NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 30 April 2012

UN dan Pembangkangan atas Konstitusi

TAHUN ini, pemerintah masih menyelenggarakan ujian nasional (UN) untuk tingkat SMA/MA, SMP/MTs/SMPLB, dan SD/MI/SDLB UN. Menurut Mendikbud Muh Nuh, UN tahun 2012 bukan lagi alat seleksi utama yang menentukan kelulusan siswa. UN 2012, yang menerapkan formula kelulusan siswa dari satuan pendidikan, harus mengakomodasi nilai rapor, ujian sekolah dan UN. Formula UN yang akan dilaksanakan adalah menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah.
Formula UN tersebut ternyata masih memberikan kelonggaran terjadinya kecurangan secara sistemik. Nilai sekolah yang berasal dari rata-rata nilai semester satu sampai semester ganjil kelas akhir dan memiliki bobot 40 persen terhadap kelulusan, masih memungkinkan terjadinya manipulasi data dari satuan pendidikan. Selain itu, rumusan kelulusan tersebut belum sempurna. Hemat saya, standar penilaian yang digunakan saat ini adalah standar mutlak. Padahal, seharusnya yang digunakan standar norma (standar penilaian yang digunakan atas pertimbangan kondisi setiap daerah yang berbeda-beda). UN harus memenuhi asas bermutu, berkeadilan, dan efisiensi. Sekolah-sekolah yang fasilitas kegiatan belajar-mengajar dan gurunya belum memadai seharusnya dilihat dan dipertimbangkan untuk menentukan nilai kelulusan.
Sejak pertama UN dilaksanakan, banyak muncul kecurangan dan penyimpangan baik dari siswa, guru, kepala sekolah, bahkan sampai pejabat daerah. Menurut Doeni Koesoema A, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental yang harus memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, hal mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian. Dengan begitu, kultur edukatif benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan. UN sesungguhnya dapat meningkatkan mutu pendidikan yang mencakup aspek akademis, administrasi, dan profesionalisme guru. Tetapi kelemahannya, dalam sistem UN diberlakukan standar kelulusan yang sama untuk seluruh sekolah di Indonesia. Sistem kriteria kelulusan yang ditetapkan pemerintah telah mencabut kewenangan dan mandat yang diberikan kepada guru dan kepala sekolah sesuai amanat Pasal 58 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, guru, yang dapat mempertimbangkan seluruh hasil ujian, termasuk UN.
UN seyogianya hanya untuk mengukur tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar, bukan untuk menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa harus dinilai secara komprehensif dari awal siswa tersebut berada di sekolah yang bersangkutan. Evaluasi sekolah dapat melalui koordinasi dinas pendidikan di daerah kabupaten/kota. Apalagi negeri ini sudah punya sistem otonomi pendidikan sampai tingkat yang paling dasar. Pelaksanaan UN selama ini juga tumpang tindih antara pemetaan dan ujian. Sebuah pemetaan tidak boleh berakibat lulus tidaknya peserta didik, karena pemetaan adalah pemotretan sejenak yang dilakukan untuk menentukan strategi pembangunan pendidikan ke depan sesuai kondisi. Sedangkan ujian untuk mengukur pencapaian proses pembelajaran pada setiap peserta didik pada lembaga pendidikan tertentu yang mengakumulasi semua nilai dan laporan hasil peserta didik.
