Mendamba UN yang Jujur
OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011
Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?
Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008
Wajah Bopeng Pendidikan Kita
Refleksi Hardiknas
Kaji Ulang Ujian Nasional
Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013
Setelah RSBI dibubarkan
OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri
Sabtu, 22 Agustus 2015
Menekan Laju Urbanisasi
Setelah terjadi mudik lebaran,
kini segera muncul persoalan arus urbanisasi. Arus urbanisasi merupakan
gelombang pasang bagi kota. Setelah sekian hari mengalami gelombang surut
karena pengaruh mudik lebaran, pasca-lebaran, kota mulai dibanjiri puluhan
ribu, bahkan ratusan ribu penduduknya yang telah pulang kampung. Arus
urbanisasi kembali menggeliat. Kota yang asalnya sunyi dan sepi karena
ditinggalkan sebagian besar penghuninya, kini mulai kembali ramai dan padat.
Tentu, arus urbanisasi ada
parodi pada diri konsepsi pembangunan bangsa ini. Bahwa desa juga perlu
disentuh pembangunan, atau pembangunan tidak terkonsentrasi pada bagian wilayah
Indonesia
tertentu, menjadi pekikan yang secara tak langsung untuk menandakan mengerem
laju arus urbanisasi. Dan “suara-suara” itu
mengesankan terus menerus serius. Sekaligus, ada kerinduan penanganan
arus urbanisasi yang efektif. Bahkan lebih dari sekadar itu. Kita tak bisa lagi
melulu dengan sikap pola pikir begitu mentereng tapi sekaligus mencemooh, yang
cuma mengambil jarak dari keyakinan-keyakinan membiarkan laju pertumbuhan
urbanisasi non-efektif. Sebab, bagaimanapun, kaum urban adalah “jiwa” yang
bergemuruh oleh derap pembangunan peradaban kita. Adapun kaum urban disangka
datang dari luar “kota
kita”, padahal mereka datang dari diri pembangunan juga.
Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa ketimpangan pembangunan desa-kota memantik keinginan
warga desa pindah ke kota. Perbedaan upah antara desa dan kota dinilai sebagai faktor
penting yang memengaruhi arus urbanisasi. Lapangan pekerjaan di pedesaan
semakin berkurang, seiring dengan menyempitnya areal pertanian karena tekanan
industrialisasi maupun tekanan demografis. Bagi kaum urban, bekerja di sektor
industri di kota lebih pasti pendapatannya ketimbang terus bertahan di desa dan
bergelut di sektor pertanian. Sektor pertanian di pedesaan tidak lagi merupakan
usaha ekonomi yang menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesempatan
kerja juga relatif masih lebih banyak tersedia di perkotaan karena pembangunan
tidak merata. Itu yang membuat urbanisasi tak terkendali.
Mudrajat (1997) dalam
bukunya Ekonomi Pembangunan, Teori,
Masalah, dan Kebijakan mengungkapkan, pertumbuhan kota yang lebih cepat
akan mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Dengan
demikian, urbanisasi desa-kota terjadi sebelum industri kota mampu berdiri
sendiri. Kaum urban akan tertarik dengan mengadu nasib ke perkotaan meskipun
hanya bekerja di sektor informal. Padahal, selama sektor informal cenderung
belum memperoleh perhatian dan perlindungan yang memadai dari pemerintah.
Akibatnya, sangat riskan menimbulkan efek permasalahan yang merugikan kaum
urban sendiri.
Berdasarkan proyeksi
Badan Pusat Statistik (BPS) urbanisasi akan mencapai 68 persen pada 2025.
Daerah yang diprediksi akan mengalami tingkat urbanisasi paling besar adalah,
provinsi di Pulau Jawa dan Bali. Bahkan tingkat urbanisasi saat ini di empat
provinsi di Jawa sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, dan Banten. Dari tahun ke tahun, instrumen rutin yang kerap
digunakan birokrasi kota-kota besar guna menangkal kaum urban hanya operasi
yustisi atau razia. Seperti Jakarta ada Peraturan Daerah No 1/1996 tentang
Kependudukan. Perda ini memberi syarat berat bagi penduduk yang ingin masuk
Jakarta, antara lain, memiliki tempat tinggal dan pekerjaan di Jakarta.
Kegiatan rutin itu selain dinilai tak efektif, juga kerap mengundang reaksi
sinis berbagai kalangan.
