NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Rabu, 22 Desember 2010

Ibu dan Peradaban Baru; Refleksi Hari Ibu 22 Desember

Jumat, 10 Desember 2010

Menuju Pendidikan Karakter

Published by Joglosemar / Kamis, 09-12-2010

- Sutrisno
Pemerhati pendidikan,
guru di SMPN 1 Wonogiri

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo siap meluncurkan program pendidikan berkarakter pada semester Januari mendatang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pun sudah selesai dibuat. Pendidikan berkarakter di Kota Solo akan mengarah pada pengembangan nilai-nilai budaya sebagai pembentuk karakter masyarakat, utamanya para generasi muda. Penanaman nilai budaya tersebut, ikut tertuang dalam kurikulum sekolah. Salah satu upaya konkretnya adalah dengan memberlakukan hari khusus bertutur bahasa Jawa dan penanaman budaya santun (Joglosemar, 4/10/2010).

Pada banyak momentum, kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya sangat menyambut program pendidikan karakter di Kota Solo, kota di mana saya tinggal. Apalagi, Kota Solo dikenal dengan kota budaya dan menjadi salah satu pusat pendidikan di Indonesia. Dengan adanya pendidikan berkarakter di Kota Solo, diharapkan bisa muncul lulusan dari beragam kualifikasi pendidikan yang mengenal karakter budaya Kota Solo. Paling tidak para generasi muda atau pelajar bisa rumongso atau rendah diri namun tetap mempunyai kemampuan intelektual yang andal.

Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respons atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Lantas, bagaimana upaya membangun pendidikan berkarakter di Kota Solo? Pertama, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter bagi anak. Jika keluarga gagal melaksanakan tugas tersebut, sekolah akan mengalami kesulitan untuk menangani anak didik. institusi keluarga memiliki tiga fungsi penting, yakni fungsi pendidikan, fungsi agama, dan fungsi ekonomi. Keluarga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter.

Kedua, kepala sekolah, pendidik (guru), dan tenaga kependidikan yang berkarakter. Yaitu orang-orang yang mampu menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang ke depannya akan menjadi teladan bagi para siswa.

Proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral. Pendidik yang menjunjung tinggi nilai moral akan mengutamakan nilai moral ketika berlangsungnya proses transformasi ilmu dan keterampilan kepada peserta didik. Pendidik harus dapat dijadikan panutan oleh peserta didik, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat. Melalui keteladanan itulah diharapkan siswa mampu menyerap dan menginternalisasikan apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari perilaku dan tindakan orang-orang di lingkungan sekolah ke dalam dirinya untuk kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

Ketiga, pihak sekolah perlu membuat semacam teknis pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter bisa dimasukkan menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan silabus, yang dikemas di dalam KTSP, model pendidikan karakter, apakah akan berdiri sendiri sebagai satuan mata ajaran, atau terintegrasi pada subjek ajar yang sudah ada. Misalnya pada mata pelajaran pendidikan agama, kewarganegaraan, ilmu budaya dan sosial dasar, dan sebagainya. Atau bisa masuk ke semua mata pelajaran. Serta membuat peraturan soal pendidikan karakter, misalnya: cara berpakaian, dilarang merokok, bertato, dan membawa barang-barang mewah dll.

Keempat, peran pemerintah. Di samping memberikan dana, maka ada banyak hal yang semestinya dibenahi antara lain: pemerintah harus berani menegur kepala sekolah yang bertindak diskriminatif, otoriter, dan menjadi raja-raja kecil yang tertutup, menindak tegas pelaku sogok pada saat penerimaan siswa baru, para guru yang terlibat suap, birokrasi sekolah yang menyusahkan rakyat miskin, dan pemberantasan pungli di lingkungan pendidikan dll.

Pengambilan kebijakan pemihakan terhadap pembangunan karakter secara konsisten ini mencerminkan karakter pemerintah yang sangat efektif dalam membangun kesadaran dan semangat pelaku pendidikan. Jika hal tersebut di atas berhasil dilaksanakan maka pemerintah akan semakin kuat legitimasinya sebagai garda depan dalam pembentukan karakter.

Kelima, melibatkan masyarakat secara penuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna karakter yang ingin dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai pemerintah yang eligible, berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam membangun pondasi program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya adalah orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. (***)

Memacu Kreativitas Menulis

Dimuat di Harian Solopos Edisi : Kamis, 25 November 2010, Hal.4

Sutrisno

Refleksi Hari Guru, 25 November 2010

Jika diamati, sebagian besar kegiatan guru di sekolah lebih berorientasi pada misi pendidikan dan pengajaran di kelas sedangkan visi dan misi ilmiah dalam bentuk penulisan dan publikasi ilmiah sering terabaikan.

Implikasinya, penulisan dan publikasi karya ilmiah di kalangan guru masih memrihatinkan. Hal ini ditandai dengan rendahnya produktivitas guru dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah, termasuk di dalamnya pemakaian bahasa Indonesia ragam tulis ilmiah.

Penulisan dan publikasi karya ilmiah yang dihasilkan oleh setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya hendaknya dijadikan ajang pengembangan keilmuan dan profesi yang ditekuninya. Namun, tidak tertutup kemungkinan, penulis karya ilmiah dapat menuliskan karya mereka semata-mata karena motivasi pengumpulan angka kredit atau atas permintaan masyarakat, seperti makalah untuk seminar atau pelatihan.

Hal-hal seperti itu sebaiknya tidak dijadikan motivasi utama dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah. Yang lebih esensial adalah misinya pada kecintaan serta kemampuannya dalam bidang keilmuan dan profesi yang ditekuninya.

Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literasi) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan.

Saat ini, disinyalir masih subur iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun. Hal ini tentu akan mempengaruhi pola berpikir individu. Jika siswa yang mempunyai visi, cara pandang dan pendapat yang berbeda dengan gurunya, ia akan mendapat perlakuan yang kurang baik, bahkan dicurigai, dikucilkan, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di era informasi modern sekarang harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per pekan apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara empat sampai enam jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi. Jika kegiatan membaca guru baik, dapat diasumsikan bahwa kreativitas dan produktivitas guru dalam melahirkan dan memublikasikan karya ilmiah juga akan meningkat. Ada hubungan yang signifikan antara kemampuan membaca dengan produktivitas menulis karya ilmiah.

Jika jumlah guru di Indonesia saat ini sekitar 1,5 juta orang, dalam setahun setiap guru menghasilkan satu karya ilmiah saja misalnya, berapa banyak informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Kita tidak usah berbicara ideal, dari jumlah guru, 10% saja menulis dan memublikasikan karya ilmiah, berapa banyak wacana keilmuan yang dapat diserap oleh masyarakat?

Idealnya, setiap karya tulis yang dihasilkan guru diorientasikan untuk dipublikasikan sehingga akan menggugah guru untuk selalu berkarya. Mereka inilah yang berkepentingan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta pemecahan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, akan diketahui peta karya ilmiah guru yang bersangkutan. Karya tulis dan publikasi ilmiah guru dapat dijadikan tolok ukur, indikator serta barometer kualitas dan keunggulan pendidikan (sekolah) yang bersangkutan.

Salah satu kendala yang dihadapi pengembangan ilmu di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang setiap tahun. Produktivitas buku atau majalah-majalah ilmiah di negara kita tidaklah sepadan dengan jumlah ilmuwan atau cendekiawan serta sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia. Hubungan antara penulis, penerbit dan pembaca merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, sering kali menjadi lingkaran setan bila salah satu di antara mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kendala lainnya adalah waktu penerbitan yang kedaluwarsa sehingga informasi dan wacana keilmuan yang termuat dalam publikasi tidak aktual lagi.

Pacu kreativitas

Hari Guru 25 November ini menjadi momentum untuk membudayakan menulis. Ada beberapa upaya memacu kreativitas guru dalam menulis dan memublikasikan karya ilmiah.

Pertama, membiasakan menulis dalam setiap kesempatan berdasarkan apa yang dibaca, dilihat, didengar, dirasa, maupun yang dialaminya. Tulisan ini dapat berbentuk pokok-pokok pikiran, outline (kerangka karangan), pernyataan-pernyataan, bahkan hanya menyalin ulang wacana yang dibaca beserta identifikasi rujukan. Dari kegiatan dan tradisi semacam ini akan didapatkan bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan dalam suatu penulisan.

Kedua, menumbuhkan motivasi serta keberanian menulis, bukan hanya untuk memperoleh angka kredit, apalagi penghargaan finansial. Menulis hendaknya merupakan suatu kebutuhan dan kecintaan kepada profesi yang ditekuninya. Oleh karena itu, guru hendaknya mampu mengomunikasikan berbagai tulisannya dalam berbagai forum ilmiah. Misalnya, forum akademik atau forum lain yang lebih luas, yang berfungsi sebagai media pengabdian.

Ketiga, menulis abstrak makalah dan mengirimkannya pada suatu penyelenggara seminar yang sering menawarkan. Dengan upaya ini, kemungkinan besar guru akan dapat berpartisipasi menyajikan makalah dalam forum seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah dan kegiatan sejenis lainnya.

Keempat, menulis artikel di media massa. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan menyesuaikan ragam bahasa yang diinginkan oleh suatu media penerbitan. Untuk jenis ini, digunakan ragam bahasa jurnalistik yang bersifat komunikatif dan mudah dipahami maknanya oleh pembaca yang lebih luas. Untuk membuat sebuah tulisan yang dapat dimuat di media massa ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan tidak sekali mengirim lalu tidak pernah lagi menulis dan mengirimkannya.

Kelima, menulis handout setiap pokok bahasan dalam setiap pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran yang telah disusun dan ditetapkan. Dari kegiatan ini akan diperoleh peluang untuk menghasilkan buku ilmiah yang dapat diterbitkan. Atau, dapat pula dalam setiap proses pembelajaran di kelas, guru melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Dari kegiatan seperti ini akan diperoleh gambaran kondisi pembelajaran di kelas/sekolah yang sebenarnya kemudian dilakukan pelaporan tertulis hasil penelitian di kelas. Di sini guru bertindak selaku pengajar sekaligus sebagai peneliti pembelajaran.

Keenam, menuliskan gagasan, pemikiran, serta temuan penelitian untuk siap dikirim ke media massa cetak mana pun. Tidak perlu menilai dan memilih apakah media itu bersifat lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. Akan tetapi, misi utama guru melakukan kegiatan seperti itu adalah meningkatkan kualitas dan produktivitas penulisan karya ilmiah.

- Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri

Rabu, 24 November 2010

Derita TKI, Kapan Berakhir?

Derita TKI, Kapan Berakhir?

Dimuat di Harian Joglosemar / Rabu, 24/11/2010

- Sutrisno
Pemerhati permasalahan TKI, guru di SMPN 1 Wonogiri

Kabar pilu kembali terdengar dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sumiati (23) yang berasal dari Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, adalah korban ke sekian dari kebiadaban sang majikan, keluarga Khaled Salem Al Akhmin, di Madinah, Arab Saudi. Luka berat menghiasi sekujur tubuhnya, bahkan bibir bagian atas digunting oleh majikan. Nasib tragis juga menimpa Kikim Komalasari, TKW asal Cianjur, Jawa Barat, tidak hanya dianiaya, tapi dibunuh tiga hari sebelum Hari Idul Adha oleh majikannya di Kota Abha. Tragisnya lagi, jenazah Kikim dibuang ke sebuah tong sampah umum (Joglosemar, 19/11/2010).

Muncul pertanyaan, kapan derita TKI di luar negeri segera berakhir? Dari berbagai temuan atas kasus buruh migran yang menjadi TKI, bahwa faktor utama di balik kasus ini adalah impitan ekonomi. Di samping itu, adanya stereotip konseptual yang berkembang bahwa keputusan menjadi TKI dipandang sebagai sebuah respons rasional atas kemiskinan di daerah asal. Akibatnya, stereotip tersebut telah melemahkan posisi TKI dalam seluruh proses aktivitas pasar internasional.