Ketiadaan rumusan dan perencanaan yang jelas dengan landasan filosofis yang tegas menyebabkan kasus UN terus-menerus menjadi kontroversial. Dari Immanuel Kant (1960) hingga Count Leo Tolstoy (1967) menyiratkan bahwa sebagai sebuah proses rekayasa sosial, pendidikan harus terbebaskan dari praktik kontrol yang berlebihan seperti UN.
Untuk itu, pelaksanaan UN perlu disempurnakan dengan lebih dahulu dilakukan pemetaan dan membuat standar minimal kelulusan sesuai hasil pemetaan secara nasional. Sehingga, ada klasifikasi mutu sekolah yang akan ikut UN. Kalau ingin standar yang sama dan meningkatkan mutu pendidikan secara merata, harus ada pemberlakuan sistem pendidikan yang sama pula untuk seluruh sekolah di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta.
Dapat dipastikan kalau ternyata dalam tubuh pendidikan kita ada yang tidak beres. Mungkin di antara kita ada yang sudah melihat borok itu, tapi tidak bersuara. Bisa pula sudah berteriak untuk perbaikannya, namun tidak ada yang mau mendengar dan bertindak mengambil risiko. Bangsa ini perlu perbaikan secara menyeluruh, tidak hanya persoalan ekonomi maupun pertahanan keamanan.
Banyak pakar mengemukakan bahwa UN harusnya didesain tidak lebih dari upaya melihat dan memetakan pendidikan kita, bukan penentu kelulusan siswa. Sudah saatnya pemerintah melakukan perbaikan dan peningkatan di sektor pendidikan. Standar nasional pendidikan di negeri ini mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, manajemen, kurikulum, dan pembiayaan sebelum akhirnya bicara tentang standar penilaian (evaluasi) pendidikan.
Apalagi, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2596 K/PDT/2008 mengeluarkan larangan kepada pemerintah melaksanakan UN. Tiga tuntutan keputusan MA harus dipenuhi pemerintah--dalam hal ini Depdikbud. Pertama, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan serta guru dalam proses pendidikan. Kedua, pemerintah harus membuat satu skenario respons terhadap siswa yang gagal atau menjadi korban UN agar siswa tidak stres berat. Ketiga, pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan dasar secara umum.
Selama ini, putusan MA yang melarang pelaksanaan UN diabaikan oleh pemerintah dan memaksakan kehendak untuk melaksanakan UN tanpa memperhitungkan penolakan dari masyarakat, DPR, dan MA yang menilai UN melanggar UU. Padahal, penundaan tersebut sebenarnya sangat sederhana, yakni stakeholder pendidikan menginginkan agar pemerintah tidak memiliki paradigma kerdil tentang pendidikan. Jelas sekali, pemerintah--Depdikbud--telah melakukan pembangkakangan atas konstitusi karena tidak melaksanakan putusan MA. Kebijakan pendidikan yang dijalankan pemerintah selama ini tidak dikaji secara radikal, holistik, dan filosofis. Tak heran jika pelaksanaan UN masih terjadi kekurangan, bahkan telah melenceng dari tujuan yang sebenarnya.
Solusi paling sederhana adalah pemerintah mengajak komponen masyarakat yang sangat kritis terhadap penyelenggaraan UN untuk duduk bersama dan saling mendengarkan. Semua pihak harus berpikir lagi, membuat formulasi baru tentang UN. Konsep standar pendidikan nasional mesti dirumuskan lagi serta bertumpu pada keragaman mutu pendidikan masyarakat dan satuan pendidikan daerah yang sebenarnya. 

