NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 19 Oktober 2009

Mencari Menteri Pilihan

Dimuat Harian JOGLOSEMAR / Rabu, 14 Oktober 2009

Mencari Menteri Pilihan
Oleh Sutrisno

Pekan depan, para kandidat menteri mulai dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengikuti proses fit and proper test. Banyak orang yang merasa sebagai tokoh,ikut berjasa,dan dekat dengan lingkaran Istana sudah pasti memiliki harapan besar namanya masuk daftar yang akan dipanggil Presiden. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah yang menjadi tolok ukur seseorang bisa dipilih menjadi menteri, apakah karena ketokohannya, kedekatannya dengan lingkaran Istana, pernah merasa berjasa dengan Presiden dan lingkungannya? Kalau hal itu dijadikan indikator yang sangat dominan, kita merasa khawatir bahwa tim kabinet lima tahun mendatang tidak akan bisa memenuhi harapan yang lebih baik.

Namun ketika bukan hal itu yang dijadikan indikator,bisa dibayangkan berapa banyak mereka yang merasa menjadi tokoh, pernah berjasa, dan merasa dekat dengan lingkaran Istana menjadi kecewa ketika Presiden benar-benar tidak memasukkan namanya ke dalam susunan kabinet lima tahun mendatang. Memang, Presiden SBY akan menghadapi banyak dilema, di satu sisi harus bisa menyenangkan orang-orang dekatnya, termasuk mereka yang pernah merasa berjasa, tapi di sisi lain Presiden tidak bisa bekerja dengan perencanaan yang baik untuk Indonesia ke depan kalau menteri-menterinya tidak dipilih berdasarkan pertimbangan yang tepat.

Bagi SBY, itu sepertinya juga keharusan sebab merupakan periode kedua atau terakhir bagi beliau memimpin negeri ini. Dengan demikian, SBY dapat diyakini berusaha keras membentuk kabinet yang mapan, lebih baik dibanding kabinet saat ini. Perkiraan itu jelas sangat menggembirakan karena jika itu yang terjadi, dipastikan kinerja pemerintah sepanjang 2009-2014 berjalan lebih baik dan dapat membahwa kemajuan bagi bangsa dan negara.

Sejauh ini, SBY telah memperoleh masukan dari banyak pihak mengenai siapa yang layak menjadi pembantunya dalam mengarungi pemerintahan periode 2009-2014. Tak kurang 100 nama sudah masuk di kantongnya, dan dari sekian jumlah tersebut, kemungkinan besar akan dipilih 34 menteri sesuai dengan undang-undang.

Para calon menteri ini nantinya akan ditelepon dan kemudian diminta datang ke rumah SBY di Cikeas. Mereka akan ditanyai sendiri oleh SBY mengenai komitmen dan integritas dalam masalah pencegahan korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, dan lain-lain sesuai standar internasional. SBY memiliki hak prerogatif untuk memilih siapa menteri yang akan mendampinginya bersama wakil presiden terpilih, Boediono. Karena itu pula, SBY harus memilih menteri yang profesional dan memiliki integritas yang tinggi. Mereka juga mau bekerja keras dan berkorban untuk bangsa dan rakyat.

Idealnya, kabinet kerja 2009-2014 itu terdiri atas 100% kaum profesional. Namun, walaupun akhirnya kabinet kerja itu harus bercampur antara kaum profesional dan para politisi (baca: kader partai politik), menurut para pakar, komposisi yang ideal adalah 70% untuk kaum profesional dan 30% untuk para politisi.

Tentu saja ini untuk menghindari terjadinya vested interest yang bakal bertebaran jika kabinet diisi kader-kader politik. Padahal ada terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan lima tahun ke depan. SBY diharapkan berani melakukan langkah terobosan ini, dan beberapa pihak yakin SBY mampu melakukannya karena melihat langkahnya ketika memilih Boediono sebagai calon wakilnya.

Pembentukan kabinet dari kalangan profesional (zaken kabinet) akan lebih memudahkan presiden terpilih membentuk kerja sama tim dan membangun loyalitas yang solid. Dengan kemenangan satu putaran dan perolehan suara mayoritas, memungkinkan pasangan SBY-Boediono memiliki legitimasi cukup untuk merekrut kabinet yang betul-betul kapabel. Berkaca pada pengalaman pemerintahan lima tahun ini, komposisi kabinet dari kalangan elite partai politik justru menyulitkan arah kebijakan yang ingin direalisasikan. Salah satu penyebabnya karena kelemahan di sisi koordinasi. Bisa jadi karena menteri-menteri dari partai lebih loyal ke partainya daripada mementingkan team work.

Dalam membentuk pemerintahan yang kuat, pemerintah memerlukan dukungan dari legislatif atau DPR. Dalam relasi politik dengan parlemen, jelas bahwa politik SBY terjamin aman. Posisi Ketua DPR yang dipegang Partai Demokrat adalah simbol dari jaminan itu. Tetapi lebih dari itu, jaminan stabilitas Pemerintahan SBY akan dipastikan oleh distribusi kursi kabinet mengikuti tuntutan partai-partai pendukung dalam pemilu lalu. Penjatahan kursi kabinet pada tiga atau empat partai besar pendukung koalisi sudah pasti akan dilakukan SBY, karena hanya itu sesungguhnya jaminan adanya stabilitas pemerintahannya nanti.

Diperkirakan SBY akan memegang rumus 3C. 3 C tersebut adalah cluster, competencies, dan chemistry. Dengan cluster, SBY akan mempertimbangkan calon menterinya dalam perhitungan politik, kewilayahan, gender, agama, dan etnis. Competencies mempertimbangkan apakah calon menteri masuk kategori akademisi, praktisi, pengusaha, birokrat atau militer. Dan terakhir chemistry, yakni faktor yang mempertimbangkan jender, profesi, etnis, usia, agama, dan representasi daerah.

Kita tunggu saja apa hasil wawancara SBY dengan para kandidat menteri. Kita harap semua sesuai nilai-nilai ideal yang sering dilontarkan SBY di berbagai kesempatan. Kita juga tidak ingin melihat adanya kekuatan politik yang “mutung” karena hanya dapat satu atau tidak dapat sama sekali kursi di kabinet, lalu menyatakan diri menjadi partai oposisi.

Angan-angan kita ialah para anggota kabinet nanti adalah orang-orang terpilih yang memiliki visi dan kerja keras membangun bangsa, bukan visi untuk membangun diri, keluarga, atau kelompoknya semata. Kita harapkan dari kabinet Presiden SBY bukan sekadar berpijak pada kepintarannya, tetapi unsur-unsur mau bekerja keras, mempunyai visi membangun Indonesia lebih baik dan sejahtera harus lebih menonjol. Kita meyakini, ketika Presiden SBY menempatkan lebih banyak lagi orang-orang pintar yang tulus, punya semangat kerja keras, serta memiliki visi membangun Indonesia, harapan kita menatap Indonesia ke depan akan lebih cerah. Semoga Presiden SBY tidak salah pilih.

Senin, 12 Oktober 2009

from Teaching Village

I’ll Show You Mine if You Show Me Yours (by Steven Herder)

by StevenHerder

Steve in class 2 copy

Committed to learning

After 20 years in the EFL classroom, I still learn new things all the time. Certainly, here in Japan, the students are completely different than they were back in 1989; in those days, they all sat up straight, had their hair braided back and always made an effort (or pretended to, anyways) whether they liked English or not. These days, things are a little more… normal, for want of a better word. The students make me work harder to get their attention, and they don’t try, if they are not interested in my lesson. I’ve had to grow as a teacher and adapt my lessons over the years. Here is a glimpse of my context, my approach and my challenges with my junior high school students at this particular point in my career:

Stairs

My context

I teach in an all girls, Catholic, junior and senior high school in Osaka, Japan. I’m in my 16th year in this school. I currently teach all grades 7 – 12 (called Chu 1, 2, 3 and Ko I, II, III). There are only two Native English-speaking teachers in the school and we have earned complete autonomy to decide and implement our own syllabus and curriculum. I teach both Oral Communication and Writing II & III. Our students are generally “nice” girls from “decent” middle-class families. That is not to say that we don’t have our share of puberty, friendship angst and other typical teenage syndromes. Additionally, we are constantly battling against a very busy school calendar where English competes with something pretty exciting almost every month.