Buruknya posisi tawar pekerja tersebut diperparah dengan kebijakan penempatan tenaga kerja internasional yang tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat, untuk memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Dari situlah sesungguhnya menjadi wajar kalau kemudian aktivitas migrasi yang berlangsung terutama di negara-negara berkembang, bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka di dalam kegiatan pasar global terjamin secara politis maupun hukum.

Karena itu, sering kali keberadaan pekerja migran hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi. Ironisnya, sering kali aktivitas buruh migran tersebut tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan baik secara mikro maupun makro. Karena itu, jarang sekali dipikirkan kebijakan publik yang berpihak pada mereka. Realitas buruh migran dengan demikian menjadi sebuah realitas ekonomi politik yang benar-benar terlupakan.

Dalam realitas sederhana, pengangguran dan kemiskinan yang melilit negeri ini, membuat rakyat tertarik menjadi kuli di luar negeri. Dengan mental perkulian, keminderan, dan tidak dimilikinya keahlian dan kejuruan, lengkaplah syarat-syarat bagi TKW kita terjerumus ke dalam the dark slavery system. Ia menjadi hamba sahaya belaka di bawah kuasa para Tuan, Taoke, dan Majikan (Sri-Edi Swasono, 2004).

Penyiksaan hingga hilangnya nyawa TKI di luar negeri kerap terjadi tanpa ada solusi konkret dari pemangku kebijakan pemerintah dan perusahaan TKI. Data Migrant Care selama 2007 misalnya, menyebutkan TKW asal Indonesia kerap menjadi korban kekerasan di negeri tempat bekerja dan tersebar di sejumlah negara. Migrant Care mencatat selama 2007, mayoritas TKW Indonesia disiksa di negara Malaysia sebesar 39 persen, Arab Saudi 38 persen dan Kuwait 5 persen. Disusul di negara Yordania, Hongkong, dan Taiwan masing-masing 3 persen. Di samping itu di negara Amerika Serikat, Singapura, Bahrain, Brunei Darussalam, masing-masing 2 persen.

Tak bisa dipungkiri, lemahnya perlindungan dan rendahnya posisi tawar TKI di Negara-negara tempat mereka mengadu nasib, membuat posisi mereka selalu rawan penganiayaan. Anehnya, pemerintah kita pun selalu bergerak setelah keadaan TKI benar-benar di titik yang mengenaskan. Entah karena TKI kita yang terlalu banyak sehingga tidak terpantau semuanya, atau karena sebab lain, kita memang tidak tahu persisnya.

Perlindungan warga negara memang menjadi tugas pemerintahan secara keseluruhan. Tugas dan fungsi negara adalah mengatur dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan warga negaranya dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan bahkan kebodohan dan kemiskinan. Ketika satu warga kita dianiaya, semestinya negara all out memberikan pembelaan. Bukan malah saling tuding,sibuk membela diri dan membuat apologi. Wajar kalau masyarakat kita membandingkan kesungguhan pemerintah kita dengan negara-negara lain dalam soal perlindungan warga negara. Faktanya, kita masih kalah serius dari negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura atau Filipina.

Kita tidak mungkin mencegah mereka yang mencoba mendulang uang ke negeri seberang selama tidak mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja. Masalahnya, setelah berbagai kisah penyelamatan dan perjuangan memperoleh hak-hak yang seharusnya melekat dari pekerjaan mereka, bagaimana pemerintah menciptakan sistem pemanusiaan TKI. Lebih penting lagi menjalankan sistem itu dengan manajemen kontrol dan langkah hukum yang serius.

Pertama, negara secara mutlak memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Hal ini sesuai amanat UU UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Kedua, meningkatkan peran KBRI/Dubes RI supaya lebih tanggap dan sigap dalam menangani berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan TKI, termasuk profesionalitas dalam bidang diplomasi dan berhukum acara.

Ketiga, membuat perjanjian tertulis (perjanjian bilateral) yang jelas, tegas, dan saling menguntungkan dengan negara pengguna TKI. Perlindungan bagi TKI dalam perjanjian bilateral menunjukkan ketegasan dan keseriusan pemerintah dalam menangani para TKI. TKI pun akan merasa aman untuk bekerja di luar negeri. Mereka tidak perlu takut menjadi tumbal.

Keempat, dari TKW dan keluarganya, semoga terbangun kesadaran diri dalam meningkatkan daya tawarnya. Terjadinya proses belajar sosial di kalangan calon TKW dan keluarganya tampaknya merupakan sesuatu yang harus terjadi. Sehebat apa pun program dan langkah yang dikembangkan lembaga pemerintah beserta swasta tetap memerlukan upaya kondusif para TKW sendiri.

Terakhir, sudah saatnya dilakukan penataan kembali sistem perekrutan dan pengiriman TKI yang lebih manusiawi dan profesional. Tanpa itu, yang akan terjadi adalah TKI Indonesia hanya akan menorehkan noda di negeri-negeri seberang. Perlu disusun sebuah kebijakan besar yang mampu menangani TKI secara manusiawi, tertib, dan profesional. Semoga. (***)

Senin, 15 November 2010

Wanna get books??

http://search.4shared.com/search.html

Wanna share something?



http://www.addthis.com

Antivirus for Handphones

http://www.netqin.com/en/?coopid=1019

Minggu, 14 November 2010

Bis Tumpuk

BIS YANG SETIA MENGANTAR AKU KE SEKOLAH TEMPO DULU

Sabtu, 23 Oktober 2010

Semester Test Specification of PPB1

Mid Semester Test Specification of RSBI Grade VII

Mid Semester Test Specification of RSBI Grade VIII

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mewujudkan Kemandirian Pangan

Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 16/10/2010

Oleh Sutrisno
Pemerhati pertanian, guru di SMPN 1 Wonogiri

Tanggal 16 Oktober, diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day/HPS). Peringatan HPS Ke-30 Tahun 2010 diselenggarakan di Kebun Puyung, Kabupaten Tengah, Nusa Tenggara Barat. Adapun tema HPS 2010 adalah “Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan.”

Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan, 840 juta penduduk dunia mengalami kelaparan dan kurang gizi. Dari jumlah ini, sekitar 214 juta atau 26 persen mengalami konsumsi kalori amat rendah sehingga tidak mampu bekerja atau mengurus diri sendiri. Sekurang-kurangnya 50 persen penduduk rawan pangan adalah petani miskin di negara berpendapatan rendah dan mengelola lahan marjinal yang penuh risiko, 22 persen adalah masyarakat desa miskin yang tidak memiliki lahan, 20 persen masyarakat miskin perkotaan, serta 8 persen sisanya adalah peternak, nelayan, dan masyarakat perambah hutan.

Sekitar 50 juta sampai 1 miliar petani terperangkap kemiskinan (poverty trap), sehingga mereka tidak mungkin mengadopsi teknologi untuk memperbaiki produktivitas dan amat terisolasi dari pasar. Karena itu, amat diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi pangan di daerah yang berisiko lingkungan tinggi dan terpencil. Juga diperlukan upaya membuka lapangan kerja di luar perdesaan, termasuk agroindustri. Ini merupakan masalah global yang pelik sebab target Millennium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan 50 persen tahun 2015 sulit tercapai.

Sumber daya lahan merupakan aset yang paling vital dalam rangka pengadaan dan peningkatan produksi pangan. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa lahan yang tersedia dan yang dapat dipergunakan untuk pengadaan pangan sangatlah terbatas. Tanpa lahan yang cukup, produksi pangan akan sulit ditingkatkan sehingga persoalan kekurangan pangan akan tetap menjadi sebuah tragedi yang tak bisa dielakkan dan memilukan.

Tantangan pemerintah dalam pengadaan pangan selama ini, bukan saja terbentur pada faktor ketersediaan lahan subur yang terbatas, bahkan terus berkurang akibat proses alih fungsi dari semula lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, melainkan masih terdapat sederet permasalahan lain yang menjadi penyebabnya.
Upaya yang optimal dalam rangka memberdayakan lahan yang ada teramat sulit diwujudkan. Para pakar di bidang pertanian tidak mudah menemukan dan menerapkan varietas atau kultivar pangan unggul dengan tingkat produksi yang berlipat ganda. Serangan hama dan penyakit yang senantiasa mengancam aneka komoditas pangan setiap saat sangat sulit dikendalikan.

Demikian pula perubahan iklim yang tak menentu dan terjangan bencana alamm, adalah sederet penyebab nyata sulitnya meningkatkan produksi pangan pada posisi yang betul-betul mantap dan berkesinambungan selama ini. Terbatasnya sumber daya lahan bagi kepentingan pengadaan pangan dan bertambahnya jumlah penduduk menjadi tantangan serius bagi pemerintah.

Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri akibat peningkatan penduduk dihadapkan pada berbagai persoalan seperti infrastruktur perdesaan yang sangat minim, dan pemilikan lahan pertanian yang sempit. Produksi pangan yang dihasilkan oleh sekitar 21 juta rumah tangga petani berlahan sempit mempunyai aksesibilitas terbatas pada sumber permodalan, teknologi dan sarana produksi, sangat sulit untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi oleh pemerintah.

Kemandirian pangan masa depan harus dipenuhi terutama melalui perbaikan produktivitas. Saat ini masih terdapat kesenjangan antara produktivitas potensial dengan aktual di berbagai tempat, terutama di luar Jawa. Ke depan, diperlukan revolusi bioteknologi untuk memperbaiki sifat genetika guna meningkatkan produktivitas.

Lumbung Pangan
Namun demikian negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus mampu mandiri dalam bioteknologi tersebut, sesuai dengan kondisi lokal guna melepas ketergantungan terhadap benih yang saat ini dimonopoli oleh para pengusaha multinasional dengan harga mahal. Upaya-upaya tersebut harus disertai dengan investasi dalam perbaikan infrastruktur perdesaan, akses modal, peningkatan produktivitas di lahan-lahan marjinal, perbaikan mutu, gizi, perbaikan kualitas lahan dan irigasi, rekayasa bibit unggul, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, modernisasi pascapanen, budidaya kian hemat lahan, input dan air, serta riset.
Dimasyarakatkannya program diversifikasi (penganekaragaman) produksi pangan secara nyata juga akan ikut mendukung berhasilnya upaya mewujudkan ketahanan pangan. Tidak hanya di tingkat masyarakat namun juga secara nasional. Dalam hal ini, pemerintah semestinya mampu memacu para petani dan peternak guna meningkatkan pengelolaan sumber daya lahan yang ada melalui intensifikasi dan diversifikasi.

Untuk meningkatkan kemandirian pangan di masyarakat, pengembangan lumbung pangan (lumbung desa) merupakan salah satu pilihan terbaik dan patut dijadikan harapan bagi pemerintah. Lumbung desa sebagai lembaga pengelola simpan pinjam gabah di desa misalnya, akan merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat desa untuk sumber mencukupi kebutuhan pangan, terutama saat paceklik atau kebutuhan yang mendesak.
Peran aktif masyarakat perdesaan dalam rangka mengembangkan cadangan pangan melalui lumbung desa bisa diharapkan akan mendukung mantapnya ketersediaan dan ketahanan pangan dalam skala nasional. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa dan rumah tangga yang nyata untuk mewujudkan ketahanan pangan, tentunya pemerintah perlu memperhatikan dan mengembangkan serta menggairahkan kembali kehadirannya dengan penanganan yang lebih profesional.

Memang, demi terwujudnya kemandirian pangan yang mantap dan dinamis, pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri. Pemerintah harus berkoordinasi secara lintas sektor dan lintas departemen serta masyarakat luas, agar mereka benar-benar mampu berpartisipasi mewujudkan kemandirian pangan. (***)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Spiral Kekerasan di Negeri Plural

Dimuat di Harian Solopos / 2 Oktober 2010

- Sutrisno, S.Pd.

