelajar harus dihentikan, sebab pendidikan dimana kekerasan masih terdapat di
dalamnya, telah kehilangan filosopi dan tujuannya. Dan kehilangan kedua pilar
ini, sangat berbahaya bagi perjalanan bangsa ini ke depan.
Pencegahan tawuran pelajar seharusnya dapat dilakukan
semaksimal mungkin, dengan cara korrdinasi, relasi, dan menciptakan suasana
kondusif sekolah dengan melibatkan guru, orang tua, aparat keamanan, maupun
masyarakat sekitar. Selanjutnya, menyusun program aksi penanggulangan tawuran
pelajar berdasarkan analisis secara menyeluruh, melakukan evaluasi, serta
pemantauan secara periodik dan berkelanjutan.
*Penulis
adalah Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
** Artikel ini dimuat di Harian Solopos Edisi Rabu Pahing tanggal 11 Januari 2023