NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Selasa, 25 Oktober 2011

Mendidik Karakter Bangsa

Dimuat di Harian Suara Karya / Selasa, 25 Oktober 2011

Oleh Sutrisno

Aksi kekerasan, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan, tidak jarang, ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu dilakukan dengan menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tidak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.

Dalam kondisi bangsa semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Sehingga, keluaran (hasil akhir) pendidikan benar-benar menjadi sosok yang "utuh" dan "paripurna", yakni pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

Dalam konteks kebangsaan saat ini, pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa sangatlah tepat. Sebuah gagasan yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa.

Pada banyak momen kita diingatkan tentang pembangunan karakter bangsa, karena memang demikianlah tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal, yakni bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tidak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psikososial yang humaniter dan integral.

Semua sadar bahwa perubahan dan pergeseran nilai yang dialami bangsa ini tidak lepas dari modernisasi dan globalisasi yang tiap hari terus menyerang dari segala arah. Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sudah sedemikian canggih, pembatasan akses melalui model konvensional tidak akan berjalan efektif. Oleh karena itu, cara terbaik adalah melalui penyadaran diri tentang segala hal yang terkait dengan tatanan sosial melalui internalisasi nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya ke dalam diri setiap anak bangsa, agar kelak mereka menjadi manusia unggul. Yaitu, manusia yang mampu berpikir global tetapi tetap berperilaku dan bertindak sesuai nilai dan norma di mana dia berada.
Menyikapi karakter bangsa ini yang semakin merosot perlu menjadi perhatian kita, upaya membangun dan mengembangkan pendidikan karakter bangsa menjadi sangat urgen dan penting. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang berfokus pada pembinaan hati nurani dengan penanaman kejujuran, moralitas, etika, tata krama, dan sopan santun yang dikembangkan dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya.

Setiap elite kepemimpinan nasional, termasuk para tokoh organisasi sosial dan organisasi politik, hendaknya peduli terhadap apa yang kita sebut sebagai pendidikan untuk membentuk watak bangsa ini. Pendidikan karakter bangsa dimaksudkan agar semua elemen masyarakat memiliki kesadaran sebagai bangsa plural dan multikultural yang berbasis pada religiositas, nasionalisme, dan kebangsaan. Pendidikan karakter bangsa diarahkan agar masyarakat Indonesia mencintai negara dan bangsanya.

Pendidikan karakter bangsa memiliki prinsip mendasar. Pertama, prinsip religiositas, yaitu prinsip ketauhidan yang dapat diimplementasikan dalam konsep ibadah dan akhlak yang merupakan prinsip dasar dalam setiap agama. Kedua, prinsip kebangsaan, yaitu penegakan dan pelestarian Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan kebinekaan. Pilar kebangsaan ini menjadi sangat penting di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang kian kompetitif. (Nur Syam, 2010)

Lantas, dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa? Hal ini bisa dimulai dari pendidikan informal dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Keluarga menjadi institusi penting dalam membentuk pendidikan berkarakter sedini mungkin. Keluarga harus menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan pemahaman yang benar seputar karakter. Karakter dapat ditumbuhkan dari sikap keteladanan seseorang yang menjadi cerminan bagi orang lain.

Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai pilar kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat urgen, penting, dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan secara kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Mari wujudkan bangsa yang berkarakter dengan membenahi pola pikir dan mentalitas yang terlanjur terkontanimasi berperilaku tidak jujur, menjadi manusia jujur sesuai cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi. ***

Penulis adalah guru SMPN 1 Wonogiri, tinggal Laweyan, Solo.

Menggapai Ketahanan Pangan

Dimuat di Harian Joglosemar / Selasa, 18 Oktober 2011

Oleh Sutrisno

Krisis ekonomi dan utang di Eropa dan Amerika Serikat membuat investor serta sektor swasta jantungan dan gemeteran. Beberapa negara yang bergejolak akhir-akhir ini salah satu pemicunya karena kenaikan harga pangan yang tajam. Oleh karena itulah, sangat tepat tema Hari Pangan Sedunia (World Food Day//HPS) tahun 2011 di Indonesia yakni “Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional”.

