NO WASTING TIME!

Mendamba UN yang Jujur

OPINI | Dimuat di Jurnal Nasional pada Senin 18 April 2011

Sertifikasi Otomatis Cetak Guru Profesional?

Dimuat di Harian Solopos pada Selasa 4 Nopember 2008

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Refleksi Hardiknas

Kaji Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Jurnal Nasional pada Sabtu 11 Mei 2013

Setelah RSBI dibubarkan

OPINI | Sutrisno, Guru SMPN 1 Wonogiri

Senin, 10 Juli 2023

Q & A Jabatan Fungsional

 

Q & A Jabatan Fungsional

APA YANG BARU DALAM PERMENPAN RB NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG JABATAN FUNGSIONAL 

1. Tim Penilai Angka Kredit sudah tidak ada lagi dalam mekanisme pengelolaan kinerja dan konversi angka kredit berdasarkan predikat kinerja. Adapun penetapan predikat kinerja dilakukan oleh pejabat penilai kinerja.

2. DUPAK sudah tidak lagi digunakan dalam mekanisme penilaian angka kreditsehingga pejabat fungsional tidak perlu lagi menyusun DUPAK dalam penilaian angka kredit, karena angka kredit ditetapkan berdasarkan predikat kinerja. Penghitungan angka kredit dilakukan dengan mengkonversikan predikat kinerja ke dalam angka kredit sesuai dengan jenjang JF

3. kegiatan penunjang dan pengembangan profesi sudah tidak ada. Kegiatan penunjang dan pengembangan profesi tidak diatur lagi dalam tata kelola jabatan fungsional karena menjadi bagian dari tugas pokok jabatan fungsional sebagai bagian dari kontrak kinerja dengan atasannya.


BUKU PANDUAN download disini

Predator Seks di Pesantren

Predator Seks di Pesantren

Oleh
SUTRISNO


Untuk mencegah kasus kekerasan seksual di pesantren, para pengasuh pesantren perlu memiliki kualifikasi khusus dan pemahaman tentang pendidikan ramah anak, pendampingan dan penanganan kekerasan seksual serta perundungan.

Tajuk rencana harian Kompas (13/4/2023) berjudul ”Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah” kembali memberikan peringatan bahaya ancaman terhadap generasi bangsa. Dalam tajuk tersebut ditulis, telah terjadi kasus kekerasan seksual oleh pengasuh pondok pesantren terhadap 15 santriwatinya di Batang, Jawa Tengah (Kompas, 12/4/2023), mengingatkan kita pada kasus serupa yang menimpa 13 santriwati di Kota Bandung, Jawa Barat, pada 2021.

Data dari Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di tahun 2021 mengalami peningkatan dua kali lipat. Tercatat, dari tahun 2011-2020 terdapat 11.975 kasus yang dilaporkan. Selanjutnya, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 4.500 kasus yang dilaporkan sepanjang Januari-Oktober 2021. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat, terdapat 419 kasus anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pencabulan sepanjang tahun 2020.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama yang dikenal sebagai zona aman ternyata tak lepas dari kekerasan seksual. Perlu ditegaskan bahwa pelaku hanyalah oknum bejat yang mencoreng nama baik pesantren dan menodai kesucian ilmu agama dengan perbuatan kekerasan seksual hanya untuk melampiaskan nafsu syahwatnya. Pertanyaannya, mengapa kekerasan seksual di pondok pesantren terus terjadi? Ada beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, adanya relasi kuasa yang mengarah kepada kejahatan dan kekerasan seksual. Para kiai, pemilik pesantren, pengasuh (guru) pesantren, dan ustaz memiliki relasi kuat terhadap para santri. Umumnya, mereka yang memiliki relasi kuat melakukan aksi amoral dan nafsu syahwatnya ketika santri meminta bimbingan, konsultasi, tugas pondok, dan lainnya.

Ditambah lagi, adanya doktrin ”taat pada guru/ustaz/kiai” yang membuat santri harus patuh (ta’dim) dan jika melanggar dianggap melanggar aturan pesantren, durhaka, dan dosa. Para santri yang tak berdaya, posisi tawar yang rendah, atau berada dalam ancaman dengan terpaksa menerima perlakuan yang menyimpang dan melanggar batas moral. Akhirnya, para santri menjadi korban guru/ustaz/kiai yang sejatinya predator seks tersebut.

