NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 28 Agustus 2023

KISI-KISI BAHASA INGGRIS PENILAIAN SUMATIF TENGAH SEMESTER GASAL TAHUN 2023/2025


 Kisi-Kisi Penilaian Sumatif Tengah Semester Gasal

SMP Negeri 1 Wonogiri

Tahun Pelajaran 2023/2024

Silahkan download pada link bawah ini!

KELAS 7 DOWNLOAD DISINI

KELAS 8 DOWNLOAD DISINI

KELAS 9 DOWNLOAD DISINI

Good luck!



Selasa, 01 Agustus 2023

Memutus Mata Rantai Perundungan


Sungguh tragis! Begitu pikiran kita mendengar berita aksi perundungan terhadap anak didik, yang bahkan sampai merenggut nyawa.

Kasus terbaru, seorang siswa kelas I sekolah dasar (SD) di Medan, Sumatera Utara, meninggal karena mendapat perundungan dari kakak kelasnya. Di Temanggung, Jawa Tengah, seorang peserta didik membakar sekolahnya karena mengalami perundungan terus-menerus dari kawan-kawannya, bahkan guru prakaryanya.

Sebelumnya, seorang siswa kelas IV SD berasal dari Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, bunuh diri lantaran tak kuat dirundung teman-temannya dan disebut tidak memiliki ayah (Kompas.com, 28/2/2023).

Kekerasan di sekolah


Hingga saat ini, dunia pendidikan masih dibayang-bayangi oleh tiga dosa besar, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.

Berdasarkan data 2019 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kekerasan fisik dan perundungan (bullying) fisik pada anak di antaranya 39 persen terjadi di jenjang SD, 22 persen di jenjang SMP, sederajat, dan 39 persen di SMA, MA, SMK dengan jumlah korban 171 anak.

Kekerasan paling banyak dilakukan oleh oknum guru atau kepala sekolah, mencapai 44 persen; 13 persen dilakukan siswa ke guru; 13 persen dilakukan orangtua siswa ke siswa lainnya, dan 30 persen dilakukan antarsiswa. Sementara kasus-kasus kekerasan paling banyak diselesaikan melalui rapat koordinasi mencapai 95 kasus.

Kekerasan perundungan anak di sekolah sudah berada dalam tahap mengkhawatirkan. Rigby (2002: 15) mendefinisikan perundungan sebagai penekanan atau penindasan berulang-ulang, secara psikologis atau fisik, terhadap seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang kurang, oleh orang atau kelompok orang yang lebih kuat.

Pelaku perundungan mulai dari teman, kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Lokasi kejadiannya, mulai dari ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, hingga di luar pagar sekolah.

Perundungan di kalangan siswa bukan hanya perundungan secara fisik di dunia offline, melainkan juga perundungan di dunia maya secara online. Perundungan merupakan perilaku yang tak sesuai dengan nilai-nilai luhur pendidikan. Perundungan merupakan racun dalam pendidikan nasional yang merusak dan mematikan generasi penerus bangsa.

Perundungan yang berujung maut memaparkan betapa murahnya nyawa anak didik. Sekolah yang seharusnya steril dari tindakan kekerasan telah berubah menjadi tempat menakutkan, menimbulkan kecemasan, trauma, bahkan pembantaian. Meskipun di depan gedung sekolah terdapat papan ”Sekolah Ramah Anak”, kenyataannya di dalamnya kerap menjadi tempat suburnya praktik kekerasan yang menimbulkan bahaya.

Anak-anak sekolah sudah baku hantam, berkelahi karena hal sepele, hingga penganiayaan yang merenggut jiwa. Hal ini tidak sejalan dengan salah satu tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia, menjadikan peserta didik sebagai individu yang memiliki kehalusan budi serta kebaikan hati.

Pendidikan kita terjebak terlalu dalam ke muatan intelektualisme. Bukankah konstitusi mengamanatkan pembentukan insan cerdas secara intelektual, cerdas emosional, berkepribadian, berkarakter nilai-nilai luhur dan agama?

