NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Selasa, 31 Mei 2011

Mendamba Solo Bebas Rokok

Harian joglosemar / Senin, 30/05/2011

Sutrisno

Pada tanggal 31 Mei 2011 ini, kita kembali memperingati Hari Bebas Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Sayang, peringatan itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan juga elemen masyarakat. Umumnya publik “cuek bebek” dengan bahaya merokok sehingga di mana-mana orang bebas merokok. Bahkan, di daerah yang sudah memberlakukan kawasan bebas rokok pun tetap saja dijumpai orang-orang sedang merokok.

Di dunia diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Di negara berkembang jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Kalau tidak ada penanganan memadai maka di tahun 2020 akan ada 1,6 miliar perokok (15 persen di antaranya tinggal di negara-negara maju) dan sekitar 770 juta anak yang “terpaksa”, atau “dipaksa” menjadi perokok pasif karena orangtua atau orang di sekitarnya merokok.

Dari segi kesehatan, rokok menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh manusia. Rokok memiliki 4.000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua di antaranya adalah nikotin yang bersifat karsinogenik. Rokok memang hanya memiliki 8-20 miligram nikotin yang setelah dibakar 25 persennya akan masuk ke dalam darah. Repotnya, jumlah kecil ini hanya membutuhkan waktu 15 detik untuk sampai ke otak. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), penyakit yang berkaitan dengan tembakau pada tahun 2020 akan menjadi masalah utama terbesar, dan diperkirakan menyebabkan 8,4 juta jiwa penduduk dunia mati setiap tahun.

Kita prihatin dengan semakin meluasnya budaya merokok di tengah-tengah masyarakat. Sedikitnya ada dua poin yang membuat kita menundukkan kepala tanda berduka. Pertama, data yang menyatakan jumlah perokok terbanyak di kalangan orang-orang miskin dan di negara-negara miskin yang konon mencapai 80 persen. Wajar saja kalau WHO mendesak agar semua negara tanpa terkecuali memberlakukan larangan total terhadap segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok, demi kesehatan 1,8 miliar anak di dunia.

Kedua, jumlah perokok terbesar mencapai 80 persen adalah kalangan remaja. Itu artinya, remaja kita ke depan berada dalam kondisi berbahaya, terutama racun yang terdapat dalam rokok. Kalau tidak diantisipasi dengan cermat bisa-bisa dunia ini dipenuhi oleh generasi yang tidak sehat alias berpenyakit paru-paru, kanker dan lain-lain. Indonesia termasuk di dalamnya. Disebutkan, saat ini kebanyakan orang sudah mulai merokok sebelum usia mereka genap 18 tahun, bahkan hampir seperempatnya mulai menjadi perokok sebelum berusia 10 tahun. Setiap harinya sekitar 80.000-100.000 remaja di dunia yang menjadi pencandu dan ketagihan terhadap rokok. Bila pola ini terus menetap, maka sekitar 250 juta anak-anak yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Dalam konteks Kota Solo, peringatan Hari Bebas Tembakau ini, kita juga mendambakan Solo bebas rokok. Saat ini, Pemerintah kota (Pemkot) Solo telah menyiapkan lima titik area merokok, yaitu sisi barat gedung Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Balaikota, gedung Tawang Praja, kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK), Kecamatan Banjarsari, dan gedung DPRD Solo (Solopos, 11/12/2009). Keberadaan lima titik tersebut kita sambut dengan baik sebagai terobosan dalam rangka mengurangi dampak negatif merokok.
Dengan adanya lima titik area merokok, perlu diikuti dengan sanksi bagi orang yang merokok di luar lima area tersebut dan di tempat umum. Maka, peraturan daerah (Perda) pembatasan merokok adalah kebutuhan urgen bagi Kota Solo. Terbitnya Perda pembatasan merokok setidaknya dapat mengurangi tingkat kematian akibat rokok, melindungi generasi muda dari bahaya rokok, dan menciptakan lingkungan bebas asap rokok.