Di tengah berbagai isu besar yang menyita perhatian, seperti penyelesaian kasus Century, pemberantasan mafia hukum, markus, kasus KPU, dan pemberantasan korupsi, pemerintah seharusnya tidak mengabaikan tren gejolak harga pangan dunia harus terus diwaspadai. Negara-negara maju selalu menempatkan stabilitas harga kebutuhan pokok rakyat sebagai prioritas tertinggi.

Bagi AS, misalnya, kasus harga pangan tidak normal dimasukkan ke dalam daftar 10 besar kekhawatiran keamanan nasional. Bahkan, badan intelijen mereka, CIA, secara hati-hati mengamati harga pangan global. Di negara-negara kunci pangan lainnya, seperti Rusia, Tiongkok, dan India, intelijen dan semua aparat negara terkait mengawasi pangan dengan ketat. Pemerintah-pemerintah itu mulai mengambil langkah-langkah drastis untuk menjaga pasokan makanan, seperti melarang ekspor makanan atau meningkatkan subsidi produksi lebih luas.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki konsep yang mendasar mengenai pengamanan kebutuhan pokok masyarakat. Termasuk peran negara dalam melunakkan mekanisme pasar yang berlebihan, demi kepentingan rakyat. Sudah ada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 yang mengatur penyediaan barang kebutuhan pokok. Anehnya, tidak pernah lepas dari masalah sembako yang pasoknya sering menghilang atau, kalau tidak, harganya melonjak.

Menurut pengamatan saya, setidaknya ada dua faktor yang menjadi sumber masalah, yakni lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi negara alias para pembantu presiden di bidang ekonomi berikut para staf ahlinya; serta keengganan melihat keluar (outward looking) untuk mengalkulasi peluang dan besar-kecilnya risiko. Dua faktor ini bukan hal baru. Pada hakikatnya justru menjadi kelaziman, sehingga pengimplementasiannya tak lagi memerlukan instruksi atau perintah khusus. Setiap pemangku jabatan berakal sehat menyadari hakikat dan urgensi koordinasi, karena pekerjaannya akan mulus jika dia melakoni semangat saling ketergantungan dengan bijak.

Gejolak harga kebutuhan pokok yang tak terkendali mengingatkan kita bahwa ketahanan pangan kita sangat memprihatinkan dan rapuh. Indonesia sebagai negeri agraris, dengan lahan yang subur dan luas, tetapi masih banyak mengandalkan hasil pertanian dari luar negeri. Sehingga begitu harga di pasar internasional naik, maka kita pun kelimpungan mengikutinya.

Laporan bertajuk OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016 menyebutkan, dalam waktu sepuluh tahun ke depan akan terjadi perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. Menurut Direktur Jenderal FAO Dr Jacques Diouf, kondisi tersebut merupakan resultan naiknya permintaan pangan, pesatnya pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging countries (Brazil, India, dan Tiongkok), terjadinya perebutan bahan pangan untuk pengembangan biofuel, serta turunnya pasokan komoditas pangan akibat pengaruh perubahan iklim.

Bagaimana agar ketahanan pangan bisa dicapai? Pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi pada komoditas yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Perlu adanya pemberian bibit unggul, baik untuk padi, kedelai, cabai, atau yang lain. Rangsangan juga bisa dilakukan lewat pemberian kredit berbunga rendah. Bisa juga berupa jaminan pasar, karena selama ini banyak kasus ketika terjadi panen raya harga komoditas anjlok, sehingga petani harus tekor. Langkah lain adalah dengan memberikan subsidi harga pada petani. Subsidi ini jamak terjadi, bahkan di Amerika maupun Jepang.

Menurut perhitungan Bappenas, BPS, dan UNDP, jumlah penduduk Indonesia tahun 2025 diproyeksikan 273,7 juta jiwa. Jumlah tersebut naik 67,9 juta jiwa dari jumlah penduduk tahun 2000 sebanyak 205,8 juta jiwa. Angka harapan hidup penduduk Indonesia diprediksi meningkat dari 69 tahun pada tahun 2000 menjadi 73,7 tahun pada 2025. Artinya, usia manusia Indonesia semakin panjang.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan, penyediaan bahan pangan menjadi berlipat dari jumlah sekarang. Kita tidak mungkin selamanya menggantungkan bahan pangan dari impor. Pada 2025 nanti diperkirakan pola pangan penduduk Indonesia belum banyak bergeser dari beras. Komoditas pangan ini merupakan sumber karbohidrat paling murah, mudah diproduksi dan cocok dengan selera penduduk Indonesia. Permasalahannya, produksi bahan pangan berupa beras sangat erat kaitannya dengan penyediaan lahan basah produktif.