Dimuat di Jurnal Nasional | Jum'at, 27 Apr 2012
Ahmad Nurullah

 *) Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

Komitmen UN Jujur-Bersih

Oleh: Sutrisno

Agenda tahunan bernama Ujian nasional (UN) kembali digelar. Untuk tingkat SMA/MA/SMK digelar tanggal 16-19 April, SMP/MTs/SMPLB dilaksanakan 23-26 April, dan SD/MI/SDLB 7-9 Mei 2012. UN tahun 2011 berbeda dari tahun sebelumnya, karena pemerintah telah membuat formula baru UN. Formula baru UN tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Penedidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 59 Tahun 2011 tentang Ujian Nasional.
Berdasarkan Permendikbud tersebut, kelulusan siswa ditentukan oleh tiga komponen, yakni hasil UN, nilai rapor, dan Ujian Akhir Sekolah (UAS), serta kepribadian. Meskipun UN tidak menjadi satu-satunya faktor penentu kelulusan, tapi toh pemerintah tetap membuat standar nilai minimal UN, untuk tahun depan menjadi 5,5. Dengan aturan maksimum dua mata pelajaran dengan nilai minimal 4 dan maksimum 4 mata pelajaran di atas 4,25.
Kelulusan siswa dari sekolah dengan melihat nilai gabungan dipatok minimal 5,5. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN. Rumus yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan = (0,6 x nilai Unas) + (0,4 x nilai sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN. Persentase nilai UN memiliki bobot 60 persen, sedangkan nilai olahan sekolah berbobot 40 persen.
Udara segar yang dihembuskan pemerintah adalah sekolah diberi peran serta sebesar 40% penilaian dan 60% masih mengacu pada nilai mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Siswa tidak hanya dicekoki warning yang menyesatkan dengan menakut-nakuti nilai UN harus tinggi atau di atas rata-rata kelulusan, tetapi sejak dini siswa sudah diinjeksi vitamin “keseriusan belajar” dengan mendalami semua mata pelajaran, tanpa hanya berfokus pada pelajaran yang di-UN-kan.
Keseriusan mereka akan terekam dalam nilai rapor semester yang pada gilirannya memengaruhi muara bobot 40% kelulusan. Namun, pada kenyataannya dapat dipastikan tidak sedikit pihak penyelenggara sekolah seperti kepala sekolah dan guru semata-mata lebih berorientasi meng-goal-kan ketercapaian 40% bobot tersebut dengan penilaian yang kurang objektif. Dalam pemberian nilai, akhirnya guru cenderung menjadi “dewa penolong”. Kewenangan sekolah akhirnya tercederai dengan ketakutan ketidaktercapaian bobot maksimal. Dengan kalimat lain, akan muncul mark up dalam pemberian nilai sekolah.
Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN. Ketika protes terbuka bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai drill sekeras-kerasnya berakhir dengan frustrasi dan desperasi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.
Pelaksanaan UN sampai saat ini masih masih dikotori dengan praktik kecurangan baik secara individu atau kelompok. Kecurangan UN terjadi karena belum tumbuhnya kesadaran berbuat jujur. Pada sisi lain, selama kegiatan belajar-mengajar belum diiringi upaya membangkitkan motivasi dan integritas siswa menghadapi UN. Jikapun dilakukan masih dalam persiapan latihan ujian saja. Situasi pembelajaran yang mengintegrasikan budi pekerti luhur, bekerja keras, percaya diri, dan daya juang siswa belum tampak secara operasional menyertai dalam proses pembelajaran sebelum UN.
Penulis ingatkan, pelaksanaan ujian yang tidak jujur juga meruntuhkan fungsi UN itu sendiri. UN bukanlah ajang mengadu gengsi, tetapi berfungsi sebagai pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, serta dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan itu, penyelenggaraan UN yang mantap, jujur dan berkualitas adalah salah satu prasyarat utamanya. Lebih baik penyelenggaraannya, lebih baik juga hasilnya. Mutu harus ditingkatkan. Modus penyelenggaraannya juga harus lebih profesional dan bertanggung jawab serta taat azas.
Modal utama dalam membaharuinya adalah dengan mengubah pola pikir. Persfektif kalangan dunia pendidikan juga harus dibaharui. Misalnya, lebih baik melihat kenyataan objektif daripada harus memoles diri dalam kepalsuan. Jika memang siswa tidak lulus, ditunjukkan saja tidak lulus. Ini jauh lebih baik daripada harus bermanis-manis ria, namun dikemudian hari kita menyesal. Jika sekarang kita menghendaki agar siswa kita berkualitas, mengapa tidak sejak lama kita mempersiapkan diri?
Jangan lagi ada mental instan! Jangan pula ada lagi kecurangan! Biarkan tampilan murni wajah pendidikan kita yang terlihat. Tidak boleh ada kepalsuan dan ketidakjujuran. Dengan demikian penyelenggaraan UN harus menjadi perhatian dan tanggungjawab kita bersama. Pelaksanaan UN yang benar, jujur-bersih, dan berkualitas tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, dari mulai pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa dan wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. UN yang benar, jujur-bersih dan berkualitas setiap tahun memang harus menjadi komitmen bersama.

 *) Dimuat Di Harian Nasional Suara Pembaharuan Jakarta, 14 April 2012

Minggu, 22 April 2012

Tulisan Terakhir Widjajono...

Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala kehendak-Nya terjadi.

Saya biasa tidur jam 20.00 WIB dan bangun jam 02.00 WIB pagi lalu Salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar 30 menit, lalu buka komputer buat tulisan atau nulis email.

Dalam meditasi biasa menyebutkan:

“Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, aku sayang kepadaMu dan sayangilah aku… Tuhan Engkau Maha Pencipta, segala kehendak-Mu terjadi…”

Lalu saya memohon apa yang saya mau…
(dan diakhiri dgn mengucap)
“Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.”

