NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Rabu, 24 November 2010

Derita TKI, Kapan Berakhir?

Derita TKI, Kapan Berakhir?

Dimuat di Harian Joglosemar / Rabu, 24/11/2010

- Sutrisno
Pemerhati permasalahan TKI, guru di SMPN 1 Wonogiri

Kabar pilu kembali terdengar dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sumiati (23) yang berasal dari Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, adalah korban ke sekian dari kebiadaban sang majikan, keluarga Khaled Salem Al Akhmin, di Madinah, Arab Saudi. Luka berat menghiasi sekujur tubuhnya, bahkan bibir bagian atas digunting oleh majikan. Nasib tragis juga menimpa Kikim Komalasari, TKW asal Cianjur, Jawa Barat, tidak hanya dianiaya, tapi dibunuh tiga hari sebelum Hari Idul Adha oleh majikannya di Kota Abha. Tragisnya lagi, jenazah Kikim dibuang ke sebuah tong sampah umum (Joglosemar, 19/11/2010).

Muncul pertanyaan, kapan derita TKI di luar negeri segera berakhir? Dari berbagai temuan atas kasus buruh migran yang menjadi TKI, bahwa faktor utama di balik kasus ini adalah impitan ekonomi. Di samping itu, adanya stereotip konseptual yang berkembang bahwa keputusan menjadi TKI dipandang sebagai sebuah respons rasional atas kemiskinan di daerah asal. Akibatnya, stereotip tersebut telah melemahkan posisi TKI dalam seluruh proses aktivitas pasar internasional.

Buruknya posisi tawar pekerja tersebut diperparah dengan kebijakan penempatan tenaga kerja internasional yang tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat, untuk memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Dari situlah sesungguhnya menjadi wajar kalau kemudian aktivitas migrasi yang berlangsung terutama di negara-negara berkembang, bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka di dalam kegiatan pasar global terjamin secara politis maupun hukum.

Karena itu, sering kali keberadaan pekerja migran hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi. Ironisnya, sering kali aktivitas buruh migran tersebut tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan baik secara mikro maupun makro. Karena itu, jarang sekali dipikirkan kebijakan publik yang berpihak pada mereka. Realitas buruh migran dengan demikian menjadi sebuah realitas ekonomi politik yang benar-benar terlupakan.

Dalam realitas sederhana, pengangguran dan kemiskinan yang melilit negeri ini, membuat rakyat tertarik menjadi kuli di luar negeri. Dengan mental perkulian, keminderan, dan tidak dimilikinya keahlian dan kejuruan, lengkaplah syarat-syarat bagi TKW kita terjerumus ke dalam the dark slavery system. Ia menjadi hamba sahaya belaka di bawah kuasa para Tuan, Taoke, dan Majikan (Sri-Edi Swasono, 2004).

Penyiksaan hingga hilangnya nyawa TKI di luar negeri kerap terjadi tanpa ada solusi konkret dari pemangku kebijakan pemerintah dan perusahaan TKI. Data Migrant Care selama 2007 misalnya, menyebutkan TKW asal Indonesia kerap menjadi korban kekerasan di negeri tempat bekerja dan tersebar di sejumlah negara. Migrant Care mencatat selama 2007, mayoritas TKW Indonesia disiksa di negara Malaysia sebesar 39 persen, Arab Saudi 38 persen dan Kuwait 5 persen. Disusul di negara Yordania, Hongkong, dan Taiwan masing-masing 3 persen. Di samping itu di negara Amerika Serikat, Singapura, Bahrain, Brunei Darussalam, masing-masing 2 persen.

Tak bisa dipungkiri, lemahnya perlindungan dan rendahnya posisi tawar TKI di Negara-negara tempat mereka mengadu nasib, membuat posisi mereka selalu rawan penganiayaan. Anehnya, pemerintah kita pun selalu bergerak setelah keadaan TKI benar-benar di titik yang mengenaskan. Entah karena TKI kita yang terlalu banyak sehingga tidak terpantau semuanya, atau karena sebab lain, kita memang tidak tahu persisnya.

Perlindungan warga negara memang menjadi tugas pemerintahan secara keseluruhan. Tugas dan fungsi negara adalah mengatur dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan warga negaranya dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan bahkan kebodohan dan kemiskinan. Ketika satu warga kita dianiaya, semestinya negara all out memberikan pembelaan. Bukan malah saling tuding,sibuk membela diri dan membuat apologi. Wajar kalau masyarakat kita membandingkan kesungguhan pemerintah kita dengan negara-negara lain dalam soal perlindungan warga negara. Faktanya, kita masih kalah serius dari negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura atau Filipina.

Kita tidak mungkin mencegah mereka yang mencoba mendulang uang ke negeri seberang selama tidak mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja. Masalahnya, setelah berbagai kisah penyelamatan dan perjuangan memperoleh hak-hak yang seharusnya melekat dari pekerjaan mereka, bagaimana pemerintah menciptakan sistem pemanusiaan TKI. Lebih penting lagi menjalankan sistem itu dengan manajemen kontrol dan langkah hukum yang serius.

Pertama, negara secara mutlak memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Hal ini sesuai amanat UU UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Kedua, meningkatkan peran KBRI/Dubes RI supaya lebih tanggap dan sigap dalam menangani berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan TKI, termasuk profesionalitas dalam bidang diplomasi dan berhukum acara.

Ketiga, membuat perjanjian tertulis (perjanjian bilateral) yang jelas, tegas, dan saling menguntungkan dengan negara pengguna TKI. Perlindungan bagi TKI dalam perjanjian bilateral menunjukkan ketegasan dan keseriusan pemerintah dalam menangani para TKI. TKI pun akan merasa aman untuk bekerja di luar negeri. Mereka tidak perlu takut menjadi tumbal.

Keempat, dari TKW dan keluarganya, semoga terbangun kesadaran diri dalam meningkatkan daya tawarnya. Terjadinya proses belajar sosial di kalangan calon TKW dan keluarganya tampaknya merupakan sesuatu yang harus terjadi. Sehebat apa pun program dan langkah yang dikembangkan lembaga pemerintah beserta swasta tetap memerlukan upaya kondusif para TKW sendiri.

Terakhir, sudah saatnya dilakukan penataan kembali sistem perekrutan dan pengiriman TKI yang lebih manusiawi dan profesional. Tanpa itu, yang akan terjadi adalah TKI Indonesia hanya akan menorehkan noda di negeri-negeri seberang. Perlu disusun sebuah kebijakan besar yang mampu menangani TKI secara manusiawi, tertib, dan profesional. Semoga. (***)

Senin, 15 November 2010

Wanna get books??

http://search.4shared.com/search.html

Wanna share something?



http://www.addthis.com

Antivirus for Handphones

http://www.netqin.com/en/?coopid=1019

Minggu, 14 November 2010

Bis Tumpuk

BIS YANG SETIA MENGANTAR AKU KE SEKOLAH TEMPO DULU