Seibo

What I’ve learned after 20 years (finally…)

Here are 10 things that I’m quite sure of – in my classes with my students:

  1. They want to get to know me and are willing to share things about themselves IF I can become a meaningful person in their lives.
  2. They love to work in pairs or small groups because it is safer, less stressful and more social.
  3. I need to ask myself 3 questions when I plan what to bring into class:
    Is it interesting enough to cause an emotional connection in their brains?
    Does it lead to giving opinions, sharing ideas, or exchanging information between us?
    Can they succeed at it and add another layer to their small, but growing, confidence?
  4. They need to trust me before they will learn from me, and therefore I must spend as long as it takes to make a connection with them.
  5. Knowing their names is not only helpful, but is invaluable. For both praise and for discipline, nothing works better than a name at the beginning or end of a statement to a student.
  6. Praising effort is the only way to go. Acknowledging results and outcomes is great, but highlighting a student’s effort leads to further efforts by that student and by other people.
  7. Motivation is king: there is quite simply nothing more important in my EFL classroom.
  8. Classroom interaction is where I have the biggest chance to make gains: learning to improve how I interact with students, during lessons, is the key to becoming the best teacher I can be. Planning lessons and evaluating lessons are both important, but pale in comparison to the return on investment that comes from improving my questioning, feedback, correction, listening, discussing and eliciting skills.
  9. A balanced 4-skills approach is vital to succeeding in an EFL context. Without a balance of input (reading and listening) and output (writing and speaking), students invariably lose interest in studying English, or worse case scenario, come to hate English.
  10. Junior high school students need a lot more input practice than output practice. Piling on the reading and listening really adds confidence to their young minds. Of course, there are outgoing types in every class who need and thrive on output, but that can be easily accommodated.

What I do specifically in my classes

I focus on specific things for each grade, starting with a motto:

Chu1

“Everybody – Think BIG – Maybe you will be an English teacher, a translator or a flight attendant. Maybe you will live in Canada or get married to a foreigner. Many of your seniors still use English today (gesturing ferociously and using Japanese when my gesturing only scares them)”.

IMG_0171 copy

They all learn that I want them to focus on 3 things in their first year: 1) to learn to write English quickly, 2) to learn to read English, and, 3) to learn to talk a little about themselves. Everything I do in the first year is somehow connected to one of these goals. For example, last week they had to introduce a classmate in front of another class. They asked questions to their partner, wrote about their partner, memorized it by practicing it, then performed it in front of another class.

Chu2


“Some girls give up on English this year. Chu 1 is very easy. Now we start to learn the past tense this year, and some students don’t make an effort. IF you try, you CAN do it. At the end of Chu 2 we have two kinds of English students: the girls who give up and the “Yes, we can” girls (gesturing ferociously and using Japanese when my gesturing only confuses them).

My classroom

In the second year, I really focus on learning to manipulate language between tenses, especially the past tense. There are countless opportunities to talk about their weekends, school events, family outings, etc. I also tell many stories about daily happenings with my two young children (son, 8 and daughter 6), then elicit to check their comprehension. Last week, they read some writing by their seniors – the grade 12 girls (Ko III) – who wrote “100 things about me”. It is ALWAYS exciting and meaningful to show students their seniors work. Then, in pairs, they had to write 50 things each about themselves. When they finish, they’ll have to present their list in front of small groups of friends.

Chu3

Consolidation is a guiding principle in Chu 3. I expect them to be able to put more together in their final year of junior high school. I don’t introduce very much new material, but I do expect them to be successful with longer, denser material. Last week, they were reading graded readers in pairs (Cengage – Foundations Reading Library Level 1 & 2) and then retelling the stories to friends in Japanese (focusing on meaning rather than straight translation). In another class, they were translating “Frog and Toad” stories (A. Lobel) so their juniors (Chu 1) could enjoy them. For a recent final test, they had to design a poster, “Things that make me happy” with at least 150 words of text. The poster stays on the wall of my classroom for a year!

steven cherry blossoms

I hope it is easy to see that I want my students to use English to enjoy interacting with me and with each other. I want them to clearly understand that I care about them and expect them to improve and ultimately succeed at English. I’m willing to share my world with them and hope to learn more about their lives as well. As for challenges, I still want to learn how to get the most out of students who are pulled in so many different directions. I also hope to see the day that all teachers in Japan take a more balanced approach to teaching English – for the sake of the students, and in order to get more reasonable results that we can all be prouder of as teachers and as learners.

Herder SSteven has an MA TEFL from Birmingham University. He believes that being a teacher means a never-ending commitment to learning. “First, we must connect with our students, then expect them to grow in some way; the rest we just work out day by day.” He is an avid collaborator and is always looking for new ways to grow.

You can learn more about his TOL and TOP on his website and his blog.

Jumat, 09 Oktober 2009

Hidup Bersama Gempa

Harian Sore WAWASAN / Thursday, 08 October 2009

Hidup Bersama Gempa

Oleh Sutrisno

BENCANA gempa kembali datang. Kali ini menerpa Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore, berkekuatan 7,6 Skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (1/10) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.
Sejatinya, Indonesia tidak akan pernah lepas dari ancaman bencana gempa. Sepanjang wilayah Indonesia, mulai dari pantai barat di Sumatra, memanjang ke pantai selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, kemudian meliuk ke atas menuju Halmahera, Sulawesi, dan Papua, semua rawan gempa. Relatif hanya Kalimantan yang steril terhadap gempa. Kondisi kegempaan atau seismisitas dari kepulauan Indonesia mencapai 10 persen dari total seismisitas yang ada di dunia (Ritsema, 1954). Sebagian besar episenter terdapat pada sabuk struktural yang berumur muda di antara continental shelves Asia Tenggara dan Australia. Sabuk tersebut mengelilingi busur Sumatera-Jawa-Banda dan memanjang sampai ke utara melewati Sulawesi menuju Filipina.
Dengan begitu, kita hidup bersama gempa. Gempa juga datang tanpa pemberitahuan, bisa ketika kita tertidur lelap, bisa ketika kita menjalankan aktivitas sehari-hari. Sejauh ini belum ada alat yang mampu meramalkan terjadinya gempa. Hanya insting binatang yang bisa merasakan, tetapi itu pun hanya beberapa saat sebelum terjadi gempa.
Penelitian tentang prediksi gempa bumi telah lama menjadi kajian ahli yang menggeluti bidang geologi dan geofisika. Tapi belum ada hasil atau metode yang dapat dijadikan acuan dalam memprediksi kapan, besar dan tempat terjadinya gempa bumi. Beberapa ahli dari Yunani pernah memperkenalkan satu metode untuk memprediksi terjadinya gempa bumi, tetapi metode ini masih sangat jauh dari kenyataan yang terjadi.
Bahkan, di Jepang dengan semua instrumen sangat cangkih yang dimiliki, hingga sekarang belum tepat dalam memprediksi datangnya gempa bumi. Jepang pernah mengalami gempa bumi cukup dahsyat pada 1923 yang meluluhlantakkan Kota Tokyo. Setelah peristiwa itu, para ahli berpendapat gempa yang sama akan terjadi lagi 50-60 tahun kemudian. Memang gempa yang ’’dinanti” tapi tidak diharapkan itu akhirnya datang juga. Tetapi tidak di Tokyo, melainkan meluluhlantakkan Kota Kobe pada 1995. Atau, 72 tahun setelah gempa yang terjadi di Kota Tokyo.
Setiap terjadi bancana alam, perhatian banyak tertuju pada upaya tanggap darurat, misalnya upaya evakuasi korban, distribusi bantuan, penanganan pengungsi, dan lain sebagainya. Setelah itu, persoalan rehabilitasi, rekonstruksi dan mitigasi, dan membangunan kesiagaan kadang sering luput dari perhatian, bahkan menjadi terlupakan jika fase tanggap darurat terlewati. Hal ini terjadi karena perhatian sudah tertuju kepada persoalan bancana alam lainnya. Oleh karena itu, setiap kita berhadapan dengan bencana alam yang bersifat rutin, seoalah-olah kita berhadapan dengan hal yang baru dan ada kecenderungan kita tidak siap menghadapinya dengan tindakan dan upaya yang tepat dan cepat.
Menyadari akan hal ini, seharusnya penanggulangan dan pananganan bencana alam dapat dijadikan pekerjaan rutin (bukan dadakan), terlebih-lebih untuk bencana alam yang dapat diprediksi seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan. Agenda rutin tersebut harus didukung dengan dana cadangan yang memadai, kebanggaan yang mapan dengan sistem jaringan kerja yang kompak serta dengan mekansime peran serta masyarakat yang terbina.
Sebagai wilayah yang rawan bencana alam kebumian, tentunya, Indonesia perlu memiliki manajemen mitigasi bencana gempa yang andal dan terpadu. Hal ini sangat urgen dan sangat berpengaruh dalam upaya memperkecil dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Mitigasi bencana gempa bumi secara struktural dapat dilakukan antara lain penataan ruang dengan memerhatikan kawasan rawan bencana gempa bumi. Membangun bangunan tahan goncangan gempa bumi utamanya bangunan vital dan strategis atau bangunan yang mengundang konsentrasi banyak manusia serta evaluasi konstruksi bangunan vital dan strategis di kawasan rawan bencana gempa bumi.
Melihat Jepang yang juga rawan gempa seperti kita, mungkin bisa dilakukan dalam niat berkaca. Pencakar langit di kota megapolitan Tokyo, semua dirancang tahan goyangan dalam tingkat tertentu. Deretan bangunan selalu diberi jeda antara satu dan yang lain. Hal ini untuk memberi ruang gerak bila bumi bergoyang setiap saat, dan bangunan-bangunan itu tetap tidak kehilangan elastisitasnya.
Tak kalah pentingnya, seperti juga Jepang, Indonesia perlu memiliki sebuah sistem peringatan dini (early warning system) yang canggih dan andal, agar tidak terjadi lagi kasus gempa yang memakan korban jiwa. Di Jepang, ada Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA).
Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi.
Pemerintah lokal, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang. Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Sedangkan mitigasi secara nonstruktural antara lain penentuan SOP, sosialisasi, pendidikan, tim penyelamat, relawan, dan pelatihan penanggulangan bencana gempa bumi melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Saya sangat sependapat dengan Fadli Syamsudin, seorang peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam tulisannya di Majalan Inovasi (edisi maret 2005) telah jauh hari mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk badan khusus yang mengurusi mitigasi bencana (ia menyebutnya ’’Badan Mitigasi Bencana Nasional”). Ia menegaskan bahwa solusi sektoral dalam program mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah selama ini tidak pernah menuntaskan akar permasalahan yang ada setiap kali terjadi bencana. Oleh Karena itu, kebutuhan sebuah Badan Mitigasi Bencana Nasional (BMBN) dalam tataran operasional Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) untuk melaksanakan berbagai agenda penyelamatan dan keamanan masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak saat ini.
Kita hidup di daerah yang sangat rawan bencana alam, khususnya gempa. Tetapi, itu tidak menjadikan kita harus merasa bahwa kita telah ditimpakan azab oleh sang Maha Pencipta, melainkan dinamika untuk mencari keseimbangan. Dan yang terpenting, mari kita jadikan kondisi ini sebagai titik awal bagi kita untuk selalu mengingat-Nya di manapun kita berada.