Upaya Preventif

Kita berharap agar Pemkot Solo segera mengeluarkan Perda pembatasan merokok yang di dalamnya mencakup upaya preventif sebagai antisipasi. Saya juga mengusulkan supaya Pemkot Solo perlu merumuskan sebuah program yang mampu menggerakkan seluruh warga Solo pada waktu-waktu tertentu melakukan aksi secara bersama-sama guna memberikan penyadaran kepada seluruh warga Solo supaya sadar akan pentingnya membebaskan Solo dari bahaya rokok.

Selain itu, Pemkot Solo, melalui Dinas Kesehatan Kota menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat, penggiat antirokok, lembaga pendidikan, media dan lain-lain, untuk melakukan program penyuluhan bahaya rokok bagi manusia, terutama bagi golongan pria remaja dan dewasa yang mayoritas memiliki ketergantungan besar pada rokok. Singkatnya, jika rokok tidak lagi menjadi kebutuhan masyarakat Solo, maka satu dari kompleksnya penyebab polusi udara di Solo dan tingkat kematian akibat rokok dapat ditekan.

Yang perlu menjadi titik tekan, masalah kesehatan (baca: bahaya rokok) bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan juga perlu ditanamkan sejak dini. Sehingga, berbagai program dan peraturan yang diberlakukan berkenaan dengan upaya penanggulangan bahaya lingkungan tidak akan menuai kontroversi di tingkat masyarakat. Edukasi dan partisipasi masyarakat juga harus dibina sejak dini agar pada saat Perda pembatasan merokok akhirnya muncul, pelaksanaannya bisa berlangsung secara konsisten. Tingkat kesadaran masyarakat dan ketegasan dari pemerintah memberlakukan peraturan juga menjadi faktor keberhasilan mengimplementasikan Perda pembatasan merokok. Semoga.

Kamis, 19 Mei 2011

Semangat untuk Bangkit

Koran Jakarta / Kamis, 19 Mei 2011

Pada 20 Mei ini, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas hendaknya bisa dijadikan momentum untuk bangkit dan bukan sekadar upacara formalitas dan ritual belaka. Setelah tiga belas tahun reformasi berjalan kita bahkan seperti tidak beranjak ke mana-mana. Situasi serba krisis masih saja yang sama, padahal negaranegara lain, meski dihadapkan kepada persoalan, sudah krisis yang baru. Kita semua merasakan ketertinggalan itu terutama dari negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan, secara perlahan, negara-negara yang dulu jauh tertinggal, seperti Vietnam, sudah mendekati malah ada yang mengatakan sudah menyamai kita.

Berbagai perbandingan dengan negara- negara lain sengaja diangkat oleh media bukan untuk membuat kecil hati, tetapi sebaliknya untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita tidak bisa terus seperti ini. Sekadar ribut sendiri di dalam, tanpa berupaya untuk bertindak. Terutama kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah utama yang harus segera bisa kita selesaikan. Tanpa itu, kondisi sosial bukan hanya menjadi rentan, tetapi terus-menerus membangkitkan rasa curiga dan saling menyalahkan di antara kita. Kita tidak boleh berhenti untuk membangun harapan karena negeri ini tetap memiliki potensi yang besar untuk maju.

Sumber daya manusia yang kita miliki tidak kalah dibandingkan dengan sumber daya manusia bangsa lain. Hanya saja, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Kita sering tidak percaya dengan kemampuan anak-anak bangsa kita sendiri Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Indonesia sering kali mengalami kesulitan untuk bangkit. Jika tidak diselesaikan, kendala ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor yang merusak bangsa dari dalam, sehingga peluang untuk bangkit akan jauh lebih sulit di masa depan.

Pertama, sudah sejak lama bangsa ini memunyai masalah dengan ideologinya. Sampai hari ini kita tidak bisa merumuskan suatu clear ideology. Padahal, dalam clear ideology, berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk sumber daya di dalamnya, bisa diikat untuk mencapai tujuan akhir bersama (Abdurrahman Wahid, Indonesia Kini dan Esok, 1980). Clear ideology berfungsi sebagai daya ikat sekaligus menjadi petunjuk arah perjalanan bangsa menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Kedua, orientasi yang terlalu berat ke politik.

