NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Minggu, 27 Juni 2010

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang by Parman Hanief

Dimuat di Harian Solopos Edisi Jum'at, 25 Juni 2010 , Hal.4

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang

Telah diyakini banyak peneliti bahwa antara Islam di Jawa dengan wayang memiliki hubungan yang demikian erat. Hubungan saling memengaruhi ini kemudian bermuara pada hasil gemilang Islamisasi.

Unik sekaligus mencengangkan. Unik dalam pengertian betapa yang jauh bisa didekatkan, antara wayang yang bersumber dari tradisi Hindu tetapi memberi manfaat dalam penyebaran dakwah (Islam). Mencengangkan dalam pengertian begitu cerdasnya para pendahulu dakwah di tanah Jawa ini dalam mengislamkan wayang.

Hal ini terbukti dalam satu fakta—di antara fakta lain—bahwa kita yang secara geografis jauh dari pusat Islam, tetapi begitu terbuka menerima Islam tanpa melalui penaklukan atau jalan kekerasan. Sehinggga, dari sejarah yang demikian dapat disimpulkan bahwa memang Islam di Indonesia memiliki stereotip tersendiri yaitu agung dengan toleransi!

Dalam hal wayang, begitu tampak ruh Islam yang mengalir tidak saja dalam penciptaan wujudnya tetapi juga karakter tokoh sampai pada penceritaannya. Kearifan cerita wayang dapat mendukung masyarakat kita untuk menerima dakwah dengan nyaman, khususnya kalangan awam. Mengapa demikian? Karena wayang seperti darah yang mengalir di tubuh alam bawah sadar masyarakat awam itu. Ketika dengan cermat pendakwah bisa menunjukkan bahwa hal tersebut sejalan dengan misi Islam, dengan rela hati mereka menerima konsep Islam itu sebagai kebenaran.

Pernyataan ini mungkin masih bisa diperdebatkan, tetapi sepanjang pengalaman penulis maka demikianlah adanya. Salah satu contoh ketika kita membahas hukuman mati. Islam jelas mengakui dan melembagakan ini sebagai media pendidikan umat menuju jalan terbentuknya masyarakat utama, tetapi kultur masyarakat kita memandang sebagai sebuah tindakan kejam yang tidak manusiawi. Bagaimana seorang pezina harus dirajam, pencuri dipotong tangan dan seterusnya, adalah gambaran kengerian yang kadang menimbulkan keraguan, demikiankah agama mengajarkan?

Cobalah kita ikuti cerita wayang ini. Dikisahkan, Maharesi Jamadagni telah menikah dengan Dewi Renuka. Perkawinan ini membuahkan lima orang putra, yaitu Rumawan, Susena, Wasu, Wiswawasu dan Rama Bargawa. Suatu hari, Dewi Renuka berbuat serong dengan Prabu Citrarata dari Kerajaan Martikawata. Meskipun penyelewengan ini dirahasiakan, karena ilmu tinggi yang dimilikinya, Begawan Jamadagni bisa tahu apa yang sudah terjadi.

Segera dipanggilnya kelima anaknya dan di hadapan mereka Dewi Renuka diminta mengakui perbuatannya. Setelah wanita cantik itu memberi pengakuan, Maharesi Jamadagni memerintahkan kepada Rumawan untuk membunuh ibunya sebagai hukuman. Anak sulung itu menolak perintah. Demikian pun adik-adiknya yang kedua, ketiga dan keempat; semuanya menolak. Karena penolakannya itu, mereka dikutuk menjadi gila.

Nurani

Sampailah perintah itu pada anak yang kelima. Bargawa menerima. Dengan senjata kapak, ia penggal kepala ibunya sebagai hukuman. Atas kesediaannya itu, ayahnya menawarkan sejumlah permintaan dan pasti akan dikabulkan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bargawa. Maka, Bargawa minta kepada ayahnya lima hal. Pertama, ia minta agar ibunya dihidupkan kembali. Kedua, agar semua dosanya (termasuk membunuh ibunya) diampuni. Ketiga, agar semua saudaranya yang telah menjadi gila kembali menjadi pulih seperti sedia kala. Keempat, agar mereka sekeluarga lupa atas peristiwa yang baru mereka alami. Kelima, Bargawa minta kesaktian yang tak tertandingi.

Semua permintaan itu dikabulkan. Kecuali permintaan kelima, Bargawa memang sakti dan tak tertandingi, tetapi kelak ia pun akan kalah jika berhadapan dengan manusia titisan Wisnu. Mari kita coba renungkan dan pikirkan sejenak. Bukan materi cerita yang kita renungkan. Tetapi pesan cerita itu yang menjadi hakikat penceritaan tentang perzinahan dan hukum mati.