Sutrisno
Pendidik dan pemerhati
masalah lingkungan,

Rabu, 30 September 2009

MY ARTICLES published on NEWSPAPERS

NO HARI / TANGGAL TERBIT SURAT KABAR / SKUP JUDUL ARTIKEL
1 Kamis 24 September 2009 Joglosemar - Soloraya Revolusi Hijau dan Nasib Petani ; Refleksi Hari Petani, 24 September
2 Rabu 23 September 2009 Wawasan - Jateng Episode Cicak VS Buaya
3 Sabtu, 12 September 2009 Solopos - Soloraya Membudayakan Kirim Parcel untuk Si Papa
4 Jumat, 4 September 2009 Wawasan - Jateng Agenda Buat SBY - Budiono
5 Kamis, 3 September 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Skandal Bank Century
6 Sabtu, 15 Agustus 2009 Solopos - Soloraya Kemerdekaan Bukan Akhir Perjuangan
7 10 Agustus 2009 Suara Merdeka - Jateng Banalitas Label Internasional
8 8 Agustus 2009 Wawasan - Jateng Elnino dan Kekeringan
9 Kamis, 23 Juli 2009 Wawasan - Jateng Menghapus Kekerasan Pada Anak
10 Rabu, 10 Juni 2009 Wawasan - Jateng Putret Buram Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
11 Sabtu, 30 Mei 2009 Wawasan - Jateng Hidup Sehat Tanpa Rokok; Refleksi Hari Bebas Tembakau
12 Jumat, 15 Mei 2009 Wawasan - Jateng Antasari, KPK, dan pemberantasan korupsi
13 Kamis, 22 April 2009 Merdeka - Jkt Antisipasi Kecurangan Dalam Ujian Nasional
14 Wawasan - Jateng Cindera Mata DPR Yang Mencederai
15 18 April 2009 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
16 17 April 2009 Wawasan - Jateng Koalisi dan Harapan Perubahan
17 Kamis, 12 Maret 2009 Joglosemar - Soloraya Pemilu dan Defisit Demokrasi
18 Kamis, 5 Pebruari 2009 Joglosemar - Soloraya Mengungkap Pungli PLN Jateng-DIY
19 Kamis, 22 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Menyoal Standar Keamanan Depo Pertamina
20 Kamis, 8 Januari 2009 Joglosemar - Soloraya Pertamina, SPBU dan Kelangkaan Premium
21 Rabu, 31 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Fenomena Pesta Tahun Baru
22 Selasa, 9 Desember 2008 Joglosemar - Soloraya Korupsi dan Teori Ikan Busuk
23 Sabtu, 29 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya Saatnya Merevitalisasi Fungsi Korpri
24 Sabtu, 22 Nopember 2008 Wawasan - Jateng Memberantas Tuntas Preman(isme)
25 Senin, 10 Nopember 2008 Joglosemar - Soloraya (Re)konstruksi Makna Kepahlawanan
26 Selasa, 4 Nopember 2008 Solopos - Soloraya Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional ?
27 Selasa, 14 Oktober 2008 Joglosemar - Soloraya Mengapa Sepakbola Rentan Kekerasan ?
28 Kamis, 25 September 2008 Joglosemar - Soloraya Aspek 4K Arus Mudik Lebaran
29 Kamis, 4 September 2008 Joglosemar - Soloraya Nasib Guru GTT, Siapa Peduli ?
30 Sabtu, 23 Agustus 2008 Solopos - Soloraya Mengawal Anggaran Pendidikan 20%
31 Selasa, 19 Agustus 2008 Joglosemar - Soloraya Anggaran Naik, Pendidikan Laik ?
32 Kamis, 31 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Mutilasi, Cermin Sebuah Masyarakat
33 Jum'at, 25 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya Pepesan Kosong Tokoh Politik
34 Senin, 21 Juli 2008 Suara Merdeka - Jateng Teknologi dan Moral
35 Kamis, 17 Juli 2008 Joglosemar - Soloraya SKB, Solusi atau Kebingungan
36 Kamis, 26 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Melawan Kejahatan Narkoba
37 Selasa, 10 Juni 2008 Joglosemar - Soloraya Gaji ke-13 dan Celaka 13
38 Selasa, 13 Mei 2008 Joglosemar - Soloraya Thomas, Uber, dan Kebanggaan Bangsa
39 Kamis, 24 April 2008 Joglosemar - Soloraya Kecurangan Ujian Nasional dan Air Mata Guru Jilid II ?
40 Kamis, 3 April 2008 Joglosemar - Soloraya PKB dan Ideologi Konflik
41 Kamis, 13 Maret 2008 Joglosemar - Soloraya Gizi Buruk dan Bayang-bayang Loss Generation
42 Sabtu, 23 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Guru yang Tidak Memihak Nasib Guru
43 Kamis, 14 Pebruari 2008 Joglosemar - Soloraya Kartu Pintar BBM, Solusi atau Proyek

Revolusi Hijau dan Nasib Petani

Refleksi Hari Petani, 24 September

Revolusi Hijau dan Nasib Petani

Dimuat Harian Joglosemar, Kamis 24 September 2009

Sekitar tahun 1970-an banyak orang tak berdaya, tidak cukup memiliki keberanian dan argumentasi untuk menolak Revolusi Hijau, yakni “modernisasi” di bidang pertanian. Saat itu memang sedang terjadi krisis pangan luar biasa, konon di Gunung Kidul sampai terjadi tikus-tikus menggigit jari kaki petani ketika tidur karena langkanya pangan.

Revolusi Hijau menjadi satu-satunya alternatif, bahkan telah menjadi keyakinan pemerintah juga kebanyakan akademisi pertanian sebagai satu-satunya pemecahan masalah krisis pangan. Hampir 30 tahun Revolusi Hijau dilaksanakan oleh pemerintah dan petani dengan slogan swasembada pangan dan kesejahteraan petani (arti dari swasembada pangan adalah mampu memenuhi kebutuhan akan pangan produksi sendiri, tanpa impor atau tingkat impornya nol).

Apa yang terjadi, apa hasilnya? Indonesia tetap impor beras, nasibnya petani tak berubah dan kerusakan lingkungan luar biasa akibat penggunaan pelbagai bahan kimia. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau ternyata tidaklah sekadar program pertanian belaka, melainkan suatu strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme. Kita menyaksikan selama empat puluh abad pengetahuan masyarakat dalam bertani untuk pertama kalinya menghadapi peminggiran.