Bahkan, perpolitikannya berorientasi jangka pendek dan fokus hanya pada kekuasaannya. Bukan perpolitikan yang sehat untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas, serta membawa perbaikan bagi perikehidupan rakyat banyak. Kita tidak menutup mata, karena pilihan kita membangun sistem demokrasi, pilarnya adalah partai politik. Lalu, yang membuat partai politik bisa memainkan perannya, hal itu tergantung kepada orangnya, kepada politisi yang ada di dalam parpol tersebut.

Hanya saja akan sangat berbahaya apabila politik hanya sekadar untuk tujuan memperoleh kekuasaan dan bahkan kekuasaan itu hanya dinikmati hak istimewanya, privilegenya, bukan tanggung jawabnya untuk kemajuan bangsa. Ketiga, rendahnya jaminan negara dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Negeri ini seolah bukan lagi miliki rakyat, karena kemakmuran dan kesejahteraan dalam standar minimal pun tak dirasakan rakyat. Sebaliknya para elite politik bergelimang harta dan kekuasaan.

Elite ekonomi berlomba menumpuk pundi-pundi rupiah dan dolar, menjarah hasil hutan, laut, emas, dan logam hingga habis. Kaum intelektual pun terperosok dalam kubangan permainan elite kekuasaan dan uang. Maka, lengkaplah sudah derita rakyat di negeri ini. Keempat, bangsa ini tidak memiliki karakter sebagai bangsa. Masyarakat kita dinilai malas, pesimistis, tidak bisa disiplin, tidak punya mimpi besar, tidak mampu kerja keras, tidak solider, individualis, dan sebagainya. Tidak heran bila budaya korupsi dan kekerasan bisa tumbuh subur di negara ini.

Kelima, belum munculnya kepemimpinan nasional yang kuat. Kepemimpinan demikian bertugas menjaga dan mengembangkan ideologi nasional secara konsisten, dan sekaligus mengawal kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas ini mengharuskan adanya suatu pola kepemimpinan yang meletakkan proses pembangunan bangsa sebagai pekerjaan jangka panjang, sehingga capaian-capaian yang dibuat tidak sekadar memenuhi kepentingan lima tahunan. Dalam bahasa Ignas Kleden (2003), pemimpin yang visioner adalah orang yang memunyai desain masa depan Indonesia.

Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan, nasib, dan bentuk Indonesia ini 10–20 tahun mendatang. Kita pernah punya Bung Karno dan dan Pak Harto yang visioner. Sayangnya, keduanya juga punya kelemahan yang nyaris menegasikan hasil positif yang sempat mereka ukir. Pola kepemimpinan nasional kita tidak melembaga secara kuat karena sebagian pemimpin nasional berpikir sektoral dan untuk kepentingan jangka pendek. Jarang ada pemimpin yang menginvestasikan hidupnya untuk satu generasi ke depan, sementara dia sendiri mungkin tidak akan ikut menikmati hasil investasinya.

Momentum Harkitnas kali ini, harus dapat kita maknai sebagai satu kesadaran kembali bagaimana memulihkan kembali jiwa dan semangat keindonesiaan kita untuk bangkit serta berjuang memperbaiki negara, bangsa, dan Tanah Air. Pakar politik terkemuka Peter Evans menyarankan untuk bringing state back in, membawa kembali negara sesuai fungsinya dalam kapasitas negara yang cukup untuk melakukan proses modernisasi dan kesejahteraan bersama.

Penulis adalah Pemerhati masalah bangsa.
Oleh: Sutrisno

Senin, 16 Mei 2011

Beban Sejarah Tragedi Mei

Dimuat di Suara Merdeka / Wacana / 13 Mei 2011

Oleh Sutrisno

TRAGEDI Mei 1998 yang memicu kerusuhan berskala besar di Jakarta, dan merembet ke Bandung dan Surakarta (13-15 Mei), setelah penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei menjadi lembaran penting bagi perjalanan gerakan reformasi.

Sudah 13 tahun peristiwa itu berlalu tapi hingga saat ini belum banyak yang bisa kita mengerti dan pelajari dari titik penting sejarah republik ini. Seolah-olah memahami sejarah kegelapan, yang sama halnya dengan menorehkan tinta hitam pada buku putih lembaran sejarah nasional yang selama ini ditulis dengan tinta emas peradaban, keagungan, dan kepahlawanan.