Dalam Islam, telah jelas hukuman bagi pezina. Untuk kasus seperti cerita Dewi Renuka itu dalam terminologi agama disebut zina muhsan. Sebab, pelaku perzinahan telah bersuami. Hukuman bagi mereka adalah rajam sampai mati. Umar bin Khatab mengingatkan: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan hak, dan menurunkan kepada beliau kitab suci. Salah satu yang diturunkan adalah ayat tentang kewajiban rajam (melempar pezina yang telah kawin hingga meninggal). Kami telah membaca ayat itu dan memahaminya, dan Rasul SAW pun telah pernah merajam, dan kami pun demikian. Saya khawatir, bila masa berkelanjutan ada orang yang berkata, kami tidak menemukan hukum rajam dalam Alquran, sehingga ia sesat akibat mengabaikan kewajiban yang ditetapkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam adalah hak yang dijatuhkan terhadap siapa yang berzina baik lelaki maupun perempuan, apabila ia telah menikah dan jika bukti telah tegak, atau kehamilan yang disertai pengakuan. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir orang berkata Umar menambah sesuatu dalam Aquran, maka pasti aku menulisnya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain).

Menurut keterangan Quraish Shibab, ayat yang dimaksud Sayidina Umar tersebut adalah, “Lelaki yang telah kawin dan perempuan yang telah kawin, apabila mereka berzina, maka rajamlah mereka berdua secara pasti, akibat mereka telah meraih kelezatan (secara tidak syah)” (HR Ibn Hibban melalui Ubayy Ibn Ka’b).

Jika ayat tersebut atau hadis tersebut disampaikan begitu saja-–dan memang begitulah adanya, sesuatu yang hak lebih berhak disampaikan sebagaimana adanya—kelemahan jiwa manusia akan gelisah. Sebab akan membayangkan, seseorang yang dibenam ke dalam tanah sebatas leher, kemudian setiap orang yang lewat harus menderanya dengan melempar batu sampai seseorang tersebut meninggal. Kejam, darah dan betapa mengerikan hukuman itu. Belas kasihan memang anugerah, tetapi kelemahan manusia akan membawa belas kasih kepada apa yang akan dilihat dan sering melupakan sebab apa ia harus dijatuhi hukuman mati itu.

Di sinilah pertarungan nurani itu muncul. Padahal sesungguhnya, sebuah hukuman, sampai halnya hukuman mati, adalah hakikat kehidupan itu sendiri. Alquran menerangkan, “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). Bagaimana menerangkan hakikat ini kepada masyarakat awam?

Saya pikir, kisah Dewi Renuka tersebut adalah sebuah kearifan cerita wayang yang secara konkrit menggambarkan sesuatu yang abstrak bahwa dalam hukuman mati ada kehidupan! Renuka harus dihukum mati karena ia pezina muhsan, dan dengan demikian ia memperoleh kehidupan yang diwadakkan dengan permintaan putranya agar ibunya dihidupkan kembali. Masih banyak kisah kearifan wayang yang dapat kita gunakan untuk mengilustrasikan beberapa ajaran Islam dan dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.

- Oleh : Parman Hanief Pemerhati budaya Direktur SDIT As Salamah Baturetno Wonogiri

Melawan Narkoba belum Selesai!

Melawan Narkoba belum Selesai!

Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 26/06/2010

- Sutrisno

Disinyalir sejak tahun 1960-an, narkoba merajalela di seluruh dunia bagaikan wabah, jumlah pemakainya semakin banyak dan menimbulkan masalah sosial yang semakin serius. Untuk menangani bahaya narkoba, sejak tahun 1987, Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan setiap tanggal 26 Juni sebagai International Day Against Drug And Illicit Trafficking atau yang kita kenal sebagai Hari Anti-Narkoba Internasional (HANI). Tanggal itu merupakan momentum besar dalam sejarah peperangan melawan narkoba dan diperingati oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia.

Tema Hari Anti-Narkotika Internasional tahun 2010 adalah Think Healthy without Drugs (Berpikir Sehat tanpa Narkotika). Napza (narkotik, psikotropika, dan zat adiktif) atau yang biasa kita kenal dengan nama narkoba merupakan musuh lama masyarakat. Sayangnya “penyakit” ini makin populer di kalangan remaja, bahkan anak-anak.

Data di United Nations Office on Drugs an Crime (UODC) atau badan PBB yang menangani obat-obatan terlarang dan kejahatannya menyebutkan, hampir 200 juta orang memakai narkoba. Perinciannya, pemakai mariyuana hashis 162 juta, amphetamine methamphetamine dan ekstasi 35 juta, opium, morfin, dan heroin 16 juta, serta pemakai kokain 13 juta.

Narkoba sudah menjadi musuh masyarakat global. Namun realitas lain juga tak kalah mengerikan, betapa narkoba sudah merupakan bagian dari jaringan bisnis global. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), omzet peredaran narkoba dalam satu tahun diperkirakan mencapai Rp 20 triliun. Nilai nominal peredaran narkoba itu belum termasuk biaya pengobatan (rehabilitasi) dan dampak sosial terhadap korban serta keluarganya yang bisa mencapai Rp 50 triliun. Sebuah jumlah yang mampu membuat bangsa ini lebih maju.