Untuk pertama kalinya pula dalam sejarah pertanian, suatu model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinational mencoba melakukan homogenisasi berbagai ragam pengetahuan pertanian direduksi menjadi satu bentuk pertanian. Revolusi Hijau jangan hanya dilihat dari sisi teknologi belaka, Revolusi Hijau merupakan kombinasi pengetahuan, teknologi serta kebijakan politik pertanian yang dikembangkan tanpa mempersoalkan struktur kelas masyarakat dalam suatu mode of production yang kapitalistik di pedesaan di negara-negara

Oleh sebab itu, Bank Dunia bersedia selain mengeluarkan bantuan (baca: utang) dan mendidik tenaga ahli nasional di bidang pertanian, juga mengirim tenaga ahli ke Dunia Ketiga untuk membantu pelaksanaan program tersebut. Kenyataannya Revolusi Hijau gagal karena tidak mempersoalkan siapa yang diuntungkan dari hasil pertumbuhannya dan tanpa disadari justru melanggengkan ketidakadilan dalam masyarakat pedesaan serta melahirkan ketergantungan ekonomi pedesaan pada luar pedesaan.

Jumlah petani yang tidak memiliki lahan semakin meningkat. Sebagian dari mereka karena menjual tanahnya pada petani kaya. Proses ini telah mengakibatkan naiknya tingkat landlessness di Jawa. Sensus Penduduk pada periode 1961, 1971, dan 1980 menunjukkan, sekitar 73% keluarga di pedesaan memiliki tanah lebih dari 0,1 ha.

Pada tahun 1963 hanya sekitar 57% keluarga memiliki sawah, dan di tahun 1983 tercatat 16% petani tidak memiliki tanah selama 20 tahun. Petani kemudian menjual tenaga kerja mereka ke petani berlahan atau pindah ke kota untuk menjadi buruh migran pada sektor industri. Lebih lanjut hal tersebut menciptakan masalah urbanisasi di perkotaan.

Walaupun menurut para penganutnya, Revolusi Hijau dan segala implikasinya tidak dianggap sebagai kegagalan. Para penganut dan pelaksana Revolusi Hijau di lapangan selalu meyakinkan keberhasilannya dengan menunjukkan bukti-bukti positif versi mereka. Keyakinan itulah yang kini menjadi alasan untuk tetap meneruskan Revolusi Hijau dalam bentuk lain (Revolusi Hijau Jilid dua), dalam rangka menjamin swasembada/ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

Masalah krisis pangan sekarang ini datang dan hadir lagi, mulailah teriak “ketahanan pangan”, kembali seperti jaman modernisasi pertanian masuk Indonesia, tidak ada refleksi tentang kegagalan revolusi hijau yang tak memenuhi janji itu, bahkan nampaknya tidak menjadi pelajaran apa-apa.

Kegagalan dipahami adanya ketidakmampuan pemerintah dan petani dalam mengelola programnya. Jadi, bukan salahnya konsep dan sistem revolusi hijau, kini dunia pertanian harus memasuki globalisasi (baca: perdagangan/pasar bebas). Artinya, pertanian harus diserahkan pada pasar tidak lagi dikelola oleh pemerintah dan petani, biarkan swasta yang mengelolanya. Maka muncul program-program corporate farming, pengembangan benih rekayasa genetika sebagai lanjutan revolusi hijau yang terkait dengan kepentingan globalisasi.

Wujud penyerahan nasib petani, yakni dengan diserahkannya kebijakan pertanian sepenuhnya ke dalam pertimbangan mekanisme pasar. Kebijakan ini sejalan dengan hasil perundingan sektor pertanian dalam GATT/WTO yang secara ringkas mencakup lima hal, antara lain: pengaturan soal tarif, penurunan tarif rata-rata, penghapusan subsidi domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan sanitary and phitosanitary regulation.

Sistem pertanian yang akan dan sedang dilakukan ini bisa jadi merupakan bentuk kolonialisme baru yang berkedok pasar bebas, itulah yang membawa akibat terhadap kehidupan petani. Salah satu yang paling menonjol adalah menyumbat pertanian dunia ketiga berhadapan dengan perdagangan bebas dengan bentuk-bentuk membanjiri serapan kimia dan karya-karya biologi maupun bioteknologi ke lahan petani.

Pertanian menjadi rentan terhadap penyakit dan miskin keanekaragaman hayati. Ideologi pasar bebas telah mengancam kehidupan petani yang akan terhimpit dalam pemasaran produksinya dan sekaligus tidak memiliki kebebasan dalam memanfaatkan benih tanamannya. Ancaman globalisasi itulah yang memaksa kita dan para petani untuk lebih mempertimbangkan kemampuan serta menentukan tujuan yang akan menjamin rasa keadilan, kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak petani.

Maka, hati-hatilah ketika Anda mengucapkan kata “ketahanan pangan”, karena di dalam kata tersebut terkandung maksud, “seolah-olah Indonesia akan dilanda kelaparan”. Seolah-olah kebutuhan manusia hanya sekadar pangan, tak penting harga diri, tak penting kemerdekaan, tak penting kemandirian, dan lain-lain, maka Corporate Farming, benih-benih rekayasa genetika (transgenik) yang katanya benih mahaunggul walaupun sekarang inipun belum bisa dipertanggungjawabkan keamanannya, tapi itulah jawaban dari pemikiran “ketahanan pangan”. Seperti jawaban Revolusi Hijau pada saat itu, yang ada adalah iming-iming keuntungan dan harapan besar, tak ada pertanyaan apa kerugian dan risikonya, juga siapa yang diuntungkan. Siapa yang harus menanggung risikonya?

Maka saat ini jangan Anda tanyakan apa akibatnya apabila petani menerima sistem Corporate Farming (CF) dan menanam benih-benih rekayasa genetika (transgenik), tapi “mari kita tunggu 5, 10 atau 15 tahun yang akan datang” mungkin kita baru paham lalu sadar, menyesal dan meratapinya.

Setiap tanggal 24 September, kaum petani memperingati hari agraria, hari sebuah produk hukum bernama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dibuat oleh pengurus rakyat (baca: pemerintah). Sekarang hari itu lebih dikenal Hari Tani. Seperti kita yang setiap tahun mengingat hari kelahiran dengan istilah ulang tahun, bukan untuk pesta-pesta apalagi hura-hura tetapi mengingat kembali apa saja peristiwa yang sudah kita alami dan apa maknanya untuk kita. Pada tanggal ulang tahun 24 september inilah kaum tani mengambil makna kelahiran UUPA untuk mereka.

Sejak lahirnya, mereka belum memiliki makna apa-apa untuk mereka para tani Indonesia, padahal UUPA adalah sandaran bagi mereka. Tentu saja cara mereka memperingati bukanlah diwujudkan dengan suka ria, hari-hari yang mereka peringati adalah hari-hari yang penuh catatan keterpurukan, memilukan dari kehidupan mereka yang semakin tak menentu.

Adakah perubahan di masa mendatang? Semoga para petani bisa belajar dari pengalaman bahwa tidak bisa selamanya menyandarkan nasibnya kepada pihak lain. Perubahan itu akan terjadi bila ditentukan sendiri oleh petani dan didukung serta dilindungi oleh negara.

Episode Cicak Vs Buaya

Episode Cicak Vs Buaya

Dimuat Koran Wawasan, Rabu 23 September 2009

Penetapan status tersangka terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menuai kecaman. Para aktivis, pegiat antikorupsi, dan sebagian besar masyarakat mengkritisi cara yang digunakan polisi untuk menjerat para pimpinan KPK. Di berbagai milis dan media massa, muncul tudingan adanya tindakan kriminalisasi KPK oleh aparat kepolisian.

Sikap reaktif yang secara nyata diperlihatkan sebagai dukungan kepada para pimpinan KPK bisa dimaklumi. Selama ini, para pimpinan KPK telah membuktikan komitmen mereka untuk tetap memberantas korupsi di bumi Indonesia. Belum 10 tahun lembaga ini berdiri, KPK sudah memenjarakan puluhan pelaku korupsi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi seperti bankir, polisi, jaksa, pengacara, menteri, gubernur,wali kota,bupati,anggota DPR, pengusaha, sampai besan Presiden SBY.

Makin garang KPK, makin kuat pula upaya untuk mengerdilkannya. Itulah yang terjadi saat ini. Selain dua wakil ketua, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan polisi sebagai tersangka, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengamputasi kewenangan KPK menuntut para koruptor. Para wakil rakyat itu menyerahkan kembali tindakan penuntutan kepada Kejaksaan Agung. Padahal, rakyat pun mafhum, justru di tubuh badan itu pula terjadi praktik koruptif dan kolutif, sebagaimana pernah diungkap KPK.

