NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Jumat, 21 Mei 2010

Harkitnas tanpa kebangkitan bangsa

Dimuat di Harian Solopos Edisi Kamis, 20 Mei 2010 , Hal.4


Tanggal 20 Mei ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Satu hari kemudian, bangsa Indonesia memperingati sebelas tahun runtuhnya Orde Baru yang sekaligus menjadi tonggak sejarah dimulainya Orde Reformasi.

Tepat 102 tahun lalu, di sebuah ruang belajar School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah kedokteran yang namanya mengalami beberapa kali perubahan), dr Soetomo mengungkapkan gagasan tentang hari depan bangsa. Tanggal 20 Mei 1908 di gedung STOVIA, dimulailah sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo.

Organisasi ini dibangun atas dasar keprihatinan terhadap keadaan bangsa dan banyaknya organisasi kesukuan atau kelompok. Boedi Oetomo melahirkan gagasan kebangsaan. Pada perkembangannya, organisasi ini mulai menanamkan pemahaman tentang Tanah Air Indonesia dan merintis kesadaran membangun relasi yang makin erat di antara suku-suku dan kelompok di Indonesia. Itu sebabnya, ada alur yang nyata antara Boedi Oetomo dan lahirnya Sumpah Pemuda pada 20 tahun setelah itu.

Berdirinya Boedi Oetomo oleh sekelompok pemuda dari sekolah kedokteran ini menandai suatu perubahan penting bagi bangsa Indonesia. Dia seperti penyebar perekat pulau-pulau, suku-suku, dan kelompok-kelompok di Kepulauan Nusantara sebagai suatu bangsa. Kesadaran kebangsaan itu juga yang kemudian menjadi fondasi bagi lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia.

Kini, kita memperingati Harkitnas dan 12 tahun reformasi. Dalam keadaan bangsa sekarang, pesan moral apa yang dapat dipetik dari peringatan bersejarah ini? Apa yang telah kita lakukan untuk rakyat, bangsa, dan negara? Apakah kita lebih arif dan bijaksana dari pendahulu? Semua ini merupakan pertanyaan yang penting dikemukakan agar kita sungguh-sungguh dapat melakukan introspeksi dan retrospeksi, terutama dalam upaya penyembuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari krisis. Artinya kita harus bersedia becermin kepada sejarah, melihat bagaimana sosok rupa kita sebenarnya.

Seratus tahun lebih kebangkitan nasional dan 12 tahun reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Berbagai kebijakan pemerintah sering tidak berpihak pada wong cilik. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri dan selalu melalaikan masyarakat. Berbagai aset penting negara dijual seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Demikian pula dengan KKN yang semakin sering terjadi dengan cara-cara yang lebih halus, untuk menipu pandangan masyarakat.

Penegakan hukum yang semakin lemah adalah tanda dari buruknya kinerja lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Maka jangan heran di masa reformasi ini, masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Dan berkembang luas di dalam pikiran rakyat bahwa berurusan dengan hukum adalah berurusan dengan uang. Siapa kuat dia memiliki imunitas hukum.

Di sisi lain Parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Parpol hanya berpikir untuk merebut kekuasaan, dan dengan demikian memanfaatkan rakyat sebagai obyek. Parpol sering memfungsikan diri sebagai himpunan penguasa-penguasa kecil yang mengklaim representasi rakyat. Parpol telah secara salah mengartikulasikan kepentingan-kepentingan rakyat ke dalam tujuan-tujuan politik tertentu, padahal sebenarnya pandangan-pandangan umum rakyat tidak seperti itu.

Nilai-nilai kejujuran, kesantunan, dan persahabatan tergilas bersama ganasnya dunia politik hitam (black politics). Dan kini politik di negeri ini nampak tak dimaknakan seperti tujuan awalnya yakni sebagai keahlian atau strategi mengatur negara agar rakyat makin tersejahterakan. Sekarang ini, yang ada hanya politik kepentingan untuk diri sendiri dan kelompok. Negara, bangsa, dan Tanah Air, hanya menjadi objek dan yang tak pernah dipikirkan nasibnya. Rakyat yang seharusnya sebagai pemilik sah bangsa, negara, dan Tanah Air ini tetap telantar, kurang mendapat perlindungan, keadilan, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai.

Di tengah budaya yang makin kapitalistik dan materialistik ini, rakyat mencari jalannya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, dan menghidupi dirinya sendiri semampu mungkin. Rakyat tetap melarat di tengah isu demokratisasi, reformasi, debirokratisasi, dan globalisasi. Kesejahteraan yang dijanjikan kepada rakyat tak kunjung tiba, kesejahteraan hanya ada pada para pejabat.