Oleh karena itu, diperlukan upaya terobosan untuk mewujudkan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan basah dan 15 juta hektar lahan kering sebagaimana diprogramkan dalam Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tersebut. Salah satu cara adalah dengan merevitalisasi pekarangan dan memanfaatkan lahan-lahan rawa yang luasnya di seluruh Indonesia mencapai 23 juta hektar. Hal ini perlu ada upaya dan kerja keras dari semua stakeholder untuk merealisasikannya. Peningkatan akses penduduk miskin terhadap pangan tidak harus terhenti pada jargon di atas kertas.

Dalam menghadapi permasalahan ketahanan pangan, pemerintah perlu berkoordinasi dengan daerah, terutama dalam mencegah adanya konversi lahan pertanian. Masyarakat pun perlu lebih meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut, dan lain-lain), tanaman pohon (sukun dan sagu), serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dan lain-lain), yang juga dapat diproses menjadi tepung, yang bisa tahan lebih lama, dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin, serta lebih fleksibel pengolahannya.

Selanjutnya, melalui percepatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk bioteknologi dan rekayasa genetika di bidang pangan diharapkan dapat dihasilkan produk pangan yang meningkat dan berdaya saing tinggi. Dengan melihat besarnya peningkatan produksi pangan yang kita butuhkan, maka upaya peningkatan produksi itu perlu ditempuh melalui semua cara yang tersedia, baik intensifikasi, ekstensifikasi, rekayasa genetika, maupun diversifikasi pangan. Keempatya perlu dilakukan secara arif.

Persaingan hidup antarbangsa, antaranggota masyarakat, dan antarindividu yang semakin tinggi tidak dapat dielakkan. Dalam suasana yang seperti itu, yang harus kita lakukan sebagai suatu bangsa adalah terus-menerus melakukan peningkatan produktivitas dan kualitas produk-produk kita, membangun daya saing yang semakin tinggi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selasa, 18 Oktober 2011

Menggapai Ketahanan Pangan

Published by JOGLOSEMAR on October 18th, 2011

Anda Pemarah???

Beberapa sarannya untuk mengurangi marah adalah

1. Buatlah peta kebencian

Untuk
lebih mengerti diri sendiri dan kemarahannya, catatlah dengan teliti
tiap hari pikiran dan perasaan marah yang muncul. Dari dongkol
kecil-kecilan sampai kemarahan yang hebat. Catatlah kapan, mengapa,
bagaimana pikiran dan perasaannya serta apa saja yang menimbulkan
amarah itu. Catatan ini perlu sebagai pola, agar tampak soal apa saja
yang menjadi biang kerok kemarahannya, kapan terjadinya, dan di mana.
Dan apa akibat kemarahannya. Tiap malam catatan ini dinilai kembali dan
dipikirkan cara apa yang lebih baik dilakukan, dan adakah kemajuan jika
diperbaiki.

2 Uji kembali pikiran yang menimbulkan marah

Kalau
Anda memaki-maki di sepanjang jalan yang macet, hasilnya jalanan tetap
macet. Yang bertambah adalah “racun arsenik” dalam tubuh Anda. Tambah
besar dan lama marahnya tambah berat dampak negatif buat diri Anda,
juga buat orang yang duduk di samping Anda.

Ujilah
pikiran dan perasaan Anda, buat apa marah-marah di jalan macet,
bukankah lebih baik memutar kaset dan ikut bernyanyi? Buat apa anak
dimarahi sebab bajunya kena saus tomat. Itu kan lumrah, namanya juga
anak kecil. Untung sendoknya tidak tertelan.