Subuh saya Sholat di Mesjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke Taman Jenggala (pp sekitar 4 kilometer). Saya menyapa Satpam, Pembantu dan Orang Jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga disapa oleh yang punya rumah (banyak Pejabat, Pengusaha dan Diplomat), sehingga saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat keadaan lebih baik. Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal, jadi kita tidak perlu kuatir. Percayalah…

Salam,

widjajono 


source http://nasional.kompas.com/read/2012/04/21/22013682/Tulisan.Terakhir.Widjajono

Selasa, 10 April 2012

The Specification of 2nd Midterm Test


Rabu, 04 April 2012

Mengapa Kepala Daerah Terlibat Korupsi?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengaku sedih karena banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kenyataan ini sungguh sangat ironis karena dengan fakta makin banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, berarti dana pembangunan untuk rakyat di daerah tersedot ke kantong pribadi pejabat. Menurut Mendagri Gamawan Fauzi sekitar 150 dari 524 kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau kota sedang menjalani proses hukum dan terancam dipecat dari jabatannya.

Pertanyaannya, mengapa banyak kepala daerah, baik bupati/wali kota terlibat korupsi? Ada beberapa penyebabnya. Pertama, budaya korupsi yang menjadi tren di kalangan kepala daerah belakangan ini merupakan akibat dari biaya politik yang tinggi. Seorang calon walikota/bupati misalnya harus mempersiapkan dana 5-10 miliar dan calon gubernur 20-100 miliar. Jumlah itu tentu masih tergolong minim dalam memenangkan perhelatan pilkada. Bandingkan dengan pemasukan “halal” seorang walikota/bupati sebesar 300-400 juta setiap tahunnya. Lebih besar pasak daripada tiang. Jika sudah begini, akan sangat susah menuntut kepala daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih dan jauh dari praktek korupsi.

Konsekuensi dari ongkos politik yang tinggi tersebut, akhirnya membuat para kepala daerah mengakali pelbagai sumber dana yang ada untuk balik modal sekaligus untung. Biasanya begitu menjabat, APBD lah yang mereka gunakan. Anggaran Daerah (APBD) ini pula yang kemudian kembali digunakan oleh mereka yang telah menjabat dan kembali ikut menjadi peserta pemilihan kepala daerah. Caranya adalah dengan membesarkan pos bantuan sosial di anggaran yang nantinya dipakai untuk bagi-bagi sumbangan dalam rangka kampanye terselubung.

Kedua, sejak UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (otda) diberlakukan, bahkan sampai diganti dengan yang baru, yaitu UU No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan otda justru melahirkan kepala daerah menjadi “raja-raja kecil” di daerah. Otda di sisi lain telah memunculkan oligarki kekuasaan baru di daerah yang menguntungkan sekolompok kecil orang yang dekat dengan penguasa di daerah saja. Hal ini dilakukan dengan cara adanya transfer korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di daerah.

Dengan otda, para kepala daerah dengan kekuasaannya memanfaatkan aji mumpung sebagai bupati/wali kota menciptakan modus baru korupsi, antara lain, menahan setoran pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah maupun modus pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi. Ditambah, kongkalikong markup dan cash back dari rekanan proyek, budaya upeti. Modus lain adalah pemanfaatan sisa dana tanpa pertanggungjawaban, manipulasi sisa APBD, manipulasi perizinan, gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah, hingga bantuan sosial yang tak sesuai peruntukan. Jadi, memang banyak cara, trik, dan modus yang dipergunakan kepala daerah dan birokrasi pemerintah daerah untuk memperkaya dirinya (Hadi Supeno, Korupsi di Daerah, 2009).

Bisa saja kepala daerah yang sangat memahami sistem penganggaran terjerat korupsi karena pengetahuan yang dimiliki ingin dipraktikkan untuk merekayasa bagaimana sesuatu yang asalnya tidak boleh menjadi dibolehkan. Sesuatu yang terang dibikin abu-abu, hal-hal yang tidak butuh anggaran bisa dianggarkan dan sebagainya. Sikap cenderung korup ini yang mendorong penguasa tidak mau untuk dikontrol dan diingatkan. Bila diingatkan dan kritik, pengingat atau pengkritik akan dicap orang yang suka merongrong, merecoki, dan iri hati. Jarang ada kepala daerah yang mengucapkan terima kasih karena diingatkan dan dikritik atas kekurangan dan kesalahannya (Jabir Alfaruqi, 2010).

Potret maraknya korupsi oleh kepala daerah juga menunjukkan telah terjadi problem dalam pembenahan aparatur birokrasi. Beberapa kebijakan yang telah lahir seperti Tap MPR RI XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata tidak cukup mempan dan ampuh untuk membendung kasus-kasus korupsi yang kian marak dan justru setelah otonomi diberlakukan.

Sebagaimana anatomi penyakit kronis, tentu perilaku koruptif oleh kepala daerah, tidak serta merta dapat dihapuskan. Perlu ada upaya sistematis, struktural, kultural. dan terencana. Paling utama adalah memperteguh komitmen kepala daerah dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih terbebas dari praktik-praktik KKN. Maka, di sini kepada daerah harus memiliki kejujuran, keteladanan, integritas, dan keberanian terutama dalam pemberantasan korupsi.

Solusi untuk mengatasi budaya korupsi tersebut diantaranya adalah efisiensi biaya pemilu dengan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak, melarang pembiayaan bantuan sosial selama pemilihan kepala daerah berlangsung, dan yang paling utama adalah reformasi di partai politiknya sendiri.

Selanjutnya, perlu pengetatan syarat seorang calon kepala daerah. Harus ada regulasi yang melarang seorang tersangka maupun terdakwa kasus hukum maju dalam pilkada. Aturan tentang pengetatan syarat peserta pilkada dapat dimasukkan dalam UU Pilkada. Adapun pembentukan peradilan khusus pilkada diharap masuk dalam UU Penyelenggara Pilkada yang saat ini tengah direvisi.

Terakhir, masyarakat secara luas, LSM, akademisi, dan media massa menjadi pengontrol yang efektif serta secara intens mengungkap setiap ada dugaan praktik korupsi kepala daerah yang dapat mengancam dan menggerus hak-hak rakyat.

Sutrisno
Guru SMPN 1 Wonogiri tinggal di Surakarta

*) Dimuat di Harian Wawasan | Selasa, 27 Maret 2012

BLSM dan Kemiskinan

Pemerintah telah menyiapkan kebijakan kompensasi bagi warga yang rawan terkena dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) mulai 1 April dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Berdasarkan RAPBN 2012, pemerintah akan memberikan BLSM sebesar 150.000 per bulan rupiah selama sembilan bulan kepada 18,5 juta rumah tangga sasaran. Total anggaran BLSM mencapai 25 triliun rupiah. Angka 18,5 juta rumah tangga sasaran mengacu pada Program Perlindungan Sosial (PPLS), yaitu 30 persen kelompok rumah tangga ekonomi terbawah.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan memberikan bentuk kompensasi lain berupa subsidi transportasi umum sebagai sektor yang secara langsung terdampak kenaikan harga BBM. Skemanya diberikan, antara lain, melalui penambahan angkutan umum kelas ekonomi, penumpang barang, dan kompensasi terhadap kenaikan biaya tidak langsung angkutan umum perkotaan. Anggarannya sekitar 5 triliun rupiah.

Kenaikan harga BBM bersubsidi bukan saja berakibat pada kesulitan mereka memenuhi kebutuhan subsisten (seperti pangan) karena harga barang naik, tetapi juga akan berakibat pada kebutuhan mereka atas kesehatan yang baik, biaya pendidikan anak-anak, dan aneka kebutuhan lain yang tentu saja akan meningkat. Kehidupan mereka akan semakin merosot, dan mengakibatkan bermunculannya orang-orang miskin baru.

Inilah dagelan di negeri yang kaya. Rakyatnya bukan semakin sejahtera, tetapi semakin menderita. Hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga negara kian tak jelas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhannya. Belum kelihatan upaya pemerintah melaksanakan kewajibannya. Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), negara wajib menghormati, melindungi, dan melaksanakan hak ekosob.

Tindakan pemerintah memberikan kompensasi atas kenaikan harga BBM bukanlah tindakan yang efektif sebagai usaha mengatasi kemiskinan. Tindakan itu sama tak efektifnya dengan pembagian beras untuk rakyat miskin. Itu bukanlah tindakan memenuhi hak masyarakat miskin yang diperhitungkan dengan cermat. Kegagalan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan beras untuk keluarga miskin (raskin) belum dijadikan pelajaran yang berharga.