Kebangkitan elite

Kita belum tahu siapa yang harus melindungi rakyat dari persoalan-persoalannya sendiri. Apa pun yang dilakukan oleh para penguasa, sepertinya memang kurang mempertimbangkan keberadaan rakyat miskin. Di negeri ini, hanya ditandai oleh perubahan rezim pemerintah, (Soekarno-Soeharto, BJ Habibie-Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono), serta perubahan kelembagaan negara saja. Tanpa dibarengi oleh kesungguhan dan konsistensi dari pemerintah dalam membawa gerbong bangsa menuju kejayaan dan kemakmuran bangsa yang dapat dirasakan rakyat.

Tak heran bila kebangkitan nasional yang telah berusia seratus tahun lebih, ternyata tanpa disertai kebangkitan bangsa seutuhnya dalam menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan, makna kebangkitan nasional saat ini tampaknya semakin memudar. Sebenarnya apa yang dapat dimaknai sebagai kebangkitan nasional saat ini? Apakah kebangkitan korupsi yang semakin merajalela? Kebangkitan kemiskinan yang tidak pernah berhenti? Kebangkitan elite politik saling berebut Parpol dan kekuasaan?

Memang bukan perkara mudah mewujudkan kebangkitan nasional menuju Indonesia yang lebih baik. Persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini pun sangat kompleks. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Karena antara satu dengan lainnya sangat berkaitan.

Untuk itu, momentum peringatan Harkitnas, rasanya kita perlu introspeksi diri pada tiap-tiap aktor dan peran yang harus dimainkan. Jika setiap individu hanya memuja egonya baik politik, sosial ekonomi, maupun kebudayaan, kita yakini negeri yang kukuh, aman, dan makmur tidak akan benar-benar kita dapatkan.

Dan terpenting, melakukan kebangkitan nasional lagi, agar bangsa kita dapat diselamatkan dari ancaman kehancuran. Kita harus bangkit dari ketidaksadaran dan keterlenaan yang kurang menguntungkan negara, bangsa, dan Tanah Air. Untuk itu, kita harus mampu memupuk rasa dan semangat keindonesiaan kita. Kita harus bangga dan kembali mau mengabdi kepada negara, bangsa, dan Tanah Air. - Oleh : Sutrisno

Jumat, 07 Mei 2010

Bukan Sekadar Menghitung

Menyukseskan Sensus Penduduk 2010
Dimuat di Harian Joglosemar / Jumat, 07/05/2010

- Sutrisno*

Pemerhati masalah sosial,
guru SMPN 1 Wonogiri

Badan Pusat Statistik (BPS) kembali melaksanakan Sensus Penduduk mulai 1-31 Mei tahun 2010 (SP 2010). SP 2010 merupakan yang keenam sejak kemerdekaan RI setelah SP 1961, 1971, 1980, 1990, dan 2000. Acuan yang digunakan dalam pelaksanaan Sensus Penduduk adalah UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan Rekomendasi PBB.

Tujuan penyelenggaraan SP 2010 diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu tujuan utama atau pokok dan tujuan khusus. Tujuan utama SP 2010 berkaitan dengan peran utama Sensus Penduduk 2010 sebagai dasar perencanaan pembangunan dan perencanaan sistem perstatistikan nasional. Sementara itu, tujuan khusus Sensus Penduduk 2010 tambahan berkaitan dengan peranan Sensus Penduduk 2010 untuk menghasilkan berbagai parameter kependudukan untuk kebutuhan penyusunan proyeksi penduduk yang menjadi dasar dalam penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang.

SP 2010 memiliki makna strategis, yakni menjadi dasar data kependudukan nasional secara menyeluruh. Kita tahu bahwa berdasarkan data sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 235 juta orang. Namun data itu masih perlu dimutakhirkan karena terjadi berbagai perubahan akibat adanya kelahiran dan kematian, serta emigrasi dan imigrasi.

Mengetahui jumlah aktual penduduk Indonesia tentunya berhubungan dengan kebijakan untuk itu. Desain layanan kesehatan, layanan kependudukan, pendidikan, fasilitas publik, serta berbagai hal lainnya, amat bergantung kepada pengetahuan mengenai besar penduduk ini. Apalagi karena pemerintah hendak merencanakan sebuah identitas tunggal dari setiap penduduk yang berada di wilayah Indonesia. Tak mungkin mengetahui seberapa besar alat dan seberapa banyak infrastruktur yang harus dipersiapkan kalau tidak mengetahui jumlah penduduk.