Kerusuhan menyergap Jakarta dan Tarakan, Kalimantan Timur di hampir waktu yang bersamaan. Di Ibu Kota, tiga orang tewas dan sekitar sepuluh orang luka. Sedangkan di Tarakan, lima nyawa melayang. Dua peristiwa berdarah itu menyajikan ketegangan dan menakutkan, dan sangat mungkin memunculkan trauma yang sulit sembuh. Di layar kaca dan sejumlah media cetak, masyarakat bisa menyaksikan dan membaca betapa para pelaku begitu leluasa memamerkan keberingasannya.

Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu. Sejarah kekerasan bangsa ini beruntai-untai. Turun-temurun, sambung menyambung, nyaris tanpa henti. Mulai dari Ken Arok, Amangkurat I, pembantaian 1965, kasus Aceh, kasus 27 Juli, kasus penghilangan aktivis, kasus Maluku, kasus Ambon, Abepura Sampit hingga kasus Poso dan lain-lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.
Berbagai peristiwa kekerasan itu kian membenarkan kajian Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (Roots of Violence in Indonesia: 2002) yang menyebut Indonesia sebagai negeri kekerasan (violent country).

Pertanyaan yang penting untuk dibahas adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Dan, apakah lemahnya peran negara adalah faktor utama pemicu munculnya kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini? Dua pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Setidaknya, merujuk pada berbagai kejadian dan pelbagai sumber literatur, maka gambaran singkat yang dapat dilukiskan adalah sebagai berikut.

Pertama, posisi negara makin terancam oleh karena terjadi mobilisasi kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu. Seperti dikatakan Azar (dalam Miall, et.al., 2002) bahwa ketidakpuasan kelompok-kelompok warga seringkali menjadi sumber konflik. Berbagai studi telah dilakukan untuk mencoba memahami bagaimana kelompok-kelompok yang tidak puas berusaha mengartikulasi keluhan-keluhan mereka dan melakukan mobilisasi untuk menentang para pemegang otoritas dalam persoalan tertentu.

Penelitian Ted Robert Gurr (1993), misalnya, menyatakan bahwa faksi-faksi di dalam suatu negara entah itu kelompok etnis, sekte militan, separatis, atau lainnya dapat secara bertahap menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi-kondisi tertentu. Pernyataan ketidakpuasan para kelompok di dalam masyarakat itu dapat berupa protes secara damai, protes dengan kekerasan dan perusakan, pembangkangan, hingga pemberontakan bersenjata.

Kedua, kekerasan, dalam perspektif lain, dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin faksi di dalam suatu negara untuk mengeksploitasi suasana pluralitas bagi kepentingannya/kelompoknya/golongannya dengan cara menggalang dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan dan Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang berkepentingan mengeksploitasi perbedaan dalam rangka untuk memperoleh dukungan massa.

Ketiga, kekerasan juga sangat mungkin terjadi oleh terjadinya crisis of governability (krisis kepemerintahan). Krisis kepemerintahan yang berkait dengan krisis legitimasi ditandai oleh proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara). Kedua proses ini, menurut Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis (1975), diliputi “Negara” yang semakin terbelenggu oleh dikotomi sektor publik dan privat: di mana sektor privat makin menentukan proses akumulasi modal.

Memang, ketidakadilan dan penindasan sebagai kekerasan struktural tidak selalu menjadi pemicu. Dalam realitasnya, kekerasan lebih merupakan lingkaran setan yang sulit dilacak ujung pangkalnya. Abd A’la (2010) menegaskan, sekali waktu, kekerasan kultural menjadi trigger dan pada kali yang lain kekerasan langsung sebagai ujung spiral of violence. Namun, dalam dunia modern, asal-usul spiral kekerasan terutama di Indonesia berawal dari struktural dan kekerasan fisik langsung yang dilakukan negara. Hal itu dapat dilacak dari pemerintahan Hindia Belanda, rezim Orde Lama, hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai derajat tertentu terus berlangsung hingga saat ini. Eksploitasi kekayaan Nusantara dan manusianya yang dilakukan penjajah, demokrasi terpimpin Soekarno hingga pembangunanisme Soeharto menjadi sedikit bukti tidak terbantahkan atas keberlangsungan kekerasan struktural.

Menyikapi kekerasan struktural itu, masyarakat pada awalnya diam karena tidak berdaya. Namun, emosi mereka tentu tidak pernah mati. Kekerasan bertubi membuat mereka bak timbunan rumput kering yang mudah tersulut. Dalam kondisi yang benar-benar tidak berdaya, akhirnya mereka secara reflektif melawan. Kekerasan struktural juga dapat berimbas pada terjadinya konflik horisontal. Umumnya disebabkan karena penerapan kebijakan yang tidak adil, segregatif, yang memicu jurang perbedaan yang luas di antara golongan masyarakat.

Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Celakanya, konflik paling laten di di negeri ini selalu berwarna suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Padahal, secara teoretis, apa susahnya membangun harmoni sosial, toleransi, dan konsensus. Indonesia bisa belajar dari banyak negara majemuk lainnya. Amerika Serikat, sebagai contoh, adalah negara yang mampu membangun harmoni sosial secara matang.

Negeri Paman Sam ini dikenal sebagai bangsa plural. Penduduknya berasal (bermigrasi) dari berbagai bangsa di lima benua plus penduduk “asli” (Indian). Beragam warna kulit, agama, bahasa ibu, tradisi, dan kebiasaan lama akhirnya bercampur menjadi satu dalam semangat Keamerikaan. Walaupun dari dalam terdiri dari banyak entitas, akan tetapi ke luar mereka tampil sebagai bangsa Amerika. Belajar dari Amerika, barangkali kesulitan Indonesia membangun harmoni sosial karena belum dewasanya rakyat kita dalam menjalani proses kehidupan nasional.

Berdasar pada penyelidikan beberapa kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi yang terjadi sebelumnya. Ideologi agama, frustrasi sosial, ketidakadilan yang meluas, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan.

Bagaimanapun kekerasan harus dihentikan. Pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan yang terjadi di negeri ini. Pemerintah harus memiliki solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk meredam kekerasan. Untuk jangka pendek, misalnya, dengan bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan. Karenanya, yang dibutuhkan negara saat ini, tidak lain adalah ketegasan dan keberanian untuk mengambil keputusan dan tindakan. Tanpa ketegasan dan keberanian ini, negara akan selalu dianggap sepele dan remeh oleh masyarakatnya yang semakin hari semakin kuat dan beringas.

Dalam jangka panjang, berbagai faktor penyebab konflik dan kekerasan harus diberantas dan berbagai ketidakadilan di berbagai bidang harus segera diselesaikan pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Terakhir, menggugah kesadaran masyarakat bahwa kita hidup dinegeri yang majemuk yang menghargai pentingnya kerukunan dan keharmonisan.

*) Guru SMP Negeri 1 Wonogiri

Jumat, 24 September 2010

Reshuffle Kabinet, Ya atau Tidak?

Dimuat di Harian Joglosemar / Jumat, 24/09/2010

- Sutrisno

Penulis adalah pemerhati
masalah sosial dan politik,
guru di SMPN 1 Wonogiri, tinggal di Solo

Isu bakal dilakukannya reshuffle kabinet pada Oktober 2010 semakin berembus kencang. Isu reshuffle kali pertama dilontarkan anggota Dewan Penasihat Partai Demokrat Ahmad Mubarok. Tentu saja isu dari orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyno (SBY) itu menjadi bola panas di sekitar partai politik yang memiliki “saham” menteri di kabinet.

Tak mengherankan jika bola panas yang dilempar oleh salah satu petinggi partai yang berkuasa itu menyengat sebagian partai politik (Parpol) koalisi yang langsung bereaksi, mulai dari yang lembut sampai yang keras. Umumnya petinggi-petinggi Parpol anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) yang menterinya terkena rapor merah menuding Ahmad Mubarok mengada-ada dan mendahului sang pemilik hak prerogatif, yaitu Presiden SBY. Sebagian lagi tentu ada yang mengamini dan diam-diam berharap agar Ahmad Mubarok benar, karena berarti ada kesempatan buat partainya menambah posisi di kabinet.

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto, sudah menyerahkan hasil evaluasi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II untuk periode Juli-Agustus (Jawa Pos, 9/9/2010). Pada evaluasi kabinet sebelumnya, Kuntoro memaparkan bahwa hingga Juni 2010 terdapat sekitar 49 rencana aksi dari 369 rencana aksi para menteri yang hasilnya mengecewakan. Dari sekian banyak program yang dijalankan para menteri, sejumlah 58 program dinilai sangat memuaskan, 235 program memuaskan, dan 15 program dinilai kurang memuaskan.

Adapun laporan UKP4 menyatakan terdapat lima kementerian dan lembaga mendapatkan rapor merah, belum memenuhi target. Di antaranya, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal). Namun, di lapangan kita melihat masih banyak kementerian lainnya yang juga tidak bekerja optimal, seperti Kesehatan, Tenaga Kerja, Sosial dll. Rakyat semakin merasakan kesulitan dalam hidup dan kehidupan.

Angka pengangguran semakin memprihatinkan, sulitnya mendapatkan akses kesehatan, dan tingginya penyakit sosial di masyarakat. Sepertinya program pro-rakyat hanya di mulut saja, karena dalam realisasinya rakyat merasa hanya dijadikan objek belaka. Lihat saja program pengalihan kompor minyak tanah ke gas yang hanya melahirkan banyak korban berjatuhan, sehingga rakyat kecil kini lebih memilih (kembali) menggunakan kayu bakar ketimbang kompor gas yang rawan meledak.

Pertanyaannya sekarang, akankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menindaklanjuti laporan dari UKP4 untuk me-reshufle kabinet? Perombakan kabinet merupakan suatu yang biasa dan menjadi hak prerogatif presiden. Reshuffle biasanya terjadi dengan tujuan penyegaran, perbaikan kinerja kabinet, atau karena ada anggota kabinet yang melanggar hukum dan telah memperoleh putusan hukum tetap.

Hemat kita, laporan UKP4 perlu menjadi bahan masukan bagi Presiden SBY untuk melihat kinerja masing-masing pembantunya. Apalagi kalau masanya sudah hampir setahun Oktober 2010. Namun perlu kita ingatkan jangan sampai Presiden melakukan blunder melakukan pergantian menterinya hanya karena desakan Parpol. Kalau memang kinerjanya buruk, rapornya merah diganti, pasti mendapat dukungan dari rakyat. Tapi, jangan mengganti menteri karena tidak mendukung kebijakan pemerintah yang dinilai salah atau tidak pro-rakyat.

Menyedihkan
Kalau reshuffle dilakukan karena faktor bargaining politik, ini tentu sangat menyedihkan dalam tata pemerintahan kita. Karena para menteri bekerja untuk rakyat dan bukan untuk para politisi yang tergabung dalam parpol. Dukungan politik harus bisa dibedakan dengan dukungan kinerja yang dilakukan para menteri. Kalau reshuffle hanya berdasar kalkulasi dukungan politis kepada Presiden SBY, maka ini sangat tidak bisa diterima secara objektif dan patut dipertanyakan.

Tapi sebaliknya, kalau memang alasan reshuffle menteri adalah karena bermasalah di kecakapan kinerja berdasar evaluasi yang terukur, maka reshuffle itu hal yang wajib dilakukan. Jika sejak dini Presiden SBY memang menemukan ketidakbecusan bekerja di kalangan pembantunya, maka cara yang jitu memang harus mengganti yang bersangkutan. Penggantian karena alasan ini akan berdampak positif bagi rakyat.