Tragisnya, di saat serangan datang bertubi-tubi, Ketua KPK Antasari Azhar diduga terlibat pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Kasus ini diduga adanya konspirasi besar yang tampaknya hanya bermotifkan asmara tersebut. Tak hanya itu, dia juga menemui buron sekaligus tersangka kasus korupsi, Direktur Utama PT Masaro Anggoro Widjojo. Kemudian ia juga membuat testimoni yang menyebutkan beberapa pimpinan KPK diduga telah menerima suap Anggoro Widjojo.

Ada yang beranggapan bahwa apa yang sedang terjadi sat ini adalah episode “cicak “ (KPK) melawan “buaya” (Polri). Sekilas terlihat benar. Di sana ada perebutan kewenangan penyidikan. Di sana juga ada pertarungan saling menjatuhkan. KPK menangkap percakapan telepon antara Komjen Susno Duadji dan pihak lain yang berindikasi transaksional untuk pencairan dana di Bank Century. Di sisi lain, polisi menemukan sejumlah hal yang mencurigakan di tubuh KPK.

Dua pimpinan KPK itu “Cuma” dituduh penyalahgunaan wewenang, yakni karena mencekal Anggoro (tersangka korupsi oleh KPK) dan mencabut cekal Joko Tjandra (dalam kasus Artalyta Suryani, bukan dalam kasus cessie Bank Bali). Masalahnya, pemanggilan dan pemeriksaan para pimpinan KPK ini terjadi setelah sebelumnya sempat muncul kontroversi. Mencuatnya pertarungan “cicak vs buaya”yang dilontarkan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duaji menjadi pangkal kontroversi. Dalam sebuah wawancara di media massa, Susno tidak menyebut siapa cicak yang dia maksud dan siapa buayanya. Namun, banyak pihak yang mengartikan cicak sebagai KPK dan buaya sebagai polisi.

Gugatan yang diajukan sejumlah pihak tentang kewenangan KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), sikap reaktif anggota DPR merespons penahanan rekan-rekannya hingga munculnya fenomena “cicak vs buaya” merupakan contoh-contoh konkret pelemahan KPK. Karenanya, saat masih menjabat sebagai Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki sudah mengingatkan tentang munculnya fenomena corruptor fight back, yakni fakta di mana tokoh-tokoh yang popularitasnya hancur melakukan berbagai cara untuk melumpuhkan dan mematahkan upaya pemberantasan korupsi KPK.

Sebagai institusi penegak hukum kejaksaan, kepolisian, dan KPK termasuk pula kehakiman seharusnya seiring sejalan sesuai “porsi” dan kewenangannya masing-masing. Memang, hukum juga berlaku untuk penegak hukum itu sendiri. Tidak ada yang kebal. Hanya saja, tontonan yang diperlihatkan kepolisian dan KPK sekali lagi sangatlah menyesakkan dada warga negeri ini yang menginginkan mereka bersatu memberantas segala praktik korupsi. Jika mereka terus “perang” secara terbuka, tentu kredibilitasnya akan turun. Kepercayaan masyarakat pun bakal melemah.

Secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. Sebab, KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi.

Begitu juga, secara teknis penyidik di KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. KPK bisa maju dan gesit karena SDM-nya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, mereka sebenarnya harus saling bersatu dan mendukung sehingga keberhasilan pemberantasan korupsi segera menunjukkan hasil. Dari sisi ini, sebenarnya tidak perlu terjadi kecemburuan, apalagi conflict of interes, antarlembaga. Kepolisian dan kejaksaan tidak perlu merasa dikecilkan dan disisihkan. Kegesitan KPK untuk menangani korupsi sebaiknya menjadi kebanggaan kita bersama sebagai bangsa dan kebanggaan antarlembaga penegak hukum (Jabir Alfaruqi, 2009).

Dalam kasus ini sesungguhnya ada dua masalah yang harus ditangani, yakni dugaan suap Masaro terhadap pejabat KPK dan suap Bank Century terhadap pejabat Polri. Kita mendukung kasus itu sama-sama diungkap. Tidak peduli apabila melibatkan pejabat KPK maupun Polri. Silakan usut saja kasus itu secara transparan agar publik mengetahui siapa sesungguhnya pejabat yang terlibat dalam dua kasus itu.

Kita tidak ingin kasus Masaro tertutup kasus Century, karena ada pejabat KPK yang diperiksa atau dijadikan tersangka oleh Polri. Begitu juga sebaliknya, kita tidak ingin kasus Century tertutup kasus Masaro, karena ada pejabat Polri yang diperiksa atau ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dalam konteks lain, kita juga mendukung langkah KPK yang akan menyelidiki dugaan keterlibatan oknum “SD” dalam dugaan penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bank Century. Apa yang sedang terjadi saat ini,sejatinya,dapat dilihat sebagai sebuah proses penegakan hukum ke arah profesionalisme.

Kita mendukung aspirasi yang diperjuangkan untuk menolak cara-cara kriminalisasi yang bermaksud melemahkan institusi KPK. Sudah saatnya, kita semua peduli dan menolak upaya pelemahan KPK. Sampai kapan pun lembaga ini harus eksis untuk memberantas praktik korupsi seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Kita juga menagih janji dan sikap kenegarawanan Presiden SBY dalam hal pemberantasan korupsi sebagai agenda utama semasa kampanye Pemilu 2009. SBY harus punya komitmen kuat untuk memberantas tindak kejahatan atas uang negara tersebut. Negara jangan kalah dengan koruptor.

Rabu, 23 September 2009

Few and Little

1 - I have a ____ friends.
few
little
2 - He has very ____ patience with me.
few
little
3 - There's only a ____ sugar left.
few
little
4 - I've done it a ____ times.
few
little
5 - I saw a ____ films at the weekend.
few
little
6 - I've got very ____ spare time.
few
little
7 - I've only read a _____ of the book so far- just the first couple of chapters.
few
little
8 - I'd only like a ____ milk in my tea please.
few
little
9 - Only a _____ tickets were sold for the concert.
few
little
10 - I'd like a ____ more chicken, please.
few
little

adapted from usingenglish

Rabu, 16 September 2009

Stuff to discuss (3) >> What is your opinion?

Katsuko Matsubara

Classroom Group Dynamics; Significant Influence on Learner Motivation


Learning environment and motivation Motivation is a complex psychological process that is subject to both internal and external influences. The quest to sort out this complexity and eventually understand motivation is worthwhile because it can help to predict and influence people’s behavior. While motivation is psychologically determined, influence on motivation from the immediate learning environment should not be neglected. For example, the effects of interaction among learners, the teacher, and other aspects of classroom instruction such as course evaluation, materials, and peer group pressure will also have an effect on learner attitude and their motivation. Therefore, it is necessary to consider what influences learner motivation from two perspectives: social motivation (external influences) and personal motivation (internal influences).

What are internal and external influences? Social motivation is seen as human motives that are directly related to an individual’s social environment. In contrast to social motivation, personal motivation may be seen as motives developed internally without support from peers or significant others. Of course, it is difficult to distinguish these two aspects of motivation since they mutually influence each other. Examples of external influences are peer pressures and practical incentives such as getting a good grade in class. Examples of internal influences are having set personal goals and experiencing a feeling of enjoyment. If students have set concrete personal goals for themselves, their motivation tends to be high.

Motivating factors In order to investigate learner motivation in more depth, a series of interview studies were conducted among Japanese university students (Matsubara, 2006). Examples of high motivating factors are peer pressures and practical incentives such as getting a good grade in class. Students felt that if their peers work hard, they feel obligated to perform well in class. For internal influences, positive learning history and having set personal goals are high motivating factors. If they had a good rapport with the teacher or had a good experience in terms of their performance, their motivation seems to go up. The interview revealed that the most significant influence on learner motivation comes from classroom experiences.

Demotivating factors Most teachers seem to look at motivation factors and what influences learner motivation. On the other hand, demotivating factors also tell us about what is going through learners’ minds. A series of interviews with the students revealed as many demotivating factors as motivating factors. The most frequently cited demotivating factors was a negative learning history. One example occurs when a student’s personal goal and the course goal do not match or a student doesn’t like their instructor’s teaching style. For internal cause, a feeling of frustration and having no personal goal were mentioned as demotivating factors.

What teachers can do to increase motivation? Learner motivation seems to be largely influenced by the learning environment. Therefore, classroom-related factors such as the interaction among students and the teacher, teaching methods employed by the teacher, and both personal and class learning goals are important factors affecting learner motivation. Though it was found that some motivational change occurs when students encounter English speakers and other cultures outside of the classroom, major motivational changes primarily rise from particular classroom experiences.

