NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Selasa, 27 September 2011

Sertifikasi dan Profesionalisme Guru



Adakah korelasi antara sertifikasi guru dan mobil baru? Secara konsep tentu tidak ada. Sertifikasi merupakan program untuk meningkatkan kualitas guru. Namun faktanya berbeda. Di Kota Semarang, guru-guru yang lolos sertifikasi punya mobil, motor, dan rumah baru. Muncul kesan orientasi materi, sekadar kemasan, bukan isi.
Sejak bergulir empat tahun lalu, program ini menuai krirtik dari banyak pihak. Selain kecurangan dalam penyiapan portofolio, juga menjadi lahan baru praktik pungutan. Kasusnya hampir merata di semua daerah, tidak hanya yang sekarang ramai di Wonogiri (Suara Merdeka, 12/9/2011).

Sertifikasi guru merupakan tindak lanjut dari usaha mewujudkan amanat dari UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Tujuan utama dari sertifikasi guru itu adalah meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional, dan meningkatkan kesejahteraan guru.

Berkaitan dengan sertifikasi guru, ini yang dilakukan, banyak tuntutan perubahan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Hal ini mulai dari beban mengajar guru, yang selama ini rata-rata beban mengajar guru berkisar antara 10 sampaidengan 20 jam tatap muka perminggu, setelah sertifikasi guru wajib mengajar minimal 24 jam tatap buka perminggu; perencanan pelaksanaan pembeiajaran yang selama kurang lebih sebagai kelengkapan administrasi, harus diubah menjadi pedoman pelaksanaan proses pembeiajaran; pelaksanaan proses pembeiajaran selama ini kurang terukur dengan baik, sekarang betul-betul harus profesional, terukur, dan mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan demikian, baru tujuan yang menjadi tumpuan harapan yang dinginkan lambat laun, tetapi pasti, dapat diwujudkan.

Muncul pertanyaan, apakah dengan pemberian tunjangan sertifikasi, profesionalisme guru juga menyertainya atau dapat terwujud? sertifikasi guru yang telah berjalan sejak 2007 silam dan mengundang banyak kritik karena dinilai tidak mencapai sasaran yakni menghasilkan guru yang kompeten dan profesional.

Apalagi sertifikasi guru masih menggunakan asesmen portofolio, di mana para guru diminta mengumpulkan berbagai ijazah maupun sertifikat pelatihan untuk kemudian diperhitungkan untuk diganjar dengan sertifikasi profesi guru. Sementara asesor yang bertugas menilai portofolio tersebut, menghadapi ratusan, bahkan ribuan portofolio yang harus dinilai. Akibatnya verifikasi ulang mengenai keabsahan dokumen yang dikumpulkan oleh guru menjadi amat minim.

Ditengarai sistem yang menggunakan penilaian portofolio malah membuat sebagian guru mengada-adakan berbagai sertifikat yang diperlukan guna memenuhi kredit dalam penilaian. Tak jelas apakah sertifikat yang dikumpulkan itu benar-benar ia yang memperoleh. Atau jika benar ia mengikuti kegiatan tersebut, apakah lantas kompetensi guru langsung meningkat.

Ketika sertifikasi adalah kepentingan pribadi guru yang bersangkutan, maka mereka sibuk menyiapkan persyaratan yang justru mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai agen pembelajaran, yang semestinya tidak hanya mentransformasikan ilmu dalam bobot mata pelajaran yang diasuhnya kepada peserta didik semata. Akan tetapi, lebih dari itu, membina, membimbing serta memonitoring peserta didik untuk kesempurnaan pencapaian target afektif, kognitif dan psikomotorik. Ironis memang, cara yang demikian dikatakan meningkatkan kompetensi dan profesional guru.

Program sertifikasi ternyata tidak semulus yang diharapkan. Guru malahan mengedepankan "mental menerabas" untuk meraih sertifikasi. Ujung-ujungnya hanya mengejar materi dan mengesampingkan tugas mulia sebagai guru. Guru lebih memikirkan tunjangan sertifikasi untuk memenuhi kebutuhan hidup ketimbang mewujudkan profesionalisme guru.

Tunjangan profesi guru kecenderungannya baru dibelanjakan untuk peningkatan status sosial, seperti membeli mobil dan motor baru, merenovasi rumah, dan membiayai sekolah anak-anak. Ada juga yang dibelanjakan buat memenuhi hasrat akan konsumerisme, membeli barang-barang pencetus keinginan, seperti pakaian, sepatu, parfum, dan aksesori, di mal.

Belum ada gelagat signifikan tunjangan profesi dibelanjakan buat membeli komputer jinjing, modem, buku-buku, dan berlangganan surat kabar atau jurnal ilmiah. Langkah membelanjakan uang tunjangan buat studi lanjut atau pengembangan diri juga belum kelihatan. Kesejahteraan guru belum berbanding lurus dengan kegairahan mereka memenuhi perpustakaan atau toko-toko buku. Gereget mereka untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) guna peningkatan profesi belum signifikan. PTK baru dilaksanakan secara artifisial bila ada tuntutan syarat kenaikan pangkat (J. Sumardianta, "Signifikansi Tunjangan Profesi Guru", Koran Tempo, 11/9/2011).

Setelah tersertifikasi seharusnya guru benar-benar memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan profesionalitas. Indra Djati Sidi (2002: 38-39) menguraikan bahwa seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, yakni memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus-menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya.

Menjadi guru adalah sebuah panggilan. Belum pernah terdengar kabar di belahan bumi manapun bahwa profesi guru menjanjikan limpahan harta. Walaupun demikian profesi guru menduduki posisi yang terhormat, karena bagaimana tidak keberhasilan seseorang mencapai sukses dalam bidang apapun adalah berkat keberadaan guru. Oleh sebab itu saat memilih profesi guru niatkan dalam hati untuk terus belajar memperdalam ilmu pengetahuan dan ikhlas memberikan yang terbaik untuk anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran.

Di lain pihak, pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah perlu meninjau ulang kebijakannya di dalam mensejahterakan para guru, agar para guru dapat bekerja dengan tenang dan fokus pada tugas intinya mengantarkan anak didik menjadi pribadi unggul. Agar kualitas sumber daya manusia yang menjadi tiang pancang pertumbuhan sebuah bangsa yang terhormat, dapat segera terwujud.


Sutrisno
Penulis adalah Guru SMPN 1 Wonogiri

Dimuat di Koran Jakarta / Senin, 26 September 2011