3. Stop

Ini
adalah model Ornstein. Kalau merasa darah sudah naik ke kepala,
sebutlah: Stop. Perlahan-lahan saja kalau di restoran, boleh keras
kalau lagi sendiri. Ini akan mengingatkan si pemarah untuk banting
setir, jangan teruskan jalan penuh ranjau itu. Lalu alihkan pikiran ke
yang lebih produktif. Daripada memarahi anak yang akan ujian, lebih
baik doakan agar ia berhasil. Daripada melotot dan teriak karena rumah
harum karena kue, lebih baik mencoba kue itu dan peluklah sang istri
yang rajin itu.

4. Alihkan perhatian Anda

Thomas
Jefferson bilang, bila Anda marah berhitunglah dari satu sampai sepuluh
sebelum bercakap. Kalau sedang marah sekali, hitung sampai seratus.
Kalau benci pada tokoh politik yang sedang kampanye di layar televisi
dan kuping terasa panas karena marah, alihkan saja televisi ke saluran
lain. Atau berdirilah, makan jeruk dulu di meja makan.

5 Relaksasi

Cari
posisi beristirahat yang enak, tarik napas panjang yang dalam. Tambah
banyak tambah baik dan pikirkan hal-hal yang menyenangkan.

Atau
sebut kata: “tenang-tenang- tenang” berulang kali dengan tarikan napas
panjang. Bagi yang religius lebih mudah, sebab dapat berdoa atau
shalat, ini sangat menenangkan.

6. Belajar mendengarkan

Kekurangan
dari orang pemarah adalah sangat sukar untuk mendengarkan pendapat
orang lain sebab ia merasa pikiran dan pendapatnya adalah yang paling
baik. Sikapnya yang sinis dan siap menyerang tiap pendapat orang lain
yang dicurigai sebagai buruk, membuat dia “tuli” pada kebenaran lawan
bicaranya.

Marah (angry) boleh, tetapi jangan menjadi orang yang mempunyai sifat pemarah (anger).


from many sources

THE SPECIFICATION OF 1ST MIDTERM TEST, GRADE VIII

Rabu, 05 Oktober 2011

Penguatan Jati Diri TNI

Pada 5 Oktober 2011, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan hari jadinya yang ke-66. Momentum ini sejatinya diparadigma sebagai kesempatan akselerasi reformasi internal baik dalam struktur, kultur maupun doktrin. Salah satu wacana klasik nan kritis seputar reformasi TNI adalah penguatan jati diri sebagai Tentara Profesional sesuai amanat Pasal 2 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Profesionalisme TNI dalam defenisi yuridis normatif telah menunjukan perkembangannya khususnya dalam aspek depolitisasi militer dan supremasi sipil atas militer. Depolitisasi TNI nyata dalam fakta empiris mundurnya TNI aktif dari panggung politik legislatif sejak Pemilu 2004 serta pemisahan TNI dan kepolisian (Polri) dan pembagian tugas yang jelas. Sementara supremasi sipil atas militer terbukti dari dipangkasnya kekuasaan independen militer yang harus tunduk kepada kebijakan politik sipil serta diserahkannya Departemen Pertahanan di bawah kendali seorang pejabat menteri sipil.

TNI yang profesional berarti prajurit TNI dituntut untuk memiliki kemampuan yang andal dalam melaksanakan fungsi pertahanan. Pewujudan profesionalisme itu tentu harus didukung anggaran kesejahteraan yang memadai. Postur kekuatan TNI (khususnya jumlah personel dan alat utama sistem persenjataan) dirancang agar kondusif menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Kemampuan prajurit TNI yang profesional dibentuk melalui program pembinaan doktrin, pendidikan dan latihan serta didukung modernisasi alat utama sistem persenjataan. Demikianlah kondisi ideal yang harus dipenuhi, bila TNI benar-benar ingin profesional dalam melaksanakan tugas.

Membentuk TNI yang profesional dan dedikatif yang menjadi tekad TNI tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pengaruh dari sistem dan dinamika perpolitikan nasional. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan TNI dengan jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional untuk selalu dapat dicerminkan dalam pola pikir dan pola tindaknya.

Ahli filsafat Clausewitz menyatakan bahwa perang diselenggarakan oleh tritunggal antara pemerintah, militer, dan rakyat. Pemerintah menetapkan tujuan politik, militer menyiapkan diri sebagai sarana mencapai tujuan politik, sedangkan rakyat sebagai pendukung perang. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan berpengaruh pada perang itu sendiri. Oleh karenanya, pemberian otoritas kepada militer untuk melaksanakan keputusan politik haruslah merupakan jalan terakhir yang sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan secara matang.