Dengan porsi dominan pada pendidikan karakter di sekolah dasar, mata pelajaran lebih sedikit, menekankan konten, tematik, dan menempatkan guru sebagai inspirator; diharapkan mendorong lompatan-lompatan pemikiran siswa. Kita mendukung prioritas pendidikan karakter sejak tingkat dasar mengingat keberhasilan seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, dan hanya 20 persen ditentukan kecerdasan otak (IQ).

Murahnya nyawa anak didik karena dirundung merupakan cermin kegagalan sebuah sistem pendidikan. Ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini, hilangnya etika, perilaku baik, dan disiplin; merasa benar sendiri; serta tidak menghargai orang lain.

Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri. Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem meritokrasi (proses pencapaian-pencapaian prestasi) sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker.

Absennya pendidikan karakter

Dalam menyelenggarakan pengajaran kepada rakyat, Ki Hajar Dewantara menganjurkan agar kita tetap memperhatikan ilmu jiwa, ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan, ilmu estetika, dan menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun karakter.

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Pendidikan karakter bisa menjadi modal besar dan pilar dalam pembentukan karakter generasi bangsa yang berkualitas dan tidak melupakan nilai-nilai moral-sosial. Manusia berkarakter akan senantiasa menumbuhkan kecintaan pada kebenaran, berpihak kepada rakyat, siap berjuang demi negara di segala lapangan kehidupan, berpikiran kritis-konstruktif, mengabdi pada kemanusiaan dan lain-lain.

Kasus perundungan anak didik di tangan teman sendiri semakin meyakinkan akan pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti di sekolah.

Sekolah harus dijadikan taman untuk menumbuhkan karakter-karakter positif bagi peserta didik. Melalui kegiatan nonkurikuler seperti berdoa sebelum belajar, melakukan upacara bendera, dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”, atau menyanyikan lagu bernuansa patriotik kontemporer serta lagu daerah.

Memutus mata rantai

Pasal 7 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 mengatur tentang pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.

Jangan ada lagi nyawa melayang dari anak didik dan menjadi siklus kekerasan yang terus berulang di dunia pendidikan. Nyawa anak didik sangat berharga untuk masa depan bangsa.

Maka, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan siswa, guru, kepala sekolah, orangtua murid, dan masyarakat dalam memutus mata rantai perundungan oleh anak didik. Guru memberikan teladan positif dalam mengajar, melatih, membina, berdoa, dan berbagai bentuk reinforcement lainnya.

Penting pula, kemampuan guru dalam memahami bentuk-bentuk kenakalan anak di sekolah untuk mencegah terjadinya perundungan, pengawasan intensif terhadap anak didik, dan sosialisasi bahaya perundungan kepada anak didik dan orangtua. Perlu keberanian siswa dan dukungan guru untuk melaporkan setiap perbuatan perundungan di sekolah.

Masyarakat sudah saatnya lebih peduli dan fokus pada bahaya perundungan karena perundungan tak sebatas kenakalan siswa, tetapi juga sudah menjadi penyakit pendidikan yang akan merusak generasi bangsa. Kepedulian masyarakat luas sangat penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan.

Sekolah pun hendaknya proaktif dengan membuat program pengajaran keterampilan sosial, problem solving, manajemen konflik, dan pendidikan karakter. Siswa di sekolah harus mendapatkan pelindungan dari kekerasan, baik yang dilakukan peserta didik, guru, maupun pengelola sekolah lain sebagaimana amanat Pasal 54 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlu dibentuk satuan tugas (satgas) perundungan anak dan sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi. Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan bermartabat bagi anak-anak didik sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian, kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan siap menjadi warga negara yang baik.

Sutrisno Pendidik, Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

*) Artikel ini telah di muat di Kompas.id

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/10/memutus-mata-rantai-perundungan%3Futm_source=kompasid%26utm_medium=whatsapp_shared%26utm_content=sosmed%26utm_campaign=sharinglink