Presiden harus mengambil tindakan terhadap hasil evaluasi UKP4 tersebut. SBY tentu dapat menentukan tindakan yang pas dan tepat terhadap menteri yang rapornya merah. Dengan demikian, hasil evaluasi UKP4 bukan sekadar basa-basi. Para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu II juga tidak menganggap hasil evaluasi UKP4 sebagai angin lalu, tetapi menjadi cambuk untuk bekerja lebih keras lagi. Pada sisi lain, partai politik atau menteri yang mendapat nilai merah dari lembaga pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu dengan legawa mengapresiasinya. Tidak perlu melakukan manuver yang bertujuan mempertahankan kader di kabinet.

Tindakan konkret Presiden SBY juga perlu, agar isu reshuffle tidak terus menggelinding yang membuat situasi politik semakin panas dan tidak kondusif. Presiden SBY harus berani mengambil langkah lebih maju agar dengan sekali pukul, persoalan bangsa dapat teratasi secara mendasar. Karena politik pada dasarnya adalah upaya tertinggi untuk menyejahterakan rakyat. Maka siapa pun anak bangsa yang baik, dia berhak mendapat posisi politik dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat.

Tanpa itu, para menteri yang disebut-sebut mendapat rapor merah tidak akan bisa bekerja dengan tenang dan baik. Mereka akan terus-menerus digoyang dengan isu reshuffle. Publik menginginkan para menteri bekerja maksimal untuk merealisasikan janji-janji kampanye SBY-Boediono saat pemilihan presiden (Pilpres) 2009 lalu, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat. (***)

Membaca kemenangan Danar

Dimuat di Harian Solopos Edisi Sabtu, 18 September 2010 , Hal.4

Mencermati perkembangan grafik perolehan suara di Pilkada Kabupaten Wonogiri, pasangan nomor urut 4 yang diusung PAN, PPP dan Gerindra dipastikan akan unggul sampai KPU Kabupaten Wonogiri kelak menetapkan secara resmi perolehan suara masing-masing kandidat.

Hasil sementara sampai Jumat (17/9) pukul 14.50 24 WIB menunjukkan pasangan Sumaryoto-Begug 28,09%; Sutadi-Paryanti 19,49%, Mulyadi-Edy 12,10% dan Danar-Yuli 40,32%.

Hal ini sungguh mengherankan sekaligus menyajikan wacana baru tentang Pilkada di Kabupaten tersebut. Betapa tidak, pasangan yang diusung oleh partai relatif kecil, tetapi mampu mencapai kemenangan mutlak. Sementara, pasangan nomor urut 1 (Sumaryoto-Begug Poernomosidi), petahana (incumbent) yang diusung partai besar justru terpuruk. Padahal, kedua partai pengusung (PDIP dan PKS) dikenal sebagai partai dengan soliditas struktur dan kader yang militan tetapi justru rontok.

Terdapat beberapa hal yang dapat dibaca dari kemenangan Danar. Pertama, secara personal Danar merupakan sosok yang memiliki jaringan tradisional dengan para pemilih. Seperti telah diketahui, bahwa pada Pilkada lima tahun lalu, Danar kalah telak oleh pasangan incumbent (Begug-Sumarmo). Namun demikian, kekalahan ini tidak menyurutkan Danar untuk menggunakan sebagai pelajaran sekaligus investasi politik. Sejak itu, Danar dengan sabar memelihara para pemilihnya dengan cara tradisional tetapi familier. Tokoh ini kemudian dikenal sebagai orang yang entengan untuk mengisi pengajian di desa-desa, menyambung silaturahmi dengan mengunjungi mereka yang punya kerja, bahkan bersedia untuk menjadi pembawa acara dalam acara hajatan di pedesaan.

Hal ini merupakan investasi dan buah pelajaran yang mungkin dipetik dari Begug yang saat itu mengalahkannya. Begug dikenal rajin dan tak sungkan blusukan ke dapur warga secara familier saat tilik desa. Hal-hal tersebut sudah tentu sekaligus menjadi investasi politik dengan melebarkan sayap “perkenalan” meskipun dari pinggiran.

Hal sangat brilian, yang justru tidak dilakukan kandidat lain, secara intensif meskipun nonformal, Danar sabar menjalin komunikasi dengan para pamong desa. Hal ini mungkin dilandasi bahwa selama itu Danar sadar tidak memiliki jaringan masif sampai menyentuh grass root. Nyatanya, hal ini berhasil. Faktor jaringan yang dimiliki Danar jauh lebih solid meskipun bergerak tak kentara. Siapa menyangkal bahwa para pamong ini justru memiliki akses langsung dengan masyarakat bawah dibandingkan dengan tim instan yang cenderung elitis dimiliki para kandidat.

Kedua, faktor eksternal yang secara keseluruhan menguntungkan Danar. Siapa pun tidak menyangkal kepopuleran pasangan nomor urut 1 (Sumaryoto-Begug) yang semula diprediksi menjadi rival terberat Danar. Namun kepopuleran tersebut runtuh dengan nalar psikologis orang Jawa yang mungkin luput dari pemikiran para pengusungnya.

Seperti diketahui bahwa pada mulanya pasangan yang mendaftar melalui PDIP adalah Sumaryoto-Suprapto, Mulyadi-Begug Poernomosidi dan Kirno Sulieh-Edy Purwanto. Akan tetapi DPP PDIP memberikan restu kepada Sumaryoto-Begug; pasangan yang dikenal luas kurang akur secara personal. Seorang Bupati yang rela mencalonkan diri lagi sebagai wakil bupati karena tidak mungkin maju untuk kali ketiga.

Faktor kepopuleran Begug mungkin yang menjadi pertimbangan DPP PDIP untuk merestui pasangan nomor urut 1 tersebut. Tetapi, Begug yang dikenal sangat njawani itu terperosok pada filosofi rendah hati orang Jawa. Apa kata orang Jawa ketika orang yang semestinya berhenti untuk menjadi orang tua yang dihormati tetapi nekat maju sebagai penguasa? Masyarakat Jawa membacanya sebagai “keserakahan” yang tidak layak untuk didukung. Dan ini terbukti! Dukungan Begug merosot drastis. Belum lagi ditambah faktor-faktor khusus yang kemudian entah benar atau tidak, dimainkan sebagai isu yang menjatuhkan Begug. Misalnya, Begug hendak membangun panggung hiburan di Alun-alun Kabupaten yang ramai menjadi kontroversi berpekan-pekan.

Sementara itu, kelambatan tunjangan sertifikasi guru yang sebenarnya jauh di luar kewenangan bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Begug sebagai Bupati, tetapi lagi-lagi isu ini menjadi senjata yang tiba-tiba beredar di kalangan para guru bahwa Begug mengecewakan guru karena tidak memperjuangkan haknya. Jika 50% saja guru termakan isu ini maka terdapat ribuan guru yang kecewa yang kekecewaan itu merembet ke keluarga dan lainnya.

Faktor eksternal lain adalah jenuhnya para birokrat terhadap kepemimpinan Begug. Meskipun tidak dapat dijelaskan secara meyakinkan tentang hal yang menjadi kejenuhan itu, tetapi hal ini terasa menyebar. Indikasinya jelas terasa pada safari Ramadan yang dilakukan Sang Bupati. Kehadiran Bupati dalam acara tarawih keliling tidak selalu didukung penuh dengan kesertaan lengkap para birokrat.

Meskipun mereka dalam keadaan wait and see, jelas ini merupakan awal sikap untuk meninggalkan Begug. Sikap ini sepertinya menjadi sikap simpati atas tersingkirnya Suprapto yang mantan Sekda Kabupaten Wonogiri yang pencalonannya dianggap terganggu dengan kehadiran Begug. Padahal, telah diketahui umum bahwa selama menjabat, Suprapto dikenal sebagai tokoh sabar yang dikenal luas dan sangat dihormati oleh para PNS Wonogiri.

Faktor eksternal

Faktor eksternal yang turut menjadi berkah kemenangan Danar adalah pecahnya Koalisi Bersih yang dimotori Golkar, PKS dan Demokrat. Ketika akhirnya Demokrat mampu menggalang partai lain untuk mengusung pasangan Mulyadi-Edy, kehadiran mereka jelas menggerus suara Sumaryoto-Begug tetapi tidak mengurangi suara tradisional pasangan Danar.

Kehadiran PKS yang merapat PDIP pun tidak menolong menguatnya dukungan pada pasangan Sumaryoto-Begug. Penjelasannya, massa PKS belum bisa menerima Begug dengan alasan apapun. Bukankah selama ini para petinggi PKS dikenal paling keras menyoroti sikap Begug yang dianggap terlalu sinkretis atas nama budaya dengan acara labuhan sesaji, ruwatan, wayangan dan sejenisnya yang selalu diadakan dalam acara besar-besaran?

Nah, pada Pilkada akhirnya terbukti, kantong-kantong PKS tidak solid mendukung pasangan yang diusung PKS. Pada gilirannya, massa PKS itu menjatuhkan pilihan ke Danar sebab lima tahun lalu, mereka mati-matian mengusung Danar. Pilihan mengusung Begug oleh para elite PKS dianggap mengkhianati perasaan kader bawah. Lengkap sudah semua keberuntungan itu menjadi durian runtuh ke kubu Danar.

Yang aneh tentunya, pertanyaan ke mana pula arah massa PDIP. Melihat dari perolehan suara, jelas mereka sebagian besar ke Danar. Mengapa? Agaknya terjadi kesulitan komunikasi untuk memberi penjelasan yang rasional kepada massa PDIP tentang kehadiran Begug. Penjelasannya kembali ke awal tulisan ini. Adalah rasa psikologis orang Jawa, bahwa Begug seorang penguasa yang belum legawa, tidak memiliki rasa penerimaan (nrima) dan kemudian dinilai tidak layak didukung.

Hikmah terbesar bagi yang kalah, terutama PDIP dan PKS, bahwa betapapun solid dan rapinya struktur, mereka tidak bisa mengingkari bahkan meninggalkan perasaan massa pendukung. Ketika segala keputusan yang diambil meninggalkan nuansa kebatinan para pendukung, justru para pendukung itu menghukumnya dengan nyekekerke para elite dan petinggi partai. Hal ini menunjukkan pula bahwa masyarakat memiliki kecerdasan politik, yang hak serta kewenangan politiknya tidak bisa dikalahkan dengan kesertaan atau keanggotaan jika memang kata hatinya sulit untuk didamaikan dengan kenyataan. Wallahualam. - Oleh : Ki Lebdo Carito (Parman Hanief)

Rabu, 18 Agustus 2010

http://www.scribd.com/doc/36049743

http://www.scribd.com/doc/36049400

Minggu, 27 Juni 2010

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang by Parman Hanief

Dimuat di Harian Solopos Edisi Jum'at, 25 Juni 2010 , Hal.4

Ilustrasi dakwah dalam cerita wayang

Telah diyakini banyak peneliti bahwa antara Islam di Jawa dengan wayang memiliki hubungan yang demikian erat. Hubungan saling memengaruhi ini kemudian bermuara pada hasil gemilang Islamisasi.

Unik sekaligus mencengangkan. Unik dalam pengertian betapa yang jauh bisa didekatkan, antara wayang yang bersumber dari tradisi Hindu tetapi memberi manfaat dalam penyebaran dakwah (Islam). Mencengangkan dalam pengertian begitu cerdasnya para pendahulu dakwah di tanah Jawa ini dalam mengislamkan wayang.

Hal ini terbukti dalam satu fakta—di antara fakta lain—bahwa kita yang secara geografis jauh dari pusat Islam, tetapi begitu terbuka menerima Islam tanpa melalui penaklukan atau jalan kekerasan. Sehinggga, dari sejarah yang demikian dapat disimpulkan bahwa memang Islam di Indonesia memiliki stereotip tersendiri yaitu agung dengan toleransi!