Penelitian tentang peristiwa itu pun seperti terlupakan. Tulisan mendalam yang berusaha memahami kompleksitas dimensi kultural dan sosial dalam peristiwa yang acap disebut Tragedi Trisakti itu barangkali tak lebih dari lima buah. Itu pun sebagian besar berupa karya disertasi peneliti asing.

Kekeringan pendekatan kritis untuk memahami kerusuhan tersebut yang tampak dalam rangkaian pengulangan metafora dan trope dalam narasi teks dan tayangan media dapat menjadi tragedi sendiri dalam penulisan sejarah bangsa ini. Haruskah kita menunggu sampai 30 tahun, seperti menunggu pengungkapan sejarah tahun 1965-1966 untuk memunculkan suara-suara mereka yang dibungkam oleh kekerasan politik?

Kita memerlukan sebuah sikap dan ketegaran untuk mengakui bahwa peristiwa besar itu memiliki dampak penting dalam pergolakan politik nasional. Di lain pihak, sikap dan ketegaran yang sama juga diperlukan untuk mengetahui bahwa peristiwa kekerasan sejatinya adalah pembongkaran ruang eksistensi individual.

Peristiwa kekerasan menjadi penting bukan karena menentukan lalu lintas politik nasional melainkan juga membongkar dan merekonstruksi cara manusia memaknai dunia sekelilingnya. Pemahaman rasional dan logis barangkali dapat menghasilkan pola, peta, dan logika kersuhan, kendati tak dapat menawarkan secercah sinar untuk menerangi liku-liku kompleksitas nilai yang manusia pakai memaknai kekerasan yang mereka hadapi.

Barangkali penyikapan kita selama ini terhadap kerusuhan Mei 1998 cenderung memperlakukannya sebagai peristiwa sejarah yang disikapi secara logika. Kita menganggap peristiwa itu penting karena menjadi jendela terhadap sesuatu: the logic of state, yakni cara berfungsi dan bekerjanya sebuah negara dan perangkatnya.

Pemegang kekuasaan tampaknya akan terus mendiamkan Tragedi Mei dan kasus-kasus kekerasan lainnya. Sikap itu sebenarnya mencerminkan pengingkaran kewajiban negara untuk mengingat sekaligus pengingkaran hak-hak korban seperti tercantum dalam Commission on Human Rights: Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violation (1997). Hak-hak korban adalah hak mengetahui peristiwa sebenarnya yang terjadi, hak mendapat kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan.

Skenario Lain

Problem sulitnya mengungkapkan tragedi itu sepenuhnya terletak pada tidak adanya kemauan pemerintah untuk mengungkap secara tuntas. Bahkan memunculkan anggapan tragedi ini sengaja dilupakan seiring perjalanan sejarah.
Ketidakmampuan negara dan sistem demokrasi untuk menguak kejahatan tersebut secara sistematis telah mendorong terjadinya impunitas atau pengampunan seacara diam-diam terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.

Hal inilah dikhawatirkan menciptakan amnesia publik karena masyarakat diarahkan untuk mengingkari konsensus reformasi, yaitu pemenuhan keadilan transisi. Pemerintahan SBY dituntut komitmen dan keseriusannya untuk mengungkapkan secara tuntas. Atas nama kemanusiaan dan kebangsaan, Presiden perlu mengabaikan perasaan takut, seandainya terbukti rumor yang menyebut bahwa kasus itu tak hanya dipicu oleh demontrasi terkait dengan krisis finansial tapi juga melibatkan skenario elite politik tertentu.

Kerusuhan Mei adalah utang masa lalu yang akan jadi beban sejarah, dan menjadi beban pemerintahan siapa pun, juga beban bangsa secara umum. Mengungkap sejarah yang kelam memang tidak mudah, apalagi bila menyangkut orang-orang tertentu yang bisa jadi masih berkuasa. Padahal sepahit apa pun, kebenaran sejarah harus diungkap bila bangsa ini ingin membangun masa depan yang lebih cerah. (10)

— Sutrisno SPd, guru SMP Negeri 1 Wonogiri