Beberapa waktu yang lalu, jajaran Polda Metro Jaya dan Polda Jateng berhasil mengungkap jaringan narkoba dalam skala besar di daerah Jepara, Jawa Tengah. pengungkapan kasus narkoba di Jepara merupakan yang terbesar. Karena polisi berhasil menyita 30 kg sabu-sabu siap edar dengan nominal tiap kg senilai Rp 2 miliar. Prestasi ini juga sebagai tindak lanjut pengungkapan Polda Metro Jaya tentang penyelidikan dan penyidikan sindikat jaringan narkoba Jakarta, Surabaya, Medan, Jepara, Hongkong, dan Bangkok yang disebut sebagai sindikat jaringan narkoba lintas provinsi dan lintas negara.

Di satu sisi amat sedih melihat masih kuatnya jaringan atau sindikat yang bebas menjalankan aksinya dalam memproduksi dan mengedarkan narkoba. Benar banyak di antara para pengedar dan pemakai narkoba sudah ditangkap. Beberapa di antaranya bahkan sudah dihukum. Namun kita jangan silap, masih banyak lagi yang belum terungkap.

Peredaran narkoba bisa diibaratkan seperti fenomena gunung es. Masih terus terjadi. Sedikit kelihatan, namun yang tersembunyi masih teramat besar. Demikian halnya dengan produksi dan peredaran narkoba. Memang sudah banyak yang diungkap ke permukaan, namun diyakini itu masih sebagian kecil. Di baliknya masih banyak kantong-kantong untuk memproduksi dan peredaran narkoba yang belum tersentuh. Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk menuntaskannya. Memberantas narkoba memang tidaklah mudah, banyak tantangan dan hambatan.

Sulitnya menghentikan dan memberantas peredaran narkoba, setidaknya karena beberapa hal: Pertama, melibatkan organized crime (kejahatan yang terorganisir), baik yang dibina oleh domestic kriminal maupun transnational kriminal.

Kedua, besarnya narcoeconomic. Industri narkoba telah berhasil menghimpun dana yang luar biasa besar, sehingga ia nyaris dapat membeli apa saja, tak terkecuali kekuasaan, termasuk kekuasaan yang menguasai penegak hukum. Uang yang berputar di industri pembunuh massal ini melebihi uang beredar pada industri minyak dunia (Nitibaskara, 2002).

Ketiga, mudahnya pasokan membanjiri pasar. Jalur-jalur masuk narkoba seperti pelabuhan dan bandara pun masih terlalu aman bagi pelaku untuk menyelundupkan narkoba ke suatu daerah. Hanya tempat-tempat tertentu seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang dipasang alat pendeteksi narkoba. Belum lagi jika ada oknum petugas yang bisa diajak “main mata”.
Keempat, penegakan hukum (law enforcement) yang lemah. Terlalu ringannya hukuman bagi setiap pelaku dalam kasus narkoba menjadi hambatan tersendiri bagi Polri dan Badan Narkotika untuk memberantas kejahatan satu ini. Ironisnya, aparat penegak hukum terlibat dalam proses peredaran, konsumen, dan pengguna.

Rumitnya penanganan kasus narkoba mengakibatkan semua pihak dan lapisan masyarakat sepakat pencegahan dan perlawanan terhadap peredaran narkoba adalah solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Maka, diperlukan upaya strategis untuk memberantas narkoba.
Pertama, memprioritaskan penangkalan pada keempat hal yang telah disebutkan di atas. Kedua, koordinasi lintas sektoral antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh agama, dan anggota masyarakat itu sendiri agar pemberantasan narkoba dapat dilakukan secara komprehensif.

Ketiga, pengawasan atas aktivitas mencurigakan di lingkungan sekitar harus terus dikembangkan. Dan laporkan kepada pihak aparat keamanan. Masyarakat harus disadarkan bahwa bahaya narkoba bisa menghampiri pintu depan dan pintu belakang mereka, lalu “mengambil” keluarga mereka. Diharapkan sekali, orangtua dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya. Misalnya, memberi pengertian dan pengetahuan pada anak-anak dan remaja betapa berbahayanya narkoba. Selanjutnya ikut berpartisipasi dan mendukung lembaga sosial atau lembaga agama yang intens dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.

Keempat, penanganan persoalan peredaran dan penyalahgunaan narkoba harus lebih serius dilakukan secara bersama pemerintah Kota/kabupaten dan provinsi. Misalnya, seberapa banyak tingkat penurunan pemakai narkoba di kalangan umur tertentu. Demikian juga, seberapa banyak pemasok atau pendistribusian yang tertangkap dan sudah diajukan ke meja pengadilan. Kemudian, seberapa banyak barang-barang haram tersebut telah disita dari peredarannya di pasaran. Semuanya ini menjadi bukti dari cerminan untuk memberantas narkoba.

Kelima, koordinasi dan optimalisasi peran Badan Narkotika Nasional (BNN), BNP Provinsi, BNP Kota/Kabupaten sampai ke tingkat akar rumput untuk memutus peredaran narkoba dari hulu sampai hilir. Kita harus serius memerangi narkoba! Dibutuhkan kerja keras dan cerdas dari setiap elemen bangsa. Terakhir, katakan TIDAK pada narkoba!

*Guru SMPN 1 Wonogiri dan Pemerhati Masalah Sosial

Senin, 21 Juni 2010

WEDANGAN