Dalam hal wayang, begitu tampak ruh Islam yang mengalir tidak saja dalam penciptaan wujudnya tetapi juga karakter tokoh sampai pada penceritaannya. Kearifan cerita wayang dapat mendukung masyarakat kita untuk menerima dakwah dengan nyaman, khususnya kalangan awam. Mengapa demikian? Karena wayang seperti darah yang mengalir di tubuh alam bawah sadar masyarakat awam itu. Ketika dengan cermat pendakwah bisa menunjukkan bahwa hal tersebut sejalan dengan misi Islam, dengan rela hati mereka menerima konsep Islam itu sebagai kebenaran.

Pernyataan ini mungkin masih bisa diperdebatkan, tetapi sepanjang pengalaman penulis maka demikianlah adanya. Salah satu contoh ketika kita membahas hukuman mati. Islam jelas mengakui dan melembagakan ini sebagai media pendidikan umat menuju jalan terbentuknya masyarakat utama, tetapi kultur masyarakat kita memandang sebagai sebuah tindakan kejam yang tidak manusiawi. Bagaimana seorang pezina harus dirajam, pencuri dipotong tangan dan seterusnya, adalah gambaran kengerian yang kadang menimbulkan keraguan, demikiankah agama mengajarkan?

Cobalah kita ikuti cerita wayang ini. Dikisahkan, Maharesi Jamadagni telah menikah dengan Dewi Renuka. Perkawinan ini membuahkan lima orang putra, yaitu Rumawan, Susena, Wasu, Wiswawasu dan Rama Bargawa. Suatu hari, Dewi Renuka berbuat serong dengan Prabu Citrarata dari Kerajaan Martikawata. Meskipun penyelewengan ini dirahasiakan, karena ilmu tinggi yang dimilikinya, Begawan Jamadagni bisa tahu apa yang sudah terjadi.

Segera dipanggilnya kelima anaknya dan di hadapan mereka Dewi Renuka diminta mengakui perbuatannya. Setelah wanita cantik itu memberi pengakuan, Maharesi Jamadagni memerintahkan kepada Rumawan untuk membunuh ibunya sebagai hukuman. Anak sulung itu menolak perintah. Demikian pun adik-adiknya yang kedua, ketiga dan keempat; semuanya menolak. Karena penolakannya itu, mereka dikutuk menjadi gila.

Nurani

Sampailah perintah itu pada anak yang kelima. Bargawa menerima. Dengan senjata kapak, ia penggal kepala ibunya sebagai hukuman. Atas kesediaannya itu, ayahnya menawarkan sejumlah permintaan dan pasti akan dikabulkan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bargawa. Maka, Bargawa minta kepada ayahnya lima hal. Pertama, ia minta agar ibunya dihidupkan kembali. Kedua, agar semua dosanya (termasuk membunuh ibunya) diampuni. Ketiga, agar semua saudaranya yang telah menjadi gila kembali menjadi pulih seperti sedia kala. Keempat, agar mereka sekeluarga lupa atas peristiwa yang baru mereka alami. Kelima, Bargawa minta kesaktian yang tak tertandingi.

Semua permintaan itu dikabulkan. Kecuali permintaan kelima, Bargawa memang sakti dan tak tertandingi, tetapi kelak ia pun akan kalah jika berhadapan dengan manusia titisan Wisnu. Mari kita coba renungkan dan pikirkan sejenak. Bukan materi cerita yang kita renungkan. Tetapi pesan cerita itu yang menjadi hakikat penceritaan tentang perzinahan dan hukum mati.

Dalam Islam, telah jelas hukuman bagi pezina. Untuk kasus seperti cerita Dewi Renuka itu dalam terminologi agama disebut zina muhsan. Sebab, pelaku perzinahan telah bersuami. Hukuman bagi mereka adalah rajam sampai mati. Umar bin Khatab mengingatkan: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan hak, dan menurunkan kepada beliau kitab suci. Salah satu yang diturunkan adalah ayat tentang kewajiban rajam (melempar pezina yang telah kawin hingga meninggal). Kami telah membaca ayat itu dan memahaminya, dan Rasul SAW pun telah pernah merajam, dan kami pun demikian. Saya khawatir, bila masa berkelanjutan ada orang yang berkata, kami tidak menemukan hukum rajam dalam Alquran, sehingga ia sesat akibat mengabaikan kewajiban yang ditetapkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam adalah hak yang dijatuhkan terhadap siapa yang berzina baik lelaki maupun perempuan, apabila ia telah menikah dan jika bukti telah tegak, atau kehamilan yang disertai pengakuan. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir orang berkata Umar menambah sesuatu dalam Aquran, maka pasti aku menulisnya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain).

Menurut keterangan Quraish Shibab, ayat yang dimaksud Sayidina Umar tersebut adalah, “Lelaki yang telah kawin dan perempuan yang telah kawin, apabila mereka berzina, maka rajamlah mereka berdua secara pasti, akibat mereka telah meraih kelezatan (secara tidak syah)” (HR Ibn Hibban melalui Ubayy Ibn Ka’b).

Jika ayat tersebut atau hadis tersebut disampaikan begitu saja-–dan memang begitulah adanya, sesuatu yang hak lebih berhak disampaikan sebagaimana adanya—kelemahan jiwa manusia akan gelisah. Sebab akan membayangkan, seseorang yang dibenam ke dalam tanah sebatas leher, kemudian setiap orang yang lewat harus menderanya dengan melempar batu sampai seseorang tersebut meninggal. Kejam, darah dan betapa mengerikan hukuman itu. Belas kasihan memang anugerah, tetapi kelemahan manusia akan membawa belas kasih kepada apa yang akan dilihat dan sering melupakan sebab apa ia harus dijatuhi hukuman mati itu.

Di sinilah pertarungan nurani itu muncul. Padahal sesungguhnya, sebuah hukuman, sampai halnya hukuman mati, adalah hakikat kehidupan itu sendiri. Alquran menerangkan, “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). Bagaimana menerangkan hakikat ini kepada masyarakat awam?

Saya pikir, kisah Dewi Renuka tersebut adalah sebuah kearifan cerita wayang yang secara konkrit menggambarkan sesuatu yang abstrak bahwa dalam hukuman mati ada kehidupan! Renuka harus dihukum mati karena ia pezina muhsan, dan dengan demikian ia memperoleh kehidupan yang diwadakkan dengan permintaan putranya agar ibunya dihidupkan kembali. Masih banyak kisah kearifan wayang yang dapat kita gunakan untuk mengilustrasikan beberapa ajaran Islam dan dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.

- Oleh : Parman Hanief Pemerhati budaya Direktur SDIT As Salamah Baturetno Wonogiri

Melawan Narkoba belum Selesai!

Melawan Narkoba belum Selesai!

Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 26/06/2010

- Sutrisno

Disinyalir sejak tahun 1960-an, narkoba merajalela di seluruh dunia bagaikan wabah, jumlah pemakainya semakin banyak dan menimbulkan masalah sosial yang semakin serius. Untuk menangani bahaya narkoba, sejak tahun 1987, Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan setiap tanggal 26 Juni sebagai International Day Against Drug And Illicit Trafficking atau yang kita kenal sebagai Hari Anti-Narkoba Internasional (HANI). Tanggal itu merupakan momentum besar dalam sejarah peperangan melawan narkoba dan diperingati oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia.

Tema Hari Anti-Narkotika Internasional tahun 2010 adalah Think Healthy without Drugs (Berpikir Sehat tanpa Narkotika). Napza (narkotik, psikotropika, dan zat adiktif) atau yang biasa kita kenal dengan nama narkoba merupakan musuh lama masyarakat. Sayangnya “penyakit” ini makin populer di kalangan remaja, bahkan anak-anak.

Data di United Nations Office on Drugs an Crime (UODC) atau badan PBB yang menangani obat-obatan terlarang dan kejahatannya menyebutkan, hampir 200 juta orang memakai narkoba. Perinciannya, pemakai mariyuana hashis 162 juta, amphetamine methamphetamine dan ekstasi 35 juta, opium, morfin, dan heroin 16 juta, serta pemakai kokain 13 juta.

Narkoba sudah menjadi musuh masyarakat global. Namun realitas lain juga tak kalah mengerikan, betapa narkoba sudah merupakan bagian dari jaringan bisnis global. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), omzet peredaran narkoba dalam satu tahun diperkirakan mencapai Rp 20 triliun. Nilai nominal peredaran narkoba itu belum termasuk biaya pengobatan (rehabilitasi) dan dampak sosial terhadap korban serta keluarganya yang bisa mencapai Rp 50 triliun. Sebuah jumlah yang mampu membuat bangsa ini lebih maju.

Beberapa waktu yang lalu, jajaran Polda Metro Jaya dan Polda Jateng berhasil mengungkap jaringan narkoba dalam skala besar di daerah Jepara, Jawa Tengah. pengungkapan kasus narkoba di Jepara merupakan yang terbesar. Karena polisi berhasil menyita 30 kg sabu-sabu siap edar dengan nominal tiap kg senilai Rp 2 miliar. Prestasi ini juga sebagai tindak lanjut pengungkapan Polda Metro Jaya tentang penyelidikan dan penyidikan sindikat jaringan narkoba Jakarta, Surabaya, Medan, Jepara, Hongkong, dan Bangkok yang disebut sebagai sindikat jaringan narkoba lintas provinsi dan lintas negara.

Di satu sisi amat sedih melihat masih kuatnya jaringan atau sindikat yang bebas menjalankan aksinya dalam memproduksi dan mengedarkan narkoba. Benar banyak di antara para pengedar dan pemakai narkoba sudah ditangkap. Beberapa di antaranya bahkan sudah dihukum. Namun kita jangan silap, masih banyak lagi yang belum terungkap.

Peredaran narkoba bisa diibaratkan seperti fenomena gunung es. Masih terus terjadi. Sedikit kelihatan, namun yang tersembunyi masih teramat besar. Demikian halnya dengan produksi dan peredaran narkoba. Memang sudah banyak yang diungkap ke permukaan, namun diyakini itu masih sebagian kecil. Di baliknya masih banyak kantong-kantong untuk memproduksi dan peredaran narkoba yang belum tersentuh. Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk menuntaskannya. Memberantas narkoba memang tidaklah mudah, banyak tantangan dan hambatan.

Sulitnya menghentikan dan memberantas peredaran narkoba, setidaknya karena beberapa hal: Pertama, melibatkan organized crime (kejahatan yang terorganisir), baik yang dibina oleh domestic kriminal maupun transnational kriminal.

Kedua, besarnya narcoeconomic. Industri narkoba telah berhasil menghimpun dana yang luar biasa besar, sehingga ia nyaris dapat membeli apa saja, tak terkecuali kekuasaan, termasuk kekuasaan yang menguasai penegak hukum. Uang yang berputar di industri pembunuh massal ini melebihi uang beredar pada industri minyak dunia (Nitibaskara, 2002).

Ketiga, mudahnya pasokan membanjiri pasar. Jalur-jalur masuk narkoba seperti pelabuhan dan bandara pun masih terlalu aman bagi pelaku untuk menyelundupkan narkoba ke suatu daerah. Hanya tempat-tempat tertentu seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang dipasang alat pendeteksi narkoba. Belum lagi jika ada oknum petugas yang bisa diajak “main mata”.
Keempat, penegakan hukum (law enforcement) yang lemah. Terlalu ringannya hukuman bagi setiap pelaku dalam kasus narkoba menjadi hambatan tersendiri bagi Polri dan Badan Narkotika untuk memberantas kejahatan satu ini. Ironisnya, aparat penegak hukum terlibat dalam proses peredaran, konsumen, dan pengguna.

Rumitnya penanganan kasus narkoba mengakibatkan semua pihak dan lapisan masyarakat sepakat pencegahan dan perlawanan terhadap peredaran narkoba adalah solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Maka, diperlukan upaya strategis untuk memberantas narkoba.
Pertama, memprioritaskan penangkalan pada keempat hal yang telah disebutkan di atas. Kedua, koordinasi lintas sektoral antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh agama, dan anggota masyarakat itu sendiri agar pemberantasan narkoba dapat dilakukan secara komprehensif.

