NO WASTING TIME!

Selasa, 17 Januari 2023

MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR


MEMUTUS AKSI TAWURAN PELAJAR

Ironi benar negeri kita ini, siswa yang seharusnya belajar malahan tawuran hingga jatuh korban nyawa. Dalam sebulan terakhir, seorang siswa Sekolah Menegah Kejuran Negeri (SMKN) di Kota Tangerang berinisial RAS (17) tewas usai terlibat tawuran. Nyawa RAS tak terselamatkan karena mengalami luka parah di perutnya setelah disabet celurit. sebelumnya,F, pelajar SMK Negeri 9 Medan, Sumatera Utara juga tewas setelah terlibat tawuran dengan pelajar dan alumni sekolah lain di Deli Serdang. Sama seperti yang menimpa RAS, F juga terkena bacokan celurit saat tawuran. Balas dendam menjadi alasan penyerangan siswa SMKN 10 Semarang disertai membacok siswa SMKN 3 Semarang di sekolahnya (Solopos.com, 14/12/2022).

Tawuran antar pelajar yang banyak kita lihat bisa saja merupakan fenomena laten, yang suatu saat bisa muncul kapan, dimana dan tiba-tiba dan kita tidak bisa mengetahui hal tersebut. Nyaris saban akhir pekan, polisi di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki satu atau dua kasus tawuran. Mirisnya, para pelaku tawuran ini adalah anak-anak yang masih remaja atau sekolah. Hemat saya, para siswa yang melakukan tawuran itu mengalami gangguan emosional. Kalau emosional stabil, mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, sekolah tidak mempunyai sistem akademis yang kuat untuk bisa memberikan pemahaman akan pentingnya budi pekerti. Terlebih lagi, remaja usia 15-18 tahun sedang mencari jati diri. Namun karena sistem akademis di sekolah tidak kuat, mereka mencarinya di luar dengan cara tawuran. Selain itu, pelajar pun memiliki beban belajar yang cukup besar.

Tetapi bisa juga perilaku anak-anak itu hanya akibat meniru tayangan kekerasan di televisi. Hal ini didukung faktor keluarga dan lingkungan yang penuh dengan kekerasan sehingga memacu reaksi emosional remaja untuk terlibat tawuran. Karena tidak mendapat perhatian (kasih sayang) dari orangtua dan lemahnya pengawasan orang terdekat, para pelajar berpotensi masuk ke lingkungan sosial yang tidak sehat dan terjangkit penyakit sosial (berkelahi, judi, merokok, alkohol, dll). Hal itu diperparah dengan dangkalnya pemahaman agama pelajar sehingga mudah terpengaruh provokasi, hasutan, dan ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang remaja akan memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia yang didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil kini tidak memadai. Pertanyaan who am I semakin menguat. Selanjutnya, Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini, akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul akibat kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan akan kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah tawuran.

Tawuran pelajar yang dilakukan siswa tingkat SMP dan SMA/SMK merupakan cermin kegagalan sebuah sistem pendidikan. Ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini, hilangnya etika, perilaku baik, disiplin, merasa benar sendiri, serta tidak menghargai orang lain. Hakikat pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya untuk menjadi pribadi-pribadi unggul, dewasa, dan bertanggung jawab. Namun idealisme pendidikan itu terasa masih jauh panggang dari api. Hal itu disebabkan oleh adanya inkonsistensi dalam input, proses, dan tujuan pendidikan,

Harus diingat, bahwa pelajar sebagai generasi pelanjut kepemimpinan bangsa, eksistensinya sangat menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Sehingga sangat disayangkan jika sikap dan tindakan pelajar tidak mencerminkan sebagai generasi bangsa yang berkualitas. Lalu, bagaimana memutus aksi tawuran pelajar?

Dari pihak sekolah, perlu pembenahan sistem pendidikan. Pengembangan model pembelajaran problem solving based bisa menjadi solusi. Inti pembelajaran di sekolah, menurut Gagne's (1980), adalah mendorong siswa mampu berpikir logis, sistematis, dan menjadi pemecah masalah yang baik (better problem solvers). Selanjutnya, penguatan kultur akademik sekolah yang demokratis dan egaliter. Ini membebaskan sumbat-sumbat impuls pemicu awal tindak kekerasan. Selain itu, penyediaan lingkungan alam dan sosial pendidikan yang memadai, nyaman, aman, dan menyenangkan akan mengabsorb impuls penyebab tindak kekerasan di luar sekolah.

Institusi sekolah juga jangan menekan siswa dengan berbagai tuntutan yang berlebihan. Begitu pula dengan orang tua. Bahkan, Philomena Aqudo mengungkapkan bahwa remaja jangan diberikan tantangan yang terlalu berat karena hal itu justru dapat merusak disiplin diri. Sebaliknya, perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi. Dengan begitu, ia akan dapat mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif sehingga ia tidak sempat ikut tawuran. Di sekolah sebaiknya dihilangkan kastanisasi siswa karena hedonisme pendidikan yang merusak sistem pembelajaran. Kastanisasi siswa harus diganti dengan semangat kebersamaan, tanpa diskriminasi, dan pelajar yang cinta kerukunan.

Dari sisi pelajar, perilaku kekerasan atau anarkis yang sama sekali jauh dari identitas dirinya sebagai pelajar harus dihindari. Mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri sebagai seorang intelektual. Anita Lie dalam Cooperative Learning (2005), menegaskan bahwa siswa harus menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya. Lebih ideal lagi, jika pelajar mengambil peran penting dalam memberikan solusi alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini.

Peran orang tua dan keluarga. Para orang tua harus menyadari bahwa sekolah hanya mempunyai kompetensi mencerdaskan dan mendorong minat dan bakat sang anak. Tapi membangun kepribadian, karakter, dan akhlak tetaplah tugas mereka sendiri. Guru dan sekolah hanya mempunyai otoritas pengawasan pada jam belajar. Para orang tua dan keluarga, harus lebih intensif memberikan pendidikan moral dan humanitas serta melakukan pengawasan ketat atas aktivitas dan kegiatan anaknya. Ingat, pendidikan bukan hanya mengutamakan segi kognitif dan psikomotorik saja, tapi juga afektif. Justru dengan memperhatikan afeksi, kaum muda akan mencapai identitas yang sehat.

Sejalan dengan itu, maka pentingnya menggalakkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus pada pembinaan hati nurani yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya. Hal ini ditanbah dengan pendidikan yang bernuansa perdamaian. Saya yakin, jika pendidikan karakter diterapkan secara benar dan maksimal, aksi tawuran pelajar dapat dihilangkan. Apapun ceritanya tawuran pelajar harus dihentikan, sebab pendidikan dimana kekerasan masih terdapat di dalamnya, telah kehilangan filosopi dan tujuannya. Dan kehilangan kedua pilar ini, sangat berbahaya bagi perjalanan bangsa ini ke depan.

Pencegahan tawuran pelajar seharusnya dapat dilakukan semaksimal mungkin, dengan cara korrdinasi, relasi, dan menciptakan suasana kondusif sekolah dengan melibatkan guru, orang tua, aparat keamanan, maupun masyarakat sekitar. Selanjutnya, menyusun program aksi penanggulangan tawuran pelajar berdasarkan analisis secara menyeluruh, melakukan evaluasi, serta pemantauan secara periodik dan berkelanjutan.

*Penulis adalah Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
** Artikel ini dimuat di Harian Solopos Edisi Rabu Pahing tanggal 11 Januari 2023

0 komentar: