NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Sabtu, 23 Oktober 2010

Semester Test Specification of PPB1

Mid Semester Test Specification of RSBI Grade VII

Mid Semester Test Specification of RSBI Grade VIII

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mewujudkan Kemandirian Pangan

Dimuat di Harian Joglosemar / Sabtu, 16/10/2010

Oleh Sutrisno
Pemerhati pertanian, guru di SMPN 1 Wonogiri

Tanggal 16 Oktober, diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day/HPS). Peringatan HPS Ke-30 Tahun 2010 diselenggarakan di Kebun Puyung, Kabupaten Tengah, Nusa Tenggara Barat. Adapun tema HPS 2010 adalah “Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan.”

Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan, 840 juta penduduk dunia mengalami kelaparan dan kurang gizi. Dari jumlah ini, sekitar 214 juta atau 26 persen mengalami konsumsi kalori amat rendah sehingga tidak mampu bekerja atau mengurus diri sendiri. Sekurang-kurangnya 50 persen penduduk rawan pangan adalah petani miskin di negara berpendapatan rendah dan mengelola lahan marjinal yang penuh risiko, 22 persen adalah masyarakat desa miskin yang tidak memiliki lahan, 20 persen masyarakat miskin perkotaan, serta 8 persen sisanya adalah peternak, nelayan, dan masyarakat perambah hutan.

Sekitar 50 juta sampai 1 miliar petani terperangkap kemiskinan (poverty trap), sehingga mereka tidak mungkin mengadopsi teknologi untuk memperbaiki produktivitas dan amat terisolasi dari pasar. Karena itu, amat diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi pangan di daerah yang berisiko lingkungan tinggi dan terpencil. Juga diperlukan upaya membuka lapangan kerja di luar perdesaan, termasuk agroindustri. Ini merupakan masalah global yang pelik sebab target Millennium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan 50 persen tahun 2015 sulit tercapai.

Sumber daya lahan merupakan aset yang paling vital dalam rangka pengadaan dan peningkatan produksi pangan. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa lahan yang tersedia dan yang dapat dipergunakan untuk pengadaan pangan sangatlah terbatas. Tanpa lahan yang cukup, produksi pangan akan sulit ditingkatkan sehingga persoalan kekurangan pangan akan tetap menjadi sebuah tragedi yang tak bisa dielakkan dan memilukan.

Tantangan pemerintah dalam pengadaan pangan selama ini, bukan saja terbentur pada faktor ketersediaan lahan subur yang terbatas, bahkan terus berkurang akibat proses alih fungsi dari semula lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, melainkan masih terdapat sederet permasalahan lain yang menjadi penyebabnya.
Upaya yang optimal dalam rangka memberdayakan lahan yang ada teramat sulit diwujudkan. Para pakar di bidang pertanian tidak mudah menemukan dan menerapkan varietas atau kultivar pangan unggul dengan tingkat produksi yang berlipat ganda. Serangan hama dan penyakit yang senantiasa mengancam aneka komoditas pangan setiap saat sangat sulit dikendalikan.

Demikian pula perubahan iklim yang tak menentu dan terjangan bencana alamm, adalah sederet penyebab nyata sulitnya meningkatkan produksi pangan pada posisi yang betul-betul mantap dan berkesinambungan selama ini. Terbatasnya sumber daya lahan bagi kepentingan pengadaan pangan dan bertambahnya jumlah penduduk menjadi tantangan serius bagi pemerintah.

Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri akibat peningkatan penduduk dihadapkan pada berbagai persoalan seperti infrastruktur perdesaan yang sangat minim, dan pemilikan lahan pertanian yang sempit. Produksi pangan yang dihasilkan oleh sekitar 21 juta rumah tangga petani berlahan sempit mempunyai aksesibilitas terbatas pada sumber permodalan, teknologi dan sarana produksi, sangat sulit untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi oleh pemerintah.

Kemandirian pangan masa depan harus dipenuhi terutama melalui perbaikan produktivitas. Saat ini masih terdapat kesenjangan antara produktivitas potensial dengan aktual di berbagai tempat, terutama di luar Jawa. Ke depan, diperlukan revolusi bioteknologi untuk memperbaiki sifat genetika guna meningkatkan produktivitas.

Lumbung Pangan
Namun demikian negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus mampu mandiri dalam bioteknologi tersebut, sesuai dengan kondisi lokal guna melepas ketergantungan terhadap benih yang saat ini dimonopoli oleh para pengusaha multinasional dengan harga mahal. Upaya-upaya tersebut harus disertai dengan investasi dalam perbaikan infrastruktur perdesaan, akses modal, peningkatan produktivitas di lahan-lahan marjinal, perbaikan mutu, gizi, perbaikan kualitas lahan dan irigasi, rekayasa bibit unggul, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, modernisasi pascapanen, budidaya kian hemat lahan, input dan air, serta riset.
Dimasyarakatkannya program diversifikasi (penganekaragaman) produksi pangan secara nyata juga akan ikut mendukung berhasilnya upaya mewujudkan ketahanan pangan. Tidak hanya di tingkat masyarakat namun juga secara nasional. Dalam hal ini, pemerintah semestinya mampu memacu para petani dan peternak guna meningkatkan pengelolaan sumber daya lahan yang ada melalui intensifikasi dan diversifikasi.

Untuk meningkatkan kemandirian pangan di masyarakat, pengembangan lumbung pangan (lumbung desa) merupakan salah satu pilihan terbaik dan patut dijadikan harapan bagi pemerintah. Lumbung desa sebagai lembaga pengelola simpan pinjam gabah di desa misalnya, akan merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat desa untuk sumber mencukupi kebutuhan pangan, terutama saat paceklik atau kebutuhan yang mendesak.
Peran aktif masyarakat perdesaan dalam rangka mengembangkan cadangan pangan melalui lumbung desa bisa diharapkan akan mendukung mantapnya ketersediaan dan ketahanan pangan dalam skala nasional. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa dan rumah tangga yang nyata untuk mewujudkan ketahanan pangan, tentunya pemerintah perlu memperhatikan dan mengembangkan serta menggairahkan kembali kehadirannya dengan penanganan yang lebih profesional.

Memang, demi terwujudnya kemandirian pangan yang mantap dan dinamis, pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri. Pemerintah harus berkoordinasi secara lintas sektor dan lintas departemen serta masyarakat luas, agar mereka benar-benar mampu berpartisipasi mewujudkan kemandirian pangan. (***)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Spiral Kekerasan di Negeri Plural

Dimuat di Harian Solopos / 2 Oktober 2010

- Sutrisno, S.Pd.

Kerusuhan menyergap Jakarta dan Tarakan, Kalimantan Timur di hampir waktu yang bersamaan. Di Ibu Kota, tiga orang tewas dan sekitar sepuluh orang luka. Sedangkan di Tarakan, lima nyawa melayang. Dua peristiwa berdarah itu menyajikan ketegangan dan menakutkan, dan sangat mungkin memunculkan trauma yang sulit sembuh. Di layar kaca dan sejumlah media cetak, masyarakat bisa menyaksikan dan membaca betapa para pelaku begitu leluasa memamerkan keberingasannya.

Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu. Sejarah kekerasan bangsa ini beruntai-untai. Turun-temurun, sambung menyambung, nyaris tanpa henti. Mulai dari Ken Arok, Amangkurat I, pembantaian 1965, kasus Aceh, kasus 27 Juli, kasus penghilangan aktivis, kasus Maluku, kasus Ambon, Abepura Sampit hingga kasus Poso dan lain-lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.
Berbagai peristiwa kekerasan itu kian membenarkan kajian Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (Roots of Violence in Indonesia: 2002) yang menyebut Indonesia sebagai negeri kekerasan (violent country).

Pertanyaan yang penting untuk dibahas adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Dan, apakah lemahnya peran negara adalah faktor utama pemicu munculnya kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini? Dua pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Setidaknya, merujuk pada berbagai kejadian dan pelbagai sumber literatur, maka gambaran singkat yang dapat dilukiskan adalah sebagai berikut.

Pertama, posisi negara makin terancam oleh karena terjadi mobilisasi kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu. Seperti dikatakan Azar (dalam Miall, et.al., 2002) bahwa ketidakpuasan kelompok-kelompok warga seringkali menjadi sumber konflik. Berbagai studi telah dilakukan untuk mencoba memahami bagaimana kelompok-kelompok yang tidak puas berusaha mengartikulasi keluhan-keluhan mereka dan melakukan mobilisasi untuk menentang para pemegang otoritas dalam persoalan tertentu.

Penelitian Ted Robert Gurr (1993), misalnya, menyatakan bahwa faksi-faksi di dalam suatu negara entah itu kelompok etnis, sekte militan, separatis, atau lainnya dapat secara bertahap menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi-kondisi tertentu. Pernyataan ketidakpuasan para kelompok di dalam masyarakat itu dapat berupa protes secara damai, protes dengan kekerasan dan perusakan, pembangkangan, hingga pemberontakan bersenjata.

Kedua, kekerasan, dalam perspektif lain, dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin faksi di dalam suatu negara untuk mengeksploitasi suasana pluralitas bagi kepentingannya/kelompoknya/golongannya dengan cara menggalang dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan dan Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang berkepentingan mengeksploitasi perbedaan dalam rangka untuk memperoleh dukungan massa.

Ketiga, kekerasan juga sangat mungkin terjadi oleh terjadinya crisis of governability (krisis kepemerintahan). Krisis kepemerintahan yang berkait dengan krisis legitimasi ditandai oleh proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara). Kedua proses ini, menurut Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis (1975), diliputi “Negara” yang semakin terbelenggu oleh dikotomi sektor publik dan privat: di mana sektor privat makin menentukan proses akumulasi modal.

Memang, ketidakadilan dan penindasan sebagai kekerasan struktural tidak selalu menjadi pemicu. Dalam realitasnya, kekerasan lebih merupakan lingkaran setan yang sulit dilacak ujung pangkalnya. Abd A’la (2010) menegaskan, sekali waktu, kekerasan kultural menjadi trigger dan pada kali yang lain kekerasan langsung sebagai ujung spiral of violence. Namun, dalam dunia modern, asal-usul spiral kekerasan terutama di Indonesia berawal dari struktural dan kekerasan fisik langsung yang dilakukan negara. Hal itu dapat dilacak dari pemerintahan Hindia Belanda, rezim Orde Lama, hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai derajat tertentu terus berlangsung hingga saat ini. Eksploitasi kekayaan Nusantara dan manusianya yang dilakukan penjajah, demokrasi terpimpin Soekarno hingga pembangunanisme Soeharto menjadi sedikit bukti tidak terbantahkan atas keberlangsungan kekerasan struktural.

Menyikapi kekerasan struktural itu, masyarakat pada awalnya diam karena tidak berdaya. Namun, emosi mereka tentu tidak pernah mati. Kekerasan bertubi membuat mereka bak timbunan rumput kering yang mudah tersulut. Dalam kondisi yang benar-benar tidak berdaya, akhirnya mereka secara reflektif melawan. Kekerasan struktural juga dapat berimbas pada terjadinya konflik horisontal. Umumnya disebabkan karena penerapan kebijakan yang tidak adil, segregatif, yang memicu jurang perbedaan yang luas di antara golongan masyarakat.

Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Celakanya, konflik paling laten di di negeri ini selalu berwarna suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Padahal, secara teoretis, apa susahnya membangun harmoni sosial, toleransi, dan konsensus. Indonesia bisa belajar dari banyak negara majemuk lainnya. Amerika Serikat, sebagai contoh, adalah negara yang mampu membangun harmoni sosial secara matang.

Negeri Paman Sam ini dikenal sebagai bangsa plural. Penduduknya berasal (bermigrasi) dari berbagai bangsa di lima benua plus penduduk “asli” (Indian). Beragam warna kulit, agama, bahasa ibu, tradisi, dan kebiasaan lama akhirnya bercampur menjadi satu dalam semangat Keamerikaan. Walaupun dari dalam terdiri dari banyak entitas, akan tetapi ke luar mereka tampil sebagai bangsa Amerika. Belajar dari Amerika, barangkali kesulitan Indonesia membangun harmoni sosial karena belum dewasanya rakyat kita dalam menjalani proses kehidupan nasional.

Berdasar pada penyelidikan beberapa kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi yang terjadi sebelumnya. Ideologi agama, frustrasi sosial, ketidakadilan yang meluas, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan.

Bagaimanapun kekerasan harus dihentikan. Pemerintah punya peran penting dalam mencegah kekerasan yang terjadi di negeri ini. Pemerintah harus memiliki solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk meredam kekerasan. Untuk jangka pendek, misalnya, dengan bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan. Karenanya, yang dibutuhkan negara saat ini, tidak lain adalah ketegasan dan keberanian untuk mengambil keputusan dan tindakan. Tanpa ketegasan dan keberanian ini, negara akan selalu dianggap sepele dan remeh oleh masyarakatnya yang semakin hari semakin kuat dan beringas.

Dalam jangka panjang, berbagai faktor penyebab konflik dan kekerasan harus diberantas dan berbagai ketidakadilan di berbagai bidang harus segera diselesaikan pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Terakhir, menggugah kesadaran masyarakat bahwa kita hidup dinegeri yang majemuk yang menghargai pentingnya kerukunan dan keharmonisan.

*) Guru SMP Negeri 1 Wonogiri