Laju urbanisasi bisa
menjadi momok menakutkan bagi pembangunan bangsa. Pemerintah harus segera
membuat kebijakan cerdas dan keberpihakan konsisten pada pemerataan pembangunan
dan pemberdayaan perekonomian desa. Saatnya pemerintah lebih serius untuk
mengatasi problem krusial urbanisasi dengan kebijakan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan yang merata dan berkeadilan. Selanjutnya perlu menciptakan lapangan
kerja baru di daerah, sehingga urbanisasi dapat lebih terkendali.
Program transmigrasi patut
dipertimbangkan sebagai strategi menekan laju urbanisasi serta mengimbangi
pertambahan jumlah penduduk. Pelaksanaan program transmigrasi ini diharapkan
mampu menerobos isolasi di berbagai daerah, mengubah lahan terlantar menjadi
sumber pendapatan, mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah serta memberikan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi jutaan rakyat di seluruh negeri
sehingga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum urban.
Upaya lain menekan laju
urbanisasi adalah optimalisasi pembangunan sektor pertanian di desa. Masih banyak
tanah kosong (lahan tidur) di desa yang belum sepenuhnya termanfaatkan untuk
pertanian. Sektor perdesaan dan pertanian merupakan pengguna investasi terbatas
yang lebih responsif dibanding perkotaan (Lipton and Vyas, 1981). Dengan
mengoptimalkan sektor pertanian, ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Di sinilah dibutuhkan political
will dan keseriusan dari pemerintah untuk lebih memperhatikan pembangunan
pertanian dan sektor-sektor industri berbasis pedesaan.
Upaya pembangunan desa
perlu dukungan dari pemerintah dan pengusaha dengan memberikan insentif pada
mereka untuk membangun daerah. Dana desa harus dioptimalkan bagi pengembangan
potensi kemajuan dan pembangunan kesejahteraan warga. Hal ini perlu diiringi
dengan peningkatan sumber daya manusia pedesaan sehingga mampu berkompetisi
dalam segala bidang, bukan hanya bekerja di sektor informal saja. Pada sisi
lain, kaum urban (khususnya pemuda desa) harus memiliki keyakinan bahwa ia bisa
suskes dan membangun kampung halamannya sendiri tanpa harus migrasi ke kota. Kembangkan
segala sumber daya dan potensi lokal yang ada untuk menciptakan pembangunan
yang mensejahterakan penduduk desa.
Selain itu, pemerintah
daerah perlu meningkatkan infrastruktur dan akses layanan publik di pedesaan
sehingga penduduk desa tak perlu ke kota dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Tak kalah pentingnya adalah revitalisasi program keluarga berencana (KB) untuk
menekan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi yang menjadi faktor laju
urbanisasi. Pertambahan penduduk usia produktif di perkotaan menjadi ancaman
tersendiri. Ketika yang datang adalah anak-anak muda usia subur, tanpa
pekerjaan dan akhirnya menikah tentu dapat melahirkan generasi miskin baru di
perkotaan. Jika semua hal itu konsisten dikerjakan pemerintah daerah dan pusat,
problem urbanisasi pasca lebaran, mungkin tak lagi menjadi momok menakutkan.
Oleh Sutrisno
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Dimuat di Harian
Republika Selasa 28 Juli 2015
Senin, 03 Agustus 2015
BEDO RUPO BEDO ROSO
Rejeki iku ora iso di tiru
Senajan podo lakumu
Senajan podo dodolanmu
Senajan podo kerjomu
Hasil sing ditompo bakal bedo
Iso bedo ning akehe bondho
Iso ugo ono ning roso lan ayeme ati
Yo iku sing jenenge bagiyo mulyo
Kabeh iku soko trisnane Gusti kang Maha Kuwasa
Sopo temen bakal tinemu
Sopo wani rekoso bakal gayuh mulyo
Dudu akehe nanging berkahe kang ndadekake cukup lan nyungkupi.
:)
Senajan podo lakumu
Senajan podo dodolanmu
Senajan podo kerjomu
Hasil sing ditompo bakal bedo
Iso bedo ning akehe bondho
Iso ugo ono ning roso lan ayeme ati
Yo iku sing jenenge bagiyo mulyo
Kabeh iku soko trisnane Gusti kang Maha Kuwasa
Sopo temen bakal tinemu
Sopo wani rekoso bakal gayuh mulyo
Dudu akehe nanging berkahe kang ndadekake cukup lan nyungkupi.
:)
Langganan:
Postingan (Atom)