Teachers can’t force students to like English, but they can lead students to meaningful learning experiences. Because so many students are influenced by external causes that are based in classroom practices, teachers can help by guiding their students to set concrete goals and objectives and to provide positive learning experiences that increase their motivation. In order to create a positive and motivating learning environment, we need to look at classroom dynamics where students are involved in interactions that lead to positive learning experiences.


Katsuko Matsubara is an associate professor at Chubu University. Her research interest is learner motivation, L2 writing and intercultural communication. Her recent article, "Creating Cohesiveness Among Learners Through a Focus on Classroom Group Dynamics in a Japanese Classroom" was published in TESOL's 2008 book, Classroom Management , the first volume of TESOL’s Classroom Practice Series.

Versi Bahasa Indonesia (by google translate)

Kelas Group Dynamics; Pengaruh Signifikan Pada Motivasi Siswa

Lingkungan belajar dan motivasi Motivasi adalah proses psikologis yang kompleks yang dikenakan baik internal dan pengaruh eksternal. Upaya untuk memilah-milah kompleksitas ini dan akhirnya memahami motivasi berharga karena dapat membantu untuk meramalkan dan mempengaruhi perilaku orang. Sementara motivasi secara psikologis ditentukan, pengaruh pada motivasi dari lingkungan belajar langsung tidak boleh diabaikan. Sebagai contoh, efek dari interaksi di antara pelajar, guru, dan aspek lain dari kelas instruksi seperti evaluasi kursus, materi, dan tekanan kelompok sebaya juga akan berpengaruh pada sikap pelajar dan motivasi mereka. Oleh karena itu, perlu untuk mempertimbangkan apa yang mempengaruhi motivasi pelajar dari dua perspektif: motivasi sosial (pengaruh eksternal) dan motivasi pribadi (pengaruh internal).

Apa pengaruh internal dan eksternal? Motivasi sosial dipandang sebagai motif manusia yang secara langsung berhubungan dengan individu lingkungan sosial. Berbeda dengan motivasi sosial, motivasi pribadi dapat dilihat sebagai motif yang dikembangkan secara internal tanpa dukungan dari teman sebaya atau orang lain yang signifikan. Tentu saja, sulit untuk membedakan kedua aspek motivasi karena mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Contoh pengaruh eksternal adalah tekanan rekan dan insentif praktis seperti mendapatkan nilai yang baik di kelas. Contoh pengaruh internal mengalami menetapkan tujuan-tujuan pribadi dan mengalami rasa kenikmatan. Jika siswa telah menetapkan tujuan pribadi konkret untuk diri mereka sendiri, motivasi mereka cenderung tinggi.

Faktor-faktor motivasi Agar motivasi pelajar untuk menyelidiki secara lebih mendalam, serangkaian studi wawancara dilakukan di kalangan mahasiswa universitas Jepang (Matsubara, 2006). Contoh faktor-faktor motivasi tinggi adalah rekan insentif tekanan dan praktis seperti mendapatkan nilai yang baik di kelas. Mahasiswa merasa bahwa jika sesama mereka bekerja keras, mereka merasa wajib untuk tampil baik di kelas. Pengaruh internal, belajar sejarah positif dan memiliki tujuan pribadi menetapkan faktor-faktor motivasi tinggi. Jika mereka memiliki hubungan yang baik dengan guru atau memiliki pengalaman baik dalam hal kinerja mereka, tampaknya motivasi mereka naik. Wawancara mengungkapkan bahwa pengaruh yang paling signifikan pada motivasi belajar berasal dari pengalaman kelas.

Faktor-faktor motivasi Kebanyakan guru tampaknya melihat faktor-faktor motivasi dan apa yang mempengaruhi motivasi pelajar. Di sisi lain, faktor-faktor motivasi juga memberitahu kita tentang apa yang sedang terjadi melalui pembelajar 'pikiran. Serangkaian wawancara dengan siswa terungkap karena banyak faktor-faktor motivasi sebagai faktor-faktor motivasi. Yang paling sering dikutip adalah faktor-faktor motivasi belajar sejarah yang negatif. Satu contoh terjadi ketika seorang mahasiswa tujuan pribadi dan tujuan kursus tidak cocok atau mahasiswa mereka tidak menyukai gaya pengajaran instruktur. Penyebab internal, rasa frustrasi dan tidak memiliki tujuan pribadi disebutkan sebagai faktor motivasi.

Apa yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi? Motivasi pelajar tampaknya sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Karenanya, kelas-faktor yang terkait, seperti interaksi antara siswa dan guru, metode pengajaran yang digunakan oleh guru, dan keduanya pribadi dan tujuan pembelajaran kelas adalah faktor penting yang mempengaruhi motivasi pelajar. Walaupun ditemukan bahwa beberapa perubahan motivasi perjumpaan terjadi ketika siswa berbahasa Inggris dan budaya lain di luar kelas, terutama perubahan motivasi utama bangkit dari pengalaman kelas tertentu.

Guru tidak dapat memaksa siswa untuk seperti bahasa Inggris, tetapi mereka dapat membawa siswa untuk pengalaman belajar yang bermakna. Karena begitu banyak siswa dipengaruhi oleh penyebab eksternal yang didasarkan pada praktek-praktek kelas, guru dapat membantu dengan membimbing siswa mereka untuk menetapkan tujuan dan sasaran konkret dan untuk memberikan pengalaman belajar positif yang meningkatkan motivasi mereka. Dalam rangka menciptakan motivasi yang positif dan lingkungan belajar, kita perlu melihat dinamika kelas di mana siswa terlibat dalam interaksi yang mengarah pada pengalaman belajar yang positif.

Stuff to discuss (2) >> What is your opinion?

What Are Some Ways to Motivate Students?

September 2009

Peter Viney

Motivation

I am only an infrequent visitor to Japan, and my last visit with Karen Viney, my wife and co-writer, was five years ago, so everything I say here must be read with that in mind. In fact I may not be the person you want to go on like I do next, but I’ll have the temerity to say what seems reasonable based on my observations.

The topic that teachers, especially Japanese teachers, discussed with us most often on that visit was fast declining motivation among their students. They said changes were significant over the last few years. Old hands among the native English speakers (NES) reported the same phenomenon. Things had changed. One high school teacher in her twenties (Japanese) said the problem was basic. English was no longer “cool”. It had been when she was a student, not that long ago. That’s probably the most important factor of all. There’s little I can say or do about that, short of hoping for a new Anglophile cultural revolution.

The first observation is that external global factors have intervened, leading to less interest in learning English in general. I’ll take that as read, whether it’s a home filled with the distractions of Nintendo and Wii, or whether it’s a feeling that in the future interaction with China will be more important than with America or Britain. In much of my teaching experience, motivation was a given. Students had paid lots of money for the course, it was intensive and important for their careers.

In much of the world, leaning English has high extrinsic motivation attached. People think English will help them climb the career ladder. In many situations in Europe, Africa, and Latin America, people want to emigrate to an English speaking country, or if not, to a country where English can be used as an initial lingua franca, that really fuels their motivation. That this desire is weaker, or altogether absent, in Japan,makes the situation unusual.

Intrinsic motivation is problematic. It’s clear that for most people success breeds motivation. It’s true in every sphere of life that if you can’t manage to do something reasonably well, interest fades. If you can do something well, but no one recognizes it and the ability gets you nowhere, interest fades.

On our last visit, we did the tourist thing and took a week off in Kyoto. We wandered around the lanes buying various bits and pieces as gifts. What really surprised us was the very low level of English in this tourist situation. Young adults serving in shops couldn’t deal adequately with numbers in English, and that’s in a near-unique situation in a place where you can look down the street and there will virtually always be other non-Japanese people in sight. Usually, when we travel, people in tourist situations say they find Karen and I remarkably easy to understand. That’s after years of teaching beginners. We both naturally control the structures we use, and enunciate clearly. If they can’t understand us saying numbers, they haven’t got much chance with the average Native English speaker.

I could list excuses for them. Years of dull grammar translation in school didn’t help much, but students suffer that in many countries. Japanese is a long way from English, much further than Italian or Greek. True, but it’s no further than Thai or Chinese, and Japan has much more access to Western culture and movies and songs than many countries.

We firmly believe motivation comes from achievement, and what we saw was remarkably low achievement in a situation where there is both opportunity and a real need to speak English.

I’m going to propose an unpopular explanation to the particular problems in Japan: I’m going to blame teaching.