Sejalan dengan pandangan tersebut, TNI memiliki garis pembatas yang sangat tegas dalam ranah politik. Selaku alat negara, maka politik TNI adalah politik negara, bukan politik kelompok atau politik partai. Hal ini jelas menuntut agar TNI senantiasa mengedepankan profesionalisme dalam mengimplementasikan perannya sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Dinamika politik yang sarat dengan kepentingan dan kecenderungan tarik-menarik antarelite politik harus dapat disikapi secara arif untuk menghindari keterjerumusan TNI pada situasi pelik.

Oleh karena itu, TNI harus selalu berpegang teguh pada prinsip untuk menempatkan kepentingan negara di atas segala kepentingan demi menjaga tetap kokohnya persatuan dan kesatuan. Mengambil posisi netral di antara seluruh partai politik. Di sisi lain reformasi TNI harus segera dituntaskan.

Sejak pemisahan TNI dan Polri serta keluarnya UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang TNI, secara legal dan politik, kebijakan reformasi TNI telah menunjukkan kemajuan signifikan. TNI harus menjadi profesional, tidak berpolitik, tidak memegang jabatan publik, dan tidak boleh berbisnis. UU TNI juga menyatakan, dalam hal pelanggaran tindak pidana TNI tunduk pada peradilan umum. Bisnis-bisnis TNI juga akan diambil alih pemerintah dalam waktu lima tahun sejak berlakunya UU TNI tahun 2004.

Namun demikian, akhir-akhir ini beberapa kalangan menyoroti reformasi TNI yang dinilai kian melemah. Masalah keruwetan reformasi TNI sebenarnya terletak pada aspek implementasi yang melibatkan tiga pihak (stakeholders) yang saling terkait, yaitu Pemerintah, TNI, dan Masyarakat. Jika reformasi TNI melemah, kita tidak bisa langsung menyalahkan TNI. Konsolidasi otoritas politik di legislatif, eksekutif, dukungan partai politik, dan masyarakat sipil untuk melaksanakan reformasi harus terus dilakukan. Jalan panjang reformasi TNI harus ditempuh untuk profesionalisme TNI dan kehidupan politik yang demokratis (Edy Prasetyono, 2007).

Dalam kerangka reformasi TNI, TNI memerlukan pemahaman kembali jati dirinya sebagai prajurit Sapta Marga. Untuk itu, berbagai jalan agar ditempuh. Misalnya, meningkatkan harga diri profesionalnya dengan mengembangkan mutu dan kecakapan keprajuritan secara profesional, termasuk latihan-latihan dan penguasaan atas persenjataan modern. Hal-hal itu sekaligus untuk menunjang harga diri dan makna profesionalnya. Pemahaman perihal ilmu pertahanan dan kemiliteran diperlukan oleh profesinya dan sekaligus akan memperkuat harga dirinya. Semua itu akan bermuara pada kebanggaan profesinya sebagai prajurit dan kesadarannya untuk melindungi dan membela Tanah Air.

UU No 34/2004 tentang TNI masih butuh penyempurnaan. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Implementasi prinsip-prinsip good governance ini dapat dijadikan titik awal menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Namun yang lebih penting adalah keterlibatan semua pihak untuk menjaga TNI commited terhadap agenda reformasinya melalui kritik-kritik konstruktif.

Sekarang ini, yang diperlukan TNI justru membangun diri menjadi kekuatan pertahanan yang solid, profesional, modern dan komitmen pada politik negara. Agenda yang paling mendesak adalah memperbaiki teknologi, alutsista, dan kualitas personel, dan kesejahteraan anggota TNI. Kiranya, misi besar ini menjadi agenda utama TNI. Maka, sangat dibutuhkan dorongan semua pihak agar agenda besar itu bisa dituntaskan dengan baik. Dirgahayu TNI.

*) Sutrisno
Penulis adalah, Pemerhati masalah bangsa

Dimuat di Koran Jakarta | Selasa, 04 Oktober 2011