Ketiga, pengawasan atas aktivitas mencurigakan di lingkungan sekitar harus terus dikembangkan. Dan laporkan kepada pihak aparat keamanan. Masyarakat harus disadarkan bahwa bahaya narkoba bisa menghampiri pintu depan dan pintu belakang mereka, lalu “mengambil” keluarga mereka. Diharapkan sekali, orangtua dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya. Misalnya, memberi pengertian dan pengetahuan pada anak-anak dan remaja betapa berbahayanya narkoba. Selanjutnya ikut berpartisipasi dan mendukung lembaga sosial atau lembaga agama yang intens dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.

Keempat, penanganan persoalan peredaran dan penyalahgunaan narkoba harus lebih serius dilakukan secara bersama pemerintah Kota/kabupaten dan provinsi. Misalnya, seberapa banyak tingkat penurunan pemakai narkoba di kalangan umur tertentu. Demikian juga, seberapa banyak pemasok atau pendistribusian yang tertangkap dan sudah diajukan ke meja pengadilan. Kemudian, seberapa banyak barang-barang haram tersebut telah disita dari peredarannya di pasaran. Semuanya ini menjadi bukti dari cerminan untuk memberantas narkoba.

Kelima, koordinasi dan optimalisasi peran Badan Narkotika Nasional (BNN), BNP Provinsi, BNP Kota/Kabupaten sampai ke tingkat akar rumput untuk memutus peredaran narkoba dari hulu sampai hilir. Kita harus serius memerangi narkoba! Dibutuhkan kerja keras dan cerdas dari setiap elemen bangsa. Terakhir, katakan TIDAK pada narkoba!

*Guru SMPN 1 Wonogiri dan Pemerhati Masalah Sosial

Senin, 21 Juni 2010

WEDANGAN

Jumat, 21 Mei 2010

Harkitnas tanpa kebangkitan bangsa

Dimuat di Harian Solopos Edisi Kamis, 20 Mei 2010 , Hal.4


Tanggal 20 Mei ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Satu hari kemudian, bangsa Indonesia memperingati sebelas tahun runtuhnya Orde Baru yang sekaligus menjadi tonggak sejarah dimulainya Orde Reformasi.

Tepat 102 tahun lalu, di sebuah ruang belajar School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah kedokteran yang namanya mengalami beberapa kali perubahan), dr Soetomo mengungkapkan gagasan tentang hari depan bangsa. Tanggal 20 Mei 1908 di gedung STOVIA, dimulailah sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo.

Organisasi ini dibangun atas dasar keprihatinan terhadap keadaan bangsa dan banyaknya organisasi kesukuan atau kelompok. Boedi Oetomo melahirkan gagasan kebangsaan. Pada perkembangannya, organisasi ini mulai menanamkan pemahaman tentang Tanah Air Indonesia dan merintis kesadaran membangun relasi yang makin erat di antara suku-suku dan kelompok di Indonesia. Itu sebabnya, ada alur yang nyata antara Boedi Oetomo dan lahirnya Sumpah Pemuda pada 20 tahun setelah itu.

Berdirinya Boedi Oetomo oleh sekelompok pemuda dari sekolah kedokteran ini menandai suatu perubahan penting bagi bangsa Indonesia. Dia seperti penyebar perekat pulau-pulau, suku-suku, dan kelompok-kelompok di Kepulauan Nusantara sebagai suatu bangsa. Kesadaran kebangsaan itu juga yang kemudian menjadi fondasi bagi lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia.

Kini, kita memperingati Harkitnas dan 12 tahun reformasi. Dalam keadaan bangsa sekarang, pesan moral apa yang dapat dipetik dari peringatan bersejarah ini? Apa yang telah kita lakukan untuk rakyat, bangsa, dan negara? Apakah kita lebih arif dan bijaksana dari pendahulu? Semua ini merupakan pertanyaan yang penting dikemukakan agar kita sungguh-sungguh dapat melakukan introspeksi dan retrospeksi, terutama dalam upaya penyembuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari krisis. Artinya kita harus bersedia becermin kepada sejarah, melihat bagaimana sosok rupa kita sebenarnya.

Seratus tahun lebih kebangkitan nasional dan 12 tahun reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Berbagai kebijakan pemerintah sering tidak berpihak pada wong cilik. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri dan selalu melalaikan masyarakat. Berbagai aset penting negara dijual seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Demikian pula dengan KKN yang semakin sering terjadi dengan cara-cara yang lebih halus, untuk menipu pandangan masyarakat.

Penegakan hukum yang semakin lemah adalah tanda dari buruknya kinerja lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Maka jangan heran di masa reformasi ini, masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Dan berkembang luas di dalam pikiran rakyat bahwa berurusan dengan hukum adalah berurusan dengan uang. Siapa kuat dia memiliki imunitas hukum.

Di sisi lain Parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Parpol hanya berpikir untuk merebut kekuasaan, dan dengan demikian memanfaatkan rakyat sebagai obyek. Parpol sering memfungsikan diri sebagai himpunan penguasa-penguasa kecil yang mengklaim representasi rakyat. Parpol telah secara salah mengartikulasikan kepentingan-kepentingan rakyat ke dalam tujuan-tujuan politik tertentu, padahal sebenarnya pandangan-pandangan umum rakyat tidak seperti itu.

Nilai-nilai kejujuran, kesantunan, dan persahabatan tergilas bersama ganasnya dunia politik hitam (black politics). Dan kini politik di negeri ini nampak tak dimaknakan seperti tujuan awalnya yakni sebagai keahlian atau strategi mengatur negara agar rakyat makin tersejahterakan. Sekarang ini, yang ada hanya politik kepentingan untuk diri sendiri dan kelompok. Negara, bangsa, dan Tanah Air, hanya menjadi objek dan yang tak pernah dipikirkan nasibnya. Rakyat yang seharusnya sebagai pemilik sah bangsa, negara, dan Tanah Air ini tetap telantar, kurang mendapat perlindungan, keadilan, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai.

Di tengah budaya yang makin kapitalistik dan materialistik ini, rakyat mencari jalannya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, dan menghidupi dirinya sendiri semampu mungkin. Rakyat tetap melarat di tengah isu demokratisasi, reformasi, debirokratisasi, dan globalisasi. Kesejahteraan yang dijanjikan kepada rakyat tak kunjung tiba, kesejahteraan hanya ada pada para pejabat.

Kebangkitan elite

Kita belum tahu siapa yang harus melindungi rakyat dari persoalan-persoalannya sendiri. Apa pun yang dilakukan oleh para penguasa, sepertinya memang kurang mempertimbangkan keberadaan rakyat miskin. Di negeri ini, hanya ditandai oleh perubahan rezim pemerintah, (Soekarno-Soeharto, BJ Habibie-Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono), serta perubahan kelembagaan negara saja. Tanpa dibarengi oleh kesungguhan dan konsistensi dari pemerintah dalam membawa gerbong bangsa menuju kejayaan dan kemakmuran bangsa yang dapat dirasakan rakyat.

Tak heran bila kebangkitan nasional yang telah berusia seratus tahun lebih, ternyata tanpa disertai kebangkitan bangsa seutuhnya dalam menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan, makna kebangkitan nasional saat ini tampaknya semakin memudar. Sebenarnya apa yang dapat dimaknai sebagai kebangkitan nasional saat ini? Apakah kebangkitan korupsi yang semakin merajalela? Kebangkitan kemiskinan yang tidak pernah berhenti? Kebangkitan elite politik saling berebut Parpol dan kekuasaan?

Memang bukan perkara mudah mewujudkan kebangkitan nasional menuju Indonesia yang lebih baik. Persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini pun sangat kompleks. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Karena antara satu dengan lainnya sangat berkaitan.

Untuk itu, momentum peringatan Harkitnas, rasanya kita perlu introspeksi diri pada tiap-tiap aktor dan peran yang harus dimainkan. Jika setiap individu hanya memuja egonya baik politik, sosial ekonomi, maupun kebudayaan, kita yakini negeri yang kukuh, aman, dan makmur tidak akan benar-benar kita dapatkan.

Dan terpenting, melakukan kebangkitan nasional lagi, agar bangsa kita dapat diselamatkan dari ancaman kehancuran. Kita harus bangkit dari ketidaksadaran dan keterlenaan yang kurang menguntungkan negara, bangsa, dan Tanah Air. Untuk itu, kita harus mampu memupuk rasa dan semangat keindonesiaan kita. Kita harus bangga dan kembali mau mengabdi kepada negara, bangsa, dan Tanah Air. - Oleh : Sutrisno

Jumat, 07 Mei 2010

Bukan Sekadar Menghitung

Menyukseskan Sensus Penduduk 2010
Dimuat di Harian Joglosemar / Jumat, 07/05/2010

- Sutrisno*

Pemerhati masalah sosial,
guru SMPN 1 Wonogiri

Badan Pusat Statistik (BPS) kembali melaksanakan Sensus Penduduk mulai 1-31 Mei tahun 2010 (SP 2010). SP 2010 merupakan yang keenam sejak kemerdekaan RI setelah SP 1961, 1971, 1980, 1990, dan 2000. Acuan yang digunakan dalam pelaksanaan Sensus Penduduk adalah UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan Rekomendasi PBB.

Tujuan penyelenggaraan SP 2010 diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu tujuan utama atau pokok dan tujuan khusus. Tujuan utama SP 2010 berkaitan dengan peran utama Sensus Penduduk 2010 sebagai dasar perencanaan pembangunan dan perencanaan sistem perstatistikan nasional. Sementara itu, tujuan khusus Sensus Penduduk 2010 tambahan berkaitan dengan peranan Sensus Penduduk 2010 untuk menghasilkan berbagai parameter kependudukan untuk kebutuhan penyusunan proyeksi penduduk yang menjadi dasar dalam penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang.

SP 2010 memiliki makna strategis, yakni menjadi dasar data kependudukan nasional secara menyeluruh. Kita tahu bahwa berdasarkan data sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 235 juta orang. Namun data itu masih perlu dimutakhirkan karena terjadi berbagai perubahan akibat adanya kelahiran dan kematian, serta emigrasi dan imigrasi.

Mengetahui jumlah aktual penduduk Indonesia tentunya berhubungan dengan kebijakan untuk itu. Desain layanan kesehatan, layanan kependudukan, pendidikan, fasilitas publik, serta berbagai hal lainnya, amat bergantung kepada pengetahuan mengenai besar penduduk ini. Apalagi karena pemerintah hendak merencanakan sebuah identitas tunggal dari setiap penduduk yang berada di wilayah Indonesia. Tak mungkin mengetahui seberapa besar alat dan seberapa banyak infrastruktur yang harus dipersiapkan kalau tidak mengetahui jumlah penduduk.

Di samping itu, hasil pendataan Sensus Penduduk akan menjadi sumber data yang antara lain, yaitu untuk pembuatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Data Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum 2014. Termasuk juga untuk kegiatan program-program sosial, untuk mengetahui seberapa cepat berkembangnya perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan lapangan kerja, persentase penduduk yang ada di sektor pertanian, industri dan jasa-jasa serta seberapa banyak masyarakat yang melaporkan pendapatannya menurun atau meningkat. Melihat peningkatan standar kehidupan dari tingkat harapan hidup rata-rata penduduk yang kemudian membuat SP 2010 tidak sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk atau mengetahui angka kelahiran dan kematian saja.

Dengan dimilikinya data dasar mengenai jumlah penduduk dan aspek-aspek yang melingkupinya, maka diharapkan tersedia informasi yang akurat untuk pengambilan kebijakan. Karena makna Sensus Penduduk sedemikian strategis, maka diharapkan lahir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang lebih baik. Data itulah yang pada gilirannya menjadi pijakan pemerintah untuk menata program pembangunan ke depan.

Menurut Kepala BPS, Rusman Heriawan dalam wawancaranya di sebuah surat kabar nasional bahwa sensus ini berbeda dengan sistem pencatatan administrasi kependudukan. Sensus pendekatannya de facto, artinya penduduk dicatat berdasarkan fakta di mana dia tinggal, tanpa melihat KTP dari daerah mana. Contohnya, seperti mahasiswa yang kos, mereka akan disensus berdasarkan lokasinya. Karena ini de facto, jadi lebih kepada current resident (domisili saat disensus).

Kuesioner
Instrumen utama SP 2010 ini berupa dua jenis kuesioner, untuk mendaftar bangunan tempat tinggal, dan mencacah penduduk secara lengkap. Kuesioner L untuk melakukan pendaftaran bangunan dan rumah tangga. Sedangkan, kuesioner C untuk mengumpulkan data individu penduduk dan rumah tangga. Pertimbangan yang digunakan sebagai dasar pembuatan kuesioner C adalah rekomendasi PBB, relevansinya dengan MDGs (Millennium Development Goals/tujuan pembangunan milenium).

Metode pencacahan sensus penduduk 1971, 1980, dan 1990 mencakup pencacahan lengkap dan pencacahan sampel. Sedangkan, sensus penduduk 2000 hanya dilakukan secara lengkap dengan mengumpulkan 15 variabel demografi, sosial, dan kegiatan ekonomi penduduk. Namun, pada sensus tahun 2010 ini, pencacahan dilakukan secara lengkap dengan mengumpulkan sebanyak 43 variabel.

Berbeda dengan sensus penduduk sebelumnya, untuk mencapai akurasi yang tinggi, pencacahan pada sensus penduduk 2010 akan dilakukan secara tim. Setiap tim terdiri dari seorang koordinator tim, dan tiga orang pencacah, di mana setiap tim akan bertanggung jawab menyelesaikan empat-enam blok sensus.

Kita mendorong pelaksanaan SP 2010 ini supaya berhasil baik dan menghasilkan mutu data kependudukan yang sesungguhnya. Meski berdasarkan UU Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik, penyelenggara sensus penduduk adalah badan pusat statistik bukan berarti masyarakat berpangku tangan begitu saja. Karena SP 2010 adalah program nasional, maka segenap unsur yang ada di masyarakat wajib berperan serta menyukseskannya.

Kita sangat mengharapkan terjadinya proses yang saling proaktif antara petugas sensus dengan masyarakat. Semangat “Pastikan Anda Dihitung” harus disadari masyarakat dengan bukan sekadar masuk hitung, tetapi juga memberikan data dan informasi yang akurat pada para petugas. Dan setiap keterangan individu yang bersifat rahasia dilindungi oleh undang-undang. Untuk suksesnya pembangunan nasional, tentu masyarakat kita pun sedapat mungkin berpartisipasi dengan penuh rasa tanggung jawab memberikan informasi yang benar kepada petugas sensus yang mendatangi rumah atau pemukimannya.

Terakhir, SPP 2010 tidak sekadar hitung. Yang paling penting adalah diseminasi hasil sensus ini nantinya. Masyarakat juga membutuhkan informasi dari sensus supaya ada keuntungan yang maksimal yang bisa dilakukan oleh masyarakat pasca memberikan informasi kepada pemerintah. Jangan masyarakat hanya dijadikan objek pencacahan tanpa pernah mendapatkan tindak lanjut dari informasi yang diberikannya.

Kamis, 29 April 2010

Keterpaduan Atasi Bengawan Solo

Dimuat di Suara Merdeka / Wacana Lokal / 26 April 2010

Keterpaduan Atasi Bengawan Solo

Oleh Sutrisno

BENGAWAN Solo, akhir Maret lalu meluap. Banjir menyebabkan belasan rumah warga di lingkungan Sukorejo dan Kedungringin Kelurahan Giritirto, Kecamatan Wonogiri Kota, Kabupaten Wonogiri, tergenang. Tidak ada korban jiwa dalam musibah tersebut (SM, 1/4/2010).

Berdasarkan pengalaman tahun 2007, luapan banjir Bengawan Solo pernah terjadi dalam debit yang lebih besar, dan menggenangi rumah penduduk dalam jumlah yang lebih banyak. Bengawan Solo sudah jauh berubah dari yang diindahkan Gesang dalam syair keroncongnya yang melegenda itu.

Bukan karena Gesang sekarang sudah amat sepuh untuk mengumandangkan ’’Bengawan Solo’’ tetapi ’’raja’’ sungai di Jawa beberapa tahun ini tersebut sering murka. Maka, luapan bengawan (sungai) itu harus terus diwaspadai.

Tahun 2009, luapan air Bengawan Solo menggenangi daerah Sragen, Wonogiri, Solo, serta sebagian wilayah Jatim seperti Ngawi, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Salah satu persoalan besar yang menyebabkan banjir kronis tersebut adalah eksploitasi sumber daya yang tidak ramah lingkungan, sehingga sedimentasi di Waduk Gajahmungkur sangat tinggi.

Akibat pendangkalan yang sulit tertangani, usia waduk yang selesai dibangun pada 1981 itu berkurang dari perkiraan 100 tahun menjadi hanya 25 tahun. Penghijauan yang sebenarnya sudah dilakukan sejak 1969 terus mengalami degradasi, sehingga penutup lahan yang tersisa tinggal 13,5%. Bisa dibayangkan, betapa parah tingkat eksploitasi, terutama untuk budi daya pertanian di kawasan hulu.

Sepanjang aliran Bengawan Solo telah dirusak dan dieksploitasi secara tidak berperikesungaian. Akibatnya, hulu hilir yang seharusnya meliuk-liuk eksotik itu sudah sirna. Ada yang dipangkas menjadi anak-anak sungai. Banyak tangkis-tangkis di pinggirnya yang dibiarkan tergerus.

Ada pula yang bantarannya dipersempit dan dimanfaatkan untuk areal permukiman atau perintukan lain. Dengan kata lain, bengawan itu, disengaja atau tidak, cenderung ’’dirusak’’ menjadi merana. Maka, ketika lekukan aliran tidak bisa lagi mengalirkan air hujan deras dan ketika derasnya air yang mengalir tak diimbangi dengan tangkis yang kukuh, jadilah sungai yang eksotik tersebut murka. Ia mengancam merendam kawasan sekitarnya.

Jelas, semua pihak yang terkait dengan Bengawan Solo tak bisa tinggal diam. Apalagi luas daerah aliran sungai (DAS) tersebut amat luas, sekitar 16.000 km2. Ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Dari petani, nelayan, penambang pasir, pemprov serta beberapa pemkab dan pemkot, hingga industri, terutama di bagian hilir. Pemprov berusaha menyelesaikan persoalan banjir tersebut melalui normalisasi sungai bekerja sama dengan Pemkab Wonogiri, Karanganyar, Sragen, serta Sidoarjo (Jatim). Pengerukan Waduk Gajahmungkur tidak memungkinkan, karena anggarannya melebihi kemampuan (SM, 04/03/09).
Secara Komprehensif Sekarang harus ada upaya mengelola aliran bengawan tersebut secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong. mengubah perilaku mirip kolonialis terhadap ekosistem dan lingkungan di sepanjang alirannya. Kita harus lebih ramah sekaligus bertindak memulihkan fungsi aliran sungai tersebut secara benar dan tepat. Hutan-hutan dan kawasan penyangga di sekitarnya harus dihijaukan lagi agar sungai itu ketika musim hujan tidak berpotensi menghadirkan bencana.

Khusus DAS Bengawan Solo, penanganannya harus terpadu, meliputi seluruh DAS dengan upaya mitigasi yang lebih luas (tidak hanya mitigasi struktural) dan melibatkan seluruh pemangku kebijakan (pemkot/pemkab, Proyek Bengawan Solo, Jasa Tirta, Dephut, Perhutani, PDAM, dunia usaha, dan masyarakat). Sungai itu melewati beberapa kabupaten di dua provinsi, yakni Jateng dan Jatim. Artinya, kepala daerah di beberapa kabupaten itu, yang dikoordinasikan oleh dua gubernur, perlu duduk bersama membicarakan upaya perbaikan DAS. Persoalan ini tak bisa diserahkan kepada satu kepala daerah saja. Bukan semata-mata tanggung jawab Bupati Wonogiri yang daerahnya menjadi awal sungai tersebut.

Selain itu, membangun bendung-bendung, waduk, atau situ di bagian tengah dan hilir untuk membantu menahan limpahan air dari bagian hulu. Tak kalah pentingnya, harus ada masyarakat yang kuat dan mampu memainkan peran kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang lingkungan. Kontrol ini bertujuan menjamin kepentingan bersama di bidang lingkungan. (10)

— Sutrisno, guru SMP Negeri 1 Wonogiri

Minggu, 18 April 2010

The Specifications of Second Mid Semester Test

SHORT FUNCTIONAL TEXT
1. Notice (3)
2. Invitation (4)
3. Advertisement (3)
READING
4. Recount Text (6)
5. Narative Text (5)
6. Descriptive Text (8)
WRITING
7. Jumbled Words (2)
8. Jumbled Sentences (3)
9. Cloze Test / Completion (7)
SPEAKING
10. Agreement and Disagreement (2)
11. Certainty and Uncertainty (1)
12. Making Offer (1)
13. Degrees of Comparison (1)
14. Preference (1)
15. Question Taq (1)
16. Imperative (1)
17, Present Tense (1)

Minggu, 07 Maret 2010

Seks, kekuasaan dan etika politik

Harian Solopos Edisi Kamis, 04 Maret 2010

Oleh Sutrisno

Sebuah berita yang cukup membuat kita prihatin dan mengelus dada. Seorang anggota DPRD Klaten dituduh menghamili seorang janda berinisial WS asal Dukuh Gedongan, Desa Wonosari, Trucuk. Tuduhan itu terkuak setelah DPRD Klaten melakukan pemanggilan terhadap kuasa hukum perempuan itu pada Kamis (25/2).

DPRD Klaten meminta keterangan kuasa hukum janda itu terkait surat pengaduan yang diterima Dewan. Surat bernomor 017/ADV/AMS/YK/II/2010 itu berisi pengaduan tindak asusila yang diduga dilakukan oleh anggota Komisi IV DPRD setempat itu kepada WS. Dalam surat, dijelaskan, anggota DPRD Klaten itu dan WS diduga melakukan hubungan layaknya suami istri di salah satu hotel di Yogyakarta. Selain itu, hubungan juga pernah dilakukan di rumah WS. Akibat perbuatan keduanya, WS mengaku telah hamil selama empat bulan.

Atas tuduhan itu, anggota DPRD Klaten tersebut secara tegas membantah. Menurutnya, tuduhan yang diberikan WS beserta kuasa hukumnya itu tak berdasar. Tertuduh justru balik menuding WS dan kuasa hukumnya tengah mencemarkan nama baiknya dengan tuduhan itu. Dia menilai, tudingan tersebut bermuatan politis lantaran saat ini pihaknya tengah mencalonkan diri sebagai wakil bupati (Wabup) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang (SOLOPOS, 1 Maret).

Kasus di atas, seperti hendak mengukuhkan pemeo lama bahwa seks sangat lekat dengan kekuasaan, ibarat semut berjumpa gula. Penguasa sering semakin membumbung ketenaran dan cengkeraman kekuasaannya gara-gara seks. Sebaliknya seperti orang pun bisa jatuh terjungkal karena masalah seks. Sedangkan secara simbolis, seks yang selalu melibatkan tubuh, menyimbolkan relasi yang bisa setara antara si penguasa dan objek seksnya, namun juga bisa tidak.