I’m going to propose an unpopular explanation to the particular problems in Japan: I’m going to blame teaching. I’ve been discussing Japan a lot recently in meetings with various people in publishing, and they all remark on the extreme diversification in the teaching situation compared to other countries, especially among Native English Speakers. There’s a wide variety of methodologies ranging from the most old-fashioned to the most avant-garde. The wide diversity of teaching situations in Japan makes it a most interesting place to visit. But there’s a “but”. Individual teachers get brilliant results, but the problem is that too many people are singing off different song sheets. A teacher can achieve success with a quirky style or a novel approach to teaching, but unless that teacher alone takes the students through from zero beginner to the end of their studies, students will be meeting other teachers who are singing in a different key. Lack of a consensus on broad goals among the teachers results in confusion for the students.

In other countries, when you attend teaching conferences, there is a range of ideas and personalities and approaches, but there is a broad consensus on at least some things. They all teach grammar (whether directly, or obliquely, or through translation). They all work on skills development. They structure the input of the lessons and materials to student level.

Whether they’re working on a structural syllabus, or a functional syllabus, or trying to invent a lexical syllabus, there is a consensus on something, even if it’s just the goals of the Common European Framework. I’m not advocating the centralization of teaching lampooned in discussions of the French education system in the 1950s. It was said that the Minister for Education could look at his calendar, and know “April tenth. Every twelve year old in France will be studying adverbs of manner today.”

On the other hand, I’ve never seen teachers in Europe cheerfully boast that they’ve spent a year or two taking students (students who can hardly string a coherent sentence together in front of a native speaker) through an authentic one thousand page novel. Outside Japan I’ve never seen anyone advocate that if students get enough reading input they’ll learn as if by osmosis. Nowhere else do you find advocates of ungraded material for beginners. Elsewhere I’ve also rarely seen people allowed in a classroom simply on the basis of being a native speaker.

In most situations I have experienced, peer observation with constructive criticism is considered a major teacher-training tool, and part of ongoing in-service training. I find it hard to comprehend that experienced teacher trainers are not expected to suggest or even prescribe teaching methods to new arrivals. When I was a tutor on an RSA Cert.TEFL Course (as it then was), one of my trainees told me she intended to use the Silent Way in one of her observed lessons for the exam. I simply said, “No. Don’t do it.

You’ve worked very hard. You’re sure to pass. Don’t throw it away. Go in and teach them something in a conventional way.” I get the impression that few are allowed the authority to say that in Japan.

The best motivation for students is the feeling that you have learned something, that you are now learning something else, and that you feel you will be able to cope with the next stage of learning. Students have to be able to look back, and say ‘In January I couldn’t do that. It’s April now, and I can do it.’ At the lower levels, they should be aware of what progress they’ve made today. Every teacher has to ask, ‘Is this happening? Not just in my lessons, but in their learning experience as a whole?’

Editors and authors have said things to me recently about Japan being too diverse and confused a teaching environment to cope with. They have a point. I could give you ten pages of detailed criticism of the Common European Framework levels or of the detailed syllabus goals listed for the KET and PET Cambridge exams, but they’re still excellent starting points which have taken years of negotiation to assemble. They’re Eurocentric to a degree, because they can assume higher guess rates, but the principle is valid.

Teachers need to agree on common goals, and like it or not, those goals can only be quantified in structural and functional terms. The functional list is vague, but far easier to compose (Students should be able to buy and sell items, discussing prices and giving change). The stuctural list inevitably leads to argument. Should there be overt grammar teaching, or should grammar be embedded? What is the sequence of presentation of the items expected as a final goal? What methodologies will be utilised to impart them?

It is however possible to say that students at a given level should be able to comprehend and use the present perfect to discuss recent events. That’s a concrete ELT goal. At a given level, students should be able to apologize with different degrees of politeness. That’s a concrete ELT goal. At a given level, students should be able to read a graded ELT reader at the 1250 headword level. That’s a concrete ELT goal. Students should be able to listen to a series of announcements and note times and numbers accurately without understanding every word of the announcement. That’s a concrete ELT goal.

Human happiness is not an ELT goal, unfortunately. Nor is knowing more about the environment. Nor is being a more caring person. All these things may happen alongside the acquisition of a language skill, but they’re not the measure of the skill. The greatest motivating factor is measurable success. Are enough students achieving that success?


Peter Viney is the co-author of IN English:, Survival English / Basic Survival, Handshake, Grapevine, and Streamline. He has written thirteen video courses, and has recently finished work on a major video self-study project. He lives in Poole, UK. Peter and Karen Viney’s website is at www.viney.uk.com Peter’s forthcoming book is Fast Track to Reading published by Garnet Education. It is not yet up on their website at the time of writing (September 2009), but it may be by the time you read this.


Versi Bahasa Indonesia (by google translate)

Beberapa Cara untuk Memotivasi Siswa?

September 2009

Peter Viney


Motivasi
Saya hanya seorang pengunjung jarang ke Jepang, dan kunjungan terakhir saya dengan Karen Viney, istri saya dan co-penulis, lima tahun yang lalu, jadi semuanya saya katakan di sini harus dibaca dengan pikiran yang dalam. Bahkan aku mungkin bukan orang yang ingin Anda terus seperti saya lakukan selanjutnya, tapi aku akan punya keberanian untuk mengatakan apa yang tampaknya masuk akal berdasarkan pengamatan saya.

Topik yang guru, terutama guru Jepang, dibahas bersama kami yang paling sering pada kunjungan ini adalah motivasi menurun cepat di antara siswa mereka. Mereka mengatakan perubahan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. Tangan tua di antara penutur asli bahasa Inggris (SPN) melaporkan fenomena yang sama. Hal yang telah berubah. Satu guru SMA di usia dua puluhan (Jepang) mengatakan masalah mendasar. Inggris tidak lagi "keren". Dulu, ketika ia masih mahasiswa, belum lama yang lalu. Itu mungkin faktor yang paling penting dari semua. Ada sedikit saya bisa katakan atau lakukan tentang itu, pendek berharap untuk sebuah revolusi budaya Anglophile baru.

Pengamatan pertama adalah bahwa faktor-faktor global eksternal ikut campur, yang menyebabkan kurang minat dalam belajar bahasa Inggris pada umumnya. Aku akan menganggap itu sebagai membaca, entah itu sebuah rumah penuh dengan gangguan dari Nintendo dan Wii, atau apakah itu perasaan bahwa di masa mendatang interaksi dengan Cina akan lebih penting daripada dengan Amerika atau Britania. Dalam banyak pengalaman mengajar saya, motivasi adalah diberikan. Siswa sudah membayar uang banyak untuk kursus, itu intensif dan penting bagi karier mereka.

Di sebagian besar dunia, bersandar inggris memiliki motivasi ekstrinsik tinggi terlampir. Orang berpikir Inggris akan membantu mereka menaiki tangga karir. Dalam banyak situasi di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin, orang ingin pindah ke suatu negara berbahasa Inggris, atau jika tidak, untuk sebuah negara di mana bahasa Inggris dapat digunakan sebagai lingua franca awal, yang benar-benar bahan bakar motivasi mereka. Itu keinginan ini lebih lemah, atau sama sekali tidak ada, di Jepang, membuat situasi yang tidak biasa.

Motivasi intrinsik bermasalah. Jelas bahwa bagi kebanyakan orang sukses melahirkan motivasi. Memang benar dalam setiap bidang kehidupan bahwa jika Anda tidak bisa mengelola untuk melakukan sesuatu yang cukup baik, bunga memudar. Jika Anda dapat melakukan sesuatu dengan baik, tapi tidak ada yang mengenalinya dan kemampuan membawa Anda ke mana-mana, bunga memudar.

Pada kunjungan terakhir kami, kami melakukan hal turis dan mengambil libur seminggu di Kyoto. Kami berjalan di sekitar jalur membeli berbagai potongan-potongan sebagai hadiah. Yang benar-benar mengejutkan kami adalah tingkat yang sangat rendah di inggris situasi wisata ini. Dewasa muda yang melayani di toko-toko tidak bisa menangani secara memadai dengan angka-angka dalam bahasa Inggris, dan itu di dekat-situasi yang unik di tempat di mana Anda bisa melihat di jalan dan di sana akan hampir selalu menjadi non-Japanese people yang terlihat. Biasanya, ketika kita melakukan perjalanan, orang-orang dalam situasi pariwisata mengatakan mereka menemukan Karen dan aku sangat mudah dipahami. Itu setelah bertahun-tahun mengajar pemula. Kami berdua secara alamiah mengontrol struktur yang kita gunakan, dan mengatakan dgn jelas. Jika mereka tidak bisa memahami kita mengatakan angka-angka, mereka tidak punya banyak kesempatan dengan rata-rata Inggris Penutur asli.