Di samping itu, hasil pendataan Sensus Penduduk akan menjadi sumber data yang antara lain, yaitu untuk pembuatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Data Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum 2014. Termasuk juga untuk kegiatan program-program sosial, untuk mengetahui seberapa cepat berkembangnya perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan lapangan kerja, persentase penduduk yang ada di sektor pertanian, industri dan jasa-jasa serta seberapa banyak masyarakat yang melaporkan pendapatannya menurun atau meningkat. Melihat peningkatan standar kehidupan dari tingkat harapan hidup rata-rata penduduk yang kemudian membuat SP 2010 tidak sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk atau mengetahui angka kelahiran dan kematian saja.

Dengan dimilikinya data dasar mengenai jumlah penduduk dan aspek-aspek yang melingkupinya, maka diharapkan tersedia informasi yang akurat untuk pengambilan kebijakan. Karena makna Sensus Penduduk sedemikian strategis, maka diharapkan lahir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang lebih baik. Data itulah yang pada gilirannya menjadi pijakan pemerintah untuk menata program pembangunan ke depan.

Menurut Kepala BPS, Rusman Heriawan dalam wawancaranya di sebuah surat kabar nasional bahwa sensus ini berbeda dengan sistem pencatatan administrasi kependudukan. Sensus pendekatannya de facto, artinya penduduk dicatat berdasarkan fakta di mana dia tinggal, tanpa melihat KTP dari daerah mana. Contohnya, seperti mahasiswa yang kos, mereka akan disensus berdasarkan lokasinya. Karena ini de facto, jadi lebih kepada current resident (domisili saat disensus).

Kuesioner
Instrumen utama SP 2010 ini berupa dua jenis kuesioner, untuk mendaftar bangunan tempat tinggal, dan mencacah penduduk secara lengkap. Kuesioner L untuk melakukan pendaftaran bangunan dan rumah tangga. Sedangkan, kuesioner C untuk mengumpulkan data individu penduduk dan rumah tangga. Pertimbangan yang digunakan sebagai dasar pembuatan kuesioner C adalah rekomendasi PBB, relevansinya dengan MDGs (Millennium Development Goals/tujuan pembangunan milenium).

Metode pencacahan sensus penduduk 1971, 1980, dan 1990 mencakup pencacahan lengkap dan pencacahan sampel. Sedangkan, sensus penduduk 2000 hanya dilakukan secara lengkap dengan mengumpulkan 15 variabel demografi, sosial, dan kegiatan ekonomi penduduk. Namun, pada sensus tahun 2010 ini, pencacahan dilakukan secara lengkap dengan mengumpulkan sebanyak 43 variabel.

Berbeda dengan sensus penduduk sebelumnya, untuk mencapai akurasi yang tinggi, pencacahan pada sensus penduduk 2010 akan dilakukan secara tim. Setiap tim terdiri dari seorang koordinator tim, dan tiga orang pencacah, di mana setiap tim akan bertanggung jawab menyelesaikan empat-enam blok sensus.

Kita mendorong pelaksanaan SP 2010 ini supaya berhasil baik dan menghasilkan mutu data kependudukan yang sesungguhnya. Meski berdasarkan UU Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik, penyelenggara sensus penduduk adalah badan pusat statistik bukan berarti masyarakat berpangku tangan begitu saja. Karena SP 2010 adalah program nasional, maka segenap unsur yang ada di masyarakat wajib berperan serta menyukseskannya.

Kita sangat mengharapkan terjadinya proses yang saling proaktif antara petugas sensus dengan masyarakat. Semangat “Pastikan Anda Dihitung” harus disadari masyarakat dengan bukan sekadar masuk hitung, tetapi juga memberikan data dan informasi yang akurat pada para petugas. Dan setiap keterangan individu yang bersifat rahasia dilindungi oleh undang-undang. Untuk suksesnya pembangunan nasional, tentu masyarakat kita pun sedapat mungkin berpartisipasi dengan penuh rasa tanggung jawab memberikan informasi yang benar kepada petugas sensus yang mendatangi rumah atau pemukimannya.

Terakhir, SPP 2010 tidak sekadar hitung. Yang paling penting adalah diseminasi hasil sensus ini nantinya. Masyarakat juga membutuhkan informasi dari sensus supaya ada keuntungan yang maksimal yang bisa dilakukan oleh masyarakat pasca memberikan informasi kepada pemerintah. Jangan masyarakat hanya dijadikan objek pencacahan tanpa pernah mendapatkan tindak lanjut dari informasi yang diberikannya.