Politik dan moral

Dalam relasi yang tidak setara itulah seks menyimbolkan penguasaan satu pihak pada pihak yang lain. Pemeo seks berelasi dengan kekuasaan seperti itu sudah mulai ada sejak sejarah umat manusia, sejak dulu hingga milenium ketiga Masehi sekarang ini. Jadi skandal seks anggota DPRD Klaten dan WS hanya repetisi dan akan terus terulang di masa depan dengan pelaku dan objek yang berbeda.

Politik berkaitan erat dengan kekuasaan dan ketatanegaraan. Hal itu sesuai dengan etimologi politik: politeia (negara) dan politicos (negarawan). Jika kita kembali melihat hakikat filsafat politik, semakin jelas politik dan moral saling interdependensi. Plato misalnya, mendefinisikan filsafat politik sebagai salah satu cabang etika (filsafat moral) sosial atau kemasyarakatan. Baginya, manusia sudah selalu berpolitik karena manusia tidak pernah terlepas dari negara (politeia).

Nicolo Machiavelli, seorang pemikir Italia yang hidup pada abad XV menyatakan, politics has no relation to morals. Pemikiran ini senada dengan pandangan Lenin dan Gladstone. Pandangan yang menganggap bawah politik adalah lembah yang kotor. Segala cara selalu menjadi halal. Satu yang menjadi tujuannya ialah dapat menaklukkan lawan politiknya.

Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Popper, seorang ahli filsafat politik dari Inggris yang juga sangat dihormati di kalangan ilmuwan seantero dunia, berpendapat bahwa politik harus dimoralkan; bukan sebaliknya, moral dipolitisasi! Dalam arti, moralitas berarti konsisten berpegang pada pedoman hidup suatu masyarakat, terutama yang digariskan oleh agama (Ahmad Makki, 2007).

Dalam negara, hukum, tata aturan, norma pasti dirumuskan dan kemudian diberlakukan. Tujuannya adalah untuk mengatur aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas politiknya. Dengan demikian, ini amat sejalan dengan pendapat Immanuel Kant yang mengatakan, moralitas dan politik tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Moralitas adalah suatu praksis dalam pengertian objektif: keseluruhan hukum-hukum yang mengikat tanpa syarat, yang seharusnya kita jadikan acuan bertindak, kewajiban dan tanggung jawab.

Mundur

Kebijakan politik harus memperhatikan dimensi moral. Apa dampak dari kebijakan politik terutama secara sosial dan ekonomi. Begitu juga, seseorang yang terjun ke dunia politik termasuk anggota Dewan seharusnya berlaku moralis. Kalau tidak, mereka akan terjebak pada kepentingan pribadi, pencurian (korupsi) bahkan melegalkan yang ilegal. Dimensi moral berkaitan erat dengan “boleh atau tidak boleh”, jadi tekanan moral adalah dimensi etika (M Umar HS, 2009).

Kasus di Klaten tersebut mengindikasikan jauhnya dimensi etika yang ada dari para anggota Dewan kita. Bagaimanapun harus dipahami, etika politik tidak hanya menyangkut masalah perilaku politik dari para politikus. Tetapi etika politik berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial, di satu pihak etika politik sekaligus etika individual dan etika sosial dan institusi yang adil. Di lain pihak, etika politik sekaligus etika institusional dan etika keutamaan.

Berhubungan seks bukan dengan istri jelas selingkuh namanya. Rakyat Amerika Serikat sempat heboh ketika Presiden Bill Clinton dikabarkan berselingkuh dengan Monica Lewinsky. Gara-gara berita itu bocor ke publik, Presiden Clinton hampir saja dipecat (impeachment). Untung Clinton lolos dari upaya pemecatan waktu itu. David Blunket, Menteri Dalam Negeri Inggris, ketika karier politiknya telah kukuh selama 30 tahun akhirnya roboh oleh skandal selingkuh. Demikian pula Kovalyov, Menteri Kehakiman Rusia, yang pada 1997 dipecat karena tersebarnya foto-foto hot dia saat mandi sauna bersama para wanita tanpa busana, atau Bill Skate, Perdana Menteri Papua Nugini (1998), dengan foto-foto pesta seksnya.

Terkait kasus anggota DPRD Klaten ini, Badan Kehormatan (BK) DPRD Klaten perlu melakukan verifikasi dan klarifikasi serta penyelidikan kasus ini untuk mengetahui kebenarannya. Jika tuduhan terbukti, maka anggota DPRD Klaten tersebut harus dipecat sesuai dengan prosedur yang telah tertera dalam PP No 16/2010. Dan partai yang mengusungnya juga perlu bersikap tegas bila tetap ingin dipercaya oleh masyarakat.

Tapi, menurut saya, alangkah baiknya anggota DPRD Klaten tersebut mengundurkan diri sebagai anggota DPRD Klaten dan sebagai calon wakil bupati. Mengundurkan diri adalah penghormatan terhadap masyarakat yang menjunjung tinggi etika moral sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab terhadap etika politik, tanpa harus menunggu keputusan partai, lembaga parlemen, atau keresahan massa yang terorganisasi. - Oleh : Sutrisno, Pemerhati masalah sosial dan politik Guru SMPN 1 Wonogiri

Gerakan UN Bersih

Harian Joglosemar / Kamis, 25/02/2010

- Sutrisno

Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) memutuskan untuk mempercepat waktu Ujian Nasional (UN) 2010 satu bulan dari bulan biasanya. Dengan demikian, UN bakal dilaksanakan pada pekan ketiga Maret 2010. Keputusan tersebut diambil lantaran pada tahun yang sama, BSNP menggelar ujian ulangan. Ujian ulangan diberikan kepada siswa yang dinyatakan tidak lulus pada UN reguler. Kalau dahulu, siswa harus ikut Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) atau mengulang tahun depan.
Penyelenggaraan UN ulangan untuk jenjang SD dan sederajat ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2009. UN ulangan jenjang SMP, SMA/SMK dan sederajat ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009. Setidaknya tiga tahun terakhir, pelajar yang tidak lulus UN secara otomatis didaftarkan mengikuti ujian nasional paket. Langkah itu disesuaikan dengan anjuran pemerintah untuk mencapai target kelulusan dan percepatan proses pendidikan.
Meskipun kurang mengakomodasi kepentingan pelajar, peraturan itu diakui tidak merepotkan sekolah. Justru, sekolah akan kesulitan kalau harus menahan pelajar yang tidak lulus untuk mengikuti UN tahun selanjutnya. Selain meringankan beban sekolah, UN ulangan menguntungkan para pelajar dari pada ujian nasional paket C.
Dengan adanya UN ulangan, diharapkan tindak kecurangan tidak terjadi lagi. Sebab, siswa yang tidak lulus UN utama dapat mengikuti UN ulangan, dan tidak harus mengulang seluruh materi pelajaran yang diujikan dalam UN. Dalam pelaksanaan UN tahun lalu, siswa yang tidak lulus UN dapat mengikuti UN pada tahun berikutnya dengan mengulang seluruh mata pelajaran, namun dalam UN ulangan itu siswa cukup mengulang mata pelajaran yang tidak lulus.
Untuk menutupi kekurangan UN selama ini, Depdiknas telah menggagas sejumlah terobosan. Antara lain, pada akhir November 2009, Mendiknas Muhammad Nuh menandaskan bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Selain UN, penilaian ujian yang dilakukan sekolah ikut menjadi penentu. Berikutnya, agar hasil UN kredibel, Depdiknas akan menambah porsi keterlibatan perguruan tinggi dalam pelaksanaan UN. Dalam UN 2010 ini, pengawas dari perguruan tinggi diperbolehkan mengawasi di dalam ruang ujian. Selain itu, pencetakan soal UN dan pendistribusiannya juga dilakukan perguruan tinggi. Terobosan lainnya, guru mata pelajaran tertentu tidak boleh menjadi pengawas ketika mata pelajaran yang diampunya sedang diujikan. Yang terbaru, Mendiknas akan membentuk satuan tugas (satgas). Tugas lembaga ini adalah membantu pengawasan UN di berbagai daerah.
Harus diakui bahwa pelaksanaan UN telah melahirkan penyimpangan. Hal itu disebabkan adanya keinginan untuk menaikkan gengsi suatu sekolah, untuk mengatrol ambisi guru dan kepala sekolah, serta untuk menaikkan popularitas dan “keberhasilan” bupati/wali kota/gubernur/kepala dinas pendidikan terjadilah pelanggaran kolektif. Para guru memberitahukan jawaban soal di menit-menit akhir ujian, membocorkan soal, mengirim pesan singkat melalui handphone, dan seterusnya.
Sejumlah akar permasalahan yang menjadi penyebab ketidakjujuran pelaksanaan UN antara lain; pertama, adanya kekhawatiran pihak sekolah dalam hal ini oknum guru, bahwa hasil nilai UN mata pelajaran yang dipegang sang guru akan berada di bawah nilai standar UN sebagaimana yang ditentukan oleh BSNP.
Kedua, adanya beban moral bagi guru pengasuh mata pelajaran UN untuk mengangkat nilai UN mencapai nilai standar yang sudah ditetapkan. Ini akan membawa nama baiknya bukan hanya di sekolah namun juga di mata sekolah lain. Ketiga, adanya kekhawatiran oknum pimpinan sekolah/yayasan akan banyak siswanya yang tidak lulus UN dan secara otomatis akan berdampak pada gengsi sekolah itu sendiri. Keempat, disinyalir ada campur tangan pihak-pihak lain yang terkait yang mendukung terjadinya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.
Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN. Karena itu, kecurangan UN adalah sebuah pemberontakan secara diam-diam (silent berayal) dari sekolah, siswa, dan guru terhadap pembuat kebijakan UN. Ketika protes terbuka bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai dril sekeras-kerasnya berakhir dengan frustrasi dan depresi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.
Yang dibutuhkan sekarang adalah gerakan UN bersih. Siswa harus mampu melampaui sistem evaluasi secara jujur sesuai dengan kemampuan. Meskipun kepala daerah, kepala dinas pendidikan, atau kepala sekolah, atau siapa pun yang membocorkan soal ujian itu, peserta ujian harus merasa malu menerima bocoran tersebut, sehingga mereka melaksanakan ujian sesuai kemampuan. Aparat berwajib harus menjatuhkan sanksi bagi pembocor ujian secara serius, bukan basa-basi, apalagi sekadar aksi di depan publik.
Semua pihak harus memberi roh kejujuran kepada siswa agar mereka merasa malu melakukan tindakan curang, bukan sebaliknya malah mengajarkan siswa menempuh jalan pintas. Sebab, sekolah pada hakikatnya simulasi hidup bernegara dan bertanah air. Pada kehidupan nyata, bangsa Indonesia sedang dihantui oleh sikap tak jujur, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang nyaris membangkrutkan negara. Jika tindak kecurangan tidak diputus sejak anak mengenyam pendidikan, niscaya gerakan hidup bersih, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan mafia hukum percuma saja.
Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, dari mulai pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Dibutuhkan kemauan keras dari para guru dan kepala sekolah untuk dapat melaksanakan UN secara benar dan jujur. Selain itu, dukungan secara aktif dari Dinas Pendidikan setempat serta dukungan masyarakat akan sangat membantu gerakan UN bersih.
Termasuk, optimalisasi pengawasan yang dilakukan oleh petugas tim pengawas independen (TPI). TPI diharapkan bekerja secara profesional dan tidak sekadar formalitas menyaksikan pelaksanaan ujian. TPI harus menjaga idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas, dan tanggung jawab dalam tugasnya. TPI dapat bekerja sama dengan satgas bentukan Mendiknas untuk mengawasi ujian di daerah.
Terakhir, UN 2010 harus menjadi titik awal gerakan UN bersih dan jujur. Gerakan UN bersih setiap tahun memang harus menjadi komitmen bersama.
Penulis adalah guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal di Pajang, Laweyan, Solo.