Aku bisa daftar alasan bagi mereka. Tahun membosankan terjemahan tata bahasa di sekolah tidak membantu banyak, tetapi para siswa menderita bahwa di banyak negara. Jepang adalah jauh dari bahasa Inggris, lebih jauh dari Italia atau Yunani. Benar, tapi itu tidak lebih dari Thailand atau Cina, dan Jepang memiliki lebih banyak akses ke budaya Barat dan film-film dan lagu-lagu dari berbagai negara.

Kami yakin motivasi berasal dari prestasi, dan apa yang kita lihat adalah pencapaian luar biasa rendah dalam situasi di mana ada peluang dan kebutuhan nyata untuk berbahasa Inggris.

Aku akan mengusulkan sebuah penjelasan tidak populer untuk masalah-masalah khusus di Jepang: Aku akan menyalahkan mengajar.

Aku akan mengusulkan sebuah penjelasan tidak populer untuk masalah-masalah khusus di Jepang: Aku akan menyalahkan mengajar. Aku sudah banyak membahas Jepang baru-baru ini dalam pertemuan dengan berbagai orang di penerbitan, dan mereka semua berkomentar tentang diversifikasi ekstrim dalam situasi pengajaran dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama di kalangan Native Speakers Inggris. Ada berbagai metodologi mulai dari yang paling kuno sampai yang paling avant-garde. Keragaman luas situasi mengajar di Jepang membuatnya menjadi tempat yang paling menarik untuk dikunjungi. Tapi ada "tapi". Masing-masing guru mendapatkan hasil yang cemerlang, tapi masalahnya adalah bahwa terlalu banyak orang yang menyanyikan lagu yang berbeda dari seprai. Seorang guru dapat mencapai sukses dengan gaya yang unik atau pendekatan baru untuk mengajar, tetapi jika itu saja memerlukan guru siswa melalui dari nol pemula sampai akhir studi mereka, siswa akan bertemu guru-guru lain yang bernyanyi di kunci yang berbeda. Tidak adanya konsensus mengenai tujuan-tujuan yang luas di antara para guru mengakibatkan kebingungan bagi para siswa.

Di negara lain, bila Anda menghadiri konferensi pengajaran, terdapat berbagai gagasan dan kepribadian dan pendekatan, tetapi ada konsensus yang luas mengenai paling tidak beberapa hal. Mereka semua mengajarkan tata bahasa (baik langsung, atau secara tidak langsung, atau melalui terjemahan). Mereka semua bekerja pada pengembangan keterampilan. Mereka struktur input dan bahan-bahan pelajaran untuk tingkat mahasiswa.

Apakah mereka sedang bekerja pada silabus struktural, atau fungsional silabus, atau mencoba untuk menciptakan sebuah leksikal silabus, ada konsensus tentang sesuatu, bahkan jika itu hanya tujuan dari Eropa Common Framework. Saya tidak menganjurkan ajaran sentralisasi lampooned dalam diskusi tentang sistem pendidikan Perancis pada 1950-an. Dikatakan bahwa Menteri Pendidikan bisa melihat di kalender, dan tahu "April kesepuluh. Setiap dua belas tahun di Perancis akan belajar cara adverbia dari hari ini. "

Di sisi lain, saya belum pernah melihat guru-guru di Eropa riang menyombongkan diri bahwa mereka telah menghabiskan waktu satu tahun atau dua siswa mengambil (siswa yang hampir tidak dapat string kalimat yang koheren bersama-sama di depan pembicara asli) melalui otentik novel seribu halaman . Luar Jepang Aku belum pernah melihat orang menganjurkan bahwa jika siswa mendapat cukup membaca masukan mereka akan belajar seolah-olah dengan osmosis. Tempat lain yang Anda temukan ungraded bahan pendukung untuk pemula. Tempat lain saya juga jarang melihat orang-orang diperbolehkan dalam kelas hanya atas dasar menjadi pembicara asli.

Pada kebanyakan situasi saya alami, rekan pengamatan dengan kritik konstruktif dianggap sebagai guru utama-alat pelatihan, dan bagian dari layanan berlangsung di-pelatihan. Aku merasa sulit memahami bahwa pelatih guru berpengalaman tidak diharapkan untuk menyarankan atau bahkan meresepkan metode pengajaran bagi para pendatang baru. Ketika saya adalah seorang guru di sebuah Cert.TEFL RSA Course (seperti saat itu), salah satu peserta pelatihan mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menggunakan Jalan Diam dalam mengamati salah satu pelajaran untuk ujian. Aku hanya berkata, "Tidak Jangan lakukan itu.

Anda telah bekerja sangat keras. Anda yakin untuk lulus. Jangan membuangnya. Masuk dan mengajar mereka sesuatu dengan cara konvensional. "Saya mendapat kesan bahwa hanya sedikit yang diizinkan wewenang untuk mengatakan bahwa di Jepang.

Motivasi yang terbaik bagi siswa adalah perasaan bahwa Anda telah belajar sesuatu, bahwa Anda sekarang belajar sesuatu yang lain, dan bahwa Anda merasa Anda akan mampu mengatasi dengan tahap berikutnya belajar. Siswa harus dapat melihat ke belakang, dan berkata 'Pada bulan Januari saya tidak bisa melakukan itu. It's April sekarang, dan aku bisa melakukannya. "Pada tingkat yang lebih rendah, mereka harus menyadari apa yang mereka telah membuat kemajuan hari ini. Setiap guru harus bertanya, "Apakah ini terjadi? Tidak hanya dalam pelajaran, tetapi dalam pengalaman belajar mereka secara keseluruhan? "

Editor dan penulis telah mengatakan sesuatu kepada saya baru-baru ini tentang Jepang yang terlalu beragam dan bingung lingkungan pengajaran untuk mengatasi. Mereka memiliki titik. Aku bisa memberimu sepuluh halaman kritik rinci dari tingkat common Kerangka Eropa atau tujuan silabus rinci tercantum untuk KET dan PET ujian Cambridge, tapi mereka masih sangat baik titik awal yang telah diambil tahun negosiasi untuk berkumpul. Mereka Eurocentric untuk gelar, karena mereka menganggap dapat menebak angka yang lebih tinggi, tetapi prinsip ini berlaku.

Guru perlu untuk menyepakati tujuan bersama, dan suka atau tidak, tujuan-tujuan tersebut hanya dapat diukur dalam istilah struktural dan fungsional. Daftar fungsional samar-samar, tetapi jauh lebih mudah untuk menulis (Siswa harus dapat membeli dan menjual item, membahas harga dan memberikan perubahan). Daftar yang stuctural pasti akan mengarah pada argumen. Harus ada pengajaran tata bahasa yang terang-terangan, atau tata bahasa harus ditanamkan? Apa urutan presentasi item yang diharapkan sebagai tujuan akhir? Apa metodologi akan digunakan untuk menanamkan mereka?

Hal tersebut adalah mungkin untuk mengatakan bahwa siswa pada tingkat tertentu harus dapat memahami dan menggunakan present perfect untuk membahas kejadian terkini. Itu tujuan ELT beton. Pada tingkat tertentu, siswa harus mampu meminta maaf dengan berbagai derajat kesopanan. Itu tujuan ELT beton. Pada tingkat tertentu, siswa harus mampu membaca ELT bergradasi pembaca pada tingkat kata pokok 1250. Itu tujuan ELT beton. Siswa harus mampu mendengarkan serangkaian pengumuman dan catatan waktu dan nomor akurat tanpa memahami setiap kata dari pengumuman. Itu tujuan ELT beton.

Kebahagiaan manusia bukanlah tujuan ELT, sayangnya. Juga tidak mengetahui lebih banyak tentang lingkungan. Juga tidak menjadi orang yang lebih peduli. Semua hal ini dapat terjadi bersamaan dengan perolehan keterampilan bahasa, tapi mereka tidak ukuran keterampilan. Faktor pendorong terbesar adalah keberhasilan diukur. Apakah cukup mahasiswa mencapai kesuksesan?


Petrus Viney adalah co-penulis DALAM inggris:, Survival Inggris / Dasar Survival, Handshake, Grapevine, dan Streamline. Tiga belas ia telah menulis kursus video, dan baru-baru ini selesai bekerja pada video utama proyek belajar-sendiri. Dia tinggal di Poole, Inggris. Petrus dan Karen Viney website ini di www.viney.uk.com Petrus buku yang akan datang adalah Fast Track untuk Membaca diterbitkan oleh Garnet Pendidikan. Itu belum pada website mereka pada saat penulisan (September 2009), tetapi mungkin pada saat Anda membaca ini.