Dalam kondisi keterpurukan, rakyat miskin bukannya semakin berkurang, tetapi terus bertambah. Berkaitan dengan kewajiban mengenai hasil, masih gelap target apa yang akan dicapai dengan pemberian kompensasi BBM. Berkurangnya jumlah keluarga miskin? Sampai kapan kompensasi diberikan? Apakah sampai masyarakat sudah dapat menerima kenaikan harga BBM? Sampai mereka menjadi kaya dengan modal 150.000 rupiah yang diberikan? Di sinilah lucunya. Meski tidak menghasilkan gelak tawa, kita menjadi kian kecewa.

Kita kian kecewa ketika rakyat miskin menjadi perhatian pemerintah hanya di saat harga BBM naik. Selama ini mereka dibiarkan berjuang sendiri tanpa perhatian berarti. Alokasi sumber daya yang seharusnya disediakan negara telah dialihkan dan diserahkan kepada mekanisme pasar. Akhirnya nasib mereka ditentukan oleh aktivitas ekonomi masing-masing. Pemenuhan hak ekonomi sosial budaya warga negara masih dinomorduakan dan belum menjadi perhatian yang serius.

Jika tidak ditangani dengan baik, naiknya harga BBM akan mengakibatkan cerita memilukan tentang kemiskinan yang terus berlanjut. Cerita tentang busung lapar, gizi buruk, putus sekolah, tak bisa berobat meski hanya di puskesmas, bahkan mengakhiri hidup karena nasib tak menentu di negeri kaya ini.

Carlos Vilas, seorang sosiolog di National Autonomous University of Mexico, menyebut program semacam BLSM ini sebagai kebijakan sosial neoliberal. Di setiap negara yang menganut neoliberalisme, kemiskinan dan ketimpangan menjadi kenyataan ekonomi, politik, dan sosial yang tidak bisa ditutupi.

Dalam satu kalimat, kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan dasar), sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki (Bambang Sudibyo, 1995).

Dalam kaitan itu, ketika Vandana Shiva (2005) berbicara soal kemiskinan global, setidaknya ada uraian yang patut dipikirkan, yaitu sebaiknya orang-orang (kaya) tidak mengambil secara berlebihan agar orang lain mendapat kesempatan mendapat akses untuk keluar dari kemiskinan. Shiva ingin menjelaskan bahwa soal pemerataan akses merupakan hal penting dalam mengatasi kemiskinan. Artinya, kompensasi 150.000 rupiah per bulan belum menyentuh hakikat pengentasan orang miskin.

Dari satu argumen, tersirat bahw pemerintah sekadar mempermainkan terminologi kemiskinan. Mereka menjual kemiskinan untuk membuat orang miskin lebih miskin, tetapi telah merasa mengentaskan orang miskin. Kemiskinan dijadikan tameng pemerintah saat mengeluarkan kebijakan tidak populis. Ini mirip jargon politik saat pemilu yang terus mengumbar janji bakal mengurangi kemiskinan.

Kemiskinan telah menjadi permainan politik. Kemiskinan telah menjadi gimmick penguasa demi mempertahankan kekuasaan. Penguasa ingin memberi kesan telah menjalankan amanat rakyat dan memenuhi makna akuntabilitas kepada rakyat. Mereka telah memperjuangkan rakyat miskin lewat uang kompensasi. Lantaran sebagai permainan belaka, wajar jika pemerintah mematikan ruang publik. Segala macam protes yang muncul bukanlah halangan untuk tetap menaikkan harga BBM. Para pejabat terus mengingatkan masyarakat akan kenaikan harga BBM itu dengan alasan menyelamatkan perekonomian nasional.

Permainan pemerintah telah melahirkan apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai politik tanpa demokrasi deliberatif. Menurut Habermas, demokrasi deliberatif adalah kondisi tercapainya legitimitasi hukum karena terbangun dari aneka diskursus dalam masyarakat sipil. Model demokrasi deliberatif memungkinkan draf kebijakan publik diuji lebih dulu lewat apa yang diistilahkan Habermas sebagai diskursus publik. Demokrasi deliberatif menghormati peran serta warga negara dalam proses pembentukan opini agar suatu kebijakan pemerintah mendekati harapan orang-orang yang diperintah. Jadi, di sini diskursivitas tak bermakna. Jelas pemerintah mempermainkan kemiskinan untuk menunjukkan kekuasaannya.


Sutrisno
Guru SMPN 1 Wonogiri, pemerhati masalah bangsa

Dimuat di Harian Koran Jakarta | Senin, 19 Maret 2012

The Speech Topics for Midterm Test of Speaking IV