Kedua, ketiadaan aturan hukum dan sistem yang mampu mengawasi serta memberi ruang aman dan tata cara penuntasan kasus-kasus kekerasan seksual di pondok pesantren. Masalah kekerasan seksual masih dianggap terpisah dari ajaran Islam dan hanya dicap sebagai budaya Barat.

Hubungan antarlaki-laki dan perempuan tampaknya masih dipahami dalam kitab-kitab Islam tertentu. Itu pun masih dalam pemahaman bahwa kekerasan seksual sama halnya masuk dalam lingkup perzinaan yang diharamkan agama Islam. Sanksinya pun dengan mengeluarkan pelaku atau korban sebab dianggap melanggar norma agama (aturan pesantren) dan memberi stigma buruk terhadap pesantren. Tidak jarang juga pesantren melakukan denial terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Ketiga, korban kekerasan seksual sering mendapat stigma dari masyarakat jika berusaha melaporkan apa yang dialaminya ke pihak yang berwajib. Stigma tersebut bisa berupa stempel negatif sebagai perempuan yang tidak becus menjaga kehormatan diri, keluarga, mencoreng kultur perempuan secara agama dan moral, bahkan mengambinghitamkan perempuan sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan seksual. Hal ini makin membuat kekerasan seksual di pesantren akan terus berulang.

Masalah kekerasan seksual masih dianggap terpisah dari ajaran Islam dan hanya dicap sebagai budaya Barat.


Keempat, demi menjaga citra dan nama baik pondok pesantren, pemilik, kiai, dan ustaz di pesantren cenderung membiarkan dan menyembunyikan kasus kekerasan seksual yang menimpa santri sebagai jalan damai serta tidak mencoreng nama baik pesantren. Apalagi, jika pelaku adalah ”orang kuat” di pesantren akan berupaya menutupi kasus kekerasan seksual dengan cara menebar teror, intimidasi, dan kriminalisasi kepada korban kekerasan seksual.

Pembiaran pesantren terhadap kekerasan seksual mengakibatkan para korban tak mendapatkan pelindungan hukum yang memadai, para pelaku tak mendapatkan sanksi menjerakan sehinga berpotensi mengulangi perbuatannya, dan korban pun akan kehilangan masa depannya.

Memperketat pengawasan

Kondisi gawat darurat kekerasan seksual di pondok pesantren harus segera dihapus dan memberantas para predator seks yang ”bersembunyi” di balik status guru/ustaz/kiai tersebut. Pertama, aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan harus segera memproses kasus kekerasan seksual, menetapkan tersangka, serta menjatuhkan hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan apabila telah terbukti memenuhi unsur pidana kekerasan seksual. Jangan biarkan siapa pun mencegah atau merintangi proses penyidikan terhadap tersangka dugaan pelecehan seksual karena melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kedua, Kementerian Agama harus meningkatkan dan memperketat pengawasan dengan jalan segera revisi UU No 18/2019 tentang Pesantren (UU Pesantren) dan membuat peraturan menteri agama tentang tindak pidana kekerasan di pesantren. Harapannya, supaya pesantren dapat memberikan pembinaan dan penyuluhan hukum pada para kiai, pengasuh pesantren, ustaz, atau tenaga pendidik lainnya khususnya berkaitan dengan kekerasan seksual.

Pesantren juga wajib memiliki protokol atau panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk mencegah kejahatan para ”predator seks” tersebut. Tak kalah penting, menerapkan UU TPKS khususnya hak korban untuk didampingi, didengarkan keterangannya, dan mendapatkan pelindungan sebelum proses hukum berjalan.

Ketiga, Kementerian Agama perlu melibatkan orangtua, masyarakat sekitar, dan lembaga independen dalam pengawasan bersama. Dengan begitu, pesantren lebih mungkin dicegah menjadi sarang ”predator seks”.

Langkah menutup pesantren bukan solusi tepat, lebih baik mengganti pengasuh pesantren dan menerapkan sistem daftar hitam (blacklist) supaya tidak dapat kembali beraktivitas secara sosial keagamaan dan mengulangi kejahatannya. Para pengasuh pesantren perlu memiliki kualifikasi khusus dan pemahaman tentang pendidikan ramah anak, pendampingan dan penanganan kekerasan seksual serta perundungan.

SutrisnoPendidik; Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

*) Artikel ini telah dimuat di Kompas.id

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/17/predator-